- Back to Home »
- SOSIOLOGI XI IPS »
- Konsekuensi Stratifikasi Sosial
Perbedaan tingkat pendidikan, kekayaan, status atau perbedaan kelas
sosial tidak cuma mempengaruhi perbedaan dalam hal gaya hidup atau
tindakan, tetapi –seperti ditulis Horton dan Hunt (1987)– juga
menimbulkan sejumlah perbedaan dalam berbagai aspek kehidupan manusia,
seperti peluang hiduo dan kesehatan, peluang bekerja danberusaha,
respons terhadap perubahan, pola sosialisasi dalam keluarga, dan
perilaku politik.
Gaya hidup.
Gaya hidup (life style) yang ditampilkan antara kelas sosial satu
dengan kelas sosial yang lain dalam banyak hal tidaklah sama, bahkan ada
kecenderungan masing-masing kelas mencoba mengembangkan gaya hidup
ekslusif untuk membedakan dirinya dengan kelas sosial yang lain. Berbeda
dengan kelas sosial rendah yang umumnya bersikap konservatif di bidang
agama, moralitas, selera pakaian, selera makanan, cara baru perawatan
kesehatan, cara mendidik anak, dan hal-hal lainya, gaya hidup dan
penampilan kelas sosial menengah dan atas umumnya lebih atraktif dan
eksklusif (Dickson, 1968). Mulai dari tutur kata, cara berpakaian,
pilihan hiburan, pemanfaatan waktu luang, pola berlibur, dan sebagainya,
antar kelas yang satu dengan yang lainnya umumnya tidak sama.
Sebuah keluarga yang berasal dari kelas atas, mereka biasanya akan
cenderung memilih berlibur ke luar negeri. Setiap bulan atau minimal
setiap liburan semester anak-anaknya, mereka akan menyembatkan waktu
pergi ke Singapura, Australia, Hongkong, Amerika, atau Eropa. Untuk
keluarga kelas menengah, tempat untuk berlibur biasanya tidak di luar
negeri, tetapi cukup di Bali, Lombok, Yogyakarta, atau Jakarta. Untuk
keluarga kelas bawah, biasanya mereka hanya berlibur di kota-kota
terdekat yang udaranya lebih sejuk atau sekedar berjalan-jelan di
pusat-pusat perbelanjaaan untuk menghabiskan waktu luang. Di kalangan
keluarga yang benar-benar miskin, mereka bahkan hanya mengisi waktu
luang dengan menikmati tontonan televisi di rumah, atau sesekali ke
kebun binatang, taman hiburan rakyat, pantai, dan sebagainya.
Gaya hidup lain yang tidak sama antara kelas sosial satu dengan
lainnya adalah dalam hal berpakaian. Atribut-atribut yang sifatnya
massal dan dianggap berselera rendahan –pakaian kodian, misalnya–
biasanya selalu dihindari oleh orang-orang yang secara ekonomi mapan
atau berada. Bagi mereka, atribut yang dikenakan adalah simbol status
yang mencerminkan dan membedakan statusnya dari kelas sosial lain yang
lebih rendah.
Di Indonesia, sering terjadi seseorang yang merasa bagian dari kelas
menengah atau atas dalam banyak hal akan gengsi atau malu bila disebut
sebagai penggemar musik dangdut atau penonton setia film India. Vonis
masyarakat yang menempatkan musik dan film goyang pinggul sebagai
hiburan kacangan yang banyak diputar di deerah pinggiran atau desa-desa
menyebabkan orang-orang dari kelas menengah atau atas seoalah merasa
turun derajatnya bila dikategorikan sebagai salah satu penggemar kedua
hiburan ini.
Dalam memanfaatkan waktu luang di malam minggu, film-film yang banyak
ditonton orang-orang dari kelas menengah ke atas biasanya film-film
barat baru yang dibintangi oleh bintang-bintang Hollywood terkenal,
macam Tom Cruise, Tom Hank, Kevin Costner, Sharon Stone, Mat Dammon,
J-Lo, Demi Moore, dan sebagainya. Sedangkan musik yang banyak didengar
adalah musik-musik jazz atau pop Barat yang acapkali ditayangkan di
acara-acara televisi swasta, seperti MTV, Clear Top Ten, dan sebagainya.
