Posted by : Muhammad Zamroni Senin, Februari 13, 2012

Pendahuluan

Stratifikasi sosial dan kelas sosial adalah dua hal yang berbeda, tetapi seringkali dipergunakan secara bergantian sehingga dalam beberapa bagian menjadi rancu. Stratifikasi sosial sebenarnya lebih merujuk pada pembagian sekelompok orang ke dalam tingkatan-tingkatan atau strata yang berjenjang secara vertikal. Jadi apabila kita berbicara tentang stratifikasi sosial, kita akan berbicara tentang posisi yang tidak sederajat antar-orang atau antar-kelompok dalam masyarakat. Secara umum, stratifikasi sosial juga sering dikaitkan dengan persoalan kesenjangan atau polarisasi sosial.
Sedangkan istilah kelas sosial lebih sempit dari itu. Istilah kelas lebih merujuk pada satu lapisan atau satu strata tertentu dalam sebuah stratifikasi sosial.  Orang-orang yang berasal dari suatu kelas sosial pada umumnya memiliki orientasi politik, nilai dan budaya, sikap, dan perilaku sosial yang –pada umumnya–  sama.
Masyarakat kelas atas, misalnya, dalam banyak hal memiliki karakteristik yang berbeda dengan masyarakat miskin, bukan hanya dalam penampilan fisik mereka, seperti cara berpakaian dan saara transportasi yang dipergunakan, atau bahkan mereknya. Tetapi, antarmereka biasanya juga berbeda ideologi politik, nilai yang dianut, sikap, dan perilaku sehari-harinya.
Secara sederhana, perbedaan kelas sosial bisa terjadi dan dilihat dari perbedaan besar penghasilan rata-rata seseorang setiap hari atau setiap bulannya. Namun, seperti yang dikatakan oleh Paul B. Horton dan Chester L. Hunt (1984) bahwa terbentuknya stratifikasi dan kelas-kelas sosial di dalamnya sesungguhnya tidak hanya berkaitan dengan uang. Kelas sosial adalah suatu strata atau pelapisan orang-orang yang berkedudukan relatif sama dalam kontinum atau rangkaian kesatuan status sosial. Mereka mempunyai jumlah penghasilan yang relatif sama. Namun, lebih penting dari itu, mereka memiliki sikap, nilai-nilai, dan gaya hidup yang sama. Semakin rendah kedudukan seseorang di dalam pelapisan sosial, biasanya semakin sedikit pula perkumpulan dan hubungan sosialnya. Orang-orang dari lapisan rendah lebih sedikit berpartisipasi dalam jenis organisasi apa pun — klub, organisasi sosial, lembaga formal, atau bahkan lembaga keagamaan– daripada orang-orang yang berasal dari strata atau kelas menengah dan atas.
Determinan stratifikasi sosial.
Di dalam dunia kemiliteran, kita biasanya dengan mudah dan cepat membedakan strata anggotanya berdasarkan jenjang kepangkatan yang telah terstruktur dengan jelas. Tetapi, apakah kita juga dengan mudah bisa membedakan strata seseorang di dalam masyarakat yang begitu heterogen?
Seorang direktur sebuah perusahaan swasta yang terkenal, misalnya, apakah kedudukan lebih tinggi dari seorang rektor sebuah universitas atau perguruan tinggi negeri atau swasta? Seorang artis, apakah lantaran mereka lebih populer kemudian dikatakan kedudukannya lebih tinggi dari dosen, wartawan, atau pengusaha yang sukses? Ukuran atau kriteria apakah yang kita gunakan untuk membedakan seseorang termasuk ke dalam suatu lapisan sosial tertentu?
Secara rinci, faktor-faktor yang menjadi determinan stratifikasi sosial memang relatif beragam, yakni dimensi usia, jenis kelamin, agama, kelompok etnis atau ras, pendidikan formal, pekerjaan, kekuasaan, status, tempat tinggal, dan dimensi ekonomi. Berbagai dimensi ini, signifikansi dan kadar pengaruhnya dalam pembentukan stratifikasi sosial sudah tentu tidak sama kuat dan berbeda-beda tergantung pada tahap perkembangan masyarakat dan konteks sosial yang berlaku. Pada masyarakat di zaman dahulu, jenis kelamin, usia, serta penguasaan agama, mungkin sangat dominan sebagai faktor yang mendasari pemilahan anggota sukubangsa tertentu. Dalam cerita seputar kerajaan, laki-laki pada umumnya dipandang lebih tinggi derajatnya daripada perempuan, sehingga mereka dinilai lebih layak menyandang gelar sebagai putra mahkota.
Dalam masyarakat yang makin modern, perbedaan strata yang terbentuk dan berkembang di masyarakat umumnya tidak lagi atas dasar hal-hal yang bersifat kodrati, seperti perbedaan jenis kelamin atau usia, tetapi diterminan stratifikasi sosial menjadi semakin kompleks dan tidak lagi bersifat given (askriptif), melainkan lebib berdasarkan prestasi (achieved).
Secara umum, determinan yang menurut para ahli banyak berpengaruh dalam pembentukan stratifikasi sosial di masyarakat yang semakin modern adalah: dimensi ekonomi (kelas-kelas sosial),  dimensi sosial (status sosial), dan dimensi politik (penguasa dan yang dikuasai/pemimpin dan pengikut). Hal ini sesuai dengan klasifikasi Jeffris dan Ransford (1980), di dalam masyarakat pada dasarnya dapat dibedakan tiga macam stratifikasi sosial, yaitu:
1. Hirarkhi kelas, yang didasarkan pada penguasaan atas barang dan jasa;
2.Hirarkhi kekuasasan, yang didadasarkan pada kekuasaan, dan
3. Hirarkhi status, yang didasarkan pada pembagian kehormatan dan status sosial.
Akumulasi Dimensi.
Selain tiga dimensi stratifikasi sosial di atas sudah tentu masih ada sejumlah dimensi yang lain. Namun, lepas berapa jumlah dimensi stratifikasi sosial yang ada, satu hal yang perlu dicermati adalah kemungkinan terjadinya akumulasi dari sejumlah dimensi itu. Artinya, seseorang yang memiliki aset produksi berlimpah, kaya, dan memiliki banyak perusahaan, biasanya ia sebelumnya lahir dari keluarga yang berkecukupan, terhormat, memiliki pendidikan yang tinggi, dan bahkan didukung dengan pemilikan jaringan atau koneksi yang sangat luas. Seseorang yang berpendidikan, misalnya, mestki tidak selalu menjamin, tetapi pada umumnya lebih berpeluang untuk melakukan mobilitas sosial vertikal.  Sebagaimana dinyatakan oleh Beteille, bahwa pendidikan berharga karena memberikan akses untuk jabatan dengan bayaran atau gaji yang lebih baik (Kuper dan Kuper, 2000: 1059).
Mungkin banyak terjadi di cerita-cerita dan sedikit terjadi dalam kenyataan, cerita-cerita seperti “gareng jadi ratu” atau “seorang penggembala kerbau akhirnya menjadi presiden”.
Dalam realitas, seseorang yang memiliki kekuasaan politik atau menduduki jabatan tertentu,  akan cenderung lebih besar peluangnya untuk meraih fasilitas dan kebutuhan material. Sebaiknya, untuk orang miskin, selain tidak memiliki kekuasaan apapun, mereka biasanya juga tidak berdaya dan mudah dijadikan bahan eksploitasi. Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi dalam Setangkai Bunga Sosiologi (1964),  menyatakan bahwa anggota masyarakat yang posisinya tinggi akan cenderung mengakumulasikan posisi dalam dimensi yang berlainan.
