tag:blogger.com,1999:blog-78663887578070078262024-03-05T21:57:27.128+07:00Hidup Adalah PilihanDiary of my lifeMuhammad Zamronihttp://www.blogger.com/profile/10110306643251368312noreply@blogger.comBlogger33125tag:blogger.com,1999:blog-7866388757807007826.post-85381725095896548642012-02-13T21:46:00.000+07:002012-02-13T21:54:58.379+07:00Perubahan Sosial, Modernisasi, dan Pembangunan<b>Pengantar<br />
</b><br />
<div style="text-align: justify;">
Sebagaimana telah dinyatakan oleh Comte,
sosiologi dibedakan menjadi sosiologi statik dan sosiologi dinamik.
Walaupun kajian sosiologi di sekolah menengah lebih menekankan segi-segi
statika, seperti pada pokok bahasan struktur sosial, kelompok dan kelas
sosial, institusi, nilai dan norma, dan sebagainya, tetapi sebenarnya
juga telah menyentuh aspek-aspek dinamik atau perubahan-perubahan yang
terjadi pada masyarakat, seperti hubungan dan dinamika kelompok sosial
dalam masyarakat majemuk dan mobilotas sosial, sertu tentu saja kajian
spesifik tentang perubahan sosial, modernisasi, dan pembangunan.<span id="more-89"></span></div>
<b>Apa yang dimaksud dengan perubahan sosial?</b><br />
Kingsley Davis memberikan pengertian bahwa perubahan-perubahan yang
terjadi pada struktur dan fungsi masyarakat, sedangkan Selo Soemardjan
menyatakan bahwa perubahan sosial merupakan perubahan-perubahan yang
terjadi pada lembaga kemasyarakatan yang mempengaruhi sistem sosialnya,
termasuk di dalamnya nilai, sikap, pola perilaku di antara
kelompok-kelompok dalam masyarakat.<br />
<b>Bagaimana kalau perubahan sosial dibandingkan dengan perubahan kebudayaan?</b><br />
<div style="text-align: justify;">
Secara singkat dapat dibedakan bahwa,
perubahan sosial merupakan perubahan yang terjadi pada struktur dan
proses sosial (konfigurasi dan hubungan di antara unsur-unsur sosial),
sedangkan perubahan kebudayaan terjadi pada struktur kebudayaan
(nilai/idea, pola bertindak, dan artefak).</div>
<div style="text-align: justify;">
Apabila menggunakan pemikiran struktur
kebudyaan, maka ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih luas daripada
perubahan sosial. Perubahan sosial terbatas pada perubahan sistem
tindakan (sistem sosial), sedangkan perubahan kebudayaan meliputi semua
perubahan pada aspek kebudayaan masyarakat, yang meliputi (1) sistem
idea, (2) sistem sosial, dan (3) sistem artefak. Namun, apabila
menggunakan pendekatan bahwa masyarakat dan kebudayaan merupakan dwi
tunggal, sehingga masyarakat merupakan wadah dan kebudayaan merupakan
isi, maka perubahan sosial lebih luas ruang lingkupnya daripada
perubahan kebudayaan. Karena perubahan sosial akan meliputi semua
perubahan yang terjadi pada masyarakat. Perubahan kebudayaan merupakan
perubahan pada isi. Sehingga, perubahan kebudayaan merupakan bagian dari
perubahan sosial.</div>
Lepas dari beda sudut pandang tentang ruang lingkup perubahan sosial
dan perubahan kebudayaan, yang lebih penting diketahui adalah hubungan
di antara keduanya.<br />
<div style="text-align: justify;">
Pernahkan Anda membayangkan, perubahan
interaksi sosial dari bersifat otoriter menjadi ekualiter apakah mungkin
terjadi apabila tidak didahului oleh adanya perubahan nilai-nilai
berkenaan dengan tanggapan orang terhadap orang lain dari yang bersifat
vertikal (feodal) menjadi horizontal (demokratis)?Kemudian apa yang
terjadi apabila dalam masyarakat terjadi perubahan-perubahan unsur
kebudayaan seperti seni tari, seni musik, dan seterusnya, apakah akan
mempengaruhi unsur-unsur sosial? Bandingkan dengan ketika suatu negara
mengubah undang-undang dasarnya, apakah akan diikuti oleh
perubahan-perubahan pada struktur dan proses sosial?</div>
<div style="text-align: justify;">
Berdasarkan hal tersebut, dapat ditarik
semacam kesimpulan bahwa perubahan sosial selalu diawali oleh perubahan
kebudayaan. Tetapi tidak semua perubahan unsur kebudayaan diikuti oleh
perubahan sosial, hanya perubahan-perubahan unsur kebudayaan yang
fundamental saja yang diikuti oleh perubahan sosial. Misalnya perubahan
undang-undang dasar. Perubahan unsur-unsur seni tidak akan diikuti oleh
perubahan sosial, karena tidak bersifat fundamental.</div>
<b>Mengidentifikasi perubahan sosial</b><br />
<div style="text-align: justify;">
Perubahan sosial dapat diketahui bahwa
telah terjadi dalam masyarakat dengan membandingkan keadaan pada dua
atau lebih rentang waktu yang berbeda. Misalnya struktur masyarakat
Indonesia pada masa pra kemerdekaan, setelah merdeka, orde lama, orde
baru, reformasi, dst.</div>
<div style="text-align: justify;">
Yang harus dipahami adalah bahwa suatu
hal baru yang sekarang ini bersifat radikal, mungkin saja beberapa tahun
mendatang akan menjadi konvensional, dan beberapa tahun lagi akan
menjadi tradisional.</div>
Bahwa perubahan sosial dapat dipastikan terjadi dalam masyarakat, karena adanya ciri-ciri sebagai berikut.<br />
<ul>
<li>Tidak ada masyarakat yang berhenti berkembang, setiap masyarakat pasti berubah, hanya ada yang cepat dan ada yang lambat</li>
<li>Perubahan yang terjadi pada lembaga sosial tertentu akan diikuti perubahan pada lembaga lain</li>
<li>Perubahan sosial yang cepat akan mengakibatkan disorganisasi sosial</li>
<li>Disorganisasi sosial akan diikuti oleh reorganisasi melalui berbagai adaptasi dan akomodasi</li>
<li>Perubahan tidak dapat dibatasi hanya pada bidang kebendaan atau spiritual saja, keduanya akan kait-mengkait</li>
</ul>
<b>Tipologi perubahan</b><b> </b><br />
<b>Perubahan Siklus dan Linier</b><br />
<b>Perubahan siklus</b><br />
Perubahan-perubahan berpola siklus diterangkan antara lain oleh
Arnold Toynbe, Oswald Spengler, dan Vilfredo Pareto, bahwa masyarakat
berkembang laksana suatu roda, kadangkala naik ke atas, kadang kala
turun ke bawah. Spengler dalam bukunya <i>The Decline of The West</i>
menyatakan bahwa kebudayaan tumbuh, berkembang dan pudar laksana
perjalanan gelombang yang muncul mendadak, berkembang, kemudian lenyap<br />
<b>Perubahan linier</b><br />
Perubahan berpola linier dianut oleh Comte, Spencer, Durkheim, Weber,
Parsons, dst., bahwa kemajuan progresif masyarakat mengikuti suatu
jalan yang linier, dari suatu kondisi ke kondisi lain, misalnya dari
tradisional menjadi modern, dari agraris ke industria, atau sebagaimana
yang dikemukakan oleh Alvin Tofler bahwa masyarakat akan bergerak dari
masyarakat gelombang I yang agraris, menuju ke gelombang II yang
industrial, dan akhirnya gelombang III masyarakat informasi, dan
sebagainya.<br />
<img alt="" src="http://agsasman3yk.wordpress.com/WINDOWS/TEMP/moz-screenshot.jpg" /><br />
<b>Evolusi dan Revolusi</b><br />
Evolusi merupakan perubahan yang berangsung secara lambat. Menurut <i>uniliniar theory of evolution</i><i> </i>, evolusi berlangsung melalui tahap-tahap evolusi tertentu, menurut <i>universal theory of evolution,</i> perubahan yang terjadi secara lambat dan mengikuti garis evolusi tertentu, sedangkan menurut <i>multilineal theory of evolution</i>,
perubahan evolusi tidak mengikuti tahap atau garis evolusi tertentu,
karena perubahan pada suatu unsur dapat mengakibatkan perubahan pada
unsur lain, sehingga bersifat <i>multilineal</i>.<br />
<b> </b><br />
Sedangkan, revolusi merupakan perubahan yang berlangsung cepat,
radikal, dan/atau menyangkut nilai-nilai dan unsur-unsur yang mendasar.<br />
Revolusi dapat berlangsung dalam kehidupan ekonomi, sosial, politik,
maupun kebudayaan. Dalam kehidupan politik, revolusi politik terjadi
apabila: (1) ada keinginan umum, (2) ada pemimpin, (3) pemimpin tadi
dapat menampung aspirasi, (4) pemimpin tadi dapat menunjukkan tujuan
yang konkrit maupun yang abstrak paska revolusi, dan (5) ada momentum
yang tepat. Dapat dibayangkan, Revolusi Indonesia pada 17 Agustus 1945,
dapat terjadi karena adanya momentum yang tepat, pembomam Hiroshima dan
Nagasaki yang membuat Jepang lumpuh.<br />
<b>Perubahan Progresif dan regresif</b><br />
Perubahan progresif merupakan perubahan ke arah kemajuan, sedangkan
regresif merupakan perubahan menuju kea rah keadaan yang lebih buruk
(mundur).<br />
<b>Peubahan intended (diinginkan) dan unintended (tidak diinginkan)<br />
</b><br />
Perubahan intended merupakan perubahan yang diinginkan atau
direncanakan (planned change), misalnya pembangunan, sedangkan
unintended merupakan perubahan-perubahan yang tidak diinginkan (dapat
berupa dampak dari suatu perubahan).<br />
<b>Mengapa masyarakat mengalami perubahan?</b><br />
Masyarakat mengalami perubahan disebabkan oleh baik faktor-faktor
yang bersifat internal maupun eksternal, baik yang bersifat material
ataupun nonmaterial/ideologis.<br />
David Mc Clelland menyebut faktor hasrat meraih prestasi (n-Ach =
need for achievement) sebagai faktor perubahan, sedangkan Alvin Betrand
menyebut faktor komunikasi sebagai faktor perubahan yang penting.<br />
<b>Faktor-faktor penyebab perubahan</b><br />
Apabila dibedakan menurut asal faktor, maka faktor-faktor penyebab
perubahan dapat dibedakan antara faktor-faktor internal dan eksternal.<br />
<b>Faktor-faktor eksternal</b>, atau faktor-faktor yang
beasal dari luar masyarakat, dapat berupa: (1) pengaruh kebudayaan
masyarakat lain, yang meliputi proses-proses difusi (penyebaran unsur
kebudayaan), akulturasi (kontak kebudayaan), dan asimilasi (perkawinan
budaya), (2) perang dengan negara atau masyarakat lain, dan (3)
perubahan lingkungan alam, misalnya disebabkan oleh bendana.<br />
<b>Faktor-faktor internal, </b>merupakan faktor-faktor
perubahan yang berasal dari dalam masyarakat, misalnya (1) perubahan
aspek demografi (bertambah dan berkurangnya penduduk), (2) konflik
antar-kelompok dalam masyarakat, (3) terjadinya gerakan sosial dan/atau
pemberontakan (revolusi), dan (4) penemuan-penemuan baru, yang meliputi
(a) discovery, atau penemuan ide/alat/hal baru yang belum pernah
ditemukan sebelumny (b) invention, penyempurnaan penemuan-penemuan pada
discovery oleh individu atau serangkaian individu, dan (c) inovation,
yaitu diterapkannya ide-ide baru atau alat-alat baru menggantikan atau
melengkapi ide-ide atau alat-alat yang telah ada.<br />
<b>Faktor material dan immaterial</b><br />
Faktor-faktor penyebab perubahan menurut jenisnya dapat dibedakan
antara faktor-faktor yang bersifat material dan yang bersifat
immaterial. Faktor-faktor yang bersifat material, meliputi: (1)
perubahan lingkungan alam, (2) perubahan kondisi fisik-biologis, dan
(3) alat-alat dan teknologi baru, khususnya Teknologi Informasi dan
Komunikasi.<br />
Sedangkan faktor-faktir yang bersifat nonmaterial, meliputi: (1) ilmu
pengetahuan, dan (2) ide-ide atau pemikiran baru, ideologi, dan
nilai-nilai lain yang hidup dalam masyarakat.<br />
<b>Max Weber</b> menyatakan bahwa industrialisasi dan
modernisasi di Eropa Barat pada abad ke-19 bersumber pada pandangan
hidup agama Kristen Protestan (baca: Weber dalam <i>The Protestan Ethic and The Spirit of Capitalism)</i>. <b>Robert N. Bellah</b>
mengkaji tentang pengaruh agama Tokugawa terhadap perkembangan Jepang
yg menghasilkan Restorasi Meiji. Ajaran Tokugawa: tentang bekerja keras
dan menghindari pemborosan waktu, hidup hemat, serta jujur.<br />
Di samping dikenal adanya faktor penyebab perubahan, berikut
diidentifikasi tentang faktor-faktor pendorong dan penghambat perubahan.<br />
Faktor pendorong perubahan:<br />
<ol>
<li>Kontak/komunikasi dengan kelompok/kebudayaan lain</li>
<li>Pendidikan yang maju</li>
<li>Need for Achievement (n-Ach)</li>
<li>Sikap menghargai orang lain dan kebudayaannya</li>
<li>Toleransi</li>
<li>Struktur sosial (stratifikasi) terbuka</li>
<li>Penduduk yang heterogen</li>
<li>Ketidakpuasan terhadap keadaan</li>
<li>Orientasi ke masa depan</li>
</ol>
Faktor penghambat perubahan<br />
<ol>
<li>Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain</li>
<li>Perkembangan IPTEK yang terhambat</li>
<li>Sikap masyarakat yang tradisional</li>
<li>Vested interested</li>
<li>Ketakutan akan terjadi kegoyahan dalam sistem sosial apabila terjadi perubahan</li>
<li>Prasangka terhadap hal baru</li>
<li>Hambatan ideologis (nilai sosial)</li>
<li>Hambatan adat dan tradisi</li>
</ol>
<b>Industrialisasi, Urbanisasi dan Modernisasi</b><br />
Modernisasi merupakan proses menjadi modern. Istilah modern berasal
dari kata modo yang artinya yang kini. Sehingga, modernisasi dapat
diartikan sebagai cara hidup yang sesuai dengan situasi yang kini ada,
atau konteks masa sekarang. Apabila cara hidup suatu masyarakat
seperti yang diwariskan oleh nenek-moyang atau generasi pendahulunya,
masyarakat tersebut disebut masyarakat tradisional. Istilah tradisi
berasal dari kata traditum yang artinya warisan.<br />
Tekanan pengertian modernisasi adalah pada teknologi dan organisasi sosial.<br />
Menurut <b>Samuel Huntington </b>proses modernisasi mengandung beberapa ciri pokok sebagai berikut:<br />
<ol>
<li>Merupakan proses bertahap, dari tatanan hidup yang primitif-sederhana menuju kepada tatanan yang lebih maju dan kompleks</li>
<li>Merupakan proses homogenisasi. Modernisasi membentuk struktur dan
kecenderungan yang serupa pada banyak masyarakat. Penyebab utama proses
homogenisasi ini adalah perkembangan teknologi informasi, komunikasi dan
transportasi. Contoh: fenomena coca colonization, Mc world serta
californiazation.</li>
<li>Terwujud dalam bentuk lahirnya sebagai: Amerikanisasi dan Eropanisasi</li>
<li>Merupakan proses yang tidak bergerak mundur, tidak dapat dihindrkan dan tidak dapat dihentikan</li>
<li>Merupakan proses progresif (ke arah kemajuan), meskipun tidak dapat dihindari adanya dampak (samping).</li>
<li>Merupakan proses evolusioner, bukan revolusioner dan radikal; hanya
waktu dan sejarah yang dapat mencatat seluruh proses, hasil maupun
akibat-akibat serta dampaknya</li>
</ol>
Alex Inkeles dan David Smith mengemukakan ciri-ciri individu modern, sebagai berikut:<br />
<ol>
<li>Memiliki alam pikiran (state of mind) yang terbuka terhadap pengalaman baru</li>
<li>Memiliki kesanggupan membentuk dan menghargai opini</li>
<li>Berorientasi ke depan</li>
<li>Melakukan perencanaan</li>
<li>Percaya terhadap ilmu pengetahuan</li>
<li>Memiliki keyakinan bahwa segala sesuatu dapat diperhitungkan</li>
<li>Menghargai orang lain karena prestasinya</li>
<li>Memiliki perhatian terhadap persoalan politik masyarakat</li>
<li>Mengejar fakta dan informasi</li>
</ol>
<b>Modernisasi sebagai proses industrialisasi dan urbanisasi</b><br />
Menjadi modern identik dengan menjadi kota atau menjadi industri.
Sehingga perubahan dari tradisional ke modern, akan identik dengan
peubahan dari situasi desa menjadi kota, dan perubahan dari kehidupan
agraris ke industri.<br />
Talcott Parson menyebut variable-variabel yang berubah dalam perubahan itu, yaitu<br />
<ol>
<li style="text-align: justify;">“Affektivity” ke “Affective Neutrality”.
Dari hubungan-hubungan dan tindakan yang didasarkan pada perasaan, ke
hubungan-hubungan dan tindakan yang didasarkan pada pertimbangan
rasional atau kepentingan tertentu. Modernisasi dan industrialisasi
membuat warga masyarakat mampu menunda kesenangan, yang kalau dalam
aktivitas ekonomi akan muncul sebagai investasi.</li>
<li>“Partikularisme” ke “Universalisme”. Dari interaksi dan komunikasi
yang terbatas pada kelompok-kelompok, golongan-golongan, atau
aliran-alirann, berubah ke lingkup yang lebih luas (universal).</li>
<li>“Orientasi Kolektif” ke “Orientasi Diri”. Dari orientasi hidup untuk kepentingan kelompok ke kepentingan diri.</li>
<li>“Askriptif” ke “Achievement”. Dari penghargaan kepada faktor-faktor
bawaan lahir, berubah kepada penghargaan-penghargaan berdasarkan
prestasi.</li>
<li>“Functionally diffused” ke “Functionally specified”. Dari cara kerja
yang bersifat umum dan serba meliputi, berubah menjadi berdasarakan
kekhususan atau spesialiasi yang dibatasi oleh konteks ruang dan waktu.
Bandingkan hubungan antara orangtua – anak dengan guru – murid. Orangtua
– anak tidak terbatas oleh ruang dan waktu, sedangkan guru – murid
dibatasi oleh ruang dan waktu.</li>
</ol>
<b>PEMBANGUNAN</b><br />
Pembangunan merupakan perubahan sosial dengan ciri-ciri sebagai berikut.<br />
<ol>
<li>Merupakan perubahan untuk mewujudkan suatu kondisi kehidupan yang lebih baik dari yang sekarang</li>
<li>Meliputi seluruh aspek kehidupan: fisik, sosial, ekonomi, politik maupun kebudayaan</li>
<li>Kuantitatif dan kualitatif</li>
<li>Secara sadar dilakukan</li>
<li>Menggunakan perencanaan (<i>social planning</i>)</li>
<li>Menghasilkan perubahan sosial dan kebudayaan</li>
<li>Dalam prosesnya memerlukan perubahan sosial dan kebudayaan</li>
<li>Bermuara pada kondisi ideal (maka pembangunan merupakan proses yang tidak pernah selesai)</li>
</ol>
KONSEP TENTANG NEGARA BERKEMBANG<br />
<div style="text-align: justify;">
Dulu pernah disebut “backward nations”
dengan ciri: (1) kemelaratan kronis, (2) kemelaratan tersebut bukan
karena tiadanya SDA, tetapi teknik produksi yg usang.</div>
<div style="text-align: justify;">
Istilah tersebut dinilai merendahkan dan
tidak menghargai martabat bangsa-bangsa yang dimaksud, kemudian disebut
“underdeveloped” atau “lower developed countries” (LDC), yg dihadapkan
dng developed atau more developed countries (MDC). Istilah diperbarui
menjadi ”developing countries”= negara-negara sedang berkembang. Dalam
Konferensi Asia Afrika (Bandung, 1955), sebutan tersebut diubah menjadi
“Negara-negara Selatan”. Di lain pihak adalah Negara-negara Utara.
Latar belakang istilah ini adalah bahwa kenyataan sebagian besar
negara-negara yang dimaksud berada di belahan bumi selatan, walaupun
tidak semuanya. Australia meskipun berada di belahan bumi selatan,
tetapi tidak termasuk kelompok negara-negara ini.</div>
<div style="text-align: justify;">
Sebutan yang lain: DUNIA KETIGA. Sisi
lain: DUNIA PERTAMA dan KEDUA. Dunia pertama adalah negara-negara maju,
sedangkan dunia kedua adalah negara-negara sosialis di Eropa Timur.</div>
PERMASALAHAN DI NEGARA BERKEMBANG<br />
<ol>
<li>Tingkat kehidupan yang rendah</li>
<li>Produktivitas yang rendah</li>
<li>Pertumbuhan penduduk dan angka ketergantungan (Dependency Ratio) yang tinggi</li>
</ol>
Ketiga permasalahan ini melahirkan kemiskinan dan saudara kembarnya
keterbelakangan, dan membentuk lingkaran setan yang tidak ada ujung
pangkalnya. Sehingga, permasalahan utama pembangunan negara-negara
berkembang adalah bagaimana mengeluarkan orang dari lingkaran ini.<br />
MACAM-MACAM KEMISKINAN<br />
Menurut jenisnya:<br />
<ol>
<li>Absolut (mutlak)</li>
<li>Relatif (nisbi)</li>
<li>Subjektif</li>
</ol>
Menurut penyebabnya:<br />
<ol>
<li>Kemiskinan struktural</li>
<li>Kemiskinan kultural</li>
<li>Kemiskinan Natural</li>
</ol>
Penjelasan:<br />
Kemiskinan Absolut<br />
Ketika sumber daya ekonomi seseorang tidak mencukupi untuk memenuhi
kebutuhannya yang paling dasar. Patokannya adalah Garis Kemiskinan.<br />
Garis Kemiskinan<br />
Tentang garis kemiskinan Prof. Sayogya, menggunakan ukuran tingkat
konsumsi yang ekuivalen dengan 240 kg beras/kapita/tahun di desa, atau
360 kg beras/kapita/tahun di kota.<br />
Atau dapat juga menggunakan Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) yang
ukurannya adalah kemampuan suatu keluarga memenuhi sembilan bahan
kebutuhan pokok (sembako). Wujud real KFM adalah ditetapkannya Upah
Minimum Propinsi (UMP) yang sebelumnya disebut sebagai UMR (Upah Minimum
Regional). Sebagai gambaran, pada tahun 2010 ini Serikat Pekerja
Seluruh Indonesia menyepakati bahwa UMP Daerah Istimewa Yogyakarta
sebesar Rp802.000/pekerja/bulan, dengan asumsi seorang pekerja
menanggung beban seorang isteri dan dua orang anak.<br />
Kemiskinan Relatif<br />
Kemiskinan relatif merupakan kemiskinan akibat adanya perbandingan
kelas-kelas pendapatan. Pengertian kemiskinan relatif menurut BPS
(2008) adalah “suatu kondisi miskin karena pengaruh kebijakan
pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat
sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan”.<br />
Kemiskinan subjektif<br />
Dalam pengertian kemiskinan subyektif, setiap orang mendasarkan
pemikirannya sendiri dengan menyatakan bahwa kebutuhannya tidak
terpenuhi secara cukup walaupun secara absolut atau relatif sebenarnya
orang itu tidak tergolong miskin.<br />
Kemiskinan natural<br />
Kemiskinan natural merupakan kemiskinan yang bersumber atau
disebabkan oleh karenanya minimnya sumberdaya alam yang dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
hidupnya.<br />
Kemiskinan Kultural<br />
Kemiskinan yang disebabkan oleh sikap hidup masyarakat yang diwarnai oleh The culture of Poverty (kebudayaan kemiskinan).<br />
<div style="text-align: justify;">
Pengertian budaya miskin (<i>cultur of poverty</i>)
yang dikemukakan Oscar Lewis digunakan berbagai pihak sebagai rujukan
untuk merumuskan pengertian kemiskinan kultural, sebagai kemiskinan yang
diakibatkan oleh faktor-faktor adat dan budaya suatu daerah tertentu
yang membelenggu seseorang tetap melekat dengan indikator kemiskinan,
seperti</div>
1) sikap malas dan rendahnya etos kerja serta sikap pasrah menerima nasib<br />
2) mengutamakan status dari pada fungsi dan prestasi<br />
3) mentalitas meremehkan mutu<br />
4) sikap tidak disiplin dan tidak menghargai waktu<br />
5) sikap tidak jujur<br />
6) hidup bermewah-mewah (hedonis) dan boros; ketidakmampuan menunda kesenangan (affectivity)<br />
7) tiadanya sikap percaya diri (mentalitas bangsa terjajah)<br />
8) prasangka buruk terhadap perubahan dan pembangunan<br />
<br />
Kemiskinan struktural<br />
<div style="text-align: justify;">
Kemiskinan struktural adalah kemiskinan
yang ditengarai disebabkan oleh kondisi struktur atau tatanan kehidupan
yang tidak menguntungkan, bukan oleh sebab-sebab atau faktor-faktor
yang alami atau faktor-faktor pribadi dari orang miskin itu sendiri,
melainkan oleh sebab tatanan sosial yang tidak adil.</div>
Tatanan yang tidak adil ini menyebabkan banyak masyarakat gagal untuk
mengakses sumber-sumber yang dibutuhkan untuk mengembangkan dirinya
maupun untuk meningkatkan kualitas kehidupannya.<br />
<div style="text-align: justify;">
Faktor-faktor tersebut utamanya
ditengarai berasal dari pemerintah dan struktur-struktur kekuasaan yang
berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Faktor-faktor penyebab dalam
pengertian kemiskinan struktural antara lain kebijakan sosial yang tidak
berpihak kepada masyarakat, penguasaan sumberdaya secara berlebihan
oleh pemerintah, pembangunan yang tidak dialokasikan secara adil dan
terbatasnya kesempatan yang diberikan kepada masyarakat untuk berperan
sebagai subjek dalam pembangunan.</div>
<div style="text-align: justify;">
Misalnya persoalan, mengapa seseorang
menjadi penganggur. Sama sekali tidak disebabkan oleh sebab-sebab atau
faktor-faktor yang bersifat individual, melainkan:</div>
1) Perubahan teknologi (mesin-mesin baru)<br />
2) Perubahan cara kerja (efisiensi)<br />
3) Pekerjaan dilakukan di tempat/negara lain (globalisasi)<br />
4) Perubahan politik (kebijakan pemerintah)<br />
5) Perubahan budaya (dibutuhkan produk yang berbeda)<br />
<br />
<b>Dampak perubahan</b><br />
Dampak positif perubahan:<br />
<b>Globalisasi</b><br />
Memudarnya batas-batas fisik/geografik maupun politik dalam
masyarakat dunia, sehingga interaksi dan komunikasi sosial di antara
orang-orang dapat berlangsung tanpa hambatan-hambatan yang bersifat
geografik maupun politik.<br />
Hal positif yang dapat diambil dari globalisasi adalah berkembangnya
ilmu pengetahuan dan teknologi, karena arus informasi dan alih teknologi
dapat berlangsung tanpa batas.<br />
<b>HAM</b><br />
Universalisme yang berkembang sesuai dengan arus perubahan menjadikan
orang-orang mengakui akan HAM. Hak-hak azazi manusia tidak lagi
dibatasi karena ras yang berbeda, agama yang berbeda, daerah, atau
sukubangsa.<br />
<b>Demokratisasi</b><br />
Terbukanya peluang berpartisipasi dalam proses ekonomi, sosial,
politik, maupun kebudayaan bagi segenap warga masyarakat, tidak
memandang asal-usul daerah, kesukubangsaan, ras, aliran, ataupun agama.<br />
<b>Modernisasi</b><br />
Modernisasi merupakan proses menjadi modern. Istilah modern berasal
dari kata modo yang artinya yang kini. Sehingga, modernisasi dapat
diartikan sebagai cara hidup yang sesuai dengan situasi yang kini ada,
atau konteks masa sekarang. Apabila cara hidup suatu masyarakat
seperti yang diwariskan oleh nenek-moyang atau generasi pendahulunya,
masyarakat tersebut disebut masyarakat tradisional. Istilah tradisi
berasal dari kata traditum yang artinya warisan. Tekanan pengertian
modernisasi adalah pada teknologi dan organisasi sosial.<br />
<b>Dampak Negatif Perubahan sosial, Modernisasi, dan Pembangunan</b><br />
Beberapa dampak negatif dari perubahan sosial adalah:<br />
<ol>
<li>Westernisasi (meniru gaya hidup orang barat tanpa reserve).</li>
<li>Sekularisme (pada tingkatnya yang moderat, sekularisme merupakan
pandangan hidup yang memisahkan kehidupan agama dengan kehidupan dunia,
pada tingkatnya yang lebih ekstrim, sekularisme merupakan pandangan
hidup yang menekankan pada pentingnya kehidupan dunia daripada kehidupan
akhirat, bahkan sampai pada faham yang tidak mengakui adanya Tuhan)</li>
<li>Konsumerisme (pandangan hidup bahwa lebih baik membeli produk barang dan jasa daripada membuatnya sendiri)</li>
<li>Konsumtivisme (mengkonsumsi barang dan jasa yang sebenarnya bukan merupakan keperluannya)</li>
<li>Hedonisme (cara hidup bermewah-mewah untuk mengejar prestise atau gengsi tertentu)</li>
<li>Liberalisme (faham kebebasan berfikir, misalnya Islam Liberal)</li>
<li>Feminisme (gerakan sosial yang berupaya menempatkan perempuan dalam urusan-urusan public).</li>
<li>Separatisme/pemberontakan/pergolakan daerah</li>
<li>Kesenjangan sosial dan ekonomi, yang terjadi karena ketidakadilan
dalam proses pembangunan, misalnya karena menekankan atau
memprioritaskan daerah atau golongan sosial tertentu</li>
<li>Munculnya berbagai tindak kejahatan, baik yang berupa kejahatan
kerah putih (white collar crime) maupun yang berupa kejahatan kerah biru
(blue collar crime)</li>
<li>Munculnya berbagai perilaku menyimpang, seperti kenakan remaja,
prostitusi, dan sebagainya yang disebabkan oleh adanya keinginan untuk
menyesuaikan dengan taraf hidup, tetapi tidak didukung oleh kemampuan
dan ketrampilan yang memadai (demonstration effect)</li>
</ol>
Sumber: <a href="http://www.agsasman3yk.wordpress.com/" target="_blank">Klik Disini</a>Muhammad Zamronihttp://www.blogger.com/profile/10110306643251368312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7866388757807007826.post-25910746780850938302012-02-13T21:40:00.001+07:002012-02-13T21:56:08.150+07:00Modernisasi, Industrialisasi, & Urbanisasi<b>Pengertian Modernisasi</b><br />
Modernisasi dapat diartikan sebagai proses perubahan dari corak
kehidupan masyarakat yang “tradisional” menjadi “modern”, terutama
berkaitan dengan teknologi dan organisasi sosial. Teori modernisasi<span id="more-283"></span>
dibangun di atas asumsi dan konsep-konsep evolusi bahwa perubahan
sosial merupakan gerakan searah (linier), progresif dan berlangsung
perlahan-lahan, yang membawa masyarakat dari tahapan yang primitif
kepada keadaan yang lebih maju.<br />
<b>Tradisionalitas</b><br />
Istilah tradisional berasal dari kata Latin “traditum” yang artinya
sesuatu yang diteruskan atau diwariskan dari suatu generasi ke generasi
berikutnya. Sesuatu yang diwariskan dapat berupa:<br />
<ol>
<li>Sistem nilai, dapat berupa kepercayaan, keyakinan, agama, idea atau gagasan</li>
<li>Cara hidup (oleh Emmile Durkheim disebut sebagai fakta sosial, yakni
cara berfikir, berperasaan dan bertindak para warga masyarakat yang
mengikat).</li>
<li>Teknologi</li>
<li>Lembaga atau pranata sosial</li>
</ol>
Suatu masyarakat dapat disebut sebagai masyarakat tradisional apabila
hidup dengan sistem nilai, cara berfikir, berperasaan dan bertindak,
teknologi dan lembaga atau pranata sosial yang diwariskan dan secara
turun temurun dipelihara.<br />
Contoh masyarakat tradisional: masyarakat atau komunitas desa.<br />
<b>Ciri-ciri tradisional masyarakat perdesaan:</b><br />
Masyarakat desa adalah masyarakat yang tinggal pada suatu wilayah
dengan batas-batas tertentu dan di antara para warganya mempunyai
hubungan<b> </b>yang lebih erat dan mendalam daripada hubungannya dengan orang-orang yang berada di luar batas wilayahnya.<br />
William F. Oughburn dan Nimkoff Meyer memberikan definisi bahwa desa
adalah sebuah organisasi kehidupan sosial yang menyeluruh di dalam suatu
wilayah dengan batas-batas tertentu (<i>a total organization of social life within a limited area</i>).<br />
Terdapat banyak macam desa, tetapi berikut ini dikemukakan tiga macam desa menurut perkembangannya:<br />
<ol>
<li>Desa swadaya, yaitu desa yang masih bersifat tradisional. Adat
istiadat mengikat kuat. Mata pencaharian penduduknya semacam dan
diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Tingkat
produktivitasnya rendah dan sarana kehidupannya kurang.</li>
<li>Desa swakarya, yaitu desa yang adat istiadatnya sudah mulai
mengalami perubahan karena pengaruh kebudayan dari luar desa yang telah
mulai masuk. Lapangan pekerjaan dan mata pencaharian mulai
terdiferensiasi dan berkembang dari sektor primer ke sekunder.