Beberapa penyanyi yang menjadi pujaan kelas menengah, misalnya adalah
Britney Spears, Clay Aiken, J-Lo, Michael Bolton, Michael Jackson,
Mariah Carrey, atau Whitney Houston.
Sebagai orang kelas sosial bawah, memang terkadang mereka mencoba
meniru-niru atribut yang dikenakan sebagai gaya hidup kelas di atasnya.
Dalam pemilihan pakaian, sepatu, atau jam tangan, misalnya, banyak
orang-orang dari kelas rendah mencoba menirunya dengan cara membeli
barang-barang tiruan yang biasa dikenakan kelas menengah ke atas. Salah
satu ciri dari kelas sosial bawah adalah mereka acapkali mengapresiasi
dan sejauh mungkin ingin tampil seperti kelas sosial di atasnya. Jika
orang-orang dari kelas atas memakai kaos merek Hammer atau sepatu merek
Nike, maka orang-orang dari kelas bawah akan memakai dengan merek yang
sama tetapi tiruan. Demikian ketika orang-orang dari kelas atas memakai
tas merk Braun Buffel, Etienne Eigner, dan sejenisnya, maka sebagian
orang-orang dari kelas bawah akan menirunya dengan membeli tas
“tembakan” buatan Korea atau China. Bagi orang-0rang yang belum
berpengalaman dan dipandang sepintas kilas mereknya akan terlihat sama.
Selera kalangan bawah yang umumnya lebih menyukai pakaian denngan
warna-warna mencolok dalam banyak hal juga semakin mengukuhkan adanya
perbedaan penampilan mereka dengan kelas di atasnya.
Peluang Hidup dan Kesehatan.
Berbagai kajian yang dilakukan ahli sosiologi dan kependudukan telah
banyak menemukan kaitan antara stratifikasi sosial dengan peluang hidup
dan derajat kesehatan keluarga. Studi yang dilakukan oleh Robert
Chambers (1987), misalnya, menemukan bahwa di lingkungan keluarga
miskin, tidak berpendidikan, dan rentan, mereka umumnya lemah jasmani
dan mudah terserang penyakit. Sementara itu, studi yang dilakukan oleh
Brooks (1975) menemukan bahwa kecenderungan terjadinya kematian bayi
ternyata dipengaruhi oleh tinggi-rendahnya kelas sosial orangtua.
Semakin tinggi kelas sosial orangtua, semakin kecil kemungkinan
terjadinya kematian bayi. Di kalangan kaum ibu yang kurang
berpendidikan, terjadinya kematian bayi relatif lebih tinggi karena
tinggi-rendahnya tingkat pendidikan ibu erat kaitannya dengan tingkat
pengertiannya terhadap perawatan kesehatan, hygiene, perlunya
pemeriksaan kehamilan dan pasca persalinan, serta kesadarannya terhadap
kesehatan anak-anak dan keluarganya (Utomo, 1985).
Menurut studi yang dilakukan oleh Antonovsky (1972) dan Harkey
(1976), sekurang-kurangnya ada dua faktor yang berinteraksi untuk
menghasilkan hubungan antara kelas sosial dengan kesehata. Pertama: para
anggota kelas sosial yang lebih tinggi biasanya menikmati sanisitas,
tindakan-tindakan pencegahan serta perawatan medis yang lebih baik.
Kedua: orang-orang yang mengidap penyakit kronis, status sosialnya
cenderung untuk “meluncur” ke bawah dan sulit mengalami mobilitas sosial
vertikal naik karena penyakitnya menghalangi mereka untuk memperoleh
dan mempertahankan berbagai pekerjaan.
Bisa dibayangkan, apa yang bakal terjadi jika sebuah keluarga miskin
suatu saat kepala keluarga yang merupakan tenaga kerja produktif dan
andalan ekonomi keluarga tiba-tiba jatuh sakit hinga berhari-hari atau
bahkan berminggu-minggu. Berbeda dengan keluarga kelas menengah ke atas
yang biasanya memiliki tabungan yang cukup dan ikut asuransi kesehatan,
keluarga-keluarga miskin yang bekerja dengan upah harian, tatkala mereka
sakit, maka akibat yang segera terjadi biasanya adalah mereka terpaksa
jatuh pada perangkap utang, dan pelan-pelan satu per satu barang yang
mereka miliki terpaksa dijual untuk menyambung hidup (Suyanto, 2003).
Dengan alasan tidak lagi ada uang yang tersisa, sering terjadi keluarga
miskin yang salah satu anggota keluarganya sakit akan memilih mengobati
seadanya dengan cara tradisional, yang ironisnya kadang justru membuat
penyakit yang mereka derita menjadi tidak kunjung sembuh.
Singkatnya seperti yang diungkapkan oleh Weber, bahwa semakin tinggi
posisi seseorang atau kelompok dalam struktur sosial peluang hidupnya
akan semakin baik.
Respon terhadap perubahan.
Berbeda dengan orang-orang yang datang dari kelas sosial atas,
orang-orang dari kelas sosial bawah merupakan kelompok yang paling
terlambat menerapkan kecenderungan-kecenderungan baru, khususnya dalam
hal cara mengambil keputusan. Memang, setiap kali terjadi perubahan,
tentu membutuhkan proses adaptasi, dan bahkan respons yang tepat dari
warga masyarakat. Orang-orang dari kelas sisial bawah umumnya ragu-ragu
untuk menerima pemikiran dan cara-cara baru serta curiga terhadap para
pembaharu (pencipta hal-hal baru). Studi yang dilakukan oleh IB Wirawan
(1972) mengenai perilaku ber-KB masyarakat desa menunjukkan bahwa KB
mandiri lebih banyak dilakukan oleh orang-orang dari kelas sosial atas
daripada bawah. Ragu dan curiga terhadap hal baru barangkali merupakan
ciri yang relatif tetap pada kelas bawah, misalnya juga terhadap
pembaruan cara bertani, penggunaan pupuk tablet menggantikan pupuk tabur
di desa kami juga menunjukkan hal itu. Semula para petani menolah
penggunaan pupuk tablet, tetapi karena penjualan pupuk tabur dibatasi,
akhirnya terpaksa menerima. Dan ketika menghadapi kenyataan bahwa pupuk
tablet lebih hemat, mereka baru mau menerimanya.
Terbatasnya pendidikan, kebiasaan membaca, dan pergaulan
mengakibatkan kebanyakan orang-orang dari kelas sosial bawah itu tidak
mampu mengetahui latar belakang pemikiran yang mendasari berbagai
program perubahan yang ditawarkan (Horton dan Hunt, 1987).
Kelas sosial atas -di mana sebagian besar berpendidikan relatif
memadai– cenderung lebih responsif terhadap ide-ide baru, sehingga
acapkali mereka lebih sering bisa memetik manfaat dengan cepat atas
program-program baru atau inovasi-inovasi yang diketahuinya.
James Scout menyatakan bahwa salah satu ciri masyarakat desa miskin
di Asia Tenggara adalah keengganan untuk menempuh resiko atau lebih
dikenal dengan istilah prinsip safety first (dahulukan selamat).
Petani-petani kecil yang meruasa lebih baik menunggu daripada segera
merespon perubahan atau tawaran program baru, karena bagi mereka
kelangsungan hidup lebih penting daripada melakukan langkah-langkah
terobosan yang menurut mereka belum tentu jelas hasilnya.
Peluang bekerja dan berusaha.
Peluang bekerja dan berusaha antara kelas sosial rendah dengan kelas
sosial di atasnya umumnya jauh berbeda. Dengan koneksi, kekuasaan,
tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dan uang yang dimiliki, kelas
sosial atas relatif lebih mudah membuka usaha atau mencari pekerjaan
yang sesuai dengan minatnya. Seseorang yang sejak kecil telah disertakan
dalam kursus Bahasa Iggris oleh orangtuanya yang kaya, tentu
kemungkinan mereka bersekolah di luar negeri lebih terbuka. Dengan
menyandang gelar MBA atau MA dari luar negeri, jelas kesempatan mereka
untuk bekerja di perusahaan besar lebih besar.
Sementara itu, untuk kelas sosial rendah, akibat belitan atau
perangkap kemiskinan dan pendidikannya yang rendah, mereka umumnya
rentan, tidak berdaya dan kecil kemungkinan untuk bisa memperoleh
pekerjaan yang memadai atau kemungkinan melakukan diversivikasi okupasi.
Keluarga-keluarga yang dibelit perangkap kemiskinan acapkali tidak
bisa ikut meramaikan hasil pertumbuhan ekonomi, rapuh, dan sulit
meningkatkan kualitas hidupnya. Walaupun orang-orang dari kelas bawah
telah sering memperoleh bantuan permodalan dari KUD, KUT, BRI UNIT DESA,
Pegadaian, BLT, dst. tetapi acapkali bantuan-bantuan ekonomi itu tidak
dapat menyelsaikan masalah kemiskinan secara tuntas.
Kebahagiaan dan sosialisasi keluarga
Horton dan Hunt (1984) menyatakan bahwa orang-orang kaya umumnya
lebih mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, sehingga lebih
berkemungkinan untuk merasa bahagia daripada orang-orang yang kurang
berada. Fenomena child abuse atau tindak kekerasan dalam
keluarga cenderung lebih sering terjadi dan dialami oleh
keluarga-keluarga yang secara sosial-ekonomi tergolong miskin.
Keluarga-keluara dari kalangan bawah cenderung mengalami kegagalan
dalam melaksanakan fungsi-fungsi dasar keluarga, khususnya fungsi afeksi
dan sosialisasi, karena setiap harinya mereka masih harus dipusingkan
oleh kebutuhan perut yang tidak bisa ditunda-tunda lagi.
Dalam kajian Oscar Lewis (Lima Keluarga Miskin di Mexico) dihasilkan
informasi bahwa figur ayah dalam keluarga yang serba susah biasanya
kasar, tidak berpendidikan, pengangguran, hidup tidak teratur, bahkan
tidak mandi atau makan pagi terlebih dulu sebelum pergi, terjepit oleh
pekerjaan yang rendah dengan gaji yang rendah pula, dan merupakan
keturunan dari seorang ayah yang kejam pula.
Dalam konteks ini bahwa “kekerasan” menghasilkan “kekerasan” adalah
kebenaran yang tidak mudah disangkal. Seorang anak yang dibesarkan dalam
suasana keluarga yang serbakekurangan dan penuh dengan tindak
kekerasan, besar kemungkinan ketika ia menjadi dewasa dan berkeluarga,
akan menjadi seorang suami atau ayah yang ringan tangan terhadap isteri
atau anak-anaknya. Ia akan enggan memberikan kasih sayang dan perasaan
cintanya terhadap anggota-anggota keluarganya.
Perilaku politik
Berbagai studi memperlihatkan bahwa kelas sosial mempengaruhi
perilaku politik orang. Studi yang dilakukan oleh Erbe (1964), Hansen
(1975), dan lain-lain menyimpulkan bahwa semakin tinggi kelas sosial
semakin cenderung aktif dalam kehidupan politik, seperti mendaftarkan
diri sebagai pemilih, memberikan suara dalam pemilu, tertarik pada
pembahasan politik, dan berusaha mempengaruhi pandangan politik orang
lain.
Di lingkungan orang-orang yang berpendidikan di kalangan kelas
menengah, ditengarai tingkat partisipasi politiknya tinggi daripada
orang-orang yang kurang berpendidikan karena ada kaitannya dengan
semakin tumbuhnya sikap kritis mereka. Akses mereka terhadap informasi
merupakan salah satu faktor penyebabnya. Kelas menengah bahkan
diharapkan berperan sebagai motor penggerak perubahan, kendati justru
tidak jarang dijumpai orang-orang dari kalangan kelas menengah yang
justru menjadi pendukung status quo.
Diadaptasi dan modifikasi oleh Agus Santosa,
dari Bagong Suyanto dan Karmaji, dalam J. Narwoko dan Bagong
Suyanto, 2006, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan Edisi Kedua,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Source: Klik Disini