- Back to Home »
- SOSIOLOGI XI IPS »
- Stratifikasi Sosial: Determinan dan Konsekuensi
Pendahuluan
Stratifikasi sosial dan kelas sosial adalah dua hal yang berbeda,
tetapi seringkali dipergunakan secara bergantian sehingga dalam beberapa
bagian menjadi rancu. Stratifikasi sosial sebenarnya lebih merujuk pada
pembagian sekelompok orang ke dalam tingkatan-tingkatan atau strata
yang berjenjang secara vertikal. Jadi apabila
kita berbicara tentang stratifikasi sosial, kita akan berbicara tentang
posisi yang tidak sederajat antar-orang atau antar-kelompok dalam
masyarakat. Secara umum, stratifikasi sosial juga sering dikaitkan
dengan persoalan kesenjangan atau polarisasi sosial.
Sedangkan istilah kelas sosial lebih sempit dari itu. Istilah kelas
lebih merujuk pada satu lapisan atau satu strata tertentu dalam sebuah
stratifikasi sosial. Orang-orang yang berasal dari suatu kelas sosial
pada umumnya memiliki orientasi politik, nilai dan budaya, sikap, dan
perilaku sosial yang –pada umumnya– sama.
Masyarakat kelas atas, misalnya, dalam banyak hal memiliki
karakteristik yang berbeda dengan masyarakat miskin, bukan hanya dalam
penampilan fisik mereka, seperti cara berpakaian dan saara transportasi
yang dipergunakan, atau bahkan mereknya. Tetapi, antarmereka biasanya
juga berbeda ideologi politik, nilai yang dianut, sikap, dan perilaku
sehari-harinya.
Secara sederhana, perbedaan kelas sosial bisa terjadi dan dilihat
dari perbedaan besar penghasilan rata-rata seseorang setiap hari atau
setiap bulannya. Namun, seperti yang dikatakan oleh Paul B. Horton dan
Chester L. Hunt (1984) bahwa terbentuknya stratifikasi dan kelas-kelas
sosial di dalamnya sesungguhnya tidak hanya berkaitan dengan uang. Kelas
sosial adalah suatu strata atau pelapisan orang-orang yang berkedudukan
relatif sama dalam kontinum atau rangkaian kesatuan status sosial.
Mereka mempunyai jumlah penghasilan yang relatif sama. Namun, lebih
penting dari itu, mereka memiliki sikap, nilai-nilai, dan gaya hidup
yang sama. Semakin rendah kedudukan seseorang di dalam pelapisan sosial,
biasanya semakin sedikit pula perkumpulan dan hubungan sosialnya.
Orang-orang dari lapisan rendah lebih sedikit berpartisipasi dalam jenis
organisasi apa pun — klub, organisasi sosial, lembaga formal, atau
bahkan lembaga keagamaan– daripada orang-orang yang berasal dari strata
atau kelas menengah dan atas.
Determinan stratifikasi sosial.
Di dalam dunia kemiliteran, kita biasanya dengan mudah dan cepat
membedakan strata anggotanya berdasarkan jenjang kepangkatan yang telah
terstruktur dengan jelas. Tetapi, apakah kita juga dengan mudah bisa
membedakan strata seseorang di dalam masyarakat yang begitu heterogen?
Seorang direktur sebuah perusahaan swasta yang terkenal, misalnya,
apakah kedudukan lebih tinggi dari seorang rektor sebuah universitas
atau perguruan tinggi negeri atau swasta? Seorang artis, apakah lantaran
mereka lebih populer kemudian dikatakan kedudukannya lebih tinggi dari
dosen, wartawan, atau pengusaha yang sukses? Ukuran atau kriteria apakah
yang kita gunakan untuk membedakan seseorang termasuk ke dalam suatu
lapisan sosial tertentu?
Secara rinci, faktor-faktor yang menjadi determinan stratifikasi
sosial memang relatif beragam, yakni dimensi usia, jenis kelamin, agama,
kelompok etnis atau ras, pendidikan formal, pekerjaan, kekuasaan,
status, tempat tinggal, dan dimensi ekonomi. Berbagai dimensi ini,
signifikansi dan kadar pengaruhnya dalam pembentukan stratifikasi sosial
sudah tentu tidak sama kuat dan berbeda-beda tergantung pada tahap
perkembangan masyarakat dan konteks sosial yang berlaku. Pada masyarakat
di zaman dahulu, jenis kelamin, usia, serta penguasaan agama, mungkin
sangat dominan sebagai faktor yang mendasari pemilahan anggota
sukubangsa tertentu. Dalam cerita seputar kerajaan, laki-laki pada
umumnya dipandang lebih tinggi derajatnya daripada perempuan, sehingga
mereka dinilai lebih layak menyandang gelar sebagai putra mahkota.
Dalam masyarakat yang makin modern, perbedaan strata yang terbentuk
dan berkembang di masyarakat umumnya tidak lagi atas dasar hal-hal yang
bersifat kodrati, seperti perbedaan jenis kelamin atau usia, tetapi
diterminan stratifikasi sosial menjadi semakin kompleks dan tidak lagi
bersifat given (askriptif), melainkan lebib berdasarkan prestasi
(achieved).
Secara umum, determinan yang menurut para ahli banyak berpengaruh
dalam pembentukan stratifikasi sosial di masyarakat yang semakin modern
adalah: dimensi ekonomi (kelas-kelas sosial), dimensi sosial (status
sosial), dan dimensi politik (penguasa dan yang dikuasai/pemimpin dan
pengikut). Hal ini sesuai dengan klasifikasi Jeffris dan Ransford
(1980), di dalam masyarakat pada dasarnya dapat dibedakan tiga macam
stratifikasi sosial, yaitu:
1. Hirarkhi kelas, yang didasarkan pada penguasaan atas barang dan jasa;
2.Hirarkhi kekuasasan, yang didadasarkan pada kekuasaan, dan
3. Hirarkhi status, yang didasarkan pada pembagian kehormatan dan status sosial.
Akumulasi Dimensi.
Selain tiga dimensi stratifikasi sosial di atas sudah tentu masih ada
sejumlah dimensi yang lain. Namun, lepas berapa jumlah dimensi
stratifikasi sosial yang ada, satu hal yang perlu dicermati adalah
kemungkinan terjadinya akumulasi dari sejumlah dimensi itu. Artinya,
seseorang yang memiliki aset produksi berlimpah, kaya, dan memiliki
banyak perusahaan, biasanya ia sebelumnya lahir dari keluarga yang
berkecukupan, terhormat, memiliki pendidikan yang tinggi, dan bahkan
didukung dengan pemilikan jaringan atau koneksi yang sangat luas.
Seseorang yang berpendidikan, misalnya, mestki tidak selalu menjamin,
tetapi pada umumnya lebih berpeluang untuk melakukan mobilitas sosial
vertikal. Sebagaimana dinyatakan oleh Beteille, bahwa pendidikan
berharga karena memberikan akses untuk jabatan dengan bayaran atau gaji
yang lebih baik (Kuper dan Kuper, 2000: 1059).
Mungkin banyak terjadi di cerita-cerita dan sedikit terjadi dalam
kenyataan, cerita-cerita seperti “gareng jadi ratu” atau “seorang
penggembala kerbau akhirnya menjadi presiden”.
Dalam realitas, seseorang yang memiliki kekuasaan politik atau
menduduki jabatan tertentu, akan cenderung lebih besar peluangnya untuk
meraih fasilitas dan kebutuhan material. Sebaiknya, untuk orang miskin,
selain tidak memiliki kekuasaan apapun, mereka biasanya juga tidak
berdaya dan mudah dijadikan bahan eksploitasi. Selo Soemardjan dan
Soelaiman Soemardi dalam Setangkai Bunga Sosiologi (1964), menyatakan
bahwa anggota masyarakat yang posisinya tinggi akan cenderung
mengakumulasikan posisi dalam dimensi yang berlainan.
Dalam masyarakat yang terstratifikasi, memang salah satu ciri utama
yang menandai adalah ketidaksamaan untuk mengakumulasi basis kekuasaan
sosial. Yang dimaksud basis kekuasaan sosial itu menurut Friedman
(1979), meliputi:
1. Modal produktif atas aset (tanah, rumah, peralatan, dan kesehatan)
2. sumber keuangan (pendapatan dan akses kredit)
3. organisasi sosial dan politik yang digunakan untuk mencapai kepentingan bersama
4.network atau jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang-barang, pengetahuan, dan keterampilan yang memadai
5. informasi-informasi yang berguna untuk kehidupan
Bagi kelas yang memiliki kekayaan atau kekuasaan lebih, peluang untuk
mengakumulasikan basis kekuatan sosial menjadi lebih besar. Sebaliknya,
bagi kelas sosial menengah ke bawah, apalagi miskin, peluang mereka
untuk mendapatkan basis kekuatan sosial juga rendah, sehingga peluang
untuk melakukan mobilitas sosial vertikal pun menjadi kecil.
Lebih lanjut, dalam kajian ilmu sosial, pengertian stratifikasi
sosial tidak sebatas pada pembagian kelas-kelas sosial saja, melainkan
juga interaksi atau hubungan timbal-balik antar-kelas. Nah, apa yang
terjadi ketika suatu kelas sosial berhubungan timbal-balik dengan kelas
sosial lainya, ternyata lebih menunjukkan fenomena yang sifatnya
relasional atau interaksional daripada gradual. Kenapa suatu kelompok
tetap miskin, dan kenapa pula kelas sosial yang berkuasa senantiasa
hidup dalam lingkaran kekayaan, adalah hal yang sering dipertanyakan
ketika kita berbicara mengenai relasi atau hubungan antar-kelas sosial.
Kita sering mendengar istilah kemiskinan struktural. Dalam konteks
hubungan antar-kelas inilah kemiskinan struktural terjadi. Ciri utama
kemiskinan struktural adalah tidak terjadinya mobilitas vertikal di
kalangan lapisan bawah. Kalau toh ada, maka itu akan lamban sekali. Hal
ini karena kemiskinan itu terjadi akibat hubungan antar-kelas, bahwa
terjadi kungkungan struktur sosial, sehingga yang miskin tetap miskin,
dan yang kaya tetap berada pada lingkungannya yang kaya.
Ciri lain kemiskinan struktural adalah adanya ketergantungan dari
pihak yang miskin terhadap pihak yang kaya, atau kelas sosial di
atasnya. Mohtar Mas’ud (1994: 143) menyatakan bahwa ketergantungan si
miskin terhadap kelas sosial di atasnya inilah yang memerosotkan si
miskin dalam hal bargaining positionnya, sehingga tetap tidak mempunyai
kemampuan tawar terhadap kelas sosial di atasnya.
Konsekuensi stratifikasi sosial.
Perbedaan tingkat pendidikan, kekayaan, status atau perbedaan kelas
sosial tidak cuma mempengaruhi perbedaan dalam hal gaya hidup dan
tindakan, tetapi –seperti yang ditulis oleh Horton dan Hunt (1987), juga
menimbulkan sejumlah perbedaan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti
peluang hidup dan kesehatan, peluang bekerja dan berusaha, respons
terhadap perubahan, pola sosialisasi dalam keluarga, dan perilaku
politik.
Apabila dirinci, konsekuensi perbedaan stratifikasi sosial akan terjadi pada
1. Perbedaan gaya hidup
2. Perbedaan peluang hidup dan kesehatan
3. Respons terhadap perubahan
4. Peluang bekerja dan berusaha
5. Kebahagiaan dan sosialisasi dalam keluarga
6. Perilaku politik
Yogyakarta, 15 Juli 2009.
Diadaptasi dari tulisan Bagong Suyanto dan Karmaji (Sosiologi Teks
Pengantar dan Terapan, Edisi Kedua, Jakarta: Kencana Prenada Media,
2006.
Oleh Agus Santosa, SMA Negeri 3 Yogyakarta.
Sumber: Klik Disini