Dalam masyarakat yang terstratifikasi, memang salah satu ciri utama yang menandai adalah ketidaksamaan untuk mengakumulasi basis kekuasaan sosial. Yang dimaksud basis kekuasaan sosial itu menurut Friedman (1979), meliputi:
1. Modal produktif atas aset (tanah,  rumah, peralatan, dan kesehatan)
2. sumber keuangan (pendapatan dan akses kredit)
3. organisasi sosial dan politik yang digunakan untuk mencapai kepentingan bersama
4.network atau jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang-barang, pengetahuan, dan keterampilan yang memadai
5. informasi-informasi yang berguna untuk kehidupan
Bagi kelas yang memiliki kekayaan atau kekuasaan lebih, peluang untuk mengakumulasikan basis kekuatan sosial menjadi lebih besar. Sebaliknya, bagi kelas sosial menengah ke bawah, apalagi miskin, peluang mereka untuk mendapatkan basis kekuatan sosial juga rendah, sehingga peluang untuk melakukan mobilitas sosial vertikal pun menjadi kecil.
Lebih lanjut, dalam kajian ilmu sosial, pengertian stratifikasi sosial tidak sebatas pada pembagian kelas-kelas sosial saja, melainkan juga interaksi atau hubungan timbal-balik antar-kelas.  Nah, apa yang terjadi ketika suatu kelas sosial berhubungan timbal-balik dengan kelas sosial lainya, ternyata lebih menunjukkan fenomena yang sifatnya relasional atau interaksional daripada gradual. Kenapa suatu kelompok tetap miskin, dan kenapa pula kelas sosial yang berkuasa senantiasa hidup dalam lingkaran kekayaan, adalah hal yang sering dipertanyakan ketika kita berbicara mengenai relasi atau hubungan antar-kelas sosial.
Kita sering mendengar istilah kemiskinan struktural. Dalam konteks hubungan antar-kelas inilah kemiskinan struktural terjadi. Ciri utama kemiskinan struktural adalah tidak terjadinya mobilitas vertikal di kalangan lapisan bawah. Kalau toh ada, maka itu akan lamban sekali. Hal ini karena kemiskinan itu terjadi akibat hubungan antar-kelas, bahwa terjadi kungkungan struktur sosial, sehingga yang miskin tetap miskin, dan yang kaya tetap berada pada lingkungannya yang kaya.
Ciri lain kemiskinan struktural adalah adanya ketergantungan dari pihak yang miskin terhadap pihak yang kaya, atau kelas sosial di atasnya. Mohtar Mas’ud (1994: 143) menyatakan bahwa ketergantungan si miskin terhadap kelas sosial di atasnya inilah yang memerosotkan si miskin dalam hal bargaining positionnya, sehingga tetap tidak mempunyai kemampuan tawar terhadap kelas sosial di atasnya.
Konsekuensi stratifikasi sosial.

Perbedaan tingkat pendidikan, kekayaan, status atau perbedaan kelas sosial tidak cuma mempengaruhi perbedaan dalam hal gaya hidup dan tindakan, tetapi –seperti yang ditulis oleh Horton dan Hunt (1987), juga menimbulkan sejumlah perbedaan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti peluang hidup dan kesehatan, peluang bekerja dan berusaha, respons terhadap perubahan, pola sosialisasi dalam keluarga, dan perilaku politik.
Apabila dirinci, konsekuensi perbedaan stratifikasi sosial akan terjadi pada
1. Perbedaan gaya hidup
2. Perbedaan peluang hidup dan kesehatan
3. Respons terhadap perubahan
4. Peluang bekerja dan berusaha
5. Kebahagiaan dan sosialisasi dalam keluarga
6. Perilaku politik
Yogyakarta, 15  Juli 2009.
Diadaptasi dari tulisan Bagong Suyanto dan Karmaji (Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan,  Edisi Kedua, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006.
Oleh Agus Santosa, SMA Negeri 3 Yogyakarta.
Sumber: Klik Disini

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Hidup Adalah Pilihan - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -