- Back to Home »
- SOSIOLOGI XI IPS »
- Struktur Majemuk Masyarakat Indonesia
Posted by : Muhammad Zamroni
Senin, Februari 13, 2012
Tulisan ini disarikan dari sebuah buku
yang ditulis oleh Dr. Nasikun -Fisipol Universitas Gadjah Mada,
diterbitkan oleh Grafiti Pers, pada tahun 1984 (cetakan pertama). Sudah
cukup lama memang, tetapi karena keadaan struktur sosial masyarakat
Indonesia yang bersifat majemuk ini telah sedemikian rupa keadaaannya,
maka ketika buku ini dibaca pada tahun 2011, permasalahan-permasalahan
yang diungkapkan pada buku ini pun –rasanya– masih relevan.
Konsep Kemajemukan/Pluralitas
Struktur masyarakat Indonesia ditandai
oleh dua cirinya yang unik, yaitu (1) secara horizontal, ia ditandai
oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan
perbedaan-perbedaan sukubangsa, agama, adat, serta perbedaan-perbedaan
kedaerahan. Sedangkan (2) secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia
ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan antara lapisan atas dan
lapisan bawah yang cukup tajam.
Perbedaan-perbedaan sukubangsa, agama,
adat, dan kedaerahan seringkali disebut sebagai ciri masyarakat
Indonesia yang bersifat majemuk, suatu istilah yang mula-mula dikenalkan
oleh Furnivall untuk menggambarkan masyarakat Indonesia pada masa
Hindia Belanda. Konsep masyarakat majemuk sebagaimana yang digunakan
oleh ahli-ahli ilmu kemasyarakatan dewasa ini memang merupakan perluasan
dari konsep Furnivall tersebut.
Masyarakat Indonesia pada masa Hindia Belanda, demikianlah menurut Furnivall, merupakan suatu masyarakat majemuk (plural society),
yakni suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang
hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam
kesatuan politik (JS Furnivall, Netherlands India: A Study of Plural
Economy, Cambridge at The University Press, 1967, halaman 446-469).
Catatan penulis:
Istilah plural atau majemuk
sebenarnya berbeda dengan pengertian heterogen. Majemuk atau plural itu
merupakan lawan dari kata singular atau tunggal. Sehingga, masyarakat
plural itu bukan masyarakat yang tunggal. Masyarakat tunggal merupakan
masyarakat yang mendukung satu sistem kebudayaan yang sama, sedangkan
pada masyarakat plural, di dalamnya terdapat lebih dari satu kelompok
baik etnik maupun sosial yang menganut sistem kebudayaan (subkultur)
berbeda satu dengan yang lain. Sebuah masyarakat kota, mungkin tepat
disebut sebagai masyarakat heterogen, sepanjang meskipun mereka berasal
dari latar belakang SARA (sukubangsa, agama, ras, atau pun
aliran/golongan-golongan) yang berbeda, tetapi mereka tidak mengelompok
berdasarkan SARA tersebut. Heterogen lawan dari kondisi yang disebut
homogen. Disebut homogen kalau anggota masyarakat berasal dari SARA yang
secara relatif sama. Disebut heterogen kalau berasal dari SARA yang
saling berbeda, namun –sekali lagi– mereka tidak mengelompok
(tersegmentasi) berdasarkan SARA tersebut.
Sebagai suatu masyarakat majemuk,
Furnivall menyebut Indonesia ketika itu sebagai suatu tipe masyarakat
tropis di mana mereka yang berkuasa dan mereka yang dikuasai memiliki
perbedaan ras. Orang-orang Belanda sebagai golongan minoritas merupakan
penguasa yang memerintah bagian amat besar orang-orang Indonesia prubumi
yang menjadi golongan kelas tiga di negerinya sendiri. Golongan
keturunan Tionghoa, sebagai golongan terbesar di antara orang-orang
keturunan Timur Asing lainnya, menempati kedudukan di antara kedua
golongan tersebut.
Di dalam kehidupan politik, pertanda
paling jelas dari masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk itu adalah
tidak adanya kehendak bersama (common will); masyarakat Indonesia
sebagai keseluruhan terdiri atas elemen-elemen yang terpisah satu sama
lain oleh karena perbedaan ras, masing-masing lebih merupakan kumpulan
individu-individu daripada sebagai suatu kesuluruhan yang organis.
Orang-orang Belanda datang ke Indonesia
untuk bekerja saja, mereka tidak menetap di Indonesia. Kehidupannya
semata-mata adalah di sekitar pekerjaannya saja. Mereka memandang
masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, kebudayaan, dan
masalah-masalah kemasyarakatan lainnya di Indonesia, tidak sebagai warga
masyarakat, apalagi warga negara, melainkan sebagai kapitalis atau
majikan dari buruh-buruh mereka. Banyak memang di antara mereka yang
tinggal di Indonesia sampai kira-kira 20 tahun, tetapi kemudian lebih
suka menghabiskan hari tuanya di negeri Belanda.
Orang-orang Timur Asing, terutama
orang-orang Tionghoa, sama dengan orang-orang Belanda. Mereka datang ke
Indonesia untuk kepentingan ekonomi. Kehidupan orang-orang pribumi pun
demikian juga, kehiduoan mereka semata-mata adalah kehidupan pelayan di
negerinya sendiri.
Tiga golongan masyarakat ini merupakan
masyarakat kasta yang masing-masing mempertahankan atau memelihara cara
berfikir, berperasaan, dan bertindak golongannya, hasilnya adalah tidak
adanya kehendak bersama sebagai suatu masyarakat yang utuh atau organis.
Demikianlah gambaran masyarakat Indonesia
pada masa Hindia Belanda sebagaimana digambarkan oleh Furnivall.
Keadaannya pada masa kini sudah tentu berbeda dari pada masa tersebut.
Namun demikian, mengikuti beberapa modifikasi atas pengertian masyarakat
majemuk yang dicetuskan setelah generasi Furnivall, konsep masyarakat
majemuk tetap dapat digunakan untuk menganalisis struktur sosial
masyarakat Indonesia.
Dengan mengabaikan perwujudannya yang
kongkrit di masa kini, esensi dari konsepsi Furnivall tentang masyarakat
majemuk adalah suatu masyarakat dalam mana sistem nilai yang dianut
oleh berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya adalah
sedemikian rupa sehingga para anggota masyarakat kurang nemiliki
loyalitas terhadap masyarakat sebagai keseluruhan, kurang memiliki
homogenitas kebudayaan, bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling
memahami satu terhadap yang lain.
Tegasnya, suatu masyarakat disebut
majemuk apabila masyarakat tersebut secara struktural memiliki
subkebudayaan-subkebudayaan yang bersifat diverse. Masyarakat
yang demikian ditandai oleh kurang berkembangnya sistem nilai atau
konsensus yang disepakati oleh seluruh anggota masyarakat, oleh
berkembangnya sistem nilai dari kesatuan-kesatuan sosial yang menjadi
bagian-bagiannya dengan penganutan para anggotanya masing-masing secara
tegar dalam bentuknya yang relatif murni, serta oleh sering tumbuhnya
konflik-konflik sosial, atau setidak-tidaknya oleh kurangnya integrasi
dan saling ketergantungan di antara kesatuan-kesatuan sosial yang
menjadi bagian-bagiannya. Sehubungan dengan keadaan yang demikian,
Clifford Geertz menjelaskan bahwa masyarakat majemuk merupakan
masyarakat yang terbagi-bagi ke dalam subsistem-subsistem yang
masing-masing terikat ke dalam ikatan-ikatan yang bersifat primordial.
Dengan cara yang lebih singkat, Pierre L. van den Berghe menyebutkan beberapa karakteristik masyarakat majemuk, sebagai berikut.
- terjadinya segmentasi ke dalam kelompok-kelompok yang seringkali memiliki subkebudayaan yang berbeda satu sama lain,
- memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplementer,
- kurang mampu mengembangkan konsensus di antara para anggota-anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar,
- secara relatif sering kali mengalami konflik-konflik di antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain,
- secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi, serta
- adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok yang lain
Pluralitas Indonesia sesudah Masa Revolusi
Konsep pluralitas/kemajemukan yang dibuat
oleh Furnivall sangat tepat digunakan untuk menggambarkan masyarakat
Indonesia pada masa Hindia Belanda, di mana terdapat tiga golongan yang
saling berbeda, yaitu orang-orang kulit putih, keturunan Tionghoa, dan
pribumi.
Lalu, bagaimana apabila digunakan setelah masa revolusi 1945?
Sejak Indonesia mencapai kemerdeakaannya
pada 17 Agustus 1945, golongan Eropa yang sebelumnya menempati kedudukan
penting, terlempar keluar dari sistem sosial masyarakat Indonesia.
Maka sejak saat itu, pluralitas yang ada adalah pluralitas internal yang
terdapat di antara golongan-golongan pribumi, dan memperoleh artinya
yang lebih penting daripada apa yang dikemukakan oleh Furnivall.
Konfigurasi Etnis Masyarakat Majemuk
Dalam makalah yang disampaikan pada
seminar Pluralitas, Kesenjangan Sosial, dan Integrasi Nasional di
Surabaya tanggal 23 Juli 1990, Dr. Nasikun menyatakan bahwa berdasarkan
konfigurasinya, masyarakat majemuk dapat dibedakan ke dalam empat
kategori, yaitu: (1) masyarakat majemuk dengan kompetisi seimbang, (2)
masyarakat majemuk dengan mayoritas dominan, (3) masyarakat majemuk
dengan minoritas dominan, dan (4) masyarakat majemuk dengan fragmentasi.
Kategori pertama merupakan masyarakat
majemuk yang terdiri atas sejumlah kelompok etnik yang kurang lebih
seimbang, sehingga untuk mencapai integrasi sosial atau pemerintahan
yang stabil diperlukan koalisi lintas-etnis.
Kategori kedua dan ketiga merupakan
varian-varian masyarakat majemuk yang memiliki konfigurasi etnik yang
tidak seimbang, di mana salah satu kelompok etnik tertentu (kelompok
mayoritas pada kategori kedua dan kelompok minoritas pada kategori
ketiga) memiliki competitive advantage yang strategis di hadapan kelompok-kelompok yang lain.
Masyarakat majemuk dengan kategori
keempat (dengan fragmentasi) meliputi masyarakat-masyarakat yang terdiri
atas sejumlah besar kelompok etnik, semuanya dengan jumlah anggota yang
kecil dan tidak satupun memiliki posisi politik yang dominan dalam
masyarakat. Kehidupan politik dalam masyarakat dengan konfigurasi
demikian sangatlah labil, karena ketidakmampuan membangun coalition building
yang diperlukan untuk mengakomodasi konflik-konflik yang pada umumnya
bersifat anarkhis sebagai akibat dari kecurigaan etnik dan hadirnya
pemerintahan yang otoriterian.
Sebab-sebab pluralitas (Mengapa Majemuk?)
Ada beberapa faktor yang menyebabkan mengapa pluralitas masyarakat Indonesia yang demikian itu terjadi. Yang pertama, keadaan
geografik wilayah Indonesia yang terdiri atas kurang lebih tiga ribu
pulau yang terserak di sepanjang equator kurang lebih tiga ribu mil dari
timur ke barat, dan seribu mil dari utara selatan, merupakan faktor
yang sangat besar pengaruhnya terhadap terjadinya pluralitas sukubangsa
di Indonesia.
Ketika nenek moyang bangsa Indonesia yang
sekarang ini mula-mula sekali datang secara bergelombang sebagai
emigran daru daerah yang kita kenal sebagai daerah Tiongkok Selatan pada
kira-kira dua ribu tahun sebelum masehi, keadaan geografik serupa itu
telah memaksa mereka harus tinggal menetap di daerah yang terpisah-pisah
satu sama lainnya. Isolasi geografik demikian di kemudian hari
mengakibatkan penduduk yang menempati setiap pulau atau sebagian dari
pulau di Nusantara ini tumbuh menjadi kesatuan-kesatuan sukubangsa yang
sedikit banyak terisolasi dari kesatuan-kesatuan sukubangsa yang lain.
Setiap kesatuan sukubangsa terdiri atas sejumlah orang yang dipersatukan
oleh ikatan-ikatan emosional, serta memandang diri mereka sebagai suatu
jenis tersendiri. Dengan perkecualian yang sangat kecil, satuan-satuan
sosial itu mengembangkan dan akhirnya memiliki bahasa dan warisan
kebudayaan yang sama. Lebih dari itu, mereka biasanya mengembangkan
kepercayaan bahwa mereka memiliki asal-usul keturunan yang sama, suatu
kepercayaan yang seringkali didukung oleh mitos-mitos yang hidup dalam
masyarakat.
Tentang berapa jumlah sukubangsa yang
sebenarnya ada di Indonesia, ternyata terdapat berbagai pendapat yang
tidak sama di antara para ahli ilmu kemasyarakatan. Hildred Geertz
misalnya menyebutkan adanya lebih kurang tiga ratus sukubangsa di
Indonesia, masing-masing dengan bahasa dan identitas kultural yang
berbeda-beda.
Skinner menyebutkan adanya lebih dari 35
sukubangsa di Indonesia, masing-masing dengan adat istiadat yang tidak
sama. Lebih dari sekedar menyebutkan banyaknya sukubangsa di Indonesia,
Skinner menggambarkan juga perbandingan besarnya sukubangsa-sukubangsa
tersebut. Beberapa sukubangsa yang paling besar sebagaimana disebut oleh
Skinner adalah Jawa, Sunda, Madura, Mingangkabau, dan Bugis. Kemudian
ada beberapa sukubangsa yang lain yang cukup besar, yaitu Bali, Batak
Toba, dan Sumbawa.
Buku Statistik Hindia Belanda menggambarkan prosentasi sukubangsa di Indonesia pada tahun 1930, sebagai berikut.
- Jawa : 47.02 persen
- Sunda : 14,53 persen
- Madura : 7,28 persen
- Minangkabau : 3,36 persen
- Bugis : 2,59 persen
- Batak : 2,04 persen
- Bali : 1,88 persen
- Betawi: 1,66 persen
- Melayu: 1,61 persen
- Banjar : 1,52 persen
- Aceh: 1,41 persen
- Palembang: 1,30 persen
- Sasak: 1,12 persen
- Dayak: 1,10 persen
- Makasar: 1,09 persen
- Toraja: 0,94 persen
- lainnya : 9,54 persen.
Walaupun angka tersebut dibuat pada waktu
yang telah sangat lampau, tetapi melihat angka kelahiran, angka
kematian, atau angka pertumbuhan penduduk, mungkin hal tersebut masih
dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi saat ini.
Mengikuti pengertian sukubangsa yang
dikemukakan oleh para ahli antropologi, Dr. Nasikun menggolongkan
orang-orang Tionghoa sebagai salah satu sukubangsa di Indonesia, dan
berdasarkan laporan Biro Pusat Statistik, dan berdasarkan perkiraan
tambahan penduduk golongan Tionghoa 3 persen, serta dengan mengingat
kurang lebih 100.000 orang Tionghoa kembali ke Tiongkok selama tahun
1959 dan 1960, diperkirakan jumlah orang Tionghoa yang tinggal di
Indonesia pada tahun 1961 sebanyak 2,45 juta orang, sementara penduduk
pribumi waktu itu diperkirakan 90.882 juta orang. Walaupun jumlah orang
Tionghoa sangat kecil dibandingkan dengan penduduk pribumi, tetapi
mengingat kedudukan mereka yang sangat penting dalam kehidupan ekonomi,
mereka sangat mempengaruhi hubungan mereka dengan sukubangsa-sukubangsa
yang lain (yang secara keseluruhan disebut pribumi).
Faktor kedua yang
menyebabkan pluralitas masayarakat Indonesia adalah kenyataan bahwa
Indonesia terletak di antara Samudera Indonesia dan Samudera Pasifik.
Keadaan ini menjadikan Indonesia menjadi lalu lintas perdagangan,
sehingga sangat mempengaruhi terciptanya pluralitas agama di dalam
masyarakat Indonesia.
Telah sejak lama masyarakat Indonesia
memperoleh berbagai pengaruh kebudayaan bangsa lain melalui para
pedagang asing. Pengaruh yang pertama kali menyentuh masyarakat
Indonesia adalah agama Hindu dan Budha dari India sejak kurang lebih
empat ratus tahun sebelum masehi.
Hinduisme dan Budhaisme pada waktu itu
tersebar meliputi daerah yang cukup luas di Indonesia, serta lebur
bersama-sama dengan kebudayan asli yang telah hidup dan berkembang lebih
dulu. Namun, pengaruh Hindu dan Budaha terutama dirasakan di Pulau Jawa
dan Pulau Bali.
Pengaruh kebudayaan Islam mulai memasuki
masyarakat Indonesia sejak abad ke-13, akan tetapi baru benar-benar
mengalami proses penyebaran yang luas pada abad ke-15. Pengaruh Islam
sangat kuat terutama pada daerah-daerah di mana Hindu dan Budha tidak
tertanam cukup kuat. Karena keadaan yang demikian, cara beragama yang
sinkretik sangat terasakan, kepercayaan-kepercayaan animisme, dinamisme
bercampur dengan kepercayaan agama Hindu, Budha, dan Islam. Pengaruh
reformasi agama Islam yang memasuki Indonesia pada permulaan abad ke-17
dan terutama akhir abad ke-19 ternyata tidak berhasil mengubah keadaan
tersebut, kecuali memperkuat pengaruh agama Islam di daerah-daerah yang
sebelumnya memang telah merupakan daerah pengaruh agama Islam. Sementara
itu, Bali masih tetap merupakan daerah agama Hindu.
Pengaruh kebudayaan Barat mulai memasuki
masyarakat Indonesia melalui kedatangan Bangsa Portugis pada permulaan
abad ke-16. Kedatangan mereka ke Indonesia tertarik oleh kekayaan
rempah-rempah di daerah Kepulauan Maluku, suatu jenis barang dagangan
yang sedang laku keras di Eropa pada waktu itu.
Kegiatan missionaris yang menyertai
kegiatan perdagangan mereka, dengan segera berhasil menanamkan pengaruh
agama Katholik di daerah tersebut. Ketika bangsa Belanda berhasil
mendesak bangsa Portugis ke luar dari daerah-daerah tersebut pada
kira-kira tahun 1600-an, maka pengaruh agama Katholik pun segera
digantikan pula oleh pengaruh agama Kristen Protestan. Namun demikian,
sikap bangsa Belanda yang lebih lunak di dalam soal agama apabila
dibandingkan dengan bangsa Portugis, telah mengakibatkan pengaruh agama
Kristen Protestan hanya mampu memasuki daerah-daerah yang sebelumnya
tidak cukup kuat dipengaruhi oleh agama Islam dan Hindu.
Hasil fina dari semua pengaruh kebudayaan
tersebut kita jumpai dalam bentuk pluralitas agama di dalam masyarakat
Indonesia. Di luar Jawa, hasilnya kita lihat pada timbulnya golongan
Islam modernis terutama di daerah-daerah yang strategis di dalam jalur
perdagangan internasional pada waktu masuknya reformasi agama Islam,
golongan Islam konservatif-tradisional di daerah pedalaman-pedalaman,
dan golongan Kristen (Katholik dan Protestan) di daerah-daerah Maluku,
Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Tapanuli, dan sedikit di daerah
Kalimantan Tengah; serta golongan Hindu Bali (Hindu Dharma) terutama di
Bali.
Di Pulau Jawa dijumpai golongan Islam
modernis terutama di daerah-daerah pantai Utara Jawa Tengah dan Jawa
Timur dengan kebudayaan pantainya, serta sebagian besar daerah Jawa
Barat, golongan Islam konservatif-tradisional di daerah-daerah pedalaman
Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta golongan Kristen yang tersebar di
hampir setiap daerah perkotaan Jawa.
Faktor ketiga, iklim yang berbeda-beda
dan struktur yang tidak sama di antara berbagai daerah di kepulauan
Nusantara, telah mengakibatkan pluralitas regional. Perbedaan curah
hujan dan kesuburan tanah merupakan kondisi yang menciptakan dua macam
lingkungan ekologis yang berbeda, yakni daerah pertanian basah (wet rice cultivation) yang terutama banyak dijumpai di Pulau Jawa dan Bali, serta daerah ladang (shifting cultivation) yang banyak dijumpai di luar Jawa.
Struktur Kepartaian Sebagai Wujud Struktur Sosial Masyarakat Indonesia
Apabila perbedaan sukubangsa dan regional
secara sederhana membedakan antara Jawa dan Luar Jawa, perbedaan agama
membedakan golongan Islam Santri, Islam Non-Santri, dan Kristen,
perbedaan lapisan sosial membedakan golongan priyayi dan wong cilik yang
secara simplitis oleh Edward Shills disederhanakan lagi menjadi kota
dan desa, maka konfigurasi semua itu menghasilkan penggolongan
masyarakat ke dalam dua belas golongan, sebagai berikut.
Golongan
|
Islam Santri | Islam NonSantri | Kristen | |||
Daerah | Desa | Kota | Desa | Kota | Desa | Kota |
Jawa | 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 |
Non-Jawa | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 |
12
|
Pengelompokan masyarakat Indonesia serupa
itu membawa akibat yang luas lagi mendalam di dalamn seluruh pola
hubungan-hubungan sosial di dalam masyarakat, di bidang politik,
ekonomi, hukum, kekeluargaan, dan sebagainya.
Timbulnya kematangan kondisi-kondisi
teknis, politis, dan sosial sejak permulaan abad ke-20, dan terutama
sesudah kemerdekaan, telah berhasil mengubah kelompok-kelompok semu
tersebut menjadi berbagai kelompok kepentingan. Salah satu kelompok
kepentingan yang sangat khusus sifatnya adalah yang kemudian kita kenal
sebagai partai politik.
Pada awal pertumbuhannya di Indonesia,
kelompok-kelompok kepentingan semacam itu mula-mula lebih memusatkan
perhatiannya pada kegiatan-kegiatan yang bersifat sosio-kultural
daripada yang bersifat politis. Baru di kemudian hari kelompok-kelompok
kepentingan tersebut mengubah sifatnya menjadi organisasi yang
benar-benar bersifat politis.
Beberapa partai politik, seperti Masyumi
yang menurut hasil Pemilu 1955 merupakan partai paling besar sesudah
PNI, atau Partai Nahdatul Ulama yang merupakan partai paling besar nomor
tiga, kiranya dapat memberikan gambaran tentang struktur kepartaian
yang berbasis pada kelompok-kelompok yang ada pada masyarakat.
Pada tahun 1943, beberapa organisai
keagamaan termasuk Muhammdiyah dan Nahdatul Ulama bergabung ke dalam
suatu organisasi massa dengan nama “Masyumi” (Majelis Syuro Muslimin
Indonesia). Pada permulaan revolusi, organisasi massa tersebut mengubah
dirinya menjadi suatu partai politik yang berdiri di atas landasan
organisasi-organisasi keagamaan dengan Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama
sebagai dua di antara anggota-anggotanya yang paling besar. Persaingan
lama antara Muhammadiyah dan NU, yang bersumber pada perbedaan latar
belakang sosio-kultural di antara pendukung Muhammadiyah dan NU pun
segera terlihat di dalam tubuh Masyumi. Sebagaimana diketahui bahwa
orang-orang Muhammadiyah adalah pendukung gerakan modernisme Islam yang
seringkali dihubungkan dengan ajaran-ajaran Muhammad Abduh dari
Universitas Al-Azhar di Cairo pada abad ke-19. Sekalipun organisasi
Muhammadiyah berpusat di Jawa, tetapi basis pendukungnya terutama
berasal dari Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, dan
daerah-daerah sepanjang pantai Utara Jawa Tengah dan Jawa Timur yang
cenderung bersifat kosmopolitan, kekotaan, dan suka berdagang.
Kebanyakan warga NU –termasuk para
pemimpinnya– merupakan orang-orang yang menolak gerakan modernisme
Islam. Kelahirannya sebagai organisasi keagamaan pada tahun 1926 sendiri
merupakan reaksi atas munculnya gerakan modernisasi Islam yang
dilancarkan oleh Muhammadiyah. Anggota-anggota NU berasal dari
daerah-daerah perdesaan Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan kepercayaan
yang banyak dipengaruhi oleh kepercayaan yang berasal dari agama Hindu
dan kepercayaan Kejawen yang telah hidup jauh sejak sebelum masuknya
agama Hindu di Pulau Jawa.
Konflik dan ketegangan-ketegangan di
antara NU dengan Muhammadiyah pada tubuh Masyumi diakhiri dengan
keluarnya NU dari Masyumi, dan pada tanggal 30 Agustus 1952, bersama
dengan PSII dan PERTI, NU mendirikan Liga Muslimin Indonesia, dan 30
Agustus 1952 itu sendiri dikenal sebagai tanggal berdirinya NU sebagai
sebuah partai politik.
Sebuah partai lain yang pernah menempati
posisi sangat penting di dalam kehidupan politik Indonesia pada
masa-masa silam adalah PNI (Partai Nasional Indonesia). Pada Pemilu 1955
merupakan partai paling besar. Sejak awal kelahirannya (1927), PNI
banyak memperoleh dukungan dari golongan elit birokrasi, yang kebanyakan
adalah elite golongan Jawa yang berpendidikan.
Dukungan yang kemudian menjadi sangat
kuat dari lapisan bawah masyarakat Jawa terjjadi ketika PNI merumuskan
isue tentang Marhaenisme sebagai ideologi partai dan faktor bung Karno
sebagai tokoh (Bapak Marhaenisme).
Pendukung PNI kebanyakan berasal dari
golongan Islam Nominal yang sangat hormat kepada pimpinan birokrasi, dan
karena cenderung menganut kepercayaan animisme dan dinamisme
menyebabkan golongan ini tidak menyukai partai-partai Islam.
Partai lain yang tidak kalah pentingnya
adalah PKI (Partai Komunis Indonesia). Pada Pemilu 1955 partai ini
merupakan terbesar ke-empat. Seperti PNI, pendukung PKI terutama dari
kalangan Islam Non-Santri di daerah-daerah Jawa Tengah dan Timur. Lebih
dari PNI, pendukung (basis massa) PKI terutama di lapisan bawah
masyarakat desa, karenanya di antara partai-partai politik yang ada,
PKI-lah yang lebih memiliki banyak pemimpin dari lapisan bawah.
Popularitas PKI di kalangan bawah, terutama di perdesaan Jawa, setara
dengan PNU.
Sebuah partai yang lebih kecil dari yang
sudah disebut di depan adalah PSI (Partai Sosialis Indonesia). Partai
ini lebih didukung oleh golongan eliter berpendidikan, seperti halnya
PNI, tetapi PSI kurang populer di kalangan masyarakat bawah atau
perdesaan.
Sementara itu ada dua partai yang
didukung oleh orang-orang dari kotak 11 dan 12 pada diagram di atas,
adalah PARKINDO (Partai Kristen Indonesia) dan Partai Katholik
Indonesia. Pengaruh kedua partai ini meliputi daerah-daerah yang
penduduknya menganut agama Katholik dan agama Protestan, seperti Maluku,
Sulawesi Utara, Tapanuli, NTT, dan sedikit di daerah pedalaman
Kalimantan, serta di daerah-daerah perkotaan hampir di seluruh wilayah
Indonesia.
Melihat struktur politik seperti
diuraikan di atas, dapat dimengerti bahwa konflik-konflik di antara
partai-partai politik di masa silam itu lebih merupakan konflik di
antara kelompok-kelompok atau golongan-golongan sosial-kultural
berdasarkan perbedaan sukubangsa, agama, daerah, dan stratifikasi
sosial, walau sebenarnya tidak sesederhana ini. Konflik-konflik partai
politik jauh lebih kompleks dari sekedar bersumber pada
perbedaan-perbedaan di atas.
Gambaran yang diberikan oleh Herberth Feith berikut barangkali lebih dapat menjelaskan.
Feith menjelaskan bahwa konflik-konflik
politik di Indonesia lebih merupakan konflik ideologis yang bersumber
dari ketegangan-ketegangan yang terjadi antara (1) pandangan-pandangan
(ideologi) tradisional (tradisi Hindu-Jawa dan Islam) di satu pihak, dan
(2) pandangan-pandangan (ideologi) modern di lain pihak, yang
perwujudannya adalah konflik ideologis di antara lima aliran pemikiran
politik yang ada, yaitu:
- Nasionalisme Radikal
- Tradisionalisme Jawa
- Islam
- Sosialisme Demokrat, dan
- Komunisme
Pola kepartaian sebagaimana digambarkan
di atas tentu saja telah mengalami perubahan-perubahan. Dibubarkannya
Masyumi, PSI, dan PKI, serta terjadinya fusi partai-partai Islam menjadi
faktor penting perubahan-perubahan itu. Namun, dasar-dasar pemikiran
politik yang bersumber pada perbedaan-perbedaan sukubangsa, agama,
daerah, dan kelas sosial, juga aliran-aliran politik, masih tetap
terbaca pada struktur kepartaian dewasa ini.
Catatan penulis:
Warna dasar kehidupan politik
Indonesia yang menurut Geertz lebih merupakan representasi dari tiga
varian dalam masyarakat, yaitu (1) Santri, (2) Priyayi, dan (3) Abangan,
masih tetap relevan pada masa sekarang ini. Reformasi politik di masa
presiden Soeharto (1973) di mana partai-partai politik yang ada ketika
itu disederhanakan menjadi hanya tiga partai saja (Golkar, Partai
Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI)),
seolah-olah justru mengukuhkan kehidupan politik aliran, di mana Golkar
identik dengan golongan priyayi, PPP identik dengan golongan santri, dan
PDI identik dengan kaum abangan.
Struktur Masyarakat Indonesia dan Masalah Integrasi Nasional
Pluralitas masyarakat yang bersifat
multidimensional itu akan dan telah menimbulkan persoalan-persoalan
tentang bagaimana masyarakat Indonesia terintegrasi secara horizontal
maupun vertikal pada tingkat nasional.
Apabila mengikuti pandangan para penganut
teori fungsionalisme-struktural, sistem sosial senantiasa terintegrasi
di atas landasan dua hal, yaitu: (1) konsensus di antara sebagian besar
anggota masyarakat akan nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat
fundamental, dan (2) anggota-anggota masyarakat sekaligus menjadi
anggota dari berbagai kesatuan sosial (cross-cutting affiliation), sehingga tumbuh cross-cutting loyalities,
loyalitas yang silang-menyilang dari para anggota masyarakat terhadap
kelompok-kelompok atau satuan-satuan sosial di mana mereka menjadi
anggotanya.
Ketika hal ini diterapkan di suatu
masyarakat majemuk akan berhadapan dengan rendahnya kemampuan
elemen-elemen dalam masyarakat majemuk membangun konsensus tentang
nilai-nilai dasar sebagaimana dikemukakan oleh van den Berghe.
Segmentasi ke dalam bentuk satuan-satuan sosial yang masing-masing
terikat oleh ikatan-ikatan yang sifatnya primordial, mudah sekali
menimbulkan konflik-konflik yang terjadi baik pada tingkat ideologis
maupun politis.
Pada tingkat ideologis, konflik tersebut
terwujud di dalam bentuk konflik antara sistem nilai yang dianut oleh
(serta menjadi ideologi) satuan-satuan sosial. Pada tingkat politik,
konflik-konflik di antara elemen-elemen dalam masyarakat majemuk terjadi
dalam bentuk pertentangan dalam pembagian kekuasaan dan sumber-sumber
ekonomi. Dalam situasi konflik, sadar atau tidak setiap pihak yang
berselisih akan berusaha mengabadikan diri dengan cara memperkokoh
solidaritas ke dalam di antara sesama anggotanya dengan cara memperkokoh
solidaritas ke dalam, membentuk organisasi-organisasi kemasyarakatan
untuk keperluan kesejahteraan dan pertahanan bersama: mendirikan
sekolah-sekolah untuk memperkuat identitas kultural, bersaing di dalam
bidang pendidikan, sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya.
Mengikuti pandangan Parsons, kelangsungan
hidup masyarakat Indonesia tidak saja menuntut tumbuhnya nilai-nilai
umum tertentu yang disepakati bersama oleh sebagian besar orang-orang
Indonesia, akan tetapi lebih dari itu, nilai-nilai umum tersebut harus
pula dihayati benar melalui proses sosialisasi dan internalisasi.
Pada derajat tertentu, pengakuan
bertumpah darah satu, berkebangsaan satu, dan berbahasa satu, yang
tumbuh sebagai hasil gerakan nasionalisme pada permulaan abad ke-20 yang
berjiwa anti-kolonialisme itu, merupakan konsensus nasional yang
memiliki daya tiada terkira di dalam mengintegrasikan masyarakat
Indonesia sampai pada saat ini.
Pandangan para penganut pendekatan konflik, bahwa masyarakat majemuk dapat terintegrasi di atas paksaan (coercion)
dari suatu kelompok-kelompok atau kesatuan sosial yang dominan,
memperoleh kebenaran paling tidak pada masyarakat Indonesia di zaman
kolonial, di mana terdapat sejumlah kecil orang-orang kulit putih dengan
kekuasaan politik, militer, dan ekonominya yang mampu menguasai
sejumlah besar orang yang terpisah-pisah secara etnis, ekonomi, politik,
ideologis, maupun budaya ke dalam satuan-satuan sosial yang banyak
sekali jumlahnya.
Konsensus atau paksaan?
Mengikuti pemikiran R. William Lidle,
konsensus nasional merupakan prasyarat bagi tumbuhnya integrasi
nasional, karena integrasi nasional yang tangguh hanya dapat berkembang
apabila, (1) sebagian besar anggota masyarakat sepakat tentang
batas-batas teritorial kehidupan politik dalam mana
mereka menjadi warganya, dan (2) sebagian besar warga masyarakat sepakat
tentang struktur pemerintahan dan aturan-aturan dari proses-proses
politik yang berlaku bagi seluruh masyarakat di wialayah teritorial
tersebut.
Dengan kata lain, integrasi nasional
hanya dapat tumbuh di atas konsensus mengenai batas-batas suatu
masyarakat politik dan sistem politik yang berlaku bagi seluruh
masyarakat tersebut; yang pertama: kesadaran sebagai warga sebuah bangsa
dan yang kedua konsensus mengenai bagaimana suatu kehidupan bangsa
diselenggarakan, termasuk sistem nilai yang mendasari hubungan-hubungan
sosial di antara para anggota suatu bangsa.
Pancasila sebagai dasar dan falsafah atau
ideologi negara dalam tataran yang sangat umum dapat dinyatakan sebagai
kesepakatan nasional tentang nilai-nilai yang bersifat dasar. Kemudian,
perundang-undangan yang lahir dari sistem politik yang ada, dapat
dikatakan sebagai kesepakatan menganai bagaimana kehidupan bangsa ini
diselenggarakan.
Walaupun demikian, seperti berulang
disampaikan, pembahasan tentang bagaimana masyarakat majemuk
terintegrasi dalam tingkat nasional tidak dapat dilihat dari sudut
pandang teori struktural fungsional. Sifat majemuk masyarakat Indonesia
memang telah menjadi sebab dan kondisi bagi timbulnya konflik-konflik
sosial yang sedikit banyak bersifat vicious circle, dan yang oleh karenanya mendorong tumbuhnya proses integrasi sosial di atas landasan coercion.
Bentuk struktur sosial dan integrasi nasional
Sesudah revolusi kemerdekaan, konflik di
antara golongan-golongan di dalam masyarakat Indonesia berubah menjadi
tidak bersifat eksklusif lagi. Perbedaan sukubangsa, yang pada masa
penjajahan lebih merupakan perbedaan ras, tidak lagi jatuh berhimpitan
dengan perbedaan-perbedaan agama, daerah, dan pelapisan sosial.
Perbedaan antara sukubangsa Jawa dan luar Jawa tidaklah dengan
sendirinya merupakan perbedaan antara golongan Islam Santri, golongan
Abangan, dan golongan Kristen. Mereka yang berasal dari
sukubangsa-sukubangsa berbeda-beda dapat bersama-sama menjadi anggota
dari suatu golongan agama yang sama, demikian juga sebaliknya. Struktur
demikian, menurut Peter M. Blau disebut struktur sosial yang mengalami
interseksi (intersection social structure), yang fungsinya
positif atau mendukung terciptanya integrasi sosial. Berbeda dengan
struktur sosial yang berhimpitan yang disebut consolidated social structure (struktur sosial terkonsolidasi) yang menghambat terciptanya integrasi sosial.
Catatan penulis:
Secara sosiologis, terdapat dua
pendekatan untuk menjawab persoalan integrasi sosial/nasional dalam
masyarakat majemuk, yaitu (1) ada tidaknya konsensus yang lebih
menekankan pada dimensi budaya (teori struktural fungsional), dan (2)
ada-tidaknya ketergantungan di antara kelompok-kelompok yang ada, atau
ada-tidaknya kelompok dominan. Pandangan yang kedua ini lebih menekankan
dimensi struktural (teori struktural konflik).
Menurut pendekatan konsensus (teori
struktural fungsional) integrasi dapat dicapai melalui suatu kesepakatan
tentang nilai dasar, atau semacam common platform di antafra
kelompok-kelompok atau satuan-satuan sosial yang ada; sedangkan menurut
pendekatan konflik, integrasi hanya dapat dicapai melalui dominasi satu
kelompok atas lainnya, atau adanya saling ketergantungan di antara
kelompok-kelompok yang ada.
Terciptanya integrasi sosial/nasional
dalam masyarakat majemuk dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain:
(1) struktur sosialnya, apakah mengalami interseksi atau
konsolidasi, (2) faham atau ideologi, yang berkembang dalam masyarakat
apakah ethnosentrisme, primordialisme, aliran, sektarianisme, dan
lain-lain, ataukah faham relativisme kebudayaan, (3) apakah dapat
berlangsung koalisi lintas-etnis/kelompok, (4) apakah dapat membangun
konsensus tentang nilai dasar, (5) apakah berlangsung proses-proses
menuju akulturasi budaya majemuk, (6) adakah dalam masyarakat tersebut
kelompok dominan, atau (7) apakah di antara kelompok-kelompok yang ada
terdapat saling ketergantungan, terutama di bidang ekonomi.
Struktur sosial yang bersifat
intersected, berkembangnya faham relativisme kebudayaan, koalisi
lintas-etnis, konsensus tentang nilai dasar, akulturasi budaya majemuk,
dan adanya kelompok dominan merupakan faktor-faktor yang mendorong
berlangsungnya integrasi sosial dalam masyarakat majemuk.
Sumber:
Nasikun. 1984. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT Grafiti Pers.
Nasikun. 1990. Masyarakat Majemuk dabn
Dinamika Integrasi Nasional. Suatu Tinjauan Sosiologis. Makalah
disampaikan pada Seminar Pluralitas, Kesenjangan Sosial, dan Integrasi
Nasional dalam rangka HUT KNPI ke17, 23 Juli 1990 di Surabaya.
Source: Klik Disini