Produktivitas desa mulai meningkat seiring dengan mulai bertambahnya
sarana dan prasarana desa.</li>
<li>Desa swasembada, yaitu desa yang telah mengalami kemajuan, ikatan
adat istiadat tidak kuat lagi, teknologi telah digunakan dalam proses
produksi barang dan jasa, mata pencaharian masyarakatnya beraneka ragam.
Sarana dan prasarana desa sudah memadai, bahkan di beberapa desa tidak
dapat lagi dibedakan dari sarana dan prasarana kota, seperti: jaringan
listrik dan telepon, air minum, jalan beraspal, angkutan umum, dan
sebagainya.</li>
</ol>
Meskipun demikian ada beberapa ciri umum masyarakat desa, yaitu:<br />
<ol>
<li>Isolasi, yakni hubungan yang terbatas dengan orang-orang di luar
desa, sebuah komunitas desa bisa jadi terpisah hubungannya dengan
komunitas desa lain. Karena keterbatasan ini menjadikan seorang warga
desa sangat mengenal warga desa yang lainnya seluruh aspek
kepribadiannya, bukan hanya peran dan fungsinya dalam masyarakat.</li>
<li>Homogenitas, yakni keseragaman yang relatif mengenai latar belakang etnik, keluarga maupun cara hidup di antara para warga desa</li>
<li>Pertanian. Kiranya dapat dikatakan bahwa masyarakat desa identik
dengan masyarakat pertanian. Tentunya pertanian dalam arti luas, yang
menyangkut aktivitas bercocok tanam, beternak, memelihara ikan maupun
berkebun. Kalaupun ada warga desa yang berstatus sebagai pegawai negara,
guru, dokter, petugas keamanan, macam-macam tukang, dan sebagainya,
tetapi mereka tetap terlibat baik langsung maupun tidak langsung dengan
aktivitas pertanian.</li>
<li>Ekonomi subsisten, artinya aktivitas ekonomi masyarakat desa
dioerientasikan kepada menghasilkan barang-barang dan jasa untuk
mencukupi keperluan sendiri, tidak diorientasikan kepada ekonomi pasar.</li>
</ol>
Sebagai pembanding mengenai ciri-ciri masyarakat desa, berikut ini dikemukakan rincian yang dikemukakan oleh Roucek dan Warren:<br />
<ol>
<li>Masyarakat desa memiliki sifat yang homogen dalam hal mata pencaharian, kebudayaan dan tingkah laku</li>
<li>Kehidupan masyarakat desa menekankan anggota keluarga sebagai unit ekonomi dan berperan dalam pengambilan keputusan</li>
<li>Faktor geografi sangat berpengaruh atas kehidupan yang ada, misalnya
keterkaitan anggota masyarakat dengan tanah atau desa kelahirannya</li>
<li>Hubungan sesama warga desa lebih intim dan awet dari pada kota</li>
</ol>
Sedangkan Rogers mengemukakan ciri masyarakat desa, sebagai berikut:<br />
<ol>
<li><i>Mutual distrust interpersonal relations</i> (rasa ketidakpercayaan timbal balik di antara warga desa berkaitan dengan sumber-sumber ekonomi desa seperti tanah)</li>
<li><i>Perceived limited group</i> (pandangan untuk maju yang sempit dan terbatas)</li>
<li><i>Dependence on hostility towards government authority</i> (ketergantungan dan sekaligus curiga terhadap pemerintah atau kepada unsur-unsur pemerintah)</li>
<li><i>Familiesm</i> (adanya keakraban dan keintiman hubungan sosial di antara orang-orang yang memiliki hubungan darah)</li>
<li><i>Lack of innovationess</i> (rasa enggan untuk menciptakan atau menerima ide baru)</li>
<li><i>Fatalism</i> (pandangan bahwa kegagalan atau keberhasilan lebih
banyak ditentukan oleh faktor eksternal dari pada faktor internal dalam
diri warga masyarakat. Dalam hal ini Dr. Nasikun mengemukakan tiga
macam bentuk fatalisme masyarakat perdesaan:<i> (1) supernaturalism</i>, (keberhasilan atau kegagalan ditentukan oleh sesuatu yang bersifat supernatural/ghaib)<i>, (2) situational fatalism</i>
(sikap apatis dan pasif terhadap kemungkinan perbaikan kehidupan karena
kondisi atau situasi kehidupan tertentu, karena orang kecil, karena
tanah pertaniannya sempit, dan sebagainya), (3)<i>project negativism</i>
(sikap apatis dan pasif terhadap inovasi atau pembaruan yang disebabkan
oleh kegagalan-kegagalan yang telah dialami dan dihayati di masa silam<i>Limited aspiration</i> (adanya keterbatasan dan ketidakmampuan menyatakan dan menyalurkan keinginan-keinginan)</li>
<li><i>Lack of deferred gratification</i> (ketidakmampuan menunda kesenangan dan kenikmatan hidup sekarang, misalnya hasrat menabung atau berinvestasi)</li>
<li><i>Limited view of this world</i> (pandangan yang terbatas terhadap dunia luar)<i>Low emphatic</i> (yakni rendahnya ketrampilan “menangkap” peranan orang lain, misalnya ketidakmampuan memahami keadaan orang lain).</li>
</ol>
<b> </b><br />
<b>Modernitas</b><br />
Istilah modern berasal dari kata “modo” yang artinya “yang kini”
(just now). Dengan demikian masyarakat dinyatakan modern apabila para
warganya hidup dengan sistem nilai, cara berfikir, berperasaan dan
bertindak, teknologi serta organisasi sosial yang baru, yang sesuai
dengan konstelasi zaman sekarang. Contoh masyarakat modern adalah
masyarakat kota.<br />
<b>Ciri-ciri modern masyarakat perkotaan<br />
</b><br />
Memberikan definisi atau batasan tentang kota tidaklah mudah. Banyak
aspek yang harus menjadi perhatian dan dapat menjadi dasar penyusunan
batasan. Suatu masyarakat dinyatakan sebagai kota dapat karena kehidupan
sosialnya, dapat karena keadaan budayanya, dapat karena kehidupan
ekonominya, pemerintahannya, ataupun jumlah dan kepadatan penduduknya.<br />
Prof. Bintarto memberikan batasan bahwa kota merupakan suatu jaringan
kehidupan sosial dan ekonomi yang ditandai dengan kepadatan penduduk
yang tinggi dan diwarnai oleh strata sosial dan ekonomi yang heterogen
dan coraknya yang materialistik.<br />
Kota merupakan fenomena yang unik dan kontradiktif. Di satu sisi kota
merupakan identifikasi kemajuan, kegembiraan dan daya tarik: sebagai
pusat pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan hiburan,
kesehatan dan pengobatan, dan sebagainya. Di sisi yang lain, kota
ternyata identik pula dengan perilaku buruk, immoralitas dan bahkan
kejahatan: hedonisme atau kemewahan hidup, pemuasan diri tanpa batas,
kepura-puraan dan ketidakjujuran,<br />
Beberapa ciri umum masyarakat kota dikemukakan sebagai berikut:<br />
<b>Anonimitas</b><br />
Kebanyakan warga kota hidup dengan menghabiskan waktunya di tengah
kumpulan manusia yang anonim. David Riesman menyebutnya sebagai “the
lonely crowd”. Heterogenitas kehidupan kota dengan keanekaragaman
manusianya dari segi ras, etnisitas, kepercayaan, pekerjaan maupun kelas
sosial mempertajam anonimitas. Perbedaan kepentingan membuat
orang-orang kota lebih banyak berhubungan, berkomunikasi dan
berinteraksi sosial dengan orang-orang yang memiliki kepentingan yang
sama saja dengan membentuk <i>special interested group </i>(kelompok kepentingan khusus) dan tidak berkesempatan membentuk hubungan sosial yang bersifat akrab dan personal.<br />
<b>Jarak sosial yang jauh</b><br />
Secara fisik orang-orang kota berada dalam jarak yang dekat dan
keramaian, tetapi secara sosial, atau juga psikologikal, mereka saling
berjauhan, sebagai akibat anonimitas, impersonalitas dan heterogenitas.<br />
<b>Regimentation (keteraturan hidup) kota</b><br />
Irama dan keteraturan kehidupan kota berbeda dengan irama dan
keteraturan hidup di perdesaan yang diwarnai oleh katidakformalan dan
kesantaian, bersifat mekanik alamiah, sangat dipengarahui oleh keadaan
alam dan cuaca serta jam biologis binatang atau ternak. Keteraturan
hidup di perkotaan lebih bersifat organik, diatur oleh aturan-aturan
legal rasional, seperti jam kerja, rambu-rambu dan lampu pengatur
lalu-lintas, jadwal kereta api, jadwal penerbangan, dan sebagainya.<br />
<b>Keramaian (crowding)</b><br />
Keramaian hidup di kota disebabkan oleh kepadatan, kecepatan dan tingginya aktivitas kehidupan masyarakat kota.<br />
<b>Kepribadian kota</b><br />
Sorokin, Zimmerman dan Louis Wirth dalam esainya “<i>Urbanism as a Way of Life</i>”
membuat kesimpulan bahwa kehidupan kota menciptakan kepribadian kota,
yakni: anomies, materialistis, berorientasi kepentingan, berdikari (<i>self sufficiency</i>), impersonal, tergesa-gesa, interaksi sosial tingkat dangkal, manipulatif, rakayasa, insekuritas dan disorganisasi pribadi.<br />
<b>Proses modernisasi</b><br />
Menurut <b>Samuel Huntington </b>proses modernisasi mengandung beberapa ciri pokok sebagai berikut:<br />
<ol>
<li>Merupakan proses bertahap, dari tatanan hidup yang primitif-sederhana menuju kepada tatanan yang lebih maju dan kompleks</li>
<li>Merupakan proses homogenisasi. Modernisasi membentuk struktur dan
kecenderungan yang serupa pada banyak masyarakat. Penyebab utama proses
homogenisasi ini adalah perkembangan teknologi informasi, komunikasi dan
transportasi. Contoh: fenomena coca colonization, Mc world serta
californiazation.</li>
<li>Terwujud dalam bentuk lahirnya sebagai: Amerikanisasi dan Eropanisasi</li>
<li>Merupakan proses yang tidak bergerak mundur, tidak dapat dihindrkan dan tidak dapat dihentikan</li>
<li>Merupakan proses progresif (ke arah kemajuan), meskipun tidak dapat dihindari adanya dampak (samping).</li>
<li>Merupakan proses evolusioner, bukan revolusioner dan radikal; hanya
waktu dan sejarah yang dapat mencatat seluruh proses, hasil maupun
akibat-akibat serta dampaknya</li>
</ol>
Alex Inkeles dan David Smith mengemukakan ciri-ciri individu modern, sebagai berikut:<br />
<ol>
<li>Memiliki alam pikiran (state of mind) yang terbuka terhadap pengalaman baru</li>
<li>Memiliki kesanggupan membentuk dan menghargai opini</li>
<li>Berorientasi ke depan</li>
<li>Melakukan perencanaan</li>
<li>Percaya terhadap ilmu pengetahuan</li>
<li>Memiliki keyakinan bahwa segala sesuatu dapat diperhitungkan</li>
<li>Menghargai orang lain karena prestasinya</li>
<li>Memiliki perhatian terhadap persoalan politik masyarakat</li>
<li>Mengejar fakta dan informasi</li>
</ol>
<b>Modernisasi bukan westernisasi</b><br />
Bahwa modernisasi itu identik dengan westernisasi memang pandangan
yang tidak mudah dihindarkan. Hal ini karena sejarah modernisasi memang
sejarah masyarakat Barat, dalam hal ini Eropa Barat dan Amerika Utara.
Tema-tema yang menunjukkan ciri-ciri orang modern seperti yang
diungkapkan oleh Inkeles dan Smith memang lebih banyak dimiliki oleh
orang Barat, sehingga menjadi modern memang identik dengan menjadi
seperti orang Barat. Namun demikian modernisasi dan westernisasi tetap
dapat dibedakan karena memang berbeda. Seperti tersebut di depan bahwa
tekanan proses modernisasi adalah pada teknologi dan organisasi sosial
atau tata kerja. Dr. Nurcholish Madjid menyebutnya sebagai semacam
proses rasionalisasi, yakni perubahan tata kerja lama yang tidak
rasional diganti dengan tata kerja baru yang rasional. Sedangkan
westernisasi adalah menjadi seperti orang Barat secara total, tanpa
reserve, mulai dari pandangan hidup (ateisme, <b>sekularisme</b>, feminisme, humanisme, dan sebagainya) sampai dengan gaya hidupnya (seks bebas dan hidup bersama tanpa menikah (<i>cohabitation</i>), model pakaian yang tidak menutup atau bahkan menonjolkan aurat, NAPZA, gang, dan sebagainya).<br />
<b> </b><br />
<b>Syarat berlangsungnya modernisasi</b><br />
Modernisasi dalam masyarakat dapat berlangsung apabila memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:<br />
<ol>
<li>Terlembagakannya cara berfikir ilmiah di kalangan masyarakat, terutama di kalangan <i>the rulling class</i></li>
<li>Birokrasi pemerintahan yang rasional, efektif dan efiesien, bukan birokratisme</li>
<li>Tersedianya sistem informasi yang baik: cepat dan akurat</li>
<li>Iklim yang <i>favorable</i> terhadap modernisasi, hal ini terutama dengan hal-hal yang menyangkut nilai atau sistem keyakinan</li>
<li>Tingkat organisasi sosial yang tinggi</li>
<li>Pelaksanaan <i>social planning</i> yang terbebas dari pengaruh
atau kepentingan (vested interested) suatu golongan. Untuk hal ini
diperlukan sentralisasi wewenang berkaitan dengan <i>social planning</i>.</li>
</ol>
<b> </b><br />
<b> </b><br />
<b> </b><br />
<b>Gejala Modernisasi Masyarakat Indonesia dalam Berbagai Bidang</b><b> </b><br />
<b>Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi</b><br />
Modernisasi di bidang kehidupan ilmu pengetahuan dan teknologi
(IPTEK) terutama menyangkut dua hal, yakni penemuan baru dan pembaruan.
Oleh karena itu, modernisasi di bidang IPTEK tidak dapat lepas dari
perhatian yang besar terhadap dunia pendidikan, penelitian dan
pengembangan. Kegiatan pendidikan, penelitian dan pengembangan akan
mendorong ditemukannya ide-ide dan alat-alat baru yang dapat diterapkan
dalam kehidupan masyarakat untuk melengkapi atau mengganti yang lama.<br />
<b>Bidang Kehidupan politik dan ideologi</b><br />
Tema modernisasi di bidang politik dan ideologi adalah demokratisasi
dan ideologi terbuka. Demokratisasi merupakan proses ke arah terbukanya
kesempatan bagi seluruh warga masyarakat dari segala lapisan dan
golongan untuk berperan serta dalam proses pengambilan keputusan,
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.<br />
Sedangkan ideologi terbuka merujuk kepada pandangan hidup yang tidak
terbatasi atau terkotak-kotak oleh sektarianisme, primordialisme,
aliran, ras, etnisitas atau kesukubangsaan, kedaerahan, agama ataupun
aliran.<br />
Menurut Huntington, proses demokratisasi dan keterbukaan memerlukan beberapa prakondisi, yaitu:<br />
<ol>
<li>kemakmuran ekonomi dan pemerataan kekayaan; ada hubungan yang
positif antara pembangunan dan pemerataan ekonomi dengan
demokratisasi, artinya semakin maju tingkat ekonomi suatu
masyarakat semakin besar peluangnya untuk menumbuhkan dan
menegakkan tatanan kehidupan politik yang demokratis dan terbuka.
Kemakmuran ekonomi akan memungkinkan tumbuhnya tingkat melek-huruf,
pendidikan dan media massa yang sangat mendorong tumbuhnya
demokrasi.</li>
<li>Terdapatnya kelas menengah yang otonom dalam struktur sosial
masyarakat. Mereka terdiri atas para kaum intelektual, pengusaha,
profesional, tokoh agama atau etnis) yang berfungsi dalam
pengendalian (kontrol) terhadap kekuasaan dan membangun prasarana
dasar untuk tumbuhnya pranata politik yang demokratik. Apabila
tidak terdapat kelas menengah tang otonomi masyarakat cenderung
didominasi oleh suatu model kekuasaan yang sentralistik, seperti
monarkhi, absolutisme, korporatik ataupun birokratik otoritarian.</li>
<li>Lingkungan internasional; secara ringkas Huntington menyatakan
bahwa demokrasi lebih merupakan hasil dari difusi dari pada sebagai
akibat pembangunan, sehingga suatu masyarakat menjadi lebih
demokratis ketika memiliki lingkungan pergaulan internasional yang
luas</li>
<li>Konteks budaya masyarakat yang bersifat egaliter. Konteks
budaya feodal dan patrimonial ternyata menghambat demokratisasi.</li>
</ol>
<b>Bidang Kehidupan Ekonomi</b><br />
Tema modernisasi di bidang kehidupan ekonomi adalah efisiensi dan produktivitas.<br />
Masalah yang banyak melanda di berbagai masyarakat berkembang adalah
inefisiensi dan rendahnya produktivitas. Inefisiensi disebabkan oleh
ekonomi biaya tinggi (<i>high-cost economy</i>) di hampir semua bidang kehidupan. Sumber-sumber ekonomi biaya tinggi itu antara lain:<br />
<ol>
<li>birokratisme pemerintah</li>
<li>pungutan-pungutan yang tidak berhubungan dengan produktivitas</li>
<li>proteksi dan subsidi</li>
<li>berbagai praktek bussiness atau economic criminality (white
collar crime), seperti: nepotisme, kolusi dan korupsi (NKK).</li>
</ol>
Sedangkan produktivitas yang rendah disebabkan oleh teknik dan
organisasi produksi yang usang. Oleh karenanya peningkatan
produktivitas dilakukan dengan memperbarui teknologi, baik teknologi
mekanik (mesin-mesin produksi), teknologi kimia (penggunaan obat-obatan
dan zat kimia) dan teknologi sosial (tata kerja yang lebih teratur dan
organik).<br />
<b>Bidang kehidupan agama dan kepercayaan </b><br />
Suatu proses yang tidak terhindarkan dan meresahkan para tokoh dan
kalangan agamawan dalam proses modernisasi di bidang kehidupan beragama
dan kepercayaan adalah <b>sekularisasi</b>.<br />
Kata <b>sekularisasi</b> berasal dari kata “<i>saeculum</i>”
yang artinya “dunia dalam konteks waktu”, yaitu “sekarang”. (Dunia
dalam konteks ruang dalam kata Latin adalah “mundus”). Lawannya
“saeculum” adalah “eternum” yang artinya “keabadian”. Dari kata
“saeculum” tersebut terbentuklah istilah “<b>sekularisasi</b>” dan “<b>sekularisme</b>”.<br />
Di Indonesia idea tentang “<b>sekularisasi</b>”
diperkenalkan oleh seorang tokoh pembaruan pemikirian Islam, yakni
Nurcholish Madjid pada tahuan 1970-an. Bagi Nurcholish Madjid, <b>sekularisasi</b> tidak sama dengan <b>sekularisme</b>. <b>Sekularisasi</b> adalah proses dan <b>sekularisme</b> adalah faham. <b>Sekularisasi</b> merupakan proses menuju kepada kehidupan beragama yang rasional, yakni proses pembebasan diri dari belenggu takhayul (<i>superstition</i>)
atau memberikan wewenang kepada ilmu pengetahuan dan teknologi dalam
membina dan menyelesaikan urusan-urusan duniawi. Di dalamnya tercakup
sikap objektif dalam menelaah hukum-hukum yang menguasai dunia dan alam
pada umumnya. Sedangkan <b>sekularisme</b> merupakan faham keduniawian, yakni suatu faham yang mengesampingkan agama. Ada dua macam <b>sekularisme</b>, yakni: (1) <b>sekularisme</b> moderat dan (2) <b>sekularisme</b> mutlak. <b>Sekularisme</b>
moderat merupakan pandangan yang mengakui keberadaan Tuhan untuk
urusan-urusan yang berhubungan dengan kehidupan abadi (eternum) saja,
sedangkan untuk urusan dunia adalah mutlak urusan manusia. Sedangkan <b>sekularisme</b> mutlak merupakan faham yang tidak mengakui adanya Tuhan, puncaknya adalah atheisme.<br />
Namun demikian kenyataannya tidak dapat dihindarkan pengertian <b>sekularisasi</b> sebagai proses menuju atau penerapan faham <b>sekularisme</b> dalam kehidupan masyarakat. Di sinilah timbulnya perbedaan pendapat dan kontroversi tentang <b>sekularisasi</b>. Untuk menghindari kontrovesi demikian ini, Dr. Kuntowijoyo menggunakan istilah <b>objektivikasi</b> untuk fenomena kehidupan beragama yang lebih rasional.<br />
<b>Modernisasi Masyarakat sebagai Proses Industrialisasi dan Urbanisasi</b><br />
<b>Modernisasi sebagai proses industrialisasi</b><br />
Apabila melihat sejarah Eropa, maka modernisasi tidak lepas dari
proses industrialisasi. Kesejahteraan ekonomi dan kestabilan politik di
Eropa tercapai setelah terjadinya revolusi industri yang diawali oleh
masa pencerahan (renaisance) dan penemuan-penemuan baru. Berdasarkan ini
dapat dinyatakan bahwa awal modernisasi adalah industrialisasi, yakni
berubahnya kehidupan dari “agraris-tradisional” menjadi
“industri-modern”.<br />
Talcott Parson menjelaskan proses perubahan itu dalam teori variabel pola (<i>pattern variables</i>) sebagai berikut:<br />
<ol>
<li>Perubahan dari <i>affectivity</i> kepada <i>affective neutrality</i></li>
<li>Perubahan dari <i>particulatism</i> ke <i>universalism</i></li>
<li>Perubahan dari <i>collective orientation</i> kepada <i>self-orientation</i></li>
<li>Perubahan dari <i>ascription </i>kepada <i>achievement</i></li>
<li>Perubahan dari <i>functionally difussed </i>kepada <i>functionaly specivied</i></li>
</ol>
<b>Modernisasi sebagai proses urbanisasi</b><br />
Masyarakat modern juga identik dengan masyarakat kota, maka modernisasi identik dengan urbanisasi.<br />
Dalam proses urbanisasi dikenal adanya tiga macam proses, yakni:<br />
<ol>
<li><b><i>Centripetal process; the flow of people from country sides to the urban area accompanied with the change in behavior</i></b>.
Dalam proses ini terjadi aliran penduduk dari wilayah desa atau kota
satelit menuju ke wilayah pusat kota yang diikuti oleh perubahan pola
perilaku desa-tradisional dengan perilaku kota-modern. Sebab-sebab
aliran penduduk dari desa ke kota ini dapat digolongkan menjadi dua
macam, yakni: (1) push factors (faktor pendorong), dan (2) pull factors
(faktor penarik). Faktor-faktor pendorong meliputi kondisi desa yang
menjadikan orang tidak mau lagi tinggal di desa, seperti: minimnya
lapangan kerja, kekakangan adat, kurangnya variasi hidup, sempitnya
kesempatan menambah pengetahuan, kurangnya sarana rekreasi ataupun
sempitnya kesempatan mengembangkan keahlian dan ketrampilan. Sedangkan
faktor penarik meliputi kondisi kota yang menjadikan orang-orang
tertarik untuk tinggal menetap di kota, seperti: kesempatan kerja yang
lebih luas, luasnya kesempatan mengembangkan ketrampilan dan keahlian,
kesempatan dan fasilitas pendidikan yang lebih memadai, kelebihan modal,
variasi hidup, banyaknya tempat hiburan, kebebasan hidup di kota dan
anggapan bahwa kota memiliki tingkat kebudayaan yang lebih tinggi
daripada desa.</li>
<li><b><i>Centrifugal process; urban extention in terms of physical, economic, technology and culture.</i></b>
Dalam proses ini yang terjadi adalah meluasnya pengaruh kehidupan kota
ke wilayah-wilayah pinggiran kota, dapat berupa perluasan fisik kota
yang diikuti oleh perubahan kehidupan ekonomi, penggunaan teknologi
maupun perubahan kebudayaan.</li>
<li><b><i>Vertical process: social, economic, culture, and behavior</i></b>.
Dalam proses ini yang terjadi adalah perubahan situasi atau iklim desa
(rural sphere) menjadi kota (urban sphere), baik secara sosial, ekonomi,
kebudayaan dan perilaku. Keadaan ini dapat terjadi antara lain oleh
sebab-sebab: (1) daerah itu menjadi pusat pemerintahan, (2)letaknya
strategis untuk perdagangan, atau (3) tumbuhnya industri.</li>
</ol>
<h4>
Masalah-masalah yang timbul akibat urbanisasi</h4>
Bertambahnya tingkat persaingan hidup di kota akibat urbanisasi,
misalnya untuk memperoleh sumber-sumber ekonomi dapat menimbulkan
persoalan yang pelik, seperti berbagai macam konflik, tuna karya,
kejahatan yang terorganisir (<i>organized crime</i>) maupun yang tidak terorganisir, perkampungan kumuh (<i>slums</i>), gelandangan, tuna susila, maupun rendahnya tingkat kesehatan, dan sebagainya.<br />
Sedangkan bagi desa, urbanisasi menyebabkan terbatasnya jumlah
penduduk usia produktif yang berakibat terhambatnya perkembangan desa.
Di samping itu para urbanit yang pulang ke desa sering membawa pengaruh
kehidupan kota (<i>urbanisme</i>) yang tidak selalu sesuai dengan kebudayaan orang desa. Sumber: <a href="http://www.agsasman3yk.wordpress.com/" target="_blank">Klik Disini</a>Muhammad Zamronihttp://www.blogger.com/profile/10110306643251368312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7866388757807007826.post-2882701600197350312012-02-13T21:32:00.000+07:002012-02-13T21:56:26.650+07:00Metode Penelitian Sosial Sederhana<b>Pendahuluan<br />
</b><br />
Sepertihalnya dengan ilmu pengetahuan yang lain, sosiologi merupakan
ilmu pengetahuan yang lahir, tumbuh, dan berkembang. Agar dapat tumbuh
dan berkembang, sosiologi menuntut para ahlinya untuk melakukan
kegiatan yang disebut penelitian sosial. Melalui penelitian sosial, <span id="more-289"></span>para
ahli sosiologi mengumpulkan data yang dapat menambah pengetahuan
orang-orang yang mempelejari sosiologi, melalaui penelitian sosial para
ahli sosiologi menemukan fakta baru yang memperluas cakrawala serta
memperdalam pemahaman tentang masyarakat dan hubungan-hubungan sosial
yang terjadi di dalamnya.<br />
<b>Apakah penelitian itu?</b><br />
Penelitian merupakan upaya (1) menemukan, (2) mengembangkan, (3)
menguji kebenaran suatu pengetahuan melalui prosedur ilmiah, bukan
secara nonilmiah, seperti: (1) coba-coba, (2) kharisma, (3) akal
sehat/common sense, (4) spekulasi, (5) kebetulan, (6) takhayul, (7)
Intuisi, (8) wahyu, dll.).<br />
<b>Apakah prosedur ilmiah?</b><br />
Apakah anda ingat apa yang oleh Comte disebut tahap positif? Suatu
tahap pemikiran masyarakat yang memandang pentingnya pepecahan masalah
atau persoalan masyarakat dengan cara-cara yang rasional, empirik, dan
objektif. Demikian juga yang disebut prosedur ilmiah.<br />
<b>John Dewey</b> (1933) memberikan garis-garis besar dari apa yang disebut metode ilmiah yang meliputi lima taraf, yakni: (1) <i>the felt need</i>, (2) <i>the problem</i>, (3) <i>the hypothesis</i>, (4) <i>collection of data as evidence</i>, dan (5) <i>concluding bilief.</i> <b>Kelley</b> melengkapinya dengan satu taraf lagi, yakni; (6) <i>general value of conclusion</i>. Berikut akan dijelaskan satu per satu.<br />
<i>The felt need</i>. Dalam taraf ini orang merasakan kesulitan
untuk menyesuaikan dirinya terhadap kebutuhan atau tujuan-tujuan
masyarakat, atau untuk menemukan ciri-ciri dari suatu objek, atau untuk
menerangkan sesuatu kejadian yang terjadi tiba-tiba dan tidak terduga.<br />
<i> </i><br />
<i>The problem. </i>Orang merumuskan kesulitan-kesulitan itu sebagai masalah atau problema, yakni sesuatu yang terjadi dalam kenyataan (<i>das sein</i>) namun tidak sesuai dengan harapan (<i>das sollen</i>), atau sebagai sesuatu yang tidak diketahui <i>who, what, where, when, why</i> dan <i>how</i>-nya.<br />
<i> </i><br />
<i>The hypothesis. </i>Langkah yang ketiga adalah mengajukan
kemungkinan pemecahannya atau mencoba menerangkannya, berupa
terkaan-terkaan, kesimpulan sementara, teori-teori, kesan-kesan umum,
atau apapun yang masih belum dapat dipandang sebagai sebuah konklusi
yang final.<br />
<i> </i><br />
<i>Collection of data as evidence.</i> Selanjutnya bahan-bahan,
informasi-informasi, atau bukti-bukti dikumpulkan, dan melalui
pengolahan-pengolahan yang logis dan sistematik dijadikan bukti atas
hipotesis yang telah dirumuskan.<br />
<i> </i><br />
<i>Concluding bilief. </i>Berdasarkan bukti-bukti yang sudah
diolah maka akan terbukti hipotesis, teori atau kesan-kesan yang telah
dirumuskan apakah “benar” atau “salah”, “diterima” atau “ditolak”.<br />
<i> </i><br />
<i>General value of the conclusion. </i>Akhirnya, apabila suatu pemecahan masalah telah dipandang tepat, maka disimpulkan implikasi-implikasinya untuk masa depan.<br />
Dari serangkaian prosedur ilmiah sebagaimana disebutkan oleh Dewey
tersebut, dapat disarikan secara sederhana bahwa suatu kegiatan
penelitian harus mengikuti prosedur ilmiah dengan mengikuti tahap-tahap
sebagai berikut.<br />
<ol>
<li>Perumusan kesulitan sebagai MASALAH (kenyataan/das sein yang tidak sesuai dengan harapan/das sollen)</li>
<li>Hipotesis (dugaan sementara/asumsi berdasar pengalaman, akal sehat, prediksi, pengetahuan atau teori yang sudah-sudah)</li>
<li>Pengumpulan Data (untuk bukti hipotesis: observasi, wawancara, angket, analisis isi media massa, test, dll)</li>
<li>Simpulan (dirumuskan berdasarkan data yang telah terkumpul)</li>
</ol>
Berdasarkan simpulan-simpulan dari suatu gejala sosial, sosiolog
dapat memberikan rekomendasi kepada pihak-pihak terkait untuk memecahkan
suatu masalah.<br />
<b>Macam-macam penelitian</b><br />
<b> </b><br />
<ol>
<li>Menurut Kegunaannya: (a) Penelian Dasar, (b) Penelitian Terapan</li>
<li>Menurut Metodenya: (a) Penelitian Eksperimental , (b) Ekspost Facto</li>
<li>Menurut Tujuannya: (a) Penjajakan (eksploratif), (b) developmental (pengembangan ), dan (c) Verivikatif (menguji kebenaran)</li>
<li>Menurut Taraf/tingakatan penjelasan: (a) Deskriptif (menggambarkan
fakta), dan (b) Inferensial (menjelaskan hubungan/keterkaitan antar
gejala/variable)</li>
<li>Menurut Populasinya: (a) Survey, (b) Sensus</li>
<li>Menurut bidangnya: (a) Sosial, (b) Kealaman, dan (c) Humaniora</li>
<li>Menurut tempatnya: (a) lapangan/kancah, (2) laboratorium, (3) kepustakaan</li>
<li>Menurut pendekatan/teknik analisis : (a) kualitatif, (b) kuantitatif.</li>
</ol>
<b>Prosedur Penelitian</b><br />
Terdapat empat tahap pokok yang harus dilalui dalam melaksanakan penelitian, yaitu<br />
<b> </b><br />
<ol>
<li>Penyusunan Rancangan Penelitian</li>
<li>Pengumpulan Data</li>
<li>Analisis Data</li>
<li>Pelaporan</li>
</ol>
<b>Penyusunan Rancangan Penelitian (istilah lain: design, proposal, dll)</b><br />
<b>Langkah-langkah:</b><br />
<ol>
<li>Menentukan topik/masalah</li>
<li>Merumuskan masalah dan hipotesis</li>
<li>Mengenali jenis-jenis data yang akan dikumpulkan (data primer dan
data sekunder, data kategorik dan data statistic, data nominal,
interval, dan berjenjang)</li>
<li>Menentukan pendekatan (kuantitatif-kualitatif), metode (eksperimen,
ekspos fakto, laboratorium, lapangan, sensus, survey), dan teknik
pengumpulan data (observasi, wawancara, angket, dokumen, bahan pustaka,
analisis isi media massa)</li>
<li>Merumuskan dan memilih pertanyaan-pertanyaan penting penelitian (menyusun instrument)</li>
<li>Memilih subjek (populasi dan sampel)</li>
</ol>
Langkah-langkah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.<br />
<b>1. Menentukan Topik/Masalah Penelitian</b><br />
<ul>
<li>Masalah merupakan hal yang terjadi tidak sesuai dengan harapan.
Gap/kesenjangan antara das sein (kenyataan) dengan das sollen
(harapan). Dapat berupa: kesenjangan, ketidaktahuan, kemunduruan,
rendahnya prestasi, dst)</li>
<li>Masalah dapat ditemukan melalui berbagai sumber, seperti: (1) bahan
bacaan, (2) pertemuan ilmiah/seminar, diskusi, (3) pernyataan dari para
pemegang otoritas, (4) pengamatan sepintas, (5) pengalaman pribadi,
atau (6) perasaan/intuisi.</li>
</ul>
<b>2. Merumuskan masalah.</b><br />
Masalah dirumuskan dalalan kalimat pertanyaan (askadimba = apa,
siapa, kapan, di mana, dan bagaimana). Contoh: (1) Apakah ada hubungan
antara tingkat pendidikan orangtua dengan prestasi belajar anak? (2)
Apakah ada perbedaan kemampuan beradaptasi antara laki-laki dengan
perempuan? (3) Apakah ada perbedaan motif berprestasi antara siswa asal
luar kota dengan dalam kota? (4)Apakah ada pengaruh penilaian tentang
iklim sekolah dengan prestasi belajar? (5)Apakah ada hubungan antara
intensitas merokok dengan kecenderungan menggunakan narkonba?<br />
<b>3. </b><b>Merumuskan hipotesis</b><br />
Hipotesis merupakan jawaban sementara yang secara teoritik paling mungkin atas masalah yang diajukan.<br />
Dirumuskan dalam kaliman pernyataan.<br />
Macam:<br />
1) Hipotesis nol = menyatakan tidak ada hubungan, pengaruh , atau perbedaan<br />
2) Hipotesis alternative nondireksional<br />
3) Hipotesis alternative direksional positif (berbanding lurus)<br />
4) Hipotesis altarnative direksional negatif (berbanding balik)<br />
Contoh:<br />
<ul>
<li>Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi prestasi belajar anak</li>
<li>Laki-laki lebih mampu beradaptasi daripada perempuan</li>
<li>Siswa berasal dari kota memiliki motif berprestasi yang lebih tinggi daripada siswa yang berasal dari luar kota</li>
</ul>
<b>4. Mengenali Variabel</b><br />
Variabel merupakan gejala yang nilainya bervariasi. Variabel dapat juga disebut sebagai objek penelitian.<br />
Macam variabel menurut hubungan antar-variabel:<br />
<ul>
<li> Variabel dependen (variable terikat/dipengaruhi), yaitu variabel yang keadaannya dipengaruhi oleh variabel lain.</li>
<li>Variabel independen (variable bebas/pengaruh), yaitu variabel yang
mempengaruhi keadaan variabel lain. Misalnya dalam kasus hubungan dua
variabel, yaitu antara tingkat pendidikan dengan partisipasi kerja.
Tingkat pendidikan merupakan variabel bebas, sedangkan partisipasi kerja
merupakan variabel terikat.</li>
<li>Variabel antara (intervening-variable), variabel yang berada di
antara variabel pengaruh dan variabel dipengaruhi, ketika variabel
pengaruh tidak secara langsung mempengaruhi variabel dipengaruhi.
Misalnya pengaruh dari tingkat pendapatan orangtua terhadap prestasi
belajar anak. Tingkat pendapatan orang tua (variabel bebas) tidak secara
langsung mempengaruhi prestasi belajar anak (variabel terikat),
melainkan melalaui variabel antara, seperti fasilitas belajar dan lama
waktu belajar.</li>
</ul>
Macam variabel menurut jenisnya<br />
<ul>
<li>Variabel diskrit (tidak berjenjang/nominal/kategorik), misalnya
jenis kelamin, agama yang dianut, jenis pekerjaan, dan sebagainya.</li>
<li>Variabel berjenjang (bertingkat/bersambungan/kontinus), misalnya umur, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan sebagainya.</li>
</ul>
Karakteristik hubungan di antara dua variabel atau lebih:<br />
<ul>
<li>Hubungan/korelasi; hubungan jenis ini berlaku untuk hubungan
antara variable kontinus (misalnya tingkat pendiidkan orangtua) dengan
kontinus (misalnya prestasi belajar anak)</li>
<li>Pengaruh; hubungan jenis ini dapat berlaku untuk hubungan antara variable diskrit/kontinus dengan kontinus</li>
<li>Perbedaan; hubungan jenis ini dapat berlaku antara variable berjenis diskrit dengan kontinu</li>
</ul>
<b>5. Menentukan subjek penelitian</b><br />
Istilah-istilah yang harus dikenali sehubungan dengan subjek
penelitian adalah populasi dan sampel. Populasi merupakan keseluruhan
individu sejenis yang menjadi subjek penelitian. Apabila peneliti
karena berbagai pertimbangan tidak memungkinkan untuk meneliti seluruh
populasi, maka diambil sebagian dari populasi sebagai representasi
keseluruhan. Bagian dari populasi yang mewakili seluruh populasi ini
disebut sampel. Pengambilan sampel tidak boleh dilakukan secara
sembarang, melainkan harus dilakukan dengan cara-cara tertentu.<br />
Teknik pengambilan sampel<br />
a) sample probabilita<br />
<ul>
<li>acak sederhana (simple random sampling), dapat dilakukan dengan cara
undian, mengikuti kelipatan bilangan tertentu, atau tabel bilangan
random. Pengambilan sampel jenis ini dapat dilakukan kalau populasi
keadaannya benar-benar homogen.</li>
<li>teknik acak berstratifikasi (stratified sampling), teknik
pengambilan sampel dengan memperhatikan karakteristik dan keterwakilan
dari setiap kelas atau jenjang populasi.</li>
<li>teknik acak berkelompok (cluster sampling), yaitu teknik pengambilan
sampel dengan memperhatikan karakteristik dan keterwakilan dari setiap
kelompok yang ada</li>
</ul>
b) sample non-probabilita<br />
<ul>
<li>aksidental sample (sering juga disebut insidental sampling, misalnya
dalam meneliti kehidupan sosial para pengguna internet, maka setiap
menemukan pengguna internet langsung dijadikan sebagai responden)</li>
<li>purposive sample (sampel bertujuan, misalnya dalam meneliti hubungan
antara intensitas merokok dengan kecenderungan berbuat menyimpang, maka
yang dijadikan responden hanya para perokok).</li>
<li>quota sample (sampel yang diambil dengan menetapkan jatah/quota dari setiap karakteristik populasi)</li>
<li>snow ball sample (peneliti hanya menentukan responden pertama,
sedangkan responden selanjutnya ditentukan oleh responden sebelumnya)</li>
</ul>
Berapa jumlah sampel?<br />
Besaran sampel, mempertimbangkan: (1) heterogenitas, semakin
heterogen suatu populasi semakin menuntut jumlah sampel yang lebih
banyak, (2) jumlah variabel, semakin banyak variabel yang diteliti
semakin menuntut jumlah sampel yang lebih banyak, dan (3) akurasi hasil
penelitian yang diharapkan, atau toleransi terhadap kesalahan prediksi.
Semakin banyak jumlahsampel semakin akurat hasil penelitiannya.<b> </b><br />
<b>6. Menyusun instrument pengumpulan data</b><br />
Instrumen pengumpan data dapat berupa: (1) pedoman observasi, (2)
pedoman wawancara, (3) test, atau (4) daftar pertanyaan atau angket.<br />
<b>Macam-macam pertanyaan:</b><br />
<ol>
<li>pertanyaan ttg. fakta: umur, pendidikan, jk, agama, status perkawinan, dst.</li>
<li>pertanyaan ttg. pendapat dan sikap: perasaan, pendapat atau sikap responden ttg. sesuatu</li>
<li>pertanyaan ttg. informasi: apa yang diketahui oleh responden, sejauh mana hal tersebut diketahui</li>
<li>Pertanyaan ttg. persepsi diri: penilaian responden tentang perilakunya sendiri</li>
</ol>
<b> </b><br />
<b>Bentuk pertanyaan: terbuka, tertutup, kombinasi terbuka dan tertutup.</b><br />
<b> </b><br />
<b>Pedoman singkat menyusun pertanyaan:</b><br />
<ol>
<li>Gunakan kata-kata yang dimengerti oleh semua responden</li>
<li>Pertanyaan jelas dan khusus</li>
<li>Hindarkan pertanyaan yang memiliki lebih dari satu pengertian</li>
<li>Hindarkan pertanyaan yang mengandung sugesti</li>
<li>Pertanyaan hendaknya berlaku bagi semua responden</li>
<li>Pertanyaan sensitif tidak diletakkan pada AWAL atau AKHIR daftar pertanyaan</li>
</ol>
<b>Mengumpulkan data</b><br />
Data penelitian yang akan dipakai untuk membuktikan kebenaran suatu hipotesis dapat dilakukan dengan cara-cara, seperti:<br />
1. Pengamatan atau observasi.<br />
Dapat dilakukan dengan cara partisipatif –terlibat langsung dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat yang diobservasi—atau non partisipatif,
tidak terlibat langsung dalam kehidupan sehari-hari/murni sebagai
pengamat. Keunggulan dari teknik ini adalah tidak menganggu aktivitas
responden. Data yang terkumpul lebih akurat pada observasi partisipatif,
karena responden tidak sadar kalau sedang diamati.<br />
2. Wawancara<br />
Wawancara dapat dilakukan dengan pedoman wawancara maupun tidak.
Keunggulan dari teknik wawancara adalah dapat menemukan data secara
mendalam, karena responden berhadapan langsung dengan pengumpul data.
Kelemahannya adalah mudah terpengaruhi oleh situasi, dan memakan waktu
yang lama.<br />
3. Angket<br />
Dilakukan dengan cara responden diminta mengisi daftar pertanyaa.
Keunggulan dari teknik ini adalah dapat dilakukan secara sistemetik dan
dapat menjaring responden dalam jumlah banyak meskipun waktunya
terbatas, responden dapat mengisi sesuai dengan waktu luangnya
masing-masing. Kelemahannya tidak dapat mengungkap situasi ketika
responden menjawab suatu pertanyaan, kadang data tidak utuh atau tidak
lengkap, dan tidak dapat mengungkap peristiwa khusus.<br />
4. Tes<br />
Digunakan untuk mengetahui kemampuan responden dalam suatu bidang
kompetensi tertentu. Soal-soal ulangan atau ujian pada dasarnya
merupakan instrument penelitian yang berupa test. Yang lain misalnya
test kecerdasan.<br />
5. Dokumen<br />
Data juga dapat diperoleh melalui dokumen, baik yang berupa tulisan, rekaman gambar, rekaman suara, foto, dan sebagainya.<br />
<b>Macam-macam data</b><br />
1) Menurut cara memperolehnya: data primer dan data sekunder<br />
2) Menurut jenisnya: data kualitatif dan data kuantitatif<br />
3) Menurut pengukurannya: diskrit/nominal, berjenjang/ordinal, interval.<br />
<b>Menganalisis data</b><b> </b><br />
<b>a. </b><b>Analisis kualitatif</b><br />
Analisis data secara kualitatif dilakukan dengan mendeskripsikan
dengan narasi hasil penelitian yang berupa data kualitatif, seperti
keterangan-keterangan atau pernyataan-pernyataan responden. Deskripsi
dilakukan dengan kata-kata.<br />
<b> </b><br />
<b>b. </b><b>Analisis kuantitatif</b><br />
Analisis kuantitatif merupakan analisis menggunakan rumus-rumus
statistic terhadap data hasil penelitian yang berupa angka-angka.<br />
Rumus-rumus statistik sederhana dapat dipergunakan untuk penelitian-penelitian kuantitatif sederhana, seperti:<br />
<ul>
<li>MEAN</li>
<li>MEDIAN</li>
<li>MODUS</li>
<li>PERSEN</li>
</ul>
<b> </b><br />
<b>LANGKAH-LANGKAH ANALISIS DATA</b><br />
<b> </b><br />
<ol>
<li><b> </b><b>Editing data </b>(melihat kelengkapan data, kejelasan tulisan, pemahaman catatan, konsistensi data, uniformitas data, kesesuaian jawaban</li>
<li><b>Koding</b> (memberikan kode terhadap jawaban responden. Kode dapat berupa (a) atribut atau (b) indeks</li>
<li><b>Tabulas</b>i data (memasukkan data ke dalam tabel-tabel: tally, lembaran kode, tabel distribusi frekuensi, tabel silang</li>
<li><b>Menghitung</b> dengan rumus statistic: mean, median, modus, persen, korelasi, dst.</li>
</ol>
<b>MENULIS LAPORAN</b><br />
Laporan penelitian diperlukan untuk mengkomunikasikan hasil
penelitiankepada pihak lain. Secanggih apa pun metode penelitian,
sepenting apa pun objek penelitian, tidak akan ada manfaatnya kalau
hasilnya tidak dikomunikasikan kepada pihak lain.<br />
Tubuh Laporan Penelitian<br />
<ol>
<li>Bagian Awal : halaman judul, daftar isi, daftar gambaar, daftar
table, kata pengantar, motto, persembahan, ucapan terimakasih, abstrak,
dll.</li>
<li>Bagian Isi/Inti: Bab I Pendahuluan, Bab II Tinjuan Pustaka, Bab III
Metodologi, Bab IV Hasil Penelitian, Bab V Penutup: Kesimpulan dan
Rekomendasi/saran-saran (tidak harus lima Bab).</li>
<li>Bagian Akhir: Daftar Pustaka dan Lampiran-lampiran.</li>
</ol>
Catatan:<br />
<ol>
<li>Laporan penelitianmengggunakan bahasa dan teknik penulisan dengan
ejaan yang benar dan baku (ketentuan-ketentuan penulisan karya tulis)</li>
<li>Menyebutkan sumber data (kutipan, kredit foto, pernyataan pemegang otoritas, dll).</li>
</ol>
Sumber: <a href="http://www.agsasman3yk.wordpress.com/" target="_blank">Klik Disini</a>Muhammad Zamronihttp://www.blogger.com/profile/10110306643251368312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7866388757807007826.post-17493458345548462592012-02-13T21:21:00.000+07:002012-02-13T21:57:35.785+07:00Lembaga Sosial: Pengertian, Tipe, dan Fungsi<b>Pendahuluan</b><br />
Manusia pada dasarnya hidup di dalam suatu lingkungan yang serba
berpranata. Artinya, segala tindakan dan perilakunya senantiasa akan
diatur menurut cara-cara tertentu yang telah disepakati bersama. Dalam
studi sosiologi dan antropologi, cara-cara tertentu yang telah disepakti
bersama itu disebut sebagai pranata sosial, atau dalam istilah lain
lembaga sosial, atau kadang juga disebut sebagai organisasi sosial atau
lembaga kemasyarakatan<span id="more-336"></span>.<br />
Apabila seseorang masuk di dalam suatu lingkungan sosial tertentu
–misalnya keluarga atau sekolah— ia akan dilayani sekaligus terikat oleh
seperangkat aturan yang berlaku di lingkungan tersebut sesuai dengan
kedudukan/status dan perannya. Seseorang yang berkedudukan sebagai ayah
dalam suatu keluarga akan dilayani sekaligus terikat oleh seperangkat
aturan, misalnya setiap pagi akan disedikan minum teh atau kopi beserta
kudapannya oleh seseorang yang berkedudukan sebagai isteri, sekaligus ia
akan terikat oleh seperangkat aturan tertentu, misalnya harus
melindungi keluarga, bertanggung jawab atas nafkah keluarga, bertindak
mewakili keluarga terhadap keluarga atau pihak lain, dan seterusnya.
Demikian juga seorang murid di suatu lingkungan sekolah, ia akan
mendapatkan pelayanan tertentu, misalnya dalam hal pembelajaran,
menerima informasi, dan sebagainya, tetapi sekaligus akan terikat oleh
seperangkat norma yang berlaku, misalnya tentang prasyarat mengikuti
pendidikan pada jenjang tertentu, untuk dapat mengikuti pendidikan di
jenjang SMP harus lulus SD terlebih dahulu, untuk mengikuti pendidikan
di jenjang SMA harus lulus SMP dulu, harus mengenakan seragam tertentu,
harus mengikuti prosedur tertentu, misalnya dapat mengikuti ujian
setelah mengikuti pendidikan dalam kurun waktu tertentu, dan seterusnya.<br />
Di dalam kehidupan masyarakat, jumlah pranata sosial yang ada relatif
beragam dan jumlahnya terus berkembang sesuai dengan dinamika
perkembangan masyarakat itu sendiri. Selain pranata keluarga dan
pendidikan seperti tersebut pada contoh di atas, masih banyak pranata
sosial lain, yang secara umum memiliki fungsi yang sama, yaitu mengatur
cara-cara warga masyarakat dalam memenuhi berbagai kebutuhan yang
penting.<br />
Setidaknya di dalam masyarakat terdapat lima pranata atau lembaga
sosial yang pokok, yaitu: (1) keluarga, (2) pendidikan, (3) ekonomi, (4)
politik, dan (5) agama. Namun, menurut ahli antropologi –seperti S.F.
Nadel (1953) dan Koentjaraningrat (1979), di luar lembaga pokok yang
telah disebutkan tadi, terdapat pranata lain, seperti: pranata ilmiah,
pranata keindahan, dan juga pranata rekreasi.<br />
<b>Pengertian Pranata/Lembaga Sosial</b><br />
Dalam kehidupan sehari-hari, pengertian pranata sosial sering bias
atau rancu dengan pengertian kelompok sosial atau asosiasi. Apalagi
kalau menggunakan istilah lembaga sosial, organisasi sosial, atau
lembaga kemasyarakatan. Pada uraian ini akan dijelaskan, bahkan
ditegaskan, tentang pengertian pranata sosial, dan perbedaannya dengan
kelompo sosial atau asosiasi.<br />
Horton dan Hunt (1987) mendefinisikan pranata sosial sebagai lembaga
sosial, yaitu sistem norma untuk mencapai tujuan atau kegiatan yang oleh
masyarakat dipandang penting.<br />
Di dalam sebuah pranata sosial akan ditemukan seperangkat nilai dan
norma sosial yang berfungsi mengorganir (menata) aktivitas dan hubungan
sosial di antara para warga masyarakat dengan suatu prosedur umum
sehingga para warga masyarakat dapat melakukan kegiatan atau memenuhi
kebutuhan hidupnya yang pokok.<br />
Koentjarningrat (1979) menyatakan bahwa pranata sosial adalah
sistem-sistem yang menjadi wahana yang memungkinkan warga masyarakat
untuk berinteraksi menurut pola-pola atau sistem tatakelakuan dan
hubungan yang berpusat pada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi
kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat.<br />
Terdapat tiga kata kunci dalam setiap pembahasan tentang pranata
sosial, yaitu: (1) nilai dan norma sosial, (2) pola perilaku yang
dibakukan atau yang disebut dengan prosedur umum, dan (3) sistem
hubungan, yaitu jaringan peran serta status yang menjadi wahana untuk
melaksanakan perilaku sesuai dengan prosedur umum yang berlaku.<br />
Pranata sosial pada dasarnya bukan merupakan sesuatu yang kongkrit,
dalam arti tidak selalu hal-hal yang ada dalam suatu pranata sosial
dapat diamati atau dapat dilihat secara empirik (kasat mata). Tidak
semua unsur dalam suatu pranata sosial mempunyai perwujudan fisik.
Bahkan, pranata sosial lebih bersifat konsepsional, artinya keberadaan
atau eksistensinya hanya dapat ditangkap dan difahami melalui pemikiran,
atau hanya dapat dibayangkan dalam imajinasi sebagai suatu konsep atau
konstruksi yang ada di alam pikiran. Beberapa unsur pranata dapat
diamati atau dilihat, misalnya perilaku-perilaku individu atau kelompok
ketika melangsungkan hubungan atau interaksi sosial dengan sesamanya.<br />
Hal penting yang perlu ditegaskan di sini adalah bahwa seorang
individu atau sekelompok orang dapat saja datang dan pergi dalam suatu
lembaga, tetapi fungsi individu atau kelompok dalam pranata hanyalah
sebagai pelaksana fungsi atau pelaksana kerja dari suatu unsur lembaga
sosial. Kedatangan atau kepergian individu atau sekelompok individu
tidak akan menganggu eksistensi dari suatu lembaga sosial. Individu atau
sekelompok individu di dalam pranata sosial, kedatangannya atau
kepergiannya hanyalah berfungsi saling menggantikan.<br />
Agar lebih jelas tentang pranata sosial, berikut disajikan tentang perbedaannya dengan kelompok sosial atau asosiasi.<br />
<table border="1" cellpadding="0" cellspacing="0" style="width: 588px;">
<tbody>
<tr>
<td valign="top" width="114">Konteks per-bandingan</td>
<td valign="top" width="228">Lembaga/Pranata Sosial</td>
<td valign="top" width="246">Asosiasi/kelompok/badan sosial</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="114">Pengertian</td>
<td valign="top" width="228"><ul>
<li>Suatu sistem norma khusus yang menata serangkaian tindakan berpola
untuk keperluan khusus manusia dalam kehidupan bermasyarakat
(Koentjaraningrat)</li>
<li>Sistem pola sosial yang tersusun rapi dan secara relatif bersifat
permanen, mengandung perilaku tertentu yang kokoh dan terpadu demi
pemuasan kebutuhan pokok manusia (Bruce J. Cohen)</li>
</ul>
<br /></td>
<td valign="top" width="246">Orang-orang yang berkumpul membentuk unit atau satuan sosial:
<br />
<ul>
<li>Saling berinteraksi</li>
<li>Memiliki kesadaran sebagai satuan sosial dan solidaritas</li>
<li>Membentuk sistem hidup bersama yang “melakukan suatu aktivitas” untuk mencapai tujuan tertentu</li>
<li>Menghasilkan kebudayaan</li>
</ul>
(disarikan dari beberapa pengertian)<br />
<br /></td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="114">Komponen utamanya</td>
<td valign="top" width="228"><ul>
<li>Komponen utamanya adalah aturan-aturan (sistem norma)</li>
</ul>
<br />
<ul>
<li>Memiliki pengikut, orang-orang dalam lembaga dapat datang dan
pergi tanpa menganggu eksistensi lembaga sosial, karena hanya
melaksanakan fungsi dari suatu status atau kedudukan</li>
<li>Komponen utamanya adalah orang-orang yang melakukan aktivitas dalam bidang tertentu</li>
<li>Memiliki anggota; suatu kelompok akan bubar apabila orang-orang yang menjadi anggotanya keluar dari kelompok</li>
</ul>
</td>
<td valign="top" width="246"><br /></td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="114">Contoh</td>
<td valign="top" width="228"><ul>
<li>Permainan olah raga sepak bola</li>
<li>Jurnalistik</li>
</ul>
<br />
<ul>
<li>Pendidikan Menengah Umum</li>
<li>Perkawinan /keluarga</li>
</ul>
<br />
<br />
<ul>
<li>Organisasi Kesiswaan</li>
</ul>
<br />
<br /></td>
<td valign="top" width="246"><ul>
<li>Tim sepakbola: PSS, PSIM, PERSIJA, dst.</li>
<li>PT Abdi Bangsa, Penerbit HU Republika</li>
<li>SMA Negeri 3 Yogyakarta</li>
</ul>
<br />
<ul>
<li>Kantor Urusan Agama Kecamatan Pakem/Keluarga Pak Yekti</li>
<li>OSIS</li>
</ul>
</td>
</tr>
</tbody>
</table>
<b>Institusionalisasi (Pelembagaan)</b><br />
Proses pelembagaan atau instiusionalisasi adalah suatu proses
penggantian tindakan-tindakan spontan dan coba-coba (eksperimental)
dengan perilaku yang diharapkan, dipolakan, diatur, serta dapat
diramalkan,<br />
Seperangkat hubungan sosial dinyatakan melembaga (<i>institutionalized</i>) apabila:<br />
<ol>
<li>Berkembang sistem yang teratur berkenaan dengan status dan peran
yang harus dilaksanakan oleh seseorang dalam melakukan aktivitas atau
memenuhi kebutuhan hidup tertentu</li>
<li>berkembang sistem harapan, status dan peran telah berlaku umum dan diterima sebagian besar warga masyarakat.</li>
</ol>
Proses berlangsungnya dapat digambarkan sebagai berikut. Orang
mencari-cari cara untuk memenuhi kebutuhannya. Ditemukan cara yang
terbukti mudah dilakukan dan berhasil baik. Selanjutnya cara tersebut
diulang-ulang. Cara tersebut dibakukan sehingga mengikat para warga
masyarakat untuk menggunakannya. Jika telah mengikat, artinya cara
tersebut artinya telah melembaga. Ingat baik-baik tentang perkembangan
norma mulai dari <i>usage, folkways, mores, customs</i> sampai dengan <i>Law</i>.<br />
<b>Tujuan dan fungsi lembaga sosial</b><br />
Diciptakannya pranata sosial pada dasarnya mempunyai maksud serta
tujuan yang secara prinsipil tidak berbeda dengan norma-norma sosial,
karena pada dasarnya pranata sosial merupakan seperangkat norma sosial.<br />
Secara umum, tujuan utama pranata sosial, selain untuk mengatur agar
kebutuhan hidup manusia dapat terpenuhi secara memadai, juga sekaligus
untuk mengatur agar kehidupan sosial para warga masyarakat dapat
berjalan dengan tertib dab lancar sesuai dengan kaidah-kaidah yang
berlaku. Contoh: pranata keluarga mengatur bagaimana keluarga harus
merawat (memelihara) anak. Pranata pendidikan mengatur bagaimana sekolah
harus mendidik anak-anak sehingga dapat menghasilkan lulusan yang
handal.<br />
Tanpa adanya pranata sosial, kehidupan manusia dapat dipastikan bakal
porak poranda kaena jumlah prasarana atau sarana untuk memenuhi
kebutuhan manusia relatif terbatas, sementara jumlah orang yang
membutuhkan justru semakin lama semakin banyak. Itulah mengapa semakin
lama, seiring dengan meningkatkan jumlah penduduk suatu masyarakat,
pranata sosial yang ada di dalamnya juga semakin banyak dan kompleks.
Kompleksitas pranata sosial pada masyarakat desa akan lebih rendah
daripada masyarakat kota.<br />
Koentjaraningrat (1979) mengemukakan tentang fungsi pranata sosial dalam masyarakat, sebagai berikut:<br />
<ol>
<li>Memberi pedoman pada anggota masyarakat tentang bagaimana bertingkah
laku atau bersikap di dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Adanya fungsi ini kaena pranata sosial telah siap dengan bebagai aturan
atau kaidah-kaidah sosial yang dapat digunakan oleh anggota-anggota
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya.</li>
<li>Menjaga keutuhan masyarakat (integrasi sosial) dari ancaman
perpecahan (disintegrasi sosial). Hal ini mengingat bahwa jumlah
prasarana atau sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia terbatas
adanya, sedangkan orang-orang yang membutuhkannya semakin lama justru
semakin meningkat kualitas maupun kuantitasnya, sehingga memungkinkan
timbulnya persaingan (kompetisi) atau pertentangan/pertikaian (konflik)
yang bersumber dari ketidakadilan atau perebutan prasarana atau sarana
memenuhi kebutuhan hidup tersebut. Sistem norma yang ada dalam suatu
pranata sosial akan berfungsi menata atau mengatur pemenuhan kebutuhan
hidup dari para warga masyarakat secara adil dan memadai, sehingga
keutuhan masyarakat akan terjaga.</li>
<li>Berfungsi untuk memberikan pegangan dalam melakukan pengendalian sosial (<i>social control</i>).
Sanksi-sanksi atas pelanggaran norma-norma sosial merupakan sarana agar
setiap warga masyarakat konformis (menyesuaikan diri) terhadap
norma-norma sosial itu, sehingga tertib sosial dapat terwujud. Dengan
demikian, sanksi yang melakat pada setiap norma itu merupakan pegangan
dari warga masyarakat untuk melakukan pengendalian sosial
–meluruskan—warga masyarakat yang perilakunya menyimpang dari
norma-norma sosial yang berlaku.</li>
</ol>
Karakteristik Lembaga Sosial<br />
Dari uraian-uraian sebelumnya dapat ditemukan unsur-unsur yang
terkandung dalam pengertian atau konsep pranata sosial, seperti: (1)
berkaitan dengan kebutuhan pokok manusia dalam hidup bermasyarakat, (2)
merupakan organisasi yang relatif tetap dan tidak mudah berubah, (3)
merupakan organisasi yang memiliki struktur, misalya adanya status dan
peran, dan (4) merupakan cara bertindak yang mengikat.<br />
Gillin dan Gillin mengemukakan ciri-ciri pranata sosial sebagaimana
dikutip oleh Selo Soemadjan dan Soelaiman Soemardi (1964) dan
Koentjaraningrat (1979) yang ringkasannya sebagai berikut:<br />
<ol>
<li>Pranata sosial merupakan suatu organisasi pola pemikiran dan
perilakuan yang terwujud sebagai aktivitas warga masyarakat yang
berpijak pada suatu “nilai tertentu” dan diatur oleh: kebiasaan, tata
kelakuan, adat istiadat maupun hukum.</li>
<li>Pranata sosial memiliki tingkat kekekalan relatif tertentu. Pranata
sosial pada umumnya mempunyai daya tahan tertentu sehingga tidak cepat
lenyap dari kehidupan bermasyarakat. Umur yang relatif lama itu karena
seperangkat norma yang merupakan isi suatu pranata sosial terbentuk
dalam waktu yang relatif lama dan tidak mudah, juga karena norma-norma
tersebut berorientasi pada kebutuhan pokok, maka masyarakat berupaya
menjaga dan memelihara pranata sosial tersebut sebaik-baiknya, apalagi
kalau pranata tersebut berkaitan dengan nilai-nilai sosial yang
dijunjung tinggi</li>
<li>Pranata sosial mempunyai satu atau beberapa tujuan yang ingin dicapai atau diwujudkan.</li>
<li>Memiliki alat-alat perlengkapan baik keras (<i>hardware</i>) maupun lunak (<i>soft ware</i>)
untuk mencapai atau mewujudkan tujuan-tujuan dari pranata sosial.
Karena masing-masing pranata memiliki tujuan yang berbeda-beda, maka
perlengkapannyapun berbeda antara satu pranata dengan pranata lainnya.
Perlengkapan dalam pranata keluarga berbeda dari perlengkapan pada
lembaga pendidikan, ekonomi, politik, maupun agama</li>
<li>Memiliki simbol atau lambang tersendiri. Lambang, di samping
merupakan spesifikasi dari suatu pranata sosial, juga sering dimaksudkan
secara simbolis menggambarkan tujuan atau fungsi dari suatu pranata.
Lambang suatu pranata sosial daat berupa gambar, tulisan, atau
slogan-slogan, yang dapat merupakan representasi ataupun sekedar
menggambarkan spesifikasi dari pranata sosial yang besangkutan. Misalnya
Burung Garuda atau Bendera Merah Putih dapat merepresentasikan
Indonesia, sedangkan gambar buku dan pena merupakan gambaran dari
spesifikasi suatu lembaga pendidikan.</li>
<li>Memiliki dokumen atau tradisi baik lisan maupun tertulis yang
berfungsi sebagai landasan atau pangkal tolak untuk mencapai tujuan
serta melaksanakan fungsi.</li>
</ol>
Unsur-unsur Lembaga Sosial<br />
Menurut Horton dan Hunt (1987), setiap pranata sosial mempunyai unsur-unsur sebagai berikut.<br />
<ol>
<li>Unsur budaya simbolik, misalnya cincin kawin dalam lembaga keluarga</li>
<li>Unsur budaya manfaat, misalnya rumah atau kendaraan dalam lembaga keluarga</li>
<li>Kode spesifikasi baik lisan maupun tertulis, misalnya akta atau ikrar nikah dalam lembaga keluarga</li>
<li>Pola perilakuan, misalnya pemberian perlindungan dalam lembaga keluarga</li>
<li>Ideologi, misalnya cinta dan kasih sayang dalam lembaga keluarga</li>
</ol>
Tipe Lembaga Sosial<br />
Sebagaimana telah disampaikan pada uraian terdahulu, pranata sosial
mempunyai tujuan-tujuan umum yang sama, yakni mengatur warga masyarakat
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi apabila dirinci lebih lanjut,
karena kebutuhan hidup itu juga bermacam-macam, di dalam masyarakat
dijumpai pranata sosial yang bermacam-macam tipologinya.<br />
Gillin dan Gillin (1954) mengemukakan tipe-tipe pranata sosial
(dikutip oleh Koentjaraningrat, juga oleh Soerjono Soekanto) sebagai
berikut.<br />
1. Menurut perkembangannya, dibedakan antara <i>crescive</i> dan <i>enacted</i> <i>institutions</i>, yakni pranata sosial yang tumbuh dengan sendirinya dan lembaga yang sengaja dibentuk.<br />
2. Berdasarkan orientasi nilainya, dibedakan antara pranata sosial dasar (<i>basic institutions)</i> dan subsider (<i>subsidiary institutions)</i>,
yakni lembaga sosial yang berdasarkan nilai dasar dan vital, misalnya
keluarga, agama, dst., dan lembaga sosial yang dibangun di atas dasar
nilai yang tidak penting, misalnya rekreasi.<br />
3. Dari sudut penerimaan masyarakat, ditemukan lembaga sosial
bersanksi dan tidak bersanksi, yakni lembaga sosial yang adanya
diharapkan oleh masyarakat, misalnya perkawinan, dan lembaga sosial yang
keberadaannya ditolak oleh masyarakat, misalnya <i>kumpul kebo</i> (<i>cohabitation</i>).<br />
4. Dari sudut komppleksitas penyebarannya, dibedakan antara pranata sosial umum (<i>general institutions</i>) dan lembaga sosial terbatas (<i>restricted instutions</i>),
yakni lembaga sosial yang ditemukan dalam setiap masyarakat, misalnya
keluarga, dan lembaga sosial yang hanya ditemukan pada masyarakat yang
terbatas, misalnya keluarga patrilineal.<br />
5. Berdasarkan fungsinya, dibedakan antara pranata sosial operatif (<i>operative institutions) </i>dengan pranata sosial regulatif (<i>regulative institutions)</i>,
yakni lembaga sosial yang fungsinya memproduksi atau menghasilkan jasa
atau barang kebutuhan masyarakat, dan lembaga yang fungsi utamanya
menciptakan keteraturan (regulasi) dalam masyarakat. Bedakan antara
lembaga pendidikan atau ekonomi/industri dengan lembaga kepolisian,
kejaksaan, atau kehakiman.<br />
<b>Pranata Sosial yang Pokok</b><br />
Sebagaimana telah disebut di bagian depan uraian ini, di dalam
masyarakat dijumpai setidaknya lima pranata sosial pokok, yaitu: (1)
keluarga, (2) agama, (3) ekonomi. (4) politik, dan (5) pendidikan, di
samping adanya pranata-pranata yang berada di luar itu, seperti pranata
ilmiah, pranata keindahan, dan pranata rekreasi. Berikut ini akan
diuraikan tentang lima lembaga pokok.<br />
<b>Pranata Keluarga</b><br />
<b> </b><br />
Pranata keluarga adalah pranata yang berfungsi untuk menata atau
mengatur aktivitas warga masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
mempertahankan kelangsungan hidupnya.<br />
Keluarga merupakan pranata sosial dasar dan bersifat universal.
Keluarga merupakan pusat terpenting dari pranata-pranata lainnya. Di
masyarakat mana pun di dunia ini, akan selalu dijumpai pranata keluarga.<br />
Horton dan Hunt (1987) mengemukakan bahwa, istilah keluarga umumnya
digunakan untuk menyebut: (1) suatu kelompok yang memiliki nenek moyang
yang sama, (2) suatu kelompok kekerabatan yang disatukan oleh hubungan
darah atau perkawinan, (3) pasangan perkawinan, dengan atau tanpa
anak-anak, (4) pasangan perkawinan yang mempunyai anak, (5) satu orang
–dua atau janda—dengan beberapa anak.<br />
<br />
Aktivitas warga masyarakat yang diatur oleh lembaga keluarga antara
lain: (1) masalah kelangsungan keturunan hidup, hal ini menyangkut
kebutuhan akan relasi seksual antara pria dan wanita yang diatur oleh
lembaga perkawinan, (2) masalah perawatan atau pemeliharaan anak-anak
baik yang bersifat fisik, biologis, psikologis maupun sosial, dan (3)
hubungan persaudaraan, darah, kekerabatan dan organisasi kekeluargaan.<br />
<b> </b><br />
Berdasarkan orientasi atau proses pembentukannya, Horton dan Hunt (1987) membedakan antara keluarga konjugal (<i>conjugal family</i>) atau keluarga inti dengan keluarga konsanguinal (<i>consanguine family</i>)
atau keluarga kerabat. Keluarga konjugal adalah keluarga yang dibentuk
oleh perkawinan. Anggota keluarga ini adalah suami, isteri, dan
anak-anak yang belum kawin. Kadang juga dinamakan sebagai <i>the family of procreation</i>.
Dalam keluarga ini anggota keluarga lebih menekankan pada pentingnya
hubungan perkawinan dari pada hubungan darah. Keluarga konsanguinal
adalah keluarga yang didalamnya seseorang dilahirkan. Sering disebut
sebagai <i>the family of orientation</i>. Dalam keluarga jenis ini hubungan darah lebih dipentingkan dari pada hubungan perkawinan.<br />
<b> </b><br />
<b>Keluarga inti</b><br />
<b> </b><br />
Keluarga inti (atau biasanya disebut dengan istilah keluarga saja)
adalah keluarga yang terdiri atas ayah atau suami, ibu atau isteri
dengan atau tanpa anak-anak baik yang dilahirkan maupun yang diadopsi
(anak angkat). Istilah lainnya adalah: keluarga batih, somah atau <i>nuclear family</i>.<br />
Beberapa pranata sosial dasar yang berhubungan dengan keluarga inti adalah: (1) kencan (<i>dating</i>),
(2) peminangan, (3) pertunangan, dan (4) perkawinan. Tidak semua
pranata sosial dasar ini dijumpai pada suatu masyarakat atau sukubangsa.
Pranata kencan atau dating mungkin banyak dijumpai pada masyarakat
Eropa Barat dan Amerika Utara, tetapi tidak banyak dijumpai pada
masyarakat Timur seperti Indonesia.<br />
<b>Pranata kencan (<i>dating</i>)</b><br />
<b> </b><br />
Kencan merupakan perjanjian sosial yang secara kebetulan dilakukan
oleh dua individu yang berlainan jenis kelaminnya untuk mendapatkan
kesenangan. Pada umumnya, kencan ini mengawali suatu perkawinan. Jadi
fungsi kencan yang sebenarnya adalah memberi kesempatan bagi kedua belah
pihak (laki-laki dan perempuan) untuk saling mengenal<b>, </b>atau bahkan saling menyelidiki kepribadian, sebelum mereka berdua mengikatkan diri dalam suatu perkawinan.<br />
Tidak semua keluarga dari berbagai bagian dunia ini mengikuti pranata
sosial kencan ini. Dalam suatu masayarakat di mana jodoh itu ditentukan
oleh orangtua, maka pranata kencan tidak dijumpai, atau bahkan
dilarang.<br />
Dewasa ini, pada beberapa masyarakat, kencan tidak selalu
diorientasikan kepada terbentuknya perkawinan atau keluarga, melainkan
hanya untuk tujuan bersenang-senang, sehingga dapat dilakukan oleh
orang-orang yang saling suka meskipun tidak bermaksud membentuk suatu
keluarga.<br />
<b>Pranata Peminangan (<i>courtship</i>)</b><br />
<b> </b><br />
Apabila melalui pranata kencan hubungan antara dua individu berjenis
kelamin berbeda itu telah mantap, maka dapat dilanjutkan dengan
peminangan, yaitu permintaan untuk menjalin sebuah hubungan eksklusif
(khusus dan tertutup) di antara dua orang berbeda jenis kelamin yang
akan melangsungkan perkawinan. Peminangan dapat dilakukan oleh pihak
laki-laki maupun pihak perempuan, sesuai dengan pranata sosial yang
berlaku. Pada masyarakat Minangkabau, peminangan dilakukan oleh pihak
perempuan. Pada banyak masyarakat dilakukan oleh pihak laki-laki.<br />
<b>Pranata Pertunangan (<i>mate-selection</i>)</b><br />
<b> </b><br />
Pertunangan dapat diartikan sebagai hubungan yang diumumkan secara
resmi/formal di antara laki-laki dengan perempuan yang bermaksud untuk
menikah. Pranata pertunangan ini lebih banyak dikenal di negara-negara
Eropa Barat dan Amerika Utara. Sementara di masyarakat Asia, pertunangan
hanya dilakukan di kalangan tertentu, biasanya di kalangan menengah
atas atau orang kota.<br />
<b>Pranata Perkawinan (<i>marriage</i>)</b><br />
<b> </b><br />
Pranata terakhir yang berkaitan dengan pembentukan keluarga inti
adalah perkawinan, yang secara sosiologis dapat diartikan sebagai ikatan
antara seorang laki-laki atau lebih dengan seorang perempuan atau lebih
yang terbentuk atau berlangsung melalui persetujuan masyarakat.
Konsekuensi dari suatu perkawinan adalah adanya status baru (suami dan
isteri) yang diikuti dengan sederet hak dan kewajiban atau tanggung
jawab baru.<br />
Horton dan Hunt (1987) memberikan batasan bahwa perkawinan merupakan
pola sosial yang disetujui dengan cara mana dua orang atau lebih
membentuk keluarga.<br />
Menurut UU Perkawinan RI, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang laki-laki dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan yang Mahaesa (Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974).
Definisi menurut undang-undang ini agak berbeda dengan definisi
sosiologi, karena landasan berfikir yang berbeda. Definisi menurut
undang-undang berpijak pada bagaimana sebaiknya suatu peristiwa sosial
itu berlangsung, sedangkan definisi sosiologi lebih berdasarkan pada
bagaimana suatu peristiwa sosial itu apa adanya (<i>taken from granted</i>).
Sehingga dalam definisi sosiologi, perkawinan dapat diartikan sebagai
ikatan antara seorang laki-laki atau beberapa laki-laki dengan seorang
wanita atau beberapa wanita dalam suatu hubungan suami isteri dan diberi
sanksi sosial. Definisi ini didasarkan pada kenyataan, bahwa perkawinan
tidak selalu merupakan ikatan antara seorang wanita dengan seorang
laki-laki (<i>monogami</i>), melainkan dapat berlangsung dalam bentuk poligami, dapat antara seorang laki-laki dengan lebih dari satu perempuan (<i>poligini</i>), seorang perempuan dengan beberapa laki-laki (<i>poliandri</i>), atau bahkan beberapa laki-laki dengan beberapa perempuan (<i>conogami</i> atau <i>group marriage</i>).<br />
Pijakan sahnya perkawinan dapat didasarkan pada ketentuan adat,
agama, ataupun hukum negara, dan suatu perkawinan akan memiliki
legalitas yang kuat apabila dilangsungkan sesuai dengan tiga ketentuan
tersebut, jadi sah secara adat, sah secara agama, dan sah secara hukum
negara. Perkawinan siri merupakan contoh perkawinan yang sah menurut
ketentuan agama, tetapi tidak menurut hukum negara.<br />
<b>Keluarga Luas</b><br />
Keluarga luas lebih didasarkan pada pertalian atau ikatan darah atau
ketutunan daripada ikatan perkawinan, sehingga sifatnya lebih stabil,
karena eksistensinya tidak terganggu oleh adanya perceraian.<br />
Karena dasar utamanya adalah garis keturunan, maka dapat dibedakan
antara keluarga luas parental (bilateral) yang menghitung garis
keturunan melalui pihak laki-laki (ayah) maupun perempuan (ibu), dan
keluarga luas unilineal, yang menghitung garis keturunan berdasarkan
keturunan ayah saja (patrilineal), atau ibu saja (matrilineal).<br />
<b>Keluarga Luas Bilateral (Parental)</b><br />
Keluarga luas bilateral menentukan garis keturunan berdasarkan garis
keturunan dua pihak, laki-laki (ayah) dan perempuan (ibu). Sehingga,
dapat dipastikan dalam keluarga luas bilateral, semua kerabat biologis
akan sekaligusmenjadi kerabat kultural. Seseorang akan mempunyai dua
orang kakek, yaitu ayahnya ayah dan ayahnya ibu, dan dua orang nenek,
yaitu ibunya ayah dan ibunya ibu. Keluarga jenis ini dijumpai pada
banyak masayarakat, antara lain Jawa dan Sunda.<br />
<b>Keluarga Luas Unilineal</b><br />
<b> </b><br />
Pada keluarga luas unilineal garis keturunan ditentukan berdasarkan
satu pihak, yaitu ibu saja atau ayah saja, sehingga tidak semua kerabat
biologis otomatis menjadi kerabat kultural.<br />
Pada keluarga luas matrilineal, garis keturunan ditentukan
berdasarkan garis ibu, sehingga ayahnya ibu, anak dari anak laki-laki,
anaknya saudara laki-laki ibu, dan seterusnya, meskipun secara biologis
adalah kerabat, tetapi secara kultural mereka bukanlah kerabat.<br />
Sebaliknya, pada keluarga luas patrilineal, garis keturunan
ditentukan berdasarkan garis ayah, sehingga ibunya ayah, anak dari anak
perempuan, anaknya saudara perempuan ayah, dan seterusbya, meskipun
secara biologis adalah kerabat, tetapi secara kultural mereka bukanlah
kerabat.<br />
<b>Pola menetep setelah menikah </b><br />
<b> </b><br />
Lingkup pranata keluarga juga meliputi Di dalam masyarakat terdapat beberapa pola menetap (<i>residence pattern</i>), seperti:<br />
<ol>
<li>Patrilokal (menetap di keluarga pihak suami)</li>
<li>Matrilokal (menetap di keluarga pihak isteri)</li>
<li>Ambilokal atau utrolokal (memilih di pihak suami atau isteri)</li>
<li>Natalokal (di tempat lahir masing-masing)</li>
<li>Neolokal (menetap di tempat tinggal yang baru)</li>
<li>Avunkolokal (di keluarga saudara laki-laki ibu)</li>
</ol>
<b>Fungsi Keluarga</b><br />
<b> </b><br />
Karena dalam banyak masyarakat, keluarga dianggap sangat penting dan
menjadi pusat perhatian kehidupan individu, bahkan anggota keluarga yang
satu memperlakukan anggota keluarga lain sebagai tujuan, maka fungsi
keluarga dalam banyak masyarakat relatif sama. Secara rinci, beberapa
fungsi dari keluarga adalah:<b> </b><br />
<ul>
<li><b>Fungsi Reproduksi atau pengaturan keturunan</b></li>
</ul>
Fungsi ini merupakan hakikat dari keluarga untuk menjaga kelangsungan
hidup manusia dan sebagai dasar kehidupan sosial manusia dan bukan
sekedar kebutuhan biologis saja. Fungsi ini didasarkan atas
pertimbangan-pertimbangan sosial, misalnya melanjutkan keturunan,
mewariskan harta kekayaan, ataupun jaminan di hari tua.<br />
<ul>
<li> <b>Fungsi Afeksi atau kasih sayang</b></li>
</ul>
<br />
Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan akan kasih sayang
atau rasa dicintai. Sejumlah studi telah menunjukkan bahwa kenakalan
yang serius merupakan salah ciri khas anak-anak yang di keluarganya
tidak merasakan kasih sayang.<br />
<ul>
<li><b>Sosialisasi atau pendidikan</b></li>
</ul>
<b> </b><br />
Fungsi ini adalah untuk mendidik anak mulai dari awal sampai
pertumbuhan anak hingga terbentuk kepribadian atau personality-nya.
Anak-anak itu lahir tanpa bekal keterampilan sosial, maka agar anak
dapat berpartisipasi dalam kehidupan sosial, orangtua perlu
mensosialisasikan tentang nilai-nilai dan norma-norma sosial yang
berlaku di masyarakatnya. Anak-anak harus dibelajarkan tentang suatu
hal, apa yang boleh dan tidak boleh, apa yang pantas dan tidak pantas,
apa yang baik dan tidak baik, sehingga si anak dapat hidup wajar dan
diterima oleh sesama anggota masyarakat/kelompoknya.<br />
<ul>
<li> <b>Fungsi Ekonomi atau produksi</b></li>
</ul>
Suatu keluarga diharapkan menjalankan fungsi ekonomi, dalam arti
dapat menjamin pemenuhan kebutuhan material para anggota keluarga.
Fungsi ini harus berjalan, karena para anggota keluarga memiliki
kebutuhan-kebutuhan yang bersifat material yang untuk memenuhinya harus
ada pengorbanan-pengorbanan yang bersifat ekonomi. Dalam banyak
masyarakat, seorang suami atau ayah dituntut untuk menjalankan fungsi
produksi untuk menjamin nafkah bagi keluarganya. Dalam masyarakat yang
telah menganut kesetaraan laki-laki perempuan, fungsi produksi dalam
arti mencari nafkah tidak hanya merupakan beban laki-laki, tetapi dapat
menjadi tugas bersama antara seorang suami dan isteri.<br />
Apabila fungsi ekonomi keluarga ini tidak terjamin, dapat menganggu
pelaksanaan fungsi-fungsi lain dari keluarga, seperti afeksi dan
sosialisasi.<br />
<ul>
<li> <b>Pelindung atau proteksi</b></li>
</ul>
Yang dimaksud adalah bahwa keluarga diharapkan menjalan fungsi
sebagai pelindung bagi para anggota-anggotanya sehingga dapat menikmati
keadaan yang dirasa aman dan tanpa ancaman dari pihak manapun<br />
<br />
<ul>
<li><b>Penentuan status</b></li>
</ul>
<br />
Pada masyarakat feodal atau berkasta, di mana status seseorang lebih
banyak diberikan berdasarkan keturunan, keluarga berfungsi mewariskan
status sosial kepada para anggotanya. Misalnya status sebagai bangsawan
atau kedudukan dalam kasta.<br />
<ul>
<li> <b>Pemeliharaan</b></li>
</ul>
<br />
Keluarga pada dasarnya memiliki fungsi memelihara anggota-anggotanya
sehingga mereka dapat hidup dengan nyaman dan terbebaskan dari berbagai
penderitaan, termasuk penyakit-penyakit. Fungsi pemeliharaan ini sangat
dirasakan oleh para anggota keluarga yang masih di bawah usia lima
tahun, juga bagi yang telah lanjut usia atau jompo.<br />
Dalam perkembangannya, sesuai dengan semakin kompleksnya
lembaga-lembaga yang ada dalam masyarakat, beberapa fungsi keluarga
dialihkan kepada lembaga lain, misalnya sebagian fungsi edukasi
dialihkan ke lembaga pendidikan atau sekolah, pada golongan menengah ke
atas atau masyarakat kota, pengalihan fungsi ini telah dilakukan sejak
dini, misalnya anak usia 3 atau 4 tahun sudah disertakan dalam
pendidikan usia dini atau play group. Kemudian fungsi perawatan anak
sebagian dialihkan ke lembaga pentitipan anak, fungsi proteksi banyak
diambil alih oleh negara melalui aparat kepolisian atau para petugas
keamanan masyarakat, dan sebagainya.<br />
Tidak semua keluarga dapat menjalankan fungsi-fungsi di atas dengan
baik. Kegagalan keluarga menjalankan fungsi dapat disebabkan oleh
berbagai faktor, antara lain:<br />
<ul>
<li> Faktor pribadi, misalnya suami-isteri kurang menyadari akan arti
dan fungsi perkawinan yang sebenarnya. Misalnya egoisme, kurang mampu
bertoleransi, kurang adanya saling-percaya, dan sebagainya</li>
<li>Faktor situasi khusus dalam keluarga, seperti: pengaruh atau
intervensi orangtua dari suami dan/atau isteri, isteri bekerja dan
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari suaminya, tinggal bersama
dengan keluarga inti lain dalam sebuah rumah tangga, suami dan atau
isteri terlalu sibuk dengan pekerjaan dan kariernya.</li>
</ul>
Faktor-faktor tersebut dapat mengakibatkan disfungsi dalam keluarga,
misalnya terganggunya fungsi biologis/reproduksi karena suami atau
isteri jarang di rumah, orangtua kurang mampu memberikan perhatian dan
kasih sayang kepada anak-anaknya, orangtua tidak mampu menanamkan sense
of value kepada anak-anaknya, dan sebagainya.<br />
Disfungsi dalam keluarga apabila dibiarkan dapat menyebabkan <i>broken home</i> atau disintegrasi keluarga.<br />
<b>Pranata Agama</b><br />
<b> </b><br />
Kajian tentang agama dapat dibedakan menjadi dua dimensi, yaitu
teologis dan sosiologis. Kajian agama dalam dimensi teologis berangkat
dari adanya klaim tentang kebenaran multlak ajaran suatu agama bagi para
pengikut atau pemeluknya. Doktrin-doktrin agama yang diyakini berasal
dari Tuhan, kebenarannya melampui kemampuan akal atau pikiran manusia,
sehingga hanya dapat diyakini dengan dimilikinya sesuatu dalam hati/diri
manusia yang disebut iman.<br />
Sedangkan dalam dimensi sosiologis, agama dipandang sebagai salah
satu institusi atau pranata sosial. Karena posisinya sebagai sub dari
sistem sosial, maka eksistensi dan peran agama dalam suatu masyarakat
adalah sebagaimana eksistensi dan peran dari subsistem lainnya, misalnya
politik, ekonomi, pendidikan, ataupun keluarga.<br />
Sosiologi memandang suatu agama bukan pada masalah kebenaran dari
doktrin, keyakinan, atau ajaran-ajarannya, melainkan bagaimana doktrin,
keyakinan atau ajaran-ajaran itu mewujud dalam perilaku para pemeluknya
dalam kehidupan sehari-hari. Studi tentang perilaku keberagamaan manusia
sebagai suatu realitas kehidupan sosial itu kemudian dikenal sebagai
sosiologi agama. Dalam sosiologi agama, agama dan keberagamaan seseorang
semata-mata dianggap sebagai salah satu dari berbagai gejala sosial.<br />
Definisi agama menurut pandangan sosiologi dapat dilihat antara lain
pada definisi menurut Emmile Durkheim, bahwa agama adalah suatu sistem
kepercayaan dan praktik-praktik (tingkah laku) yang berhubungan dengan
hal-hal yang dianggap suci atau sakral (<i>sacred</i>), dan menyatukan semua penganutnya ke dalam satu komunitas moral yang disebut umat (<i>church</i>).<br />
Sebagai suatu sistem keyakinan, agama berbeda dengan isme-isme yang
lain. Agama diyakini oleh para penganutnya sebagai hal yang berpijak
pada: (1) sesuatu yang dianggap <i>sacred</i> (suci), (2) bersifat
supranatural, dan (3) ajaran bersumber dari Tuhan yang diturunkan
melalui para Nabi atau Rasul, sedangkan isme-isme lainnya: (1)
didasarkan pada hal-hal yang bersifat <i>profane </i>(biasa), (2) bersifat natural, dan (3) bersumber dari gagasan/idea tokohnya.<br />
Sesuatu yang dianggap suci dan sacral pada umumnya disebut Tuhan.
Istilah lain: Allah, Illah, Elly, Ellyas, Dewa, Deva, Dewi, Devi, dan
sebagainya. Menurut<b> Rudolf Otto</b> (antropolog) sesuatu yang dinyatakan sebagai Tuhan oleh berbagai masyarakat memiliki tiga ciri, yaitu: (1) <i>mysterious</i> (tidak terjawab oleh jangkauan pemikiran manusia), (2) <i>tremendous</i> (tidak terkalahkan), (3) <i>fascination</i> (mempesona).<br />
Pranata agama mempunyai fungsi utama mengatur aktivitas warga
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan berhubungan dengan sesuatu yang
dianggap suci atau sacral tersebut.<br />
Pranata agama berhubungan dengan segenap komponen yang berkaitan
dengan kehidupan beragama, yaitu: (1) sistem keyakinan, (2) emosi
keagamaan, (3) sistem ritus atau upacara keagamaan, (4) alat-alat ritus,
(5) umat, yakni satuan sosial yang terdiri atas orang-orang yang
memiliki sistem keyakinan (agama) yang sama.<br />
<b>Fungsi nyata (manifest) lembaga agama:</b><br />
<ol>
<li>Menyangkut pola keyakinan (doktrin) yang menentukan sifat dan mekanisme hubungan antara manusia dengan Tuhannya</li>
<li>Ritual yang melambangkan doktrin dan mengingatkan manusia pada
doktrin tersebut serta seperangkat perilaku yang konsisten dengan
doktrin tersebut</li>
<li>Menyatukan pemeluknya ke dalam satu komunitas moral yang disebut umat</li>
<li>Dalam beberapa negara lembaga agama melaksanakan fungsi pengendalian Negara</li>
</ol>
<b>Fungsi laten lembaga agama:</b><br />
<ol>
<li>Menciptakan lingkungan kehidupan beragama, misalnya masjid, di
samping yang utama sebagai tempat ibadah, tetapi juga menjadi medium
pergaulan sosial dan komunikasi di antara para penganut agama Islam,
termasuk penentuan dan pemilihan jodoh</li>
<li>Menciptakan lingkungan kebudayaan (musik, seni baca, lagu-lagu, kitab, dan seterusnya)</li>
<li>Tumbuhnya bangunan-bangunan sebagai tempat ibadah dengan arsitektur
yang indah dan megah, misalnya masjid agung, gereja, dan seterusnya.</li>
<li>Menjalankan fungsi pendidikan dan pewarisan pengetahuan</li>
</ol>
<b>Pranata Ekonomi</b><br />
<b> </b><br />
Pranata ekonomi lahir ketika orang-orang mulai mengadakan pertukaran
barang secara rutin, membagi-bagi tugas, dan mengakui adanya tuntutan
dari seseorang terhadap orang lain (Horton dan Hunt, 1987). Ketika
manusia masih hidup pada taraf yang sangat sederhana (primitive) dengan
cara mengumpulkan biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan, kebutuhan akan adanya
pranata ekonomi belum mendesak dan tidak penting. Tiap-tiap keluarga
akan menjalankan fungsi ekonomi secara subsisten, keluarga-keluarga
tersebut memproduksi sesuatu yang dikonsumsi sendiri, tidak ada pasar,
sehingga tidak memerlukan penataan tentang perdagangan (pertukaran
barang dan jasa).<br />
Masalahnya berubah ketika orang-orang mulai memerlukan barang yang
diproduksi oleh orang lain, para tetanga atau kerabatnya. Kebutuhan akan
pranata yang mengatur mengenai distribusi atau pertukaran barang dan
jasa mulai dirasakan. Proses pertukaran itu mukai ditata dengan
kaidah-kaidah atau norma-norma tertentu yang disepakati bersama.
Proses-proses itu kemudian distandardisasi sehingga membentuk pola dan
keajegan tertentu yang mengikat dan dapat diramalkan. Lahirlah pranata
ekonomi, yang menata aktivitas masyarakat berkaitan dengan kebutuhan
akan barang-barang dan jasa-jasa yang diproduksi oleh pihak lain.
Kegiatan yang diatur oleh lembaga ekonomi meliputi produksi, distribusi,
dan konsumsi.<br />
<b>Elemen dasar pranata ekonomi</b><br />
<b> </b><br />
Struktur pranata ekonomi pada dasarnya bervariasi dalam berbagai
masyarakat, ada yang sederhana ada yang rumit, tergantung pada: (1)
elemen dasar proses ekonomi yang ada, apakah <i>gathering</i>, produksi, <i>distributing</i>, ataukah <i>servicing</i>, dan (2) faktor-faktor yang menentukan struktur ekonomi, misalnya tanah, tenaga kerja, modal, teknologi, dan kewiraswastaan.<br />
Kompleksitas pranata ekonomi akan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan tipe pranata ekonomi yang berlaku. Masyarakat berburu dan
meramu akan memiliki kompleksitas pranata yang berbeda dari masyarakat
pertanian, apalagi kalau dibandingkan dengan masyarakat industri maju.
Sistem ekonomi yang berlaku, apakah sosialis, kapitalis, atau lainnya,
juga mempengaruhi pranata sosial yang berlaku.<br />
<b>Sistem Ekonomi Campuran</b><br />
Terkait dengan sistem ekonomi masyarakat, Horton dan Hunt (1987)
menyatakan bahwa dewasa ini tidak ada masyarakat yang sepenuhya
kapitalis. Masyarakat yang dikenal sebagai masyarakat kapitalis,
sesungguhnya menerapkan sistem ekonomi campuran, di mana harta milik
pribadi dan sistem keuntungan digabungkan dengan sejumlah campur tangan
dan intervensi pemerintah.<br />
Sistem ekonomi campuran memberikan peluang adanya inisiatif individu
yang lebih besar daripada sistem komunis dan fasis. Pada sistem komunis
dan fasis, kontrol negara terhadap aktivitsa ekonomi sangat dominan.
Pada sistem komunis, segenap regulasi ekonomi, termasuk tingat harga,
tingkat gaji serta jenis barang yang diproduksi ditentukan oleh badan
pusat perencanaan. Di negara-negara fasis, meskipun pemilikan perusahaan
secara pribadi diperkenankan, tetapi keuntungan yang diperoleh lebih
diutamakan untuk kepentingan negara.<br />
Dalam perkembangan terakhir, sejak era 1990-an telah ada tanda-tanda
keruntuhan masyarakat ekonomi sosialis. Diterapkannya perestroika dan
glasnost oleh Gorbachev di Uni Soviet serta runtuhnya tembok Berlin
merupakan awal keruntuhan masyarakat sosialis dan pelan-pelan bergeser
ke tipe masyaraat kapitalis.<br />
<b> </b><br />
<b> </b><br />
<b> </b><br />
<b>Fungsi Pranata Ekonomi</b><br />
Lepas dari masalah kompleksitas pranata, fungsi utama pranata ekonomi
adalah mengatur kegiatan atau aktivitas warga masyarakat yang berkaitan
dengan:<br />
<ol>
<li>Kegiatan produksi, meliputi berbagai aktivitas produksi baik yang
tradisional seperti berburu dan meramu, ladang berpindah (shifting
cultivation), bercocok tanam menetap di ladang, di sawah, beternak,
perikanan, maupun aktivitas produksi modern yakni industri yang
menghasilkan barang, jasa-jasa, maupun informasi.</li>
<li>Kegiatan distribusi, meliputi berbagai pertukaran barang dan jasa (resiprositas), berbagai bentuk mekanisme pemerataan (<i>leveling mechanism</i>),
berbagai macam redistribusi, berbagai bentuk pertukaran di pasar baik
yang secara tunai maupun berdasarkan kepercayaan (berbagai macam kredit)</li>
<li>Kegiatan konsumsi, meliputi aktivitas mengkonsumsi barang dan jasa yang diproduksi sendiri (<i>subsistence economic</i>) maupun aktivitas memperoleh barang dan jasa di pasar.</li>
</ol>
<b>Fungsi laten lembaga ekonomi</b>:<br />
<ol>
<li>Mengubah dan kadang-kadang merusak lingkungan, misalnya sebagai
dampak dari penggunaan teknologi untuk meningkatkan produktivitas</li>
<li>Mengubah pola penggunaan waktu. Hal ini berkaitan dengan
kecenderungan warga masyarakat untuk mengejar efisiensi dan
produktivitas.</li>
</ol>
<b>Pranata Politik</b><br />
<b> </b><br />
Sejak Adam dan Hawa mempunyai keturunan, dan keturunannya itu
melipatganda, maka muka bumi ini mulai dipadati oleh manusia. Sebagai
mahluk yang bersifat sosial, manusia hidup berkelompok pada
daerah-daerah yang subur, berdasarkan keturunan, ras, etnisitas, agama,
ataupun matapencaharian. Sepanjang masing-masing pihak yang hidup
bersama tersebut dapat saling tenggangrasa (toleransi) dan sumber-sumber
pemenuhan kebutuhan hidup dapat mencukupi, sebanyak apapun manusia yang
hidup bersama tidaklah menjadi masalah, Masalah menjadi lain, kalau
masing-masing yang hidup mendiami daerah-daerah tersebut mempunyai
kepentingan dan kebutuhan yang sama, sementara hal yang menjadi pemenuh
kebutuhan atau kepentingan tersebut terbatas adanya, mereka akan
terlibat persaingan, pertikaian, bahkan harus berperang untuk
memperebutkannya.<br />
Thomas Hobbes memberikan ilustrasi sederhana mengenai hal ini, jika
ada dua orang membutuhkan hal yang sama, akan tetapi hanya satu orang
yang akan memperolehnya, maka mereka akan saling bermusuhan
–masing-masing pihak akan menganggu dan menindas pihak lain untuk
mencapai tujuannya, yaitu kelangsungan hidupnya. Sementara itu, pihak
yang tertindas akan membalasnya sebab hal itu menyangkut hidup dan mati.
Maka, perang tidak dapat dihindarkan.<br />
Menyadari bahwa hidup bersama tanpa aturan akan bisa menjadi
boomerang yang memusnahkan kelangsungan hidup manusia, maka lahirlah
pranata politik.<br />
Kornblum mendefinisikan pranata politik sebagai seperangkat norma dan
status yang mengkhususkan diri pada pelaksanaan kekuasaan dan wewenang,
termasuk kewenangan menggunakan paksaan fisik. Di masyarakat manapun,
kalau tidak ada pranata politik yang diberi kewenangan untuk
melaksanakan hukuman atau paksaan fisik, maka negara akan hilang dan
yang terjadi adalah anarkhi.<br />
Disamping mengatur siapa yang berwenang untuk menggunakan paksaan
fisik, pranata politik juga berfungsi untuk mencapai kepentingan bersama
dari anggota-anggota kelompok/masyarakat.<br />
Sampai di sini, akhirnya bisa disimpulkan bahwa kebutuhan akan
pranata politik, adalah karena kelompok-kelompok dalam masyarakat
memerlukan adanya asosiasi atau kelompok tertentu yang dapat menguasai
kelompok-kelompok lainnya, karena kepada kelompok atau asosiasi tersebut
diberikan wewenang untuk menggunakan hukuman dan paksaan fisik karena
didukung oleh adanya aparat (tentara, kepolisian, kejaksaan, dan
pengadilan). Asosiasi dan nilai-nilai yang mendasarinya tersebut
kemudian dilembagakan (institutionalized) dan secara riil diterima
sebagai pola-pola perilaku dalam masyarakat, demi kelanggengan
masyarakat. Asosiasi itu kemudian disebut negara, yang dilengkapi dengan
aparat pemerintahan, nilai-nilai bersama yang dijunjung tinggi serta
diwujudkan dalam konstitusi, berupa undang-undang dasar, undang-undang,
peraturan pemerintah, dan seterusnya.<br />
<b>Pengertian dan ciri pranata politik</b><br />
Dalam berbagai literature sosiologi, terdapat berbagai istilah yang
digunakan untuk menyebut pranata politik. McIver menyebutnya sebagai
“negara”, Zanden menyebutnya sebagai “perilaku politik”, sedangkan
Gillin dan Gillin menyebutnya institusi politik. Apapun istilahnya,
pranata yang dimaksud mempunyai dua ciri utama, yaitu: (1) mempunyai
kewenangan untuk menggunakan kekuatan fisik, dan (2) mampu memenuhi
kebutuhan hidup sendiri (<i>self sufficient</i>).<br />
Berdasarkan hal tersebut, pranata politik akan menyangkut masalah
negara, pemerintahan, kekuasaan, partai politik, kebijakan, dan
sebagainya. Hanya perlu ditekankan, istilah negara tidak sama dengan
pemerintahan. Pemerintahan adalah aparatnya negara yang melaksanakan
fungsi-fungsi dan kekuasaan negara. Jadi, pemerintahan hanyalah salah
satu unsur negara.<br />
Karakteristik pranata politik adalah: (1) adanya suatu komunitas
manusia yang secara sosial bersatu atas dasar nilai-nilai yang
disepakati bersama, (2) adanya asosiasi politik, yaitu pemerintahan yang
aktif, (3) asosiasi tersebut melaksanakan fungsi-fungsi untuk
kepentingan umum, dan (4) asosiasi tersebut diberi kewenangan dalam luas
jangkauan dalam territorial tertentu.<br />
<b> </b><br />
<b> </b><br />
<b> </b><br />
<b>Fungsi pranata politik</b><br />
<b> </b><br />
<b>James W. Vender Zanden </b>menyebutkan bahwa pranata politik di masyarakat manapun pada dasarnya memiliki empat fungsi, yaitu:<br />
<ol>
<li>Pemaksaan norma (<i>enforcement norms</i>)</li>
<li>Merencanakan dan mengarahkan</li>
<li>Menengahi pertentangan kepentingan (arbritasi)</li>
<li>Melindungi masyarakat dari serangan musuh yang berasal dari luar masyarakatnya, baik dengan diplomasi maupun kekerasan (perang).</li>
</ol>
Dalam rumusan lain, pranata politik berfungsi:<br />
<ol>
<li>Memelihara ketertiban di dalam (<i>internal order</i>)</li>
<li>Menjaga keamanan dari luar (<i>external security</i>)</li>
<li>Melaksanakan kesejahteraan umum (<i>general welfare</i>)</li>
</ol>
Di samping itu, terdapat fungsi laten lembaga politik, yaitu:<br />
<ol>
<li>Menciptakan stratifikasi politik, yakni munculnya penguasa dan yang
dikuasai. Bahkan dalam suatu masyarakat sering muncul jenjang atau
rentang stratifikasi politik yang jauh, yakni penguasa absolut di satu
pihak dan tuna kuasa (power less) di pihak lain.</li>
<li>Partai politik sebagai <i>social elevator</i> (saluran mobilitas sosial vertikal), misalnya yang terjadi pada para pemimpin partai pemenang pemilihan umum (pemilu).</li>
</ol>
<b>Pranata Pendidikan</b><br />
<b> </b><br />
Lembaga pendidikan mempunyai fungsi utama menata tentang proses
sosialisasi ilmu pengetahuan, teknologi, seni (IPTEKS) maupun kebudayaan
kepada para generasi penerus.<br />
Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia merujuk pada UU Sistem
Pendidikan Nasional (UU Nomor 20 Tahun 2003). Poin-poin penting mengenai
sistem pendidikan di Indonesia antara lain<br />
<ol>
<li>Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945</li>
<li>Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.</li>
<li>Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya.</li>
</ol>
<b>Pendidikan formal</b><br />
<ol>
<li>Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.</li>
<li>Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus.</li>
<li>Jalur, jenjang, dan jenis pendidikan dapat diwujudkan dalam bentuk
satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah
daerah, dan/atau masyarakat.</li>
</ol>
<b>Pendidikan Nonformal </b><br />
<ol>
<li>Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang
memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti,
penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung
pendidikan sepanjang hayat</li>
<li>Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik
dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional
serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.</li>
<li>Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan
anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan
perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan
kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk
mengembangkan kemampuan peserta didik.</li>
<li>Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga
pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan
majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.</li>
<li>Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan
bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk
mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri,
dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.</li>
<li>Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil
program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan
oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dengan
mengacu pada standar nasional pendidikan.</li>
</ol>
<b>Pendidikan Informal </b><br />
<ol>
<li>Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.</li>
<li>Hasil pendidikan informal diakui sama dengan pendidikan formal dan
nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar
nasional pendidikan</li>
</ol>
<b>Pendidikan Anak Usia Dini</b><br />
<ol>
<li>Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar</li>
<li>Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal.</li>
<li>Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk
taman kanak-kanak (TK), raudatul athfal (RA), atau bentuk lain yang
sederajat.</li>
<li>Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk
kelompok bermain (KB), taman penitipan anak (TPA), atau bentuk lain yang
sederajat.</li>
<li>Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk
pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan</li>
</ol>
<b>Pendidikan Kedinasan</b><br />
<ol>
<li>Pendidikan kedinasan merupakan pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen.</li>
<li>Pendidikan kedinasan berfungsi meningkatkan kemampuan dan
keterampilan dalam pelaksanaan tugas kedinasan bagi pegawai dan calon
pegawai negeri suatu departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen.</li>
<li>Pendidikan kedinasan diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal dan nonformal.</li>
</ol>
<b>Pendidikan Keagamaan</b><br />
<ol>
<li>Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau
kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.</li>
<li>Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi
anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran
agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.</li>
<li>Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.</li>
<li>Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.</li>
</ol>
<b>Pendidikan Jarak Jauh</b><br />
<ol>
<li>Pendidikan jarak jauh diselenggarakan pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan</li>
<li>Pendidikan jarak jauh berfungsi memberikan layanan pendidikan kepada
kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap
muka atau reguler.</li>
<li>Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus,
dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta sistem
penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan standar nasional
pendidikan.</li>
</ol>
<b>Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus.</b><br />
<ol>
<li>Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang
memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena
kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi
kecerdasan dan bakat istimewa.</li>
<li>Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di
daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil,
dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari
segi ekonomi.</li>
</ol>
<b>Bahasa Pengantar</b><br />
<ol>
<li>Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara menjadi bahasa pengantar dalam pendidikan nasional.</li>
<li>Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap
awal pendidikan apabila diperlukan dalam penyampaian pengetahuan
dan/atau keterampilan tertentu.</li>
<li>Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar pada satuan
pendidikan tertentu untuk mendukung kemampuan berbahasa asing peserta
didik.</li>
</ol>
<b>Wajib Belajar</b><br />
<ol>
<li>Setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib belajar</li>
<li>Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib
belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.</li>
<li>Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan
oleh lembaga pendidikan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.</li>
</ol>
<b>Pendidikan Multikulturalisme</b><br />
Sesuai dengan realitas objektif masyarakat Indonesia sebagai sebuah
masyarakat bangsa dan plural, dalam rangka mewujudkan etika berbangsa
dan visi Indonesia masa depan menuntut dilaksanakannya pendidikan yang
bersifat multikultural.<br />
<b> </b><br />
<b>Fungsi nyata (manifes) lembaga pendidikan:</b><br />
<b> </b><br />
<ol>
<li>Membantu orang untuk sanggup mencari nafkah bagi kehidupannya kelak</li>
<li>Menolong orang untuk mengembangkan potensi diri untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya</li>
<li>Melestarikan kebudayaan</li>
<li>Mengembangkan kemampuan berfikir dan berbicara secara rasional</li>
<li>Meningkatkan cita rasa keindahan</li>
<li>Meningkatkan taraf kesehatan dengan cara melatih jasmani melalui olah raga dan pengetahuan tentang kesehatan</li>
<li>Menciptakan warga negara yang cinta tanah air melalui pelajaran kewarganegaraan</li>
</ol>
<b> </b><br />
<b>Fungsi laten lembaga pendidikan:</b><br />
<b> </b><br />
<ol>
<li>Menunda masa kedewasaan dan memperpanjang ketergantungan</li>
<li>Menjadi saluran mobilitas sosial vertikal</li>
<li>Memelihara integrasi sosial maupun politik dalam masyarakat, melalui
penggunaan Bahasa Indonesia, pelajaran kewarganegaraan, sejarah
perjuangan maupun kebudayaan.</li>
</ol>
<b>Hubungan antar-lembaga sosial</b><br />
<h4>
<b>Tidak ada satupun pranata sosial yang otonom, dalam arti
dapat menghindari pengaruh dari pranata sosial lain. Terjadi hubungan
yang saling mempengaruhi di antara lembaga-lembaga sosial yang ada dalam
masyarakat. </b></h4>
Dalam konteks hubungan antar-pranata sosial, <b>Erving Goffman</b> mengemukakan konsep tentang pranata total (<i>total institution</i>),
yakni pranata yang memisahkan pengikutnya dari masyarakat umumnya.
Misalnya: pendidikan militer atau kedinasan tertentu, lembaga
pemasyarakatan (penjara), rumah sakit jiwa, dst. Seluruh aktivitas
pengikut lembaga sosial harus dilakukan di dalam lembaga yang dimaksud.
Sedikit berbeda dengan Goffman, <b>Lewis Coser</b> mengemukakan tentang pranata tamak (<i>Greedy Institution</i>), yakni pranata yang memonopoli loyalitas dan kesetiaan individu pengikutnya. Misalnya negara dan agama.<br />
<b>Daftar Pustaka</b><br />
<br />
<ol>
<li>Horton, Paul B. dan Hunt, Chester L. 1999. <b>Sosiologi; Edisi Keenam Jilid I</b>. Jakarta: PT Erlangga.</li>
<li>J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto (ed.). 2006. <b>Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. </b>Jakarta: Kencana Prenada Media Group.</li>
<li>Kamanto Soenarto. 1993. <b>Pengantar Sosiologi</b>. Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI.</li>
<li>Koentjaraningrat. 1990. <b>Pengantar Ilmu Antropologi</b>. Jakarta: Rineka Cipta</li>
<li>Masri Singarimbum dan Sofian Effendi.1989. <b>Metode Penelitian Survey</b>. Jakarta: LP3ES.</li>
<li>Mohammad Nazir. 1983. <b>Metode Penelitian. </b>Jakarta: Ghalia Indonesia.</li>
<li>Soerjono Soekanto. 1990. <b>Sosiologi Suatu Pantantar; Edisi Baru Keempat</b>, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.</li>
<li>Soerjono Soekanto. 1985. <b>Kamus Sosiologi; Edisi Baru</b>. Jakarta: Rajawali Pers.</li>
<li>Soerjono Soekanto. 2002. <b>Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi. </b>Jakarta: PT RajaGrafiondo Persada</li>
</ol>
10. Tim Sosiologi. 2004. <b>Sosiologi Suatu Kajian Kehidupan Masyarakat Kelas 1 SMA</b>. Jakarta: PT Yudhistiransert contents<br />
11. Nasikun. 1996. <b>Sistem Sosial Indonesia</b>. Jakarta: PT Rajawali Pers.<br />
12. Dyole Paul Johnson. 1981. <b>Teori-teori Sosiologi Klasik dan Modern</b>. Jakarta: PT Gramedia.<br />
13. Margaret M. Poloma. 1998. <b>Sosiologi Kontemporer</b>. Terjemahan dari Contemporary Sociological Theory. Jakarta: PT Rajawali Pers.<br />
14. Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi. 1986. <b>Setangkai Bunga Sosiologi</b>. Jakarta: Yasbit FE UI.<br />
Sumber: <a href="http://www.agsasman3yk.wordpress.com/" target="_blank">Klik Disini </a>Muhammad Zamronihttp://www.blogger.com/profile/10110306643251368312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7866388757807007826.post-1342227656596540262012-02-13T21:10:00.001+07:002012-02-13T21:59:19.476+07:00Struktur Sosial serta Berbagai Faktor Penyebab Konflik dan Mobilitas Sosial<b>A. </b><b>Pengertian Struktur Sosial</b><br />
Struktur sosial merupakan susunan atau konfigurasi dari unsur-unsur
sosial yang pokok dalam masyarakat, yaitu kelompok, kelas sosial,
nilai dan norma sosial, dan lembaga sosial.<span id="more-20"></span><br />
Struktur sosial merupakan ruang abstrak dalam masyarakat, sebagaimana
ruang geografi yang kita kenal dan lebih konkrit. Kalau dalam ruang
geografi kita dapat mempunyai alamat geografik (titik posisi atau lokasi
kita berada), misalnya SMA Negeri 3 Yogyakarta berlokasi di Jalan Yos
Sudarso 7, Kaluarhan Kota Baru, Kecamatan Gondokusuman, Kota
Yogyakarta, maka demikian jugalah di ruang sosial, maka di ruang sosial
atau struktur sosial, kita pun punya alamat sosial. Di manakan posisi
SMA Negeri 3 Yogyakarta di ruang sosial? Tergantung pada parameter apa
yang kita gunakan, apakah nilai dan norma, kelompok, status atau kelas
sosial, atau kah lembaga sosial.<br />
Perhatikan bagan berikut!<br />
Apabila unsur nilai dan norma kita gunakan untuk mengetahui posisi
atau alamat sosial kita, maka apakah kita termasuk orang kebanyakan
(normal), orang yang dijadikan panutan (super ordinat), ataukah orang
menyimpang (deviant). Apabila menggunakan status atau kelas, maka apakah
kita berada pada kelas atas, menengah atau bawah. Di lembaga manakah
kita beraktivitas? Pendidikan, keluarga, politik, ekonomi, hokum,
ataukah agama.<br />
<b>Struktur sosial dan peluang hidup (<i>life chance</i>)</b><br />
Struktur sosial identik dengan struktur peluang hidup (<i>life chance</i>)<b>, </b>semakin tinggi posisi dalam struktur sosial, semakin baik peluang hidupnya. <b> </b><br />
<b>Struktur sosial dan fakta sosial</b><br />
Struktur sosial merupakan fakta sosial, yaitu cara bertindak,
berfikir, dan berperasaan yang berada diluar individu tetapi mengikat.
Sehingga, kelas sosial tertentu identik dengan cara hidup tertentu.
Kelas sosial bukanlah sekedar kumpulan dari orang-orang yang pendidikan
atau penghasilannya relative sama, tetapi lebih merupakan kumpulan
orang-orang yang memiliki cara atau gaya hidup yang relative sama.<br />
Jawablah:<br />
(1) mengapa musik dangdut sering diidentikan dengan musiknya kelas
bawah, sementara music klasik atau jazz diidentikkan dengan kelas atas?<br />
(2) mengapa orang-orang kelas atas diidentikkan dengan orang-orang berdasi dan bersepatu?<br />
(3) Mengapa kelas sosial tertentu juga identik dengan merk mobil,
merk sepatu, merek parfum, merek baju tertentu, juga aktivitas mengisi
waktu luang dan olahraga tertentu?<br />
<b>Paramater struktur sosial.</b><br />
Terdapat dua macam parameter yang dapat digunaan untuk menganalisis struktur sosial, yaitu<br />
(1) Parameter Graduated/berjenjang, meliputi antara lain: kekuasaan,
keturunan/kasta, tingkat pendidikan, kekayaan, usia, dst., dan<br />
(2) paramater Nominal/tidak berjenjang, meliputi antara lain:
sukubangsa, ras, golongan/kelompok, jenis kelamin, agama, dan
seterusnya.<br />
Konfigurasi atau pemilahan struktur sosial berdasarkan
parameter-parameter graduated disebut stratifikasi sosial (diferensiasi
rank/tingkatan).<br />
Sedangkan, konfigurasi atau pemilahan struktur sosial berdasarkan
parameter nominal disebut diferensiasi sosial (diferensiasi fungsi, dan
custom/adat).<br />
Status, kedudukan, atau posisi individu atau kelompok dalam struktur
sosial tidak bersifat statis atau tetap, melainkan dapat mengalami
perubahan atau perpindahan. Perpindahan posisi dalam struktur sosial
yang dialami oleh individu ataupun kelompok dalam struktur sosial
disebut mobilitas sosial.<br />
<b>B. </b><b>Diferensiasi Sosial</b><br />
Diferensiasi sosial merupakan pemilahan atau konfigurasi struktur
sosial berdasarkan parameter-parameter yang sifatnya nominal atau tidak
berjenjang. Hasilnya dalam masyarakat terdapat kelompok-kelompok atau
golongan sosial. <b> </b><br />
<b>1. </b><b>Diferensiasi sosial berdasarkan ras.</b><br />
Ras merupakan penggolongan manusia berdasarkan ciri-ciri fisik-biologis manusia dengan kecenderungan yang besar.<br />
Ciri fisik :<br />
Fenotipe (tampak luar):<br />
1) Kualitatif: warna kulit, warna dan bentuk rambut, warna dan bentuk mata<br />
2) Kuantitatif: tinggi dan berat badan, ukuran kepala, ukuran hidung, dll.<br />
Genotype (tidak tampak luar): golongan darah<br />
Manusia dari seluruh dunia dapat diklasifikasikan ke dalam tiga ras utama, yaitu kaukasoid, mongoloid, dan negroid.<br />
Dalam prakteknya terdapat kesulitan penggolongan ras, antara lain
karena: (1) ciri fisik yang tumpang tindih, dan (2) terjadinya
perkawinan campuran (amalgamasi). <b> </b><br />
<b>2. </b><b>Diferensiasi sosial berdasarkan sukubangsa/etnis</b><br />
Sukubangsa adalah golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan
identitas akan kesatuan kebudayaan, yang sering dikuatkan dengan
kesatuan bahasa.<br />
Sukubangsa sering disamakan dengan kelompok etnik (ethnic Group).
Namun, kelompok etnik tidak selalu berarti sukubangsa. Misalnya kelompok
etnik Tionghoa.<br />
Disebut kelompok etnik apabila secara sosial telah mengembangkan SUBKULTUR-nya sendiri.<br />
Lima cirri pengelompokan sukubangsa:<br />
<ul>
<li>Bahasa/dialek yang memelihara keakraban dan kebersamaan di antara warga sukubangsa</li>
<li>Pola-pola sosial-kebudayaan (adat istiadat, cita-cita dan ideologi)</li>
<li>Ikatan sebagai satu kelompok</li>
<li>Kecenderungan menggolongkan diri ke dalam kelompok asli</li>
<li>Perasaan keterikatan kelompok karena kekerabatan/genealogis dan kesadaran teritorial di antara warga sukubangsa</li>
</ul>
Untuk kepentingan administrasi dan politik, di masa orde baru dibedakan antara<br />
(1) masyarakat sukubangsa,<br />
(2) masyarakat terasing, dan<br />
(3) keturunan asing.<br />
Masyarakat sukubangsa adalah kelompok etnis yang asalnya dari dalam
wilayah Indonesia, dan mampu berinteraksi dan komunikasi dengan dunia
luarnya, masyarakat terasing adalah kelompok etnis yang asalnya dari
dalam wilayah Indonesia, tetapi terisolasi atau mengalami keterbatasan
hubungan dengan dunia luarnya, sedangkan keturunan asing memiliki daerah
asal di luar wilayah Indonesia. Ada tiga keturunan asing yang menonjol,
yaitu China, India dan Arab,<br />
<b>3. </b><b>Diferensiasi sosial berdasarkan agama</b><br />
<b> </b><br />
<b> </b><br />
<b> </b><br />
<b> </b><br />
<b> </b><br />
<b> </b><br />
Agama merupakan sistem terpadu terdiri atas keyakinan dan praktek, berhubungan dengan sesuatu yang dianggap <i>sacred</i>
(suci/sakral) menyatukan pengikutnya ke dalam suatu komunitas moral
yang disebut umat. Sesuatu yang sakral disebut TUHAN (God, Allah, Elia,
Devon, Deva, Devi, dst.)<br />
Diferensisasi agama merupakan diferensiasi customs.<br />
Karena letak Indonesia di posisi silang, dalam masyarakatnya terdapat
penganut dari lima agama besar dunia, Islam, Kristen, Katholik, Hindu,
dan Budha.<br />
4. <b>Diferensiasi sosial berdasarkan profesi</b><br />
<b> </b><br />
Profesi merupakan pekerjaan yang untuk dapat melaksanakannya
memerlukan keahlian. Misalnya: dosen, guru, dokter, jurnalis, artis,
penyiar radio, penyiar televisi, ahli komputer, designer, politikus,
perawat, birokrat, militer, pengusaha, pedagang, dan sebagainya.
Dirensiasi profesi merupakan diferensiasi fungsi.<br />
5. <b>Diferensiasi sosial berdasarkan jenis kelamin</b><br />
Jenis kelamin merupakan pembedaan antara laki-laki dengan perempuan
berdasarkan ciri fisik biologis yang tidak dapat dipertukarkan.<br />
Gender merupakan pembedaan antara laki-laki dengan perempuan
berdasarkan ciri-ciri sosial dan budaya yang sebenarnya dapat
dipertukarkan, karena diperoleh melalui proses belajar. Misalnya
perempuan bekerja di dalam rumah, dan laki-laki bekerja di luar rumah.<br />
Maka, jenis kelamin (seks) merupakan pembedaan berdasarkan konstruksi
biologis, sedangkan gender berdasarkan konstruksi sosial dan budaya,
yang sering dikuatkan oleh ajaran agama.<br />
<b>C. </b><b>Stratifikasi Sosial</b><br />
Stratifikasi sosial merupakan konfigurasi atau pemilahan struktur
sosial menggunakan parameter graduated/berjenjang. Hasilnya adalah dalam
masyarakat terdapat kelas-kelas sosial.<br />
Kriteria yang digunakan dapat berupa kriteria (1) sosial, (2)
ekonomi, dan (3) politik. Kriteria sosial meliputi: pendidikan, profesi
atau pekerjaan, dan keturunan atau keanggotaan dalam kasta dan
kebangsawanan. Kriteria ekonomi meliputi pendapatan/penghasilan dan
pemilikan/kekayaan. Kriteria politik meliputi kekuasaan.<br />
<b>Stratifikasi sosial berdasarkan kriteria sosial</b><br />
Menurut Weber, para anggota masyarakat dapat dipilah secara vertikal
berdasarkan atas ukuran-ukuran kehormatan, sehingga ada orang-orang
yang dihormati dan disegani dan orang-orang yang dianggap biasa-biasa
saja, atau orang kebanyakan, atau bahkan orang-orang yang dianggap hina.
Orang-orang yang dihormati atau disegani pada umumnya adalah mereka
yang memiliki jabatan atau profesi tertentu, keturunan bangsawan atau
orang-orang terhormat, atau berpendidikan tinggi.<br />
Ukuran-ukuran penempatan anggota masyarakat dalam stratifikasi sosial
yang dapat dikategorikan sebagai kriteria sosial antara lain, (1)
profesi, (2) pekerjaan, (3) tingkat pendidikan, (4) keturunan, dan (5)
kasta.<br />
1. Profesi<br />
Yang dimaksud profesi adalah pekerjaan-pekerjaan yang untuk dapat
melaksanakannya memerlukan keahlian, misalnya dokter, guru, wartawan,
seniman, pengacara, jaksa, hakim, dan sebagainya. Orang-orang yang
menyandang profesi-profesi tersebut disebut kelas profesional.<br />
Di samping kelas profesional, dalam masyarakat terdapat juga
kelas-kelas tenaga terampil dan tidak terampil, yang pada umumnya
ditempatkan pada posisi yang lebih rendah dalam stratifikasi sosial
masyarakat.<br />
2. Pekerjaan.<br />
Berdasarkan tingkat prestise atau gengsinya, pekerjaan-pekerjaan
dalam masyarakat dapat dibedakan menjadi: (1) pekerjaan kerah putih
(white collar), dan (2) pekerjaan kerah biru (blue collar). Pekerjaan
kerah putih merupakan pekerjaan-pekerjaan yang lebih menuntut penggunaan
pikiran atau daya intelektual, sedangkan pekerjaan-pekerjaan kerah biru
lebih menuntut penggunaan energi atau kekuatan fisik. Pada umumnya
anggota masyarakat lebih memberikan penghargaan atau gengsi yang lebih
tinggi pada pekerjaan-pekerjaan kerah putih. Walaupun, tidak selalu
bahwa pekerjaan kerah putih memberikan dampak ekonomi atau finansial
yang lebih besar daripada pekerjaan kerah biru.<br />
3. Pendidikan<br />
Pada zaman sekarang ini pendidikan sudah dianggap sebagai kebutuhan
yang harus dipenuhi oleh sebagian besar anggota masyarakat. Orang-orang
yang berpendidikan tinggi akan menempati posisi dalam stratifikasi
sosial yang lebih tinggi. Sehingga tamatan S-3 dipandang lebih tinggi
kedudukannya daripada tamatan S2, S1, SMA/SMK, SMP, SD, dan mereka yang
tidak pernah sekolah.<br />
4. Keturunan<br />
Keturunan raja atau bangsawan dalam masyarakat dipandang memiliki
kedudukan yang tinggi. Bahkan, pada masyarakat feodal, hampir tidak ada
pengakuan terhadap simbol-simbol yang berasal dari luar istana, termasuk
tata kota, arsitektur, pemilihan hari-hari penting, pakaian, seni, dan
sebagainya. Penempatan orang dalam posisi-posisi penting dalam
masyarakat akan selalu mempertimbangkan faktor keturunan, dan keaslian
keturunan dipandang sangat penting.<br />
5. Kasta<br />
Kasta merupakan pemilahan anggota masyarakat yang dikenal pada
masyarakat Hinduisme. Masyarakat dipilah menjadi kasta-kasta, seperti:
Brahmana, Ksatria, Weisyia, dan Sudra. Kemudian ada orang-orang yang
karena tindakannya dihukum dikeluarkan dari kasta, digolongkan menjadi
paria.<br />
Sebagian besar orang menganggap pemilahan dalam kasta bersifat
graduated atau berjenjang, mengingat orang-orang yang berasal dari kasta
yang berbeda akan memiliki gengsi (prestige) dan hak-hak istimewa
(privelege) yang berbeda. Namun, tokoh-tokoh Hinduisme menyatakan bahwa
kasta bukanlah pemilahan vertikal, melainkan hanyalah merupakan catur
warna.<br />
<b>Stratifikasi sosial berdasarkan kriteria ekonomi</b><br />
Kriteria ekonomi yang digunakan sebagai dasar stratifikasi sosial dapat meliputi penghasilan dan pemilikan atau kekayaan.<br />
Apabila dipilah menggunakan kriteria ekonomi, maka masyarakat akan terdiri atas<br />
<ul>
<li>Kelas atas, yaitu orang-orang yang karena penghasilan atau
kekayaannya dengan leluasa dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya</li>
<li>Kelas menengah, yaitu orang-orang yang karena penghasilan dan
kekayaannya dapat leluasa memenuhi kebutuhan hidup mendasarnya, tetapi
tidak leluasa untuk kebutuhan-kebutuhan lainnya</li>
<li>Kelas bawah, yaitu orang-orang yang dengan sumberdaya ekonominya
hanya dapat memenuhi kebutuhan hidup mendasarnyanya, tetapi tidak
leluasa, atau bahkan tidak mampu untuk itu.</li>
</ul>
<b> Stratifikasi sosial berdasarkan kriteria politik</b><br />
Ukuran yang digunakan untuk memilah masyarakat atas dasar dimensi
atau kriteria politik adalah distribusi kekuasaan. Kekuasaan (power)
berbeda dengan kewenangan (otoritas). Seseorang yang berkuasa tidak
selalu memiliki kewenangan.<br />
Yang dimaksud kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi
individu-individu lain dalam masyarakat, termasuk mempengaruhi pembuatan
keputusan kolektif. Sedangkan wewenang adalah hak untuk berkuasa. Apa
yang terjadi apabila orang mempunyai wewenang tetapi tidak memiliki
kekuasaan? Mana yang lebih efektif, orang mempunyai kekuasaan saja, atau
wewenang saja?<br />
Meskipun seseorang memiliki hak untuk berkuasa, artinya ia memiliki
wewenang, tetapi kalau dalam dirinya tidak memiliki kemampuan untuk
mempengaruhi pihak lain, maka ia tidak akan dapat melaksanakan hak itu
dengan baik. Sebaliknya, apabila seseorang memiliki kemampuan
mempengaruhi pihak lain, meskipun ia tidak punya wewenang untuk itu,
pengaruh itu dapat berjalan secara efektif. Untuk lebih memahami hal
ini, dapat diperhatikan pengaruh tokoh masyarakat, seperti seorang tokoh
agama atau orang yang dituakan dalam masyarakat.<br />
Sudah beradab-abad menjadi pemikiran dalam dalil politik, bahwa
kekuasaan dalam masyarakat selalu terdistribusikan tidak merata. Gaetano
Mosca (1939) menyatakan bahwa dalam setiap masyarakat selalu terdapat
dua kelas penduduk: satu kelas yang menguasai dan satu kelas yang
dikuasai. Kelas pertama yang jumlahnya lebih kecil, menjalankan semua
fungsi politik, memonopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan yang
diberikan oleh kekuasaan itu, sedangkan kelas kedua, yang jumlahnya
lebih besar, diatur dan dikendalikan oleh kelas pertama itu.<br />
Vilfredo Pareto, Gaetano Mosca, dan Robert Michels memberikan
pengertian bahwa beberapa asas umum yang menjadi dasar bagi terbentuknya
stratifikasi sosial, khususnya yang berkaitan dengan kekuasaan politik,
adalah:<br />
1. Kekuasaan politik tidak dapat didistribusikan secara merata<br />
2. Orang-orang dikategorikan ke dalam dua kelompok: yang memegang kekuasaan dan yang tidak memilikinya<br />
3. Secara internal, elite itu bersifat homogen, bersatu, dan memiliki kesadaran kelompok<br />
4. Keanggotaan dalam elite berasal dari lapisan yang sangat terbatas<br />
5.Kelompok elite pada hakikatnya bersifat otonom, kebal akan gugatan
dari siapa pun di luar kelompoknya mengenai keputusan-keputusan yang
dibuatnya<br />
Di dalam masyatakat yang demokratis, pembagian dikotomis antara yang
berkuasa dan tidak berkuasa tidak sesederhana yang dikemukakan Mosca dan
kawan-kawannya. Biarpun kelas berkuasa jumlah orangnya selalu lebih
sedikit, tetapi pada umumnya distribusi kekuasaan lebih terfragmentasi
ke berbagai kelompok-kelompok. Dalam masyarakat yang demokratis,
kelompok elite tidak memiliki otonomi sebagaimana pada masyarakat
diktator. Kekuasaan elite dalam masyarakat demokratis selalu dapat
dikontrol oleh kelompok-kelompok yang ada di luar kelompok elite, dan
jumlahnya lebih dari satu.<br />
<b>Dominasi</b><br />
Dominasi merupakan kekuasaan yang nyaris tidak dapat ditolak oleh siapapun. Kekuasaan yang sifatnya hampir multlak.<br />
Kekuasaan dalam masyarakat berdasarkan sumbernya dapat dibedakan
menjadi tiga macam, yaitu: (1) kekuasaan tradisional, (2) kekuasaan
kharismatik, dan (3) kekuasaan legal-rasional.<br />
Kekuasasan tradisional adalah kekuasaan yang sumbernya berasal dari
tradisi masyarakat, misalnya raja. Kekuasaan kharismatik bersumber dari
kewibawaan atau kualitas diri seseorang, dan kekuasaan legal rasional
bersumber dari adanya wewenang yang didasarkan pada pembagian kekuasaan
dalam birokrasi, misalnya pemerintahan.<br />
Mengapa dominasi?<br />
Dominasi dapat terjadi karena unsur-unsur kekuasaan seperti
kharisma, tradisi dan legal rasional dimiliki oleh seseorang. Dalam
batas-batas tertentu, Sultan Yogyakarta memiliki ketiga unsur kekuasaan
tersebut.<br />
<b> </b><br />
<b>Status sosial</b><br />
Unsur penting dalam stratifikasi sosial adalah status. Apakah status?
Status adalah Posisi atau kedudukan atau tempat seseorang atau kelompok
dalam struktur sosial masyarakat atau pola hubungan sosial tertentu.<br />
Status seseorang dapat diperoleh sejak kelahirannya (<b>ascribed status</b>), diberikan karena jasa-jasanya (<b>assigned status</b>), atau karena prestasi dan perjuangannya (<b>achived status</b>).
Masyarakat modern lebih menghargai status-status yang diperoleh melalui
prestasi atau perjuangan, masyarakat feudal lebih menghargai status
yang diperoleh sejak lahir.<br />
<b>Apakah kelas sosial?</b><br />
<ul>
<li>Segolongan orang yang menyandang status relatif sama</li>
<li>Memiliki cara hidup tertentu</li>
<li>Sadar akan privelege (hak istimewa) tertentu, dan</li>
<li>memiliki prestige (gengsi kemasyarakatan) tertentu</li>
</ul>
<b> </b><br />
<b>Apakah simbol status?</b><br />
<ul>
<li>Simbol “sesuatu” yang oleh penggunanya diberi makna tertentu</li>
<li>Ciri-ciri/tanda-tanda yang melekat pada diri seseorang atau kelompok yang secara relatif dapat menunjukkan statusnya</li>
<li>Antara lain: cara berpakaian,cara berbicara, cara belanja, desain
rumah, cara mengisi waktu luang, keikutsertaan dalam organisasi, tempat
tinggal,cara berbicara, perlengkapan hidup, akses informasi, dst.<b> </b></li>
</ul>
<b>Konsekuensi perbedaan status dalam pelapisan sosial masyarakat?</b><br />
<ul>
<li>Cara hidup (cara berfikir, berperasaan dan bertindak) yang berbeda:
sikap politik, kepedulian sosial, keterlibatan dalam kelompok sosial,
dst.). Ingat: PS = f(S + K), bahwa perilaku sosial pada dasarnya
merupakan fungsi dari struktur sosial dan kebudayaan. Jawablah: mengapa
seorang individu menyebut orangtuanya sebagai mama dan papa, bukan ayah
dan ibu, bukan bapak dan ibu, atau bapak dan simbok?</li>
<li>Prestige (gengsi/kehormatan sosial) yang berbeda</li>
<li>Privilege (hak istimewa) yang berbeda</li>
<li>PELUANG HIDUP YANG BERBEDA</li>
</ul>
<b>D. </b><b>Konflik Sosial</b><br />
Konflik sosial merupakan salah satu konsekuensi dari adanya
perbedaan-perbedaan dalam masyarakat, misalnya peluang hidup, gengsi,
hak istimewa, dan gaya hidup.<br />
Sumber konflik:<br />
<ol>
<li>Perbedaan kepentingan</li>
<li>Perbedaan individual</li>
<li>Perbedaan kebudayaan</li>
<li>Perubahan sosial</li>
</ol>
<b> </b><br />
<b>Macam-macam konflik</b><br />
<ol>
<li>Individu atau kelompok (berdasarkan pelakunya perorangan atau kelompok)</li>
<li>Horizontal atau vertical (berdasarkan status pihak-pihak yang terlibat, sejajar atau bertingkat)</li>
</ol>
Konflik horizontal = antar-etnis, antar-agama, antar-aliran, dll.<br />
Konflik vertical = antara buruh dengan majikan, pemberontakan atau gerakan separatis/makar terhadap kekuasaan negara<br />
<ol>
<li>Ideologis atau politis (berdasarkan tingkat konflik, apabila sebatas
pemikiran/ideologi, disebut konflik tingkat ideologis (misalnya
pertentangan ideology antara santri denan abangan dan priyayi), apabila
sampai muncul di tingkat tindakan disebut tingkat politis (misalnya:
riot/kerusuhan, demonstrasi, pemberontakan, makar, dan sebagainya)</li>
<li>Konflik terbuka, konflik laten dan konflik permukaan</li>
</ol>
Penjelasan:<br />
<ul>
<li>TANPA KONFLIK: dalam kesan umum adalah lebih baik, namun setiap
masyarakat atau kelompok yang hidup damai, jika ingin keadaan ini terus
berlangsung, mereka harus hidup bersemangat dan dinamis. Memanfaatkan
konflik perilaku dan tujuan, serta mengelola konflik secara kreatif.</li>
<li>KONFLIK LATEN: sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat ke permukaan agar dapat ditangani secara effektif</li>
<li>KONFLIK TERBUKA: berakar dalam, dan sangat nyata. à memerlukan
berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya.</li>
<li>KONFLIK DI PERMUKAAN: memiliki akar yang dangkal/tidak memiliki
akar, muncul hanya karena kesalah fahaman mengenai sasaran yang dapat
diatasi dengan meningkatkan komunikasi</li>
</ul>
<b>E. </b><b>Mobilitas Sosial</b><br />
<h3>
Pengertian Mobilitas Sosial</h3>
Istilah mobilitas (Ing: <i>mobility</i>) berasal darai kata <i>mobilis</i> (Latin) yang artinya bergerak atau berpindah. Meskipun demikian <b>mobilitas sosial</b> tidak sama dengan <b>gerakan sosial</b>.<br />
Yang dimaksud gerakan sosial (<i>social movement</i>) suatu kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelas atau golongan sosial untuk memperoleh tujuan-tujuan yang diinginkan.<br />
Mobilitas sosial merupakan perubahan posisi atau kedudukan orang atau kelompok orang dalam <b>struktur sosial</b>,
misalnya dari satu lapisan ke lapisan lain yang lebih atas ataupun
lebih bawah, atau dari satu kelompok/golongan ke kelompok/golongan lain.<br />
<b>Struktur sosial</b><br />
Sebagaimana disebut di bagian awal ringkasan materi ini, struktur
sosial merupakan salah satu konsep paling esensial dalam sosiologi.
Struktur sosial berkaitan dengan posisi-posisi individu atau kelompok
dalam masyarakat. Kalau dalam ruang geografi seseorang atau sekelompok
orang memiliki lokasi/tempat tinggal atau dalam bahasa yang lebih
populer ”alamat”, maka dalam ruang sosial seseorang juga memiliki
”lokasi”, ”tempat”, atau ”alamat”. Anda dan keluarga Anda memiliki
posisi tertentu dalam struktur sosial, posisi itu sering disebut sebagai
status atau kedudukan sosial. SMA di mana Anda sekarang ini bersekolah
juga memiliki posisi tertentu dalam struktur sosial masyarakat.<br />
Bagaimana mengetahui posisi kita? Sama dengan ruang geografik, ruang
sosial juga memiliki dimensi horizontal dan vertikal. Di ruang
geografik seseorang memiliki alamat ”Jl. Sultan Agung Nomor 8 Lantai 7”,
maka di ruang sosial seseorang dapat memiliki alamat ”orang tua atau
muda, beragama Islam, Kristen-Protestan, Kristen-Katholik, Hindu, atau
Budha, bekerja sebagai petani, pedagang, pegawai pemerintah, pegawai
swasta, atau bekerja di sektor nonformal perkotaan, miskin, setengah
kaya, atau kaya raya, berbudi bekerti luhur dan berhati mulia atau
dikenal sebagai penjahat, pengikut setia Bung Karno, Bung Hatta, Gus
Dur, Amien Rais, atau yang lain, dan seterusnya.<br />
Dalam ruang imaginer ”struktur sosial”, setiap orang punya tempat
tinggal, dan sama dengan di ruang geografi, tempat tinggal itu dapat
berubah-ubah. Orang dan sekelompok orang dapat bermigrasi dalam ruang
geografi, dari Jawa ke Sumatra, atau sebaliknya. Maka, dalam ruang
sosial, orang atau sekelompok orang dapat mengalami ”mobilitas sosial”,
dari orang kaya menjadi orang miskin, atau sebaliknya, dari orang miskin
menjadi orang kaya. Dari pemimpin menjadi orang biasa. Dari orang baik
menjadi orang jahat, atau sebaliknya dari orang jahat menjadi orang
baik.<br />
<h3>
Macam-macam Mobilitas sosial</h3>
<div style="text-align: justify;">
Di samping manusia hidup dan bergerak
dalam sebuah ruang geografik, manusia juga hidup dalam sebuah ruang yang
unik, yaitu struktur sosial yang di dalamnya terdapat
pemilahan-pemilahan vertikal maupun horizontal. Sehingga, di samping
manusia dapat berpindah dari satu ruang geografik (wilayah) ke ruang
geografik yang lain, dalam sebuah ruang sosial yang unik tadi, manusia
juga dapat berpindah dari satu strata atau kelas sosial ke strata atau
kelas sosial yang lain, ataupun dari satu golongan ke golongan yang
lain.</div>
Mobilitas dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni:<br />
<ol>
<li>Mobilitas geografik, yakni perpindahan orang dari satu tempat/daerah ke tempat/daerah yang lain</li>
<li>Mobilitas sosial, yakni perpindahan posisi dari suatu kelas sosial
atau kelompok sosial ke kelas sosial atau kelompok sosial yang lain.</li>
</ol>
Berdasarkan arah perpindahan, <b>mobilitas sosial</b> dibedakan menjadi dua macam, yaitu:<br />
<ol>
<li style="text-align: justify;">Mobilitas sosial horizontal, yakni
perpindahan posisi individu atau kelompok individu dari satu kelompok
atau golongan sosial ke kelompok atau golongan sosial lain yang
sederajat</li>
<li style="text-align: justify;">Mobilitas sosial vertikal, yaitu
perpindahan posisi atau kedudukan individu atau kelompok individu dari
satu strata sosial ke strata sosial lain, baik yang lebih tinggi maupun
yang lebih rendah.</li>
</ol>
Mobilitas sosial vertikal dapat dibedakan menjadi:<br />
1. Mobilitas sosial vertikal naik (<i>social climbing</i>), dapat berupa:<br />
<ul>
<li>masuknya individu dari kedudukan rendah ke kedudukan tinggi</li>
<li>pembentukan kelompok baru yang derajatnya lebih tinggi</li>
</ul>
2. Mobilitas sosial vertikal turun (<i>social sinking</i>), dapat berupa:<br />
<ul>
<li style="text-align: justify;">turunnya individu dari kedudukan yang lebih tinggi ke kedudukan yang lebih rendah</li>
<li style="text-align: justify;">turunnya derajat sekelompok individu karena disintegrasi kelompok (sering disebut sebagai dislokasi sosial)</li>
</ul>
3. Mobilitas sosial antar-generasi, yang dimaksud adalah mobilitas yang terjadi pada generasi yang berbeda, misalnya:<br />
<ul>
<li style="text-align: justify;"> orang tua berkedudukan sebagai petani
atau buruh, anak-anaknya menjadi pengajar di perguruan tinggi atau
majikan. Contoh mobilitas dalam bentuknya yang demikian banyak terjadi
di daerah-daerah yang mengalami industrialisasi. Banyak orang yang
akhirnya meninggalkan pekerjaan sebagai petani atau pekerjaan agraris
yang lain sebagaimana yang ditekuni oleh para orangtua mereka karena
tertarik untuk bekerja di pabrik-pabrik/industri.</li>
<li style="text-align: justify;">Atau sebaliknya, orang tuanya sebagai
majikan atau pejabat negara, sedangkan anak-anaknya menjadi buruh atau
pegawai biasa di instansi pemerintah.</li>
</ul>
<div style="text-align: justify;">
Di samping dua macam mobilitas di atas,
sering pula dijumpai istilah mobilitas mental, yang artinya perubahan
sikap dan perilaku individu atau sekelompok individu karena didorong
oleh rasa ingin tahu, tuntutan penyesuaian diri, hasrat meraih prestasi,
dan sebagainya. Sedangkan faktor penghambatnya dapat berupa sikap malas
dan kepasrahan terhadap nasib maupun isolasi sosial.</div>
<h3>
Faktor-faktor yang mendorong dan menghambat mobilitas social</h3>
Menurut berbagai pengamatan terdapat beberapa faktor yang mendorong terjadinya mobilitas sosial, antara lain:<br />
<ul>
<li><b>Status sosial</b></li>
</ul>
Ketidakpuasan seseorang atas status yang diwariskan oleh orangtuanya,
karena orang pada dasarnya tidak dapat memilih oleh siapa ia
dilahirkan, dapat menjadi dorongan untuk berupaya keras memperoleh
status atau kedudukan yang lebih baik dari status atau kedudukan
orangtuanya.<br />
<b> </b><br />
<b> </b><br />
<ul>
<li><b>Keadaan ekonomi</b></li>
</ul>
Keadaan ekonomi yang tidak menguntungkan, misalnya yang dialami oleh
masyarakat di daerah minus, mendorong mereka untuk berurbanisasi ke
kota-kota besar dengan harapan memperoleh kehidupan ekonomi yang lebih
baik.<br />
<ul>
<li><b>Situasi politik</b></li>
</ul>
Situasi politik yang tidak menentu, biasanya juga berakibat pada
jaminan keamanan yang juga tidak menentu, dapat mendorong orang untuk
meninggalkan tempat itu menuju ke tempat lain.<br />
<ul>
<li><b>Motif-motif keagamaan</b></li>
</ul>
Mobilitas sosial yang didorong oleh motif keagamaan tampak pada
peristiwa orang berhaji. Orang yang melakukan ibadah haji lazim disebut
naik haji. Istilah “naik” jelas menunjuk adanya peristiwa mobilitas
sosial, bahwa status orang tersebut akan menjadi berbeda antara sebelum
dan sesudah menjalankan ibadah haji. Demikian juga fenomena-fenomena
dalam kehidupan agama yang lain, misalnya yang dilakukan oleh kaum
misionaris atau zending.<br />
<ul>
<li><b>Faktor kependudukan/demografi</b></li>
</ul>
Bertambahnya jumlah dan kepadatan penduduk yang berimplikasi pada
sempitnya permukiman, kualitas lingkungan yang buruk, kesempatan kerja
yang menyempit, kemiskinan, dan sebagainya, dapat mendorong orang untuk
melakukan migrasi ke tempat lain.<b> </b><br />
<ul>
<li><b>Keinginan melihat daerah lain</b></li>
</ul>
Hal ini tampak pada fenomena tourisme, orang mengunjungi daerah atau
tempat tertentu dengan tujuan sekedar melihat sehingga menambah
pengalaman atau bersifat rekreasional.<br />
Di samping faktor-faktor yang mendorong ada pula faktor-faktor yang menghambat mobilitas sosial, misalnya:<br />
<ol>
<li>Perangkap kemiskinan</li>
<li>Diskriminasi gender, ras, agama, kelas sosial</li>
<li>Subkultur kelas sosial, misalnya apa yang oleh Oscar Lewis disebut sebagai <i>the culture of poverty</i>, ataupun rendahnya hasrat meraih prestasi, yang oleh David McClelland disebut sebagai <i>need for achievement</i> (<i>n-Ach</i>).</li>
</ol>
<h3>
Prinsip-prinsip Mobilitas Sosial</h3>
<ol>
<li>Hampir tidak terdapat masyarakat yang sistem pelapisan sosialnya
secara mutlak tertutup, sehingga mobilitas sosial – meskipun terbatas –
tetap akan dijumpai pada setiap masyarakat</li>
<li>Sekalipun suatu masyarakat menganut sistem pelapisan sosial yang
terbuka, namun mobilitas sosial tidak dapat dilakukan sebebas-bebasnya</li>
<li>Tidak ada mobilitas sosial yang umum berlaku bagi semua masyarakat;
artinya setiap masyarakat memiliki karakteristiknya sendiri dalam
hubungannya dengan mobilitas sosial</li>
<li>Laju mobilitas sosial yang disebabkan faktor-faktor ekonomi, politik maupun pekerjaan tidaklah sama</li>
<li>Tidak ada kecenderungan yang kontinyu mengenai bertambah atau berkurangnya laju mobilitas sosial</li>
</ol>
<h3>
Saluran-saluran Mobilitas Sosial</h3>
<b> </b><br />
<div style="text-align: justify;">
<b>Pitirim A. Sorokin </b>menyatakan bahwa mobilitas sosial vertikal mempunyai saluran-saluran yang disebut <i>social circulation </i>sebagai berikut:</div>
<ol>
<li style="text-align: justify;"><b>Angkatan bersenjata (tentara)</b>; terutama dalam masyarakat yang dikuasai oleh sebuah rezim militer atau dalam keadaan perang</li>
<li style="text-align: justify;"><b>Lembaga keagamaan</b>. Contohnya tokoh organisasi massa keagamaan yang karena reputasinya kemudian menjadi tokoh atau pemimpin di tingkat nasional</li>
<li style="text-align: justify;"><b>Lembaga pendidikan</b>; sekolah sering merupakan saluran yang paling konkrit untuk mobilitas sosial, sehingga disebut <i>sosial elevator </i>yang
utama. Semakin tinggi tingkat pendidikan yang berhasil diraih seseorang
semakin terbuka peluangnya untuk menempati posisi atau kedudukan tinggi
dalam struktur sosial masyarakatnya.</li>
<li><b>Organisasi politik, ekonomi dan keahlian (profesi)</b>;
seorang tokoh organisasi politik yang pandai beragitasi, berorganisasi,
memiliki kepribadian yang menarik, penyalur aspirasi yang baik, akan
lebih terbuka peluangnya memperoleh posisi yang tinggi dalam masyarakat.</li>
<li style="text-align: justify;"><b>Perkawinan</b>; melalui
perkawinan seorang rakyat jelata dapat masuk menjadi anggota kelas
bangsawan. Status sosial seseorang yang bersuami/beristerikan orang
ternama atau menempati posisi tinggi dalam struktur sosial ikut pula
memperoleh penghargaan-penghargaan yang tinggi dari masyarakat.</li>
</ol>
<h3>
Konsekuensi Mobilitas Sosial</h3>
<div style="text-align: justify;">
Terjadinya mobilitas sosial di dalam
masyarakat menimbulkan berbagai konsekuensi, baik positif maupun
negatif. Apakah konsekuensi tersebut positif atau negatif ditentukan
oleh kemampuan individu atau kelompok individu menyesuaikan dirinya
terhadap “situasi” baru: kelompok baru, orang baru, cara hidup baru.</div>
<div style="text-align: justify;">
Apabila individu atau kelompok individu
yang mengalami mobilitas sosial mampu menyesuaikan dirinya dengan
situasi yang baru maka akan memperoleh hal-hsl posiitif sebagai
konsekuensi mobilitas sosial, antara lain:</div>
<ul>
<li>mengalami kepuasan, kebahagiaan dan kebanggaan.</li>
<li style="text-align: justify;">Peluang mobilitas sosial juga berarti kesempatan bagi individu atau kelompok individu untuk lebih maju.</li>
<li style="text-align: justify;">Kesempatan mobilitas sosial yang luas
akan mendorong orang-orang untuk mau bekerja keras, mengejar prestasi
dan kemajuan sehingga dapat meraih kedudukan yang dicita-citakan.</li>
</ul>
<div style="text-align: justify;">
Apabila individu atau kelompok individu
tidak mampu menyesuaikan dirinya dengan situasi baru, maka akan terjadi
konsekuensi-konsekuensi sebagai berikut:</div>
<ul>
<li>Konflik antar-kelas</li>
</ul>
<div style="text-align: justify;">
Konflik ini terjadi karena benturan
kepentingan antar-kelas sosial. Misalnya konflik antara majikan dengan
buruh yang menghendaki kenaikan upah.</div>
<ul>
<li>Konflik antar-kelompok</li>
</ul>
<div style="text-align: justify;">
Konflik antar-kelompok (konflik
horizontal) bisa melibatkan ras, etnisitas, agama atau aliran/golongan.
Konflik jenis ini dapat terjadi karena perebutan peluang mobiitas
sosial, misalnya kesempatan memperoleh sumber-sumber ekonomi, rekrutmen
anggota, peluang memperoleh kekuasasan politik atau pengakuan
masyarakat.</div>
<ul>
<li>Konflik antar-individu</li>
</ul>
<div style="text-align: justify;">
Konflik antar-individu dapat terjadi
misalnya karena masuknya individu ke dalam kelompok tidak diterima oleh
anggota kelompok yang lain. Misalnya lingkungan organisasi atau
seseorang tidak dapat menerima kehadiran seseorang yang dipromosikan
menduduki suatu jabatan tertentu.</div>
<ul>
<li>Konflik antar-generasi</li>
</ul>
<div style="text-align: justify;">
Konflik ini terjadi dalam hubungannya
mobilitas antar-generasi. Fenomena yang sering terjadi adalah ketika
anak-anak berhasil meraih posisi yang tinggi, jauh lebih tinggi dari
posisi sosial orang tuanya, timbul ethnosentrisme generasi.
Masing-masing generasi –orang tua maupun anak— saling menilai
berdasarkan ukuran-ukuran yang berkembang dalam generasinya sendiri.
Generasi anak memandang orang tuanya sebagai generasi yang tertinggal,
kolot, kuno, lambat mengikuti perubahan, dan sebagainya. Sementara itu
generasi tua mengganggap bahwa cara berfikir, berperasaan dan bertindak
generasinya lebih baik dan lebih mulia dari pada yang tumbuh dan
berkembang pada generasi anak-anaknya.</div>
<ul>
<li>Konflik status dan konflik peran</li>
</ul>
<div style="text-align: justify;">
Seseorang yang mengalami mobilitas
sosial, naik ke kedudukan yang lebih tinggi, atau turun ke kedudukan
yang lebih rendah, dituntut untuk mampu menyesuaikan dirinya dengan
kedudukannya yang baru.</div>
<div style="text-align: justify;">
Kesulitan menyesuaikan diri dengan statusnya yang baru akan menimbulkan konflik status dan konflik peran.</div>
<div style="text-align: justify;">
Konflik status adalah pertentangan
antar-status yang disandang oleh seseorang karena
kepentingan-kepentingan yang berbeda. Hal ini berkaitan dengan banyaknya
status yang disandang oleh seseorang.</div>
<div style="text-align: justify;">
Konflik peran merupakan keadaan ketika
seseorang tidak dapat melaksanakan peran sesuai dengan tuntutan status
yang disandangnya. Hal ini dapat terjadi karena statusnya yang baru
tidak disukai atau tidak sesuai dengan kehendak hatinya. <i>Post Power Syndrome</i> merupakan bentuk konflik peran yang dialami oleh orang-orang yang harus turun dari kedudukannya yang tinggi.</div>
<div style="text-align: justify;">
Sumber: <a href="http://www.agsasman3yk.wordpress.com/" target="_blank">Klik Disini</a> </div>Muhammad Zamronihttp://www.blogger.com/profile/10110306643251368312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7866388757807007826.post-58235823691395313232012-02-13T21:08:00.001+07:002012-02-13T21:59:52.110+07:00Stratifikasi Sosial: Determinan dan Konsekuensi<b>Pendahuluan<br />
</b><br />
Stratifikasi sosial dan kelas sosial adalah dua hal yang berbeda,
tetapi seringkali dipergunakan secara bergantian sehingga dalam beberapa
bagian menjadi rancu. Stratifikasi sosial sebenarnya lebih merujuk pada
pembagian sekelompok orang ke dalam tingkatan-tingkatan atau strata
yang berjenjang secara vertikal. <span id="more-45"></span>Jadi apabila
kita berbicara tentang stratifikasi sosial, kita akan berbicara tentang
posisi yang tidak sederajat antar-orang atau antar-kelompok dalam
masyarakat. Secara umum, stratifikasi sosial juga sering dikaitkan
dengan persoalan kesenjangan atau polarisasi sosial.<br />
Sedangkan istilah kelas sosial lebih sempit dari itu. Istilah kelas
lebih merujuk pada satu lapisan atau satu strata tertentu dalam sebuah
stratifikasi sosial. Orang-orang yang berasal dari suatu kelas sosial
pada umumnya memiliki orientasi politik, nilai dan budaya, sikap, dan
perilaku sosial yang –pada umumnya– sama.<br />
Masyarakat kelas atas, misalnya, dalam banyak hal memiliki
karakteristik yang berbeda dengan masyarakat miskin, bukan hanya dalam
penampilan fisik mereka, seperti cara berpakaian dan saara transportasi
yang dipergunakan, atau bahkan mereknya. Tetapi, antarmereka biasanya
juga berbeda ideologi politik, nilai yang dianut, sikap, dan perilaku
sehari-harinya.<br />
Secara sederhana, perbedaan kelas sosial bisa terjadi dan dilihat
dari perbedaan besar penghasilan rata-rata seseorang setiap hari atau
setiap bulannya. Namun, seperti yang dikatakan oleh Paul B. Horton dan
Chester L. Hunt (1984) bahwa terbentuknya stratifikasi dan kelas-kelas
sosial di dalamnya sesungguhnya tidak hanya berkaitan dengan uang. Kelas
sosial adalah suatu strata atau pelapisan orang-orang yang berkedudukan
relatif sama dalam kontinum atau rangkaian kesatuan status sosial.
Mereka mempunyai jumlah penghasilan yang relatif sama. Namun, lebih
penting dari itu, mereka memiliki sikap, nilai-nilai, dan gaya hidup
yang sama. Semakin rendah kedudukan seseorang di dalam pelapisan sosial,
biasanya semakin sedikit pula perkumpulan dan hubungan sosialnya.
Orang-orang dari lapisan rendah lebih sedikit berpartisipasi dalam jenis
organisasi apa pun — klub, organisasi sosial, lembaga formal, atau
bahkan lembaga keagamaan– daripada orang-orang yang berasal dari strata
atau kelas menengah dan atas.<br />
<b>Determinan stratifikasi sosial.</b><br />
Di dalam dunia kemiliteran, kita biasanya dengan mudah dan cepat
membedakan strata anggotanya berdasarkan jenjang kepangkatan yang telah
terstruktur dengan jelas. Tetapi, apakah kita juga dengan mudah bisa
membedakan strata seseorang di dalam masyarakat yang begitu heterogen?<br />
Seorang direktur sebuah perusahaan swasta yang terkenal, misalnya,
apakah kedudukan lebih tinggi dari seorang rektor sebuah universitas
atau perguruan tinggi negeri atau swasta? Seorang artis, apakah lantaran
mereka lebih populer kemudian dikatakan kedudukannya lebih tinggi dari
dosen, wartawan, atau pengusaha yang sukses? Ukuran atau kriteria apakah
yang kita gunakan untuk membedakan seseorang termasuk ke dalam suatu
lapisan sosial tertentu?<br />
Secara rinci, faktor-faktor yang menjadi determinan stratifikasi
sosial memang relatif beragam, yakni dimensi usia, jenis kelamin, agama,
kelompok etnis atau ras, pendidikan formal, pekerjaan, kekuasaan,
status, tempat tinggal, dan dimensi ekonomi. Berbagai dimensi ini,
signifikansi dan kadar pengaruhnya dalam pembentukan stratifikasi sosial
sudah tentu tidak sama kuat dan berbeda-beda tergantung pada tahap
perkembangan masyarakat dan konteks sosial yang berlaku. Pada masyarakat
di zaman dahulu, jenis kelamin, usia, serta penguasaan agama, mungkin
sangat dominan sebagai faktor yang mendasari pemilahan anggota
sukubangsa tertentu. Dalam cerita seputar kerajaan, laki-laki pada
umumnya dipandang lebih tinggi derajatnya daripada perempuan, sehingga
mereka dinilai lebih layak menyandang gelar sebagai putra mahkota.<br />
Dalam masyarakat yang makin modern, perbedaan strata yang terbentuk
dan berkembang di masyarakat umumnya tidak lagi atas dasar hal-hal yang
bersifat kodrati, seperti perbedaan jenis kelamin atau usia, tetapi
diterminan stratifikasi sosial menjadi semakin kompleks dan tidak lagi
bersifat given (askriptif), melainkan lebib berdasarkan prestasi
(achieved).<br />
Secara umum, determinan yang menurut para ahli banyak berpengaruh
dalam pembentukan stratifikasi sosial di masyarakat yang semakin modern
adalah: dimensi ekonomi (kelas-kelas sosial), dimensi sosial (status
sosial), dan dimensi politik (penguasa dan yang dikuasai/pemimpin dan
pengikut). Hal ini sesuai dengan klasifikasi Jeffris dan Ransford
(1980), di dalam masyarakat pada dasarnya dapat dibedakan tiga macam
stratifikasi sosial, yaitu:<br />
1. Hirarkhi kelas, yang didasarkan pada penguasaan atas barang dan jasa;<br />
2.Hirarkhi kekuasasan, yang didadasarkan pada kekuasaan, dan<br />
3. Hirarkhi status, yang didasarkan pada pembagian kehormatan dan status sosial.<br />
<b>Akumulasi Dimensi.</b><br />
Selain tiga dimensi stratifikasi sosial di atas sudah tentu masih ada
sejumlah dimensi yang lain. Namun, lepas berapa jumlah dimensi
stratifikasi sosial yang ada, satu hal yang perlu dicermati adalah
kemungkinan terjadinya akumulasi dari sejumlah dimensi itu. Artinya,
seseorang yang memiliki aset produksi berlimpah, kaya, dan memiliki
banyak perusahaan, biasanya ia sebelumnya lahir dari keluarga yang
berkecukupan, terhormat, memiliki pendidikan yang tinggi, dan bahkan
didukung dengan pemilikan jaringan atau koneksi yang sangat luas.
Seseorang yang berpendidikan, misalnya, mestki tidak selalu menjamin,
tetapi pada umumnya lebih berpeluang untuk melakukan mobilitas sosial
vertikal. Sebagaimana dinyatakan oleh Beteille, bahwa pendidikan
berharga karena memberikan akses untuk jabatan dengan bayaran atau gaji
yang lebih baik (Kuper dan Kuper, 2000: 1059).<br />
Mungkin banyak terjadi di cerita-cerita dan sedikit terjadi dalam
kenyataan, cerita-cerita seperti “gareng jadi ratu” atau “seorang
penggembala kerbau akhirnya menjadi presiden”.<br />
Dalam realitas, seseorang yang memiliki kekuasaan politik atau
menduduki jabatan tertentu, akan cenderung lebih besar peluangnya untuk
meraih fasilitas dan kebutuhan material. Sebaiknya, untuk orang miskin,
selain tidak memiliki kekuasaan apapun, mereka biasanya juga tidak
berdaya dan mudah dijadikan bahan eksploitasi. Selo Soemardjan dan
Soelaiman Soemardi dalam Setangkai Bunga Sosiologi (1964), menyatakan
bahwa anggota masyarakat yang posisinya tinggi akan cenderung
mengakumulasikan posisi dalam dimensi yang berlainan.<br />
Dalam masyarakat yang terstratifikasi, memang salah satu ciri utama
yang menandai adalah ketidaksamaan untuk mengakumulasi basis kekuasaan
sosial. Yang dimaksud basis kekuasaan sosial itu menurut Friedman
(1979), meliputi:<br />
1. Modal produktif atas aset (tanah, rumah, peralatan, dan kesehatan)<br />
2. sumber keuangan (pendapatan dan akses kredit)<br />
3. organisasi sosial dan politik yang digunakan untuk mencapai kepentingan bersama<br />
4.network atau jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang-barang, pengetahuan, dan keterampilan yang memadai<br />
5. informasi-informasi yang berguna untuk kehidupan<br />
Bagi kelas yang memiliki kekayaan atau kekuasaan lebih, peluang untuk
mengakumulasikan basis kekuatan sosial menjadi lebih besar. Sebaliknya,
bagi kelas sosial menengah ke bawah, apalagi miskin, peluang mereka
untuk mendapatkan basis kekuatan sosial juga rendah, sehingga peluang
untuk melakukan mobilitas sosial vertikal pun menjadi kecil.<br />
Lebih lanjut, dalam kajian ilmu sosial, pengertian stratifikasi
sosial tidak sebatas pada pembagian kelas-kelas sosial saja, melainkan
juga interaksi atau hubungan timbal-balik antar-kelas. Nah, apa yang
terjadi ketika suatu kelas sosial berhubungan timbal-balik dengan kelas
sosial lainya, ternyata lebih menunjukkan fenomena yang sifatnya
relasional atau interaksional daripada gradual. Kenapa suatu kelompok
tetap miskin, dan kenapa pula kelas sosial yang berkuasa senantiasa
hidup dalam lingkaran kekayaan, adalah hal yang sering dipertanyakan
ketika kita berbicara mengenai relasi atau hubungan antar-kelas sosial.<br />
Kita sering mendengar istilah kemiskinan struktural. Dalam konteks
hubungan antar-kelas inilah kemiskinan struktural terjadi. Ciri utama
kemiskinan struktural adalah tidak terjadinya mobilitas vertikal di
kalangan lapisan bawah. Kalau toh ada, maka itu akan lamban sekali. Hal
ini karena kemiskinan itu terjadi akibat hubungan antar-kelas, bahwa
terjadi kungkungan struktur sosial, sehingga yang miskin tetap miskin,
dan yang kaya tetap berada pada lingkungannya yang kaya.<br />
Ciri lain kemiskinan struktural adalah adanya ketergantungan dari
pihak yang miskin terhadap pihak yang kaya, atau kelas sosial di
atasnya. Mohtar Mas’ud (1994: 143) menyatakan bahwa ketergantungan si
miskin terhadap kelas sosial di atasnya inilah yang memerosotkan si
miskin dalam hal bargaining positionnya, sehingga tetap tidak mempunyai
kemampuan tawar terhadap kelas sosial di atasnya.<br />
<b>Konsekuensi stratifikasi sosial.<br />
</b><br />
Perbedaan tingkat pendidikan, kekayaan, status atau perbedaan kelas
sosial tidak cuma mempengaruhi perbedaan dalam hal gaya hidup dan
tindakan, tetapi –seperti yang ditulis oleh Horton dan Hunt (1987), juga
menimbulkan sejumlah perbedaan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti
peluang hidup dan kesehatan, peluang bekerja dan berusaha, respons
terhadap perubahan, pola sosialisasi dalam keluarga, dan perilaku
politik.<br />
Apabila dirinci, konsekuensi perbedaan stratifikasi sosial akan terjadi pada<br />
1. Perbedaan gaya hidup<br />
2. Perbedaan peluang hidup dan kesehatan<br />
3. Respons terhadap perubahan<br />
4. Peluang bekerja dan berusaha<br />
5. Kebahagiaan dan sosialisasi dalam keluarga<br />
6. Perilaku politik<br />
Yogyakarta, 15 Juli 2009.<br />
Diadaptasi dari tulisan Bagong Suyanto dan Karmaji (Sosiologi Teks
Pengantar dan Terapan, Edisi Kedua, Jakarta: Kencana Prenada Media,
2006.<br />
Oleh Agus Santosa, SMA Negeri 3 Yogyakarta.<br />
Sumber: <a href="http://www.agsasman3yk.wordpress.com/" target="_blank">Klik Disini</a>Muhammad Zamronihttp://www.blogger.com/profile/10110306643251368312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7866388757807007826.post-90915131572291505142012-02-13T21:05:00.001+07:002012-02-13T22:00:41.067+07:00Konsekuensi Stratifikasi SosialPerbedaan tingkat pendidikan, kekayaan, status atau perbedaan kelas
sosial tidak cuma mempengaruhi perbedaan dalam hal gaya hidup atau
tindakan, tetapi –seperti ditulis Horton dan Hunt (1987)– juga
menimbulkan sejumlah perbedaan dalam berbagai aspek kehidupan manusia,
seperti peluang hiduo dan kesehatan, peluang bekerja danberusaha,
respons terhadap perubahan, pola sosialisasi dalam keluarga, dan
perilaku politik.<span id="more-79"></span><br />
<b>Gaya hidup.</b><br />
Gaya hidup (life style) yang ditampilkan antara kelas sosial satu
dengan kelas sosial yang lain dalam banyak hal tidaklah sama, bahkan ada
kecenderungan masing-masing kelas mencoba mengembangkan gaya hidup
ekslusif untuk membedakan dirinya dengan kelas sosial yang lain. Berbeda
dengan kelas sosial rendah yang umumnya bersikap konservatif di bidang
agama, moralitas, selera pakaian, selera makanan, cara baru perawatan
kesehatan, cara mendidik anak, dan hal-hal lainya, gaya hidup dan
penampilan kelas sosial menengah dan atas umumnya lebih atraktif dan
eksklusif (Dickson, 1968). Mulai dari tutur kata, cara berpakaian,
pilihan hiburan, pemanfaatan waktu luang, pola berlibur, dan sebagainya,
antar kelas yang satu dengan yang lainnya umumnya tidak sama.<br />
Sebuah keluarga yang berasal dari kelas atas, mereka biasanya akan
cenderung memilih berlibur ke luar negeri. Setiap bulan atau minimal
setiap liburan semester anak-anaknya, mereka akan menyembatkan waktu
pergi ke Singapura, Australia, Hongkong, Amerika, atau Eropa. Untuk
keluarga kelas menengah, tempat untuk berlibur biasanya tidak di luar
negeri, tetapi cukup di Bali, Lombok, Yogyakarta, atau Jakarta. Untuk
keluarga kelas bawah, biasanya mereka hanya berlibur di kota-kota
terdekat yang udaranya lebih sejuk atau sekedar berjalan-jelan di
pusat-pusat perbelanjaaan untuk menghabiskan waktu luang. Di kalangan
keluarga yang benar-benar miskin, mereka bahkan hanya mengisi waktu
luang dengan menikmati tontonan televisi di rumah, atau sesekali ke
kebun binatang, taman hiburan rakyat, pantai, dan sebagainya.<br />
Gaya hidup lain yang tidak sama antara kelas sosial satu dengan
lainnya adalah dalam hal berpakaian. Atribut-atribut yang sifatnya
massal dan dianggap berselera rendahan –pakaian kodian, misalnya–
biasanya selalu dihindari oleh orang-orang yang secara ekonomi mapan
atau berada. Bagi mereka, atribut yang dikenakan adalah simbol status
yang mencerminkan dan membedakan statusnya dari kelas sosial lain yang
lebih rendah.<br />
Di Indonesia, sering terjadi seseorang yang merasa bagian dari kelas
menengah atau atas dalam banyak hal akan gengsi atau malu bila disebut
sebagai penggemar musik dangdut atau penonton setia film India. Vonis
masyarakat yang menempatkan musik dan film goyang pinggul sebagai
hiburan kacangan yang banyak diputar di deerah pinggiran atau desa-desa
menyebabkan orang-orang dari kelas menengah atau atas seoalah merasa
turun derajatnya bila dikategorikan sebagai salah satu penggemar kedua
hiburan ini.<br />
Dalam memanfaatkan waktu luang di malam minggu, film-film yang banyak
ditonton orang-orang dari kelas menengah ke atas biasanya film-film
barat baru yang dibintangi oleh bintang-bintang Hollywood terkenal,
macam Tom Cruise, Tom Hank, Kevin Costner, Sharon Stone, Mat Dammon,
J-Lo, Demi Moore, dan sebagainya. Sedangkan musik yang banyak didengar
adalah musik-musik jazz atau pop Barat yang acapkali ditayangkan di
acara-acara televisi swasta, seperti MTV, Clear Top Ten, dan sebagainya.
Beberapa penyanyi yang menjadi pujaan kelas menengah, misalnya adalah
Britney Spears, Clay Aiken, J-Lo, Michael Bolton, Michael Jackson,
Mariah Carrey, atau Whitney Houston.<br />
Sebagai orang kelas sosial bawah, memang terkadang mereka mencoba
meniru-niru atribut yang dikenakan sebagai gaya hidup kelas di atasnya.
Dalam pemilihan pakaian, sepatu, atau jam tangan, misalnya, banyak
orang-orang dari kelas rendah mencoba menirunya dengan cara membeli
barang-barang tiruan yang biasa dikenakan kelas menengah ke atas. Salah
satu ciri dari kelas sosial bawah adalah mereka acapkali mengapresiasi
dan sejauh mungkin ingin tampil seperti kelas sosial di atasnya. Jika
orang-orang dari kelas atas memakai kaos merek Hammer atau sepatu merek
Nike, maka orang-orang dari kelas bawah akan memakai dengan merek yang
sama tetapi tiruan. Demikian ketika orang-orang dari kelas atas memakai
tas merk Braun Buffel, Etienne Eigner, dan sejenisnya, maka sebagian
orang-orang dari kelas bawah akan menirunya dengan membeli tas
“tembakan” buatan Korea atau China. Bagi orang-0rang yang belum
berpengalaman dan dipandang sepintas kilas mereknya akan terlihat sama.
Selera kalangan bawah yang umumnya lebih menyukai pakaian denngan
warna-warna mencolok dalam banyak hal juga semakin mengukuhkan adanya
perbedaan penampilan mereka dengan kelas di atasnya.<br />
<b>Peluang Hidup dan Kesehatan.</b><br />
Berbagai kajian yang dilakukan ahli sosiologi dan kependudukan telah
banyak menemukan kaitan antara stratifikasi sosial dengan peluang hidup
dan derajat kesehatan keluarga. Studi yang dilakukan oleh Robert
Chambers (1987), misalnya, menemukan bahwa di lingkungan keluarga
miskin, tidak berpendidikan, dan rentan, mereka umumnya lemah jasmani
dan mudah terserang penyakit. Sementara itu, studi yang dilakukan oleh
Brooks (1975) menemukan bahwa kecenderungan terjadinya kematian bayi
ternyata dipengaruhi oleh tinggi-rendahnya kelas sosial orangtua.
Semakin tinggi kelas sosial orangtua, semakin kecil kemungkinan
terjadinya kematian bayi. Di kalangan kaum ibu yang kurang
berpendidikan, terjadinya kematian bayi relatif lebih tinggi karena
tinggi-rendahnya tingkat pendidikan ibu erat kaitannya dengan tingkat
pengertiannya terhadap perawatan kesehatan, hygiene, perlunya
pemeriksaan kehamilan dan pasca persalinan, serta kesadarannya terhadap
kesehatan anak-anak dan keluarganya (Utomo, 1985).<br />
Menurut studi yang dilakukan oleh Antonovsky (1972) dan Harkey
(1976), sekurang-kurangnya ada dua faktor yang berinteraksi untuk
menghasilkan hubungan antara kelas sosial dengan kesehata. Pertama: para
anggota kelas sosial yang lebih tinggi biasanya menikmati sanisitas,
tindakan-tindakan pencegahan serta perawatan medis yang lebih baik.
Kedua: orang-orang yang mengidap penyakit kronis, status sosialnya
cenderung untuk “meluncur” ke bawah dan sulit mengalami mobilitas sosial
vertikal naik karena penyakitnya menghalangi mereka untuk memperoleh
dan mempertahankan berbagai pekerjaan.<br />
Bisa dibayangkan, apa yang bakal terjadi jika sebuah keluarga miskin
suatu saat kepala keluarga yang merupakan tenaga kerja produktif dan
andalan ekonomi keluarga tiba-tiba jatuh sakit hinga berhari-hari atau
bahkan berminggu-minggu. Berbeda dengan keluarga kelas menengah ke atas
yang biasanya memiliki tabungan yang cukup dan ikut asuransi kesehatan,
keluarga-keluarga miskin yang bekerja dengan upah harian, tatkala mereka
sakit, maka akibat yang segera terjadi biasanya adalah mereka terpaksa
jatuh pada perangkap utang, dan pelan-pelan satu per satu barang yang
mereka miliki terpaksa dijual untuk menyambung hidup (Suyanto, 2003).
Dengan alasan tidak lagi ada uang yang tersisa, sering terjadi keluarga
miskin yang salah satu anggota keluarganya sakit akan memilih mengobati
seadanya dengan cara tradisional, yang ironisnya kadang justru membuat
penyakit yang mereka derita menjadi tidak kunjung sembuh.<br />
Singkatnya seperti yang diungkapkan oleh Weber, bahwa semakin tinggi
posisi seseorang atau kelompok dalam struktur sosial peluang hidupnya
akan semakin baik.<br />
<b>Respon terhadap perubahan.</b><br />
Berbeda dengan orang-orang yang datang dari kelas sosial atas,
orang-orang dari kelas sosial bawah merupakan kelompok yang paling
terlambat menerapkan kecenderungan-kecenderungan baru, khususnya dalam
hal cara mengambil keputusan. Memang, setiap kali terjadi perubahan,
tentu membutuhkan proses adaptasi, dan bahkan respons yang tepat dari
warga masyarakat. Orang-orang dari kelas sisial bawah umumnya ragu-ragu
untuk menerima pemikiran dan cara-cara baru serta curiga terhadap para
pembaharu (pencipta hal-hal baru). Studi yang dilakukan oleh IB Wirawan
(1972) mengenai perilaku ber-KB masyarakat desa menunjukkan bahwa KB
mandiri lebih banyak dilakukan oleh orang-orang dari kelas sosial atas
daripada bawah. Ragu dan curiga terhadap hal baru barangkali merupakan
ciri yang relatif tetap pada kelas bawah, misalnya juga terhadap
pembaruan cara bertani, penggunaan pupuk tablet menggantikan pupuk tabur
di desa kami juga menunjukkan hal itu. Semula para petani menolah
penggunaan pupuk tablet, tetapi karena penjualan pupuk tabur dibatasi,
akhirnya terpaksa menerima. Dan ketika menghadapi kenyataan bahwa pupuk
tablet lebih hemat, mereka baru mau menerimanya.<br />
Terbatasnya pendidikan, kebiasaan membaca, dan pergaulan
mengakibatkan kebanyakan orang-orang dari kelas sosial bawah itu tidak
mampu mengetahui latar belakang pemikiran yang mendasari berbagai
program perubahan yang ditawarkan (Horton dan Hunt, 1987).<br />
Kelas sosial atas -di mana sebagian besar berpendidikan relatif
memadai– cenderung lebih responsif terhadap ide-ide baru, sehingga
acapkali mereka lebih sering bisa memetik manfaat dengan cepat atas
program-program baru atau inovasi-inovasi yang diketahuinya.<br />
James Scout menyatakan bahwa salah satu ciri masyarakat desa miskin
di Asia Tenggara adalah keengganan untuk menempuh resiko atau lebih
dikenal dengan istilah prinsip safety first (dahulukan selamat).
Petani-petani kecil yang meruasa lebih baik menunggu daripada segera
merespon perubahan atau tawaran program baru, karena bagi mereka
kelangsungan hidup lebih penting daripada melakukan langkah-langkah
terobosan yang menurut mereka belum tentu jelas hasilnya.<br />
<b>Peluang bekerja dan berusaha.</b><br />
Peluang bekerja dan berusaha antara kelas sosial rendah dengan kelas
sosial di atasnya umumnya jauh berbeda. Dengan koneksi, kekuasaan,
tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dan uang yang dimiliki, kelas
sosial atas relatif lebih mudah membuka usaha atau mencari pekerjaan
yang sesuai dengan minatnya. Seseorang yang sejak kecil telah disertakan
dalam kursus Bahasa Iggris oleh orangtuanya yang kaya, tentu
kemungkinan mereka bersekolah di luar negeri lebih terbuka. Dengan
menyandang gelar MBA atau MA dari luar negeri, jelas kesempatan mereka
untuk bekerja di perusahaan besar lebih besar.<br />
Sementara itu, untuk kelas sosial rendah, akibat belitan atau
perangkap kemiskinan dan pendidikannya yang rendah, mereka umumnya
rentan, tidak berdaya dan kecil kemungkinan untuk bisa memperoleh
pekerjaan yang memadai atau kemungkinan melakukan diversivikasi okupasi.<br />
Keluarga-keluarga yang dibelit perangkap kemiskinan acapkali tidak
bisa ikut meramaikan hasil pertumbuhan ekonomi, rapuh, dan sulit
meningkatkan kualitas hidupnya. Walaupun orang-orang dari kelas bawah
telah sering memperoleh bantuan permodalan dari KUD, KUT, BRI UNIT DESA,
Pegadaian, BLT, dst. tetapi acapkali bantuan-bantuan ekonomi itu tidak
dapat menyelsaikan masalah kemiskinan secara tuntas.<br />
<b>Kebahagiaan dan sosialisasi keluarga</b><br />
Horton dan Hunt (1984) menyatakan bahwa orang-orang kaya umumnya
lebih mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, sehingga lebih
berkemungkinan untuk merasa bahagia daripada orang-orang yang kurang
berada. Fenomena <i>child abuse</i> atau tindak kekerasan dalam
keluarga cenderung lebih sering terjadi dan dialami oleh
keluarga-keluarga yang secara sosial-ekonomi tergolong miskin.<br />
Keluarga-keluara dari kalangan bawah cenderung mengalami kegagalan
dalam melaksanakan fungsi-fungsi dasar keluarga, khususnya fungsi afeksi
dan sosialisasi, karena setiap harinya mereka masih harus dipusingkan
oleh kebutuhan perut yang tidak bisa ditunda-tunda lagi.<br />
Dalam kajian Oscar Lewis (Lima Keluarga Miskin di Mexico) dihasilkan
informasi bahwa figur ayah dalam keluarga yang serba susah biasanya
kasar, tidak berpendidikan, pengangguran, hidup tidak teratur, bahkan
tidak mandi atau makan pagi terlebih dulu sebelum pergi, terjepit oleh
pekerjaan yang rendah dengan gaji yang rendah pula, dan merupakan
keturunan dari seorang ayah yang kejam pula.<br />
Dalam konteks ini bahwa “kekerasan” menghasilkan “kekerasan” adalah
kebenaran yang tidak mudah disangkal. Seorang anak yang dibesarkan dalam
suasana keluarga yang serbakekurangan dan penuh dengan tindak
kekerasan, besar kemungkinan ketika ia menjadi dewasa dan berkeluarga,
akan menjadi seorang suami atau ayah yang ringan tangan terhadap isteri
atau anak-anaknya. Ia akan enggan memberikan kasih sayang dan perasaan
cintanya terhadap anggota-anggota keluarganya.<br />
<b>Perilaku politik</b><br />
Berbagai studi memperlihatkan bahwa kelas sosial mempengaruhi
perilaku politik orang. Studi yang dilakukan oleh Erbe (1964), Hansen
(1975), dan lain-lain menyimpulkan bahwa semakin tinggi kelas sosial
semakin cenderung aktif dalam kehidupan politik, seperti mendaftarkan
diri sebagai pemilih, memberikan suara dalam pemilu, tertarik pada
pembahasan politik, dan berusaha mempengaruhi pandangan politik orang
lain.<br />
Di lingkungan orang-orang yang berpendidikan di kalangan kelas
menengah, ditengarai tingkat partisipasi politiknya tinggi daripada
orang-orang yang kurang berpendidikan karena ada kaitannya dengan
semakin tumbuhnya sikap kritis mereka. Akses mereka terhadap informasi
merupakan salah satu faktor penyebabnya. Kelas menengah bahkan
diharapkan berperan sebagai motor penggerak perubahan, kendati justru
tidak jarang dijumpai orang-orang dari kalangan kelas menengah yang
justru menjadi pendukung status quo.<br />
Diadaptasi dan modifikasi oleh Agus Santosa,<br />
dari Bagong Suyanto dan Karmaji, dalam J. Narwoko dan Bagong
Suyanto, 2006, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan Edisi Kedua,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.<br />
Source: <a href="http://www.agsasman3yk.wordpress.com/" target="_blank">Klik Disini</a>Muhammad Zamronihttp://www.blogger.com/profile/10110306643251368312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7866388757807007826.post-13337020571971622662012-02-13T20:54:00.001+07:002012-02-13T22:01:05.633+07:00Gender dan Jenis KelaminKata “gender” dalam bahasa Indonesia merupakan peminjaman dari bahasa
Inggris. Menurut Kamus Bahasa Inggris-Indonesia yang ditulis oleh
Echols dan Hasan Shadily (1983: 265) menyebutkan bahwa gender adalah
jenis kelamin. Sehingga menurut kamus ini, seks dan gender tidak
dibedakan. Menurut Women’s Studies Encyclopedia, gender adalah suatu
konsep kultural, berupaya membuat perbedaan dalam hal peran, perilaku,
mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dengan perempuan
yang berkembang dalam masyarakat.<br />
<span id="more-97"></span>Istilah <i><b>gender</b></i> pada awalnya dikembangkan sebagai suatu analisis ilmu sosial oleh <b>Ann Oakley</b>
(1972), dan sejak saat itu menurutnya gender lantas dianggap sebagai
alat analisis yang baik untuk memahami persoalan diskriminasi terhadap
kamu perempuan secara umum.<br />
Sumber lain menyatakan bahwa bahan acuan yang sering digunakan untuk
mengawali suatu pembahasan mengenai gender dan jenis kelamin ialah buku
yang ditulis oleh ahli antropologi Margaret Mead mengenai seksualitas
dan temparemen di tiga kelompok etnik di Papua Timur Laut (1965), yaitu <b><i>Sex and Temparement in Three Primitive Societies</i></b>.<br />
Mead mengemukakan bahwa dalam sejarah kebudayaan masyarakat Barat
dikenal pembedaan kepribadian laki-laki dan perempuan, di mana perempuan
pada umumnya dikaitkan dengan ciri kepribadian tertentu, seperti watak
keibuan, tidak agresif, berhati lembut, suka menolong, emosional,
tergantung, memanjakan, peduli terhadap keperluan orang lain dan
mempunyai seksualitas feminin; dan laki-laki di pihak lain, dikaitkan
dengan ciri kepribadian keras, agresif, menguasai, dan seksualitas
maskulin yang kuat. Namun, dalam penelitiannya selama beberapa tahun di
kalangan suku Arapesh yang tinggal di pegunungan, suku Mundugumor yang
tinggal di tepi sungai, dan suku Tschambuli yang tinggal di tepi danau,
ternyata klasifikasi laki-laki perempuan seperti dalam sejarah
masyarakat Barat itu tidak berlaku. Bahkan, di suku Arapesh, dijumpai
keadaan yang berlawanan dengan masyarakat Barat. Di suku ini, kaum
perempuan justru bersifat menguasai sedangkan kaum laki-laki
berkepribadian emosional dan kurang bertanggungjawab. Sementara pada dua
suku yang lain, tidak ada perbedaan kepribadian antara laki-laki dengan
perempuan.<br />
Berdasarkan penelitiannya itu, Mead menyimpulkan bahwa kepribadian
laki-laki dengan perempuan tidak tergantung pada jenis kelamin,
melainkan dibentuk oleh faktor kebudayaan, yaitu sosialisasi dan pola
asuhan dini yang dituntun oleh kebudayaan masyarakat yang bersangkutan.<br />
<b>Definisi Gender<br />
</b><br />
<b>Gender</b> berbeda dari <b>jenis kelamin</b>
(seks). Seks adalah pembedaan jenis kelamin yang ditentukan secara
biologis pada jenis kelamin tertentu (anatomi tubuh), misalnya laki-laki
memiliki penis, testis, jakun, memproduksi sperma, dan ciri-ciri
biologis yang lain yang berbeda dengan perempuan. Sedangkan perempuan
mempunyai alat reproduksi seperti rahim, saluran untuk melahirkan,
memproduksi telur (indung telur), vagina, payudara dan air susu, serta
alat biologis perempuan lainnya sehingga bisa haid, hamil, dan menyusui
(fungsi reproduksi). Ciri-ciri demikian merupakan atribut yang melekat
pada setiap manusia, bersifat permanen, tidak berubah, merupakan
ketentuan biologis dari Tuhan (kodrat), dan fungsinya tidak dapat
dipertukarkan.<br />
Sedangkan gender merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan
pembedaan laki-laki dengan perempuan secara sosial dan budaya. Gender
adalah kelompok atribut dan perilaku yang dibentuk secara kultural yang
ada pada laki-laki dan perempuan. Mead menegaskan bahwa jenis kelamin
adalah biologis dan perilaku gender adalah konstruksi sosial.
Sebagaimana Mead, Oakley menyatakan bahwa gender adalah pembagian
laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural.
Sebagi misal, perempuan dianggap lembut, emosional, keibuan, dan lain
sebagainya, sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, perkasa, dan
sebagainya. Sifat-sifat tersebut bukan kodrat, karena tidak selamanya
dan dapat pula dipertukarkan. Artinya, laki-laki ada yang emosional,
lemah lembut, dan keibuan, sebaliknya perempuan ada juga yang kuat,
rasional, dan perkasa.<br />
Gender adalah konsep hubungan sosial yang membedakan (memilahkan atau
memisahkan) fungsi dan peran antara laki-laki dengan perempuan.
Pembedaan fungsi dan peran laki-laki dan perempuan itu tidak ditentukan
karena keduanya terdapat perbedaan biologis atau kodrat, tetapi
dibedakan menurut kedudukan, fungsi, dan peran masing-masing dalam
berbagai bidang kehidupan. Gender merupakan bentukan setelah kelahiran
yang dikembangkan dan diinternalisasikan oleh orang-orang di lingkungan
seseorang.<br />
Perbedaan gender antara laki-laki dengan perempuan terjadi melalui
proses yang sangat panjang, melalui proses sosialisasi, dan disertai
dengan penguatan melalui konstruksi sosial, kultural, kekuasaan negara,
dan bahkan keagamaan. Karena proses yang begitu panjang itulah,
perbedaan gender menjadi seoalah-olah memang demikian, bahkan
seolah-olah menjadi ketentuan Tuhan (agama) atau kodrat yang tidak dapat
diubah.<br />
Demikian sebaliknya, konstruksi sosial yang prosesnya panjang secara
evolutif mempengaruhi perkembangan fisik biologis masing-masing jenis
kelamin. Seperti misalnya, bahwa gender laki-laki harus kuat dan
agresif, dengan konstruksi sosial semacam itu menjadikan laki-laki
terlatih dan termotivasi mempertahankan sifat tersebut, misalnya melalui
olah tubuh atau pekerjaan yang memerlukan kekuatan fisik, akhirnya
laki-laki menjadi lebih kuat dan lebih besar. Sebaliknya, gender
perempuan yang menurut konstruksi sosial itu lembut, akan mendorong para
perempuan untuk menjaga kelembutan sikap dan perilakunya.<br />
Proses yang panjang tentang pembedaan gender antara laki-laki
perempuan membuatnya terkesan tidak dapat berubah dan permanen, tetapi
sebenarnya itu dapat dipertukarkan, direkayasa, karena pada dasarnya
dibentuk oleh masyarakat. Sehingga pada dasarnya pembedaan gender
bersifat dinamis, dan dapat berbeda karena adat istiadat, kebiasaan,
agama, sistem nilai, politik, dan sebagainya. Pembedaan gender dapat
berubah karena perjalanan sejarah, perubahan politik, perubahan ekonomi,
sosial dan budaya, atau jutsru karena kemajuan pembangunan.<br />
Untuk mengetahui lebih jauh tentang perbedaan antara seks dan gender, dapat dilihat pada daftar berikut.<br />
Karakteristik seks (jenis kelamin):<br />
<ol>
<li>bersifat biologis</li>
<li>pemberian Tuhan (Kodrat)</li>
<li>tidak dapat diubah</li>
<li>peran seks laki-laki: produksi</li>
<li>peran seks perempuan: reproduksi (haid, hamil, melahirkan, menyusui, dst.</li>
</ol>
Karakteristik gender:<br />
<ol>
<li>bersifat kultural/adat istiadat</li>
<li>bentukan setelah lahir, diajarkan melalui sosialisasi, internalisasi, dan enkulturasi</li>
<li>konstruksi sosial yang bersifat dinamik/dapat berubah</li>
<li>peran gender perempuan: memasak, mencuci, merawat anak dan orangtua, mendidik anak, dst.</li>
<li>peran gender laki-laki: bekerja di luar rumah, menjadi tenaga profesional, dan sebagainya</li>
</ol>
Kementrian Pemberdayaan Perempuan dalam Panduan Gender Dalam
Perencanaan Partisipatif Tahun 2002, membuat dekripsi perbedaan antara
jenis kelamin dengan gender, sebagai berikut.<br />
Jenis Kelamin:<br />
<ol>
<li>Tidak dapat berubah (contoh: alat kelamin laki-laki atau perempuan)</li>
<li>Tidak dapat dipertukarkan (contoh: jakun pada laki-laki dan payudara pada perempuan)</li>
<li>Berlaku sepanjang masa (contoh: status sebagai laki-laki atau perempuan)</li>
<li>Berlaku di mana saja (di rumah, di kantor, dan di mana saja, seorang
laki-laki tetap seorang laki-laki dan seorang perempuan tetap seorang
peremuan)</li>
<li>Merupakan ketentuan Tuhan (laki-laki memiliki ciri-ciri utama yang berbeda dengan perempuan, demikian juga sebaliknya)</li>
<li>Ciptaan Tuhan (perempuan bisa haid, hamil, melahirkan, menyusui, dan sebagainya, sedangkan laki-laki tidak bisa)</li>
</ol>
Gender:<br />
<ol>
<li>Dapat berubah (peran dalam kegiatan sehari-hari, seperti lebih
banyak perempuan menjadi juru masak jika di rumah, tetapi jika di
restoran lebih banyak laki-laki menjadi juru masak)</li>
<li>Dapat dipertukarkan</li>
<li>Tergantung kebudayaan dan kebiasaan (di Pulau Jawa, pada zaman
penjajahan Belanda kamu perempuan tidak memperoleh hak pendidikan,
setelah Indonesia merdeka perempuan memiliki kebebasan untuk mengikuti
pendidikan)</li>
<li>Tergantung kebudayaan setempat (pembatasan kesempatan di bidang
pekerjaan terhadap perempuan dikarenakan budaya setempat, misalnya
diutamakan untuk menjadi perawat, guru TK, atau pengasuh anak.</li>
<li>Bukan merupakan kodrat Tuhan</li>
<li>Buatan manusia (laki-laki perempuan berhak menjadi ketua RT/RW,
kepala desa, camat, bupati, walikota, gubernur, menteri, wakil presiden,
atau bahkan presiden</li>
</ol>
Sumber:<br />
Kamanto Sunarto. 2004. Pengantar Sosiologi. Edisi Revisi. Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI.<br />
J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto (Ed). 2006. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.<br />
Sumber:<a href="http://www.agsasman3yk.wordpress.com/" target="_blank"> Klik Disini</a>Muhammad Zamronihttp://www.blogger.com/profile/10110306643251368312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7866388757807007826.post-74201714610981968852012-02-13T20:51:00.000+07:002012-02-13T22:02:08.186+07:00Geertz: Abangan, Priayi, dan SantriKetika disebut tiga varian yang dibuat
oleh Geertz ini untuk sebuah contoh, misalnya terkait dengan nilai atau
cara hidup, dipastikan ada siswa yang bertanya tentang apakah santri,
priayi, dan abangan. Tidak sedikit anak murid saya yang tidak tahu
tentang hal ini. Barangkali memang karena jarak waktu anatar istilah ini
dikemukakan pertama kali dengan kehidupan sosial anak murid saya begitu
jauhnya, atau barangkali pemilahan tersebut memang sudah tidak relevan
di masyarakat pada waktu sekarang ini. Tulisan ini hendak menjelaskan
tentang tiga varian tersebut secara singkat.<span id="more-691"></span>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Abangan, priayi, dan Santri, merupakan
klasifikasi yang digali oleh Clifford Geertz dari masyarakat Jawa,
khususnya masyarakat suatu kota di Jawa Timur (Pare, yang dalam
penelitian Geertz disamarkan menjadi Mojokuto) serta daerah pedesaann di
sekitarnya, pada sekitar tahun 1964.</div>
<div style="text-align: justify;">
Meskipun klasifikasi ini banyak dikritik
dan gejala yang diamati Geertz pun terjadi pada tahun 50-an dan 60-an
sehingga kini telah banyak berubah, tetapi pemikiran Geertz ini cukup
penting untuk kita ketahuii, karena sering digunakan para ilmuwan untuk
menjelaskan berbagai peristiwa di kala itu – terutama kehidupan politik
kita di tahun-tahun menjelang terjadinya tragedi pada tahun 1965 yang
sering disebut Gerakan Tiga Puluh September serta ideologinya.</div>
<div style="text-align: justify;">
Menurut Geertz pembagian masyarakat yang
ditelitinya ke dalam tiga tipe budaya ini didasarkan atas perbedaan
pendangan hidup di antara mereka. Subtradisi abangan yang menurut Geertz
didwarnai berbagai upacara selamatan, praktik pengobatan tradisional,
serta kepercayaan kepada mahluk halus dan kekuatan gaib itu terkait pada
kehidupan di pedesaan. Subtradisi santri yang ditandai oleh ketaatan
pada ajaran agama Islam serta keterlibatan dalam berbagai organisasi
sosial dan politik yang bernafaskan Islam dijumpai di kalangan pengusaha
yang banyak bergerak di pasar maupun di desa selaku pemuka agama.
Subtradisi ketiga, priayi, ditandai pengaruh mistik Hindu-Budha
prokolonial maupun pengaruh kebudayaan Barat dan dijumpai pada kelompok
elite kerah putih (<i>white collar elite</i>) yang merupakan bagian
dari birokrasi pemerintah. Dengan demikian Geertz melihat adanya
keterkaitan erat antara ketiga subtradisi ini –abangan, santri, dan
priayi—dengan tiga lingkungan –desa, pasar, dan birokrasi pemerintahan.</div>
<div style="text-align: justify;">
Di tahun 50-an dan 60-an dijumpai suatu
pengelompokan yang terdiri atas partai politik yang masing-masing
mempunyai organisasi massa sendiri –suatu pengelompokan yang oleh Geertz
dinamakan aliran. Di Jawa Geertz mengidentifikasikan empat aliran: PNI,
PKI, Masyumi, dan NU. Yang menarik ialah bahwa pola aliran tersebut
kemudian dikaitkan dengan ketiga subtradisi Geertz, muncul pandangan
bahwa ketiga subtradisi tersebut melandasi pengelompokan aliran. Menurut
pendapat ini aliran berhaluan Islam (Masyumi dan NU) didukung oleh kaum
santri, PNI berintikan kaum priayi, dan PKI didukung oleh kaum abangan.</div>
<div style="text-align: justify;">
Sebagaimana telah disebutkan, klasifikasi
Geertz telah memancing berbagai reaksi. Harsya W. Bachtiar (1973),
misalnya, menememukan beberapa masalah dalam klasifikasi Geertz ini,
antara lain mengemukakan bahwa Geertz tidak secara tegas mengemukakan
apakah klasifikasinya merupakan klasifikasi budaya ataukah klasifikasi
kelompok. Sebagai klasifikasi kelompok, pembagian Geertz ini dipandang
tidak memadai karena besarnya kemungkinan tumpang tindih. Dari segi
ketaatan pada ajaran agama Islam, misalnya, seorang priayi dapat
diklasifikasikan sebagai santri atau abangan.</div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam dinamika sosial, di antara ketiga
golongan tersebut sering ditemukan pola-pola konflik, yakni konflik
idiologi, konflik kelas, dan konflik politik.</div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Konflik Ideologi</b></div>
<div style="text-align: justify;">
Ketegangan antara priayi dengan abangan
dalam hal ideologi tidak terlihat secara jelas dibandinkan ketegangan
antara kaum santri dengan kaum abangan dan kaum priayi. Terhadap
ideologi kaum santri terlihat jelas dengan nyanyian ejekan kaum abangan
yang mengisyaratkan bahwa kaum santri yang merasa memiliki moralitas
lebih suci dari kaum abangan dengan cara berpakaian sopan, seperti
kerudung namun dalam kenyataan –menurut kaum abangan– masih melakukan
perbuatan zina. Kaum priayi mengkritik tentang kemunafikan santri dan
intoleransi di kalangan kaum santri terhadap golongan-golongan lain
dalam masyarakat.</div>
<div style="text-align: justify;">
Menurut kaum abangan, ritual keagamaan
haji ke Makkah yang dilakukan oleh kaum santri merupakan sikap yang
tidak penting dan hanya membuang-buang uang saja. Yang lebih penting,
menurut kaum abangan dan priayi, kesucian itu ada di dalam hati, bukan
di Mekah atau di masjid.</div>
<div style="text-align: justify;">
Serangan kaum santri terhadap kedua
golongan tersebut (abangan dan priyayi) tidak kalah tajam. Mereka
menuduh kaum abangan sebagai penyembah berhala dan menuduh kaum priayi
tidak bisa membedakan dirinya dengan Tuhan, terkait dengan kecenderungan
kaum priayi untuk merumuskan nilai dan normanya sendiri yang berasal
dari hati nurani, dan bukan berasal dari kitab suci.</div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Konflik Kelas</b></div>
<div style="text-align: justify;">
Ketegangan priyayi dan abangan terlihat
jelas pada hubungannnya dengan persoalan status. Kaum priyayi menuduh
kaum abangan tidak tahu tempatnya yang layak sehingga mengganggu
keseimbangan organis masyarakat. Mereka menganggap bahwa kedudukan
status sosial mereka lebih tinggi dibangdingkan kaum abangan sehingga
mereka tidak suka jika kaum abangan yang mayoritas petani meniru gaya
hidup mereka. Namun sejak zaman pendudukan Jepang di Indonesia, kaum
abangan mulai menyuarakan persamaan hak dan status sosial dengan kaum
priayi. Hal ini karena tidak adanya orang kuat dari kaum priayi di
pedesaan sebagai tokoh-tokoh kekuasaan, kekayaan, dan kesaktian magis
dalam strutur masyarakat.</div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Konflik Politik </b></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam kehidupan politik, sering terdapat
ketegangan-ketegangan hubungan di antara ketiga golongan ini, yang
berawal dari berbedanya ideologi ketiga golongan. Pada masa orde baru di
mana partai politik yang ada disederhanakan menjadi tiga partai, ada
kecenderungan terjadinya himpitan parameter antara partai dan aliran
ini. Partai Persatuan Pembangunan identik dengan kaum santri, Partai
Demokrasi Indonesia identik dengan kaum abangan, dan Golkar identik
dengan kaum priayi. Ketiga varian ini sering ditajamkan dengan
warna-warna mereka yang memang berbeda, kaum santri dan PPP identik
dengan warna hijau, Kaum Abangan dan PDI identik dengan warna merah,
sedangkan KaumPriayi dan Golkar identik dengan warna kuning.</div>
<div style="text-align: justify;">
Ketika azas tunggal diberlakukan di
Indonesia, sehingga ketiga partai politik yang ada pada waktu itu harus
menganut ideologi negara Pancasila, memang ada moderasi konflik di
antara tiga golongan. Namun, tetap saja terjadi ketegangan ideologis
antara kaum santri dengan kaum abangan. Pada pembahasan berbagai hal di
kehidupan politik, misalnya tentang Undang-udang Perkawinan, konflik
atau ketegangan antara Kaum Abangan (PDI) dengan Kaum Santri (PPP)
sangat tajam.</div>
<div style="text-align: justify;">
Pada masa reformasi politik dengan banyak
partai, memang keberadaan tiga varian itu sangat tersebar, tetapi
apabila telah terjadi pergulatan ke titik-titik sentral kekuasaan,
misalnya pemilihan presiden, maka segmentasi tiga warna itu menjadi
terasakan kembali, bahwa akhirnya warna kehidupan politik Indonesia ya
merah, kuning, dan hijau.</div>
<div style="text-align: justify;">
Sumber: <a href="http://www.agsasman3yk.wordpress.com/" target="_blank">Klik Disini </a></div>Muhammad Zamronihttp://www.blogger.com/profile/10110306643251368312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7866388757807007826.post-17475036315162337012012-02-13T20:48:00.000+07:002012-02-13T22:02:55.610+07:00Pluralitas dan Pluralisme AgamaMeski mungkin sudah dipahami banyak
orang, perlulah tetap diangkat persoalan istilah pluralitas agama dan
pluralisme agama di sini. Pluralitas agama dalam fatwa MUI adalah sebuah
kenyataan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai
pemeluk agama yang hidup secara berdampingan. Dalam hal ini, Fatwa MUI
menyatakan bahwa masyarakat Muslim yang tinggal bersama pemeluk agama
lain dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan akidah dan ibadah,
bersikap inklusif dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan
pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan.
<br />
<div style="text-align: justify;">
Sedangkan yang dimaksud dengan pluralisme
agama dalam fatwa MUI adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua
agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif;
oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya
agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme
agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup
berdampingan di surga. Pluralisme agama serupa inilah yang diharamkan
dalam Fatwa MUI.</div>
<div style="text-align: justify;">
Diskursus yang berkembang selama ini
banyak yang merancukan penggunaan istilah pluralitas agama dengan
pluralisme agama. Mereka mengusung pluralisme agama, tetapi dalil-dalil
atau argumentasi yang digunakan tidak lain dalil-dalil dalam konteks
pluralitas agama. Pertanyaannya adalah, yang manakah yang dimaksud Erdal
Toprakyaran atau Maarif: pluralisme agama sebagai pluralisme agama
(sebagaimana dimaksud dalam fatwa MUI) atau pluralisme agama dalam arti
pluralitas agama?<br />
<b><br />
Pluralitas dan Pluralisme dalam Alquran</b><br />
Dalil-dalil yang dikemukakan Erdal sebagaimana dikutip Maarif tentang
pluralisme dalam Alquran, hampir seluruhnya merupakan dalil-dalil dalam
konteks pluralitas agama sebagaimana dimaksud dalam fatwa MUI. Terhadap
dalil-dalil tersebut, tidak ada keberatan yang perlu diajukan, bahkan
masih banyak lagi dalil yang bisa ditambahkan.</div>
<div style="text-align: justify;">
Misalnya, pada masa Nabi SAW sudah
menetap di Madinah untuk beberapa waktu, dibuat perjanjian koeksistensi
antara umat Islam dan kaum Yahudi yang berdiam di Kota Madinah dan
sekitarnya. Isi perjanjian itu antara lain: Orang-orang Yahudi (dari
berbagai bani) adalah satu umat bersama-sama dengan orang-orang yang
beriman (orang Islam). Bagi orang-orang Yahudi itu, agama mereka; dan
bagi orang-orang Islam, agama mereka, dan (kedua belah pihak) mendapat
perlindungan atas kawan-kawan dan diri mereka masing-masing, kecuali
orang yang berbuat zalim dan dosa.</div>
<div style="text-align: justify;">
Erdal mengutip ayat tentang “agar mereka
berlomba satu sama lain” (2:148). Saya kutipkan ayat yang lebih lengkap
daripada itu yaitu 5:48 di mana Allah menyatakan antara lain, “Kalau
Allah menghendaki, niscaya kalian dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi
Allah hendak menguji kalian terhadap karunia yang telah diberikan-Nya
kepada kalian, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.”</div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam konteks pluralitas agama
sebagaimana diatur dalam Alquran ini, haruslah dilengkapi penjelasan
bahwa sekalipun Islam melarang pemaksaan keyakinan beragama dan
menekankan kehidupan bersama lintas agama, tetapi dalam hal penerapan
hukum haruslah bersumber dari Allah dan Nabi Muhammad SAW. Pada surat
al-Maidah disebutkan barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa
yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang kafir (ayat
44), zalim (ayat 45), dan fasik (ayat 47). Ayat 48 dan 49 dari Surat
al-Maidah pun menekankan kewajiban memutuskan perkara di antara mereka
(baik untuk umat Islam maupun umat Ahlul Kitab) dengan apa yang
diturunkan Allah. Dan, masih banyak lagi ayat lain yang senada dengan
itu.</div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam perjanjian Nabi SAW dengan kaum
Yahudi di Madinah yang telah saya kutip di atas juga dengan tegas
mencantumkan kata-kata: wa innakum mahmaa-khalaftum fiihi min syain fain
maraddahu ila allaah `azza wa jalla wa ila muhammadin SAW (bagaimanapun
terjadi perselisihan di antara kalian tentang suatu urusan, tempat
kembalinya adalah Allah azza wa jalla dan Muhammad SAW).</div>
<div style="text-align: justify;">
Menarik juga untuk mengetahui apa sikap
tegas dari Erdal dan Maarif terhadap kewajiban berhukum dengan apa yang
diturunkan Allah sekalipun untuk umat selain umat Islam: menerima atau
menolak? Erdal sebagaimana dikutip Maarif mengemukakan bahwa Alquran
mengakui potensi keselamatan bagi Keluarga Kitab, yaitu dalam 2:62.
Dalam hal ini Maarif menambahkan catatan pribadinya, bahwa ayat terakhir
ini yang juga terdapat dalam surat lain dengan redaksi yang sedikit
berbeda telah lama menjadi kontroversi di kalangan umat Islam. Maarif
tidak menyebutkan perbedaan antara ahli tafsir siapa melawan siapa.</div>
<div style="text-align: justify;">
Kaum Shabiah disebutkan tiga kali dalam
Alquran, yakni dalam 2:62, dalam 5:69 bersama-sama kaum Yahudi dan
Nasrani, dan dalam 22:17 bersama-sama kaum Yahudi, Nasrani, Majusi, dan
orang-orang musyrik. Ibnu Abbas memperingatkan (dalam Tafsir
At-Tabarii), yang pada pokoknya bahwa ketentuan ayat 2:62 hendaknya
tidak menimbulkan salah interpretasi bagi pembaca dengan harus
memperhatikan 3:85, “Dan barangsiapa mencari agama selain Islam, dia
tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.”</div>
<div style="text-align: justify;">
Sejalan dengan 3:85, Nabi SAW bersabda,
“Demi Zat Yang menguasai jiwa Muhammad, tidak ada seorang pun baik
Yahudi maupun Nasrani yang mendengar tentang diriku dari umat Islam ini,
kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa,
kecuali ia akan menjadi penghuni neraka,” (H.R. Muslim).</div>
<div style="text-align: justify;">
Ketentuan 3:85; dan hadis Nabi SAW di
atas cukuplah menjadi koridor yang tegas dan jelas bagi siapa pun yang
ingin menafsirkan 2:62 agar tidak melenceng dari makna yang seharusnya.
Pertanyaannya adalah, apakah Erdal atau Maarif bermaksud menggunakan
2:62 untuk mendalilkan adanya pluralisme agama dalam Alquran, yaitu
setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja
yang benar sedangkan agama yang lain salah, dan juga mengajarkan bahwa
semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga, suatu
paham yang telah difatwa bertentangan dengan ajaran Islam oleh MUI?</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sumber:<a href="http://www.agsasman3yk.wordpress.com/" target="_blank"> Klik Disini </a></div>Muhammad Zamronihttp://www.blogger.com/profile/10110306643251368312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7866388757807007826.post-12430299614536396672012-02-13T20:45:00.001+07:002012-02-13T22:04:15.526+07:00Berbagai Kelompok Dalam Masyarakat Multikultural<b>Pendahuluan</b><br />
Kelompok merupakan inti dari kehidupan
dalam masyarakat (Henslin, 2006, halaman 120). Hampir setiap aktivitas
individu anggota masyarakat dilakukan dalam kelompok. Bahkan, bagi
banyak orang, terputusnya hubungan dengan seluruh jaringan kelompok
secara total bermakna sama dengan sebuah hukuman mati. Kita menjadi
“diri kita” melalui keanggotaan kita dalam kelompok. Cara berfikir,
cara berperasaan, dan cara bertindak yang akhirnya menjadi identitas
kepribadian kita, dibentuk melalui kelompok, atau tepatnya berbagai
kelompok di mana kita menjadi anggotanya, atau kelompok yang kita
jadikan rujukan.<span id="more-1441"></span>
<br />
<b>Klarifikasi Istilah Kelompok</b><br />
<div style="text-align: justify;">
Dalam kajian ini, yang paling pertama kita lakukan adalah mengklarifikasi istilah kelompok. Dalam pengetian sehari-hari (<i>amic view</i>)
kita menggunakan istilah kelompok untuk banyak hal yang dalam studi
sosiologi belum tentu memenuhi syarat untuk disebut kelompok. Dengan
kata lain, dalam konsep sosiologi (<i>ethic view</i>), tidak semua agregasi atau pengumpulan manusia dapat disebut sebagai kelompok.</div>
<div style="text-align: justify;">
Istilah kelompok pun memiliki makna yang
bermacam-macam. Horton dan Hunt paling tidak mengemukakan empat macam
pengertian kelompok. Pertama, kelompok sebagai setiap kumpulan manusia
secara fisik, misalnya sekelompok orang yang sedang menunggu [bus, lampu
hijau traffic light menyala, dibukanya loket, dan sebagainya]. Dalam
pengertian demikian, kelompok itu tidak memiliki ikatan kebersamaan
apa-apa, kecuali jarak fisik yang dekat. Banyak ahli sosiologi menyebut
kumpulan yang demikian sebagai agregasi atau kolektivitas.</div>
<div style="text-align: justify;">
Pengertian yang kedua, kelompok adalah
sejumlah orang yang memiliki persamaan ciri-ciri tertentu. Misalnya kaum
pria, kaum lanjut usia, anak-anak balita, para jutawan, para perokok,
pengguna facebook, dan sebagainya. Istilah yang tepat –menurut Horton
dan Hunt—untuk yang demikian ini sebenarnya adalah kategori saja, bukan
kelompok.</div>
<div style="text-align: justify;">
Pengertian ketiga, kelompok merupakan
sejumlah orang yang memiliki pola interaksi yang terorganisasi dan
terjadi secara berulang-ulang. Batasan ini tidak mencakup segenap
pertemuan yang terjadi secara kebetulan dan bersifat sementara, misalnya
antrean orang-orang yang membeli tiket menonton pertandingan sepak bola
atau pertunjukan musik.</div>
<div style="text-align: justify;">
Termasuk dalam pengertian yang ketiga ini
adalah keluarga, klik persahabatan, klub sepakbola, organisasi remaja
masjid, organisasi pemuda gereja, dan sebagainya.</div>
<div style="text-align: justify;">
Pengertian keempat (Horton dan Hunt
cenderung menggunakan ini), kelompok adalah setiap kumpulan orang yang
memiliki kesadaran bersama akan keanggotaan dan saling berinteraksi.
Dengan menggunakan definisi ini, maka dua orang atau lebih yang berada
di suatu tempat dan sedang menunggu bus tidak dapat disebut sebagai
kelompok. Namun, jika mereka kemudian mengadakan percakapan, atau
interaksi dalam bentuk apapun, termasuk berkelahi, maka kumpulan orang
itu berubah menjadi kelompok.</div>
Sebuah ilustrasi.<br />
<div style="text-align: justify;">
Sebuah bus yang penuh dengan penumpang;
apakah menjadikan kumpulan penumpang dalam bus tersebut sebagai
kelompok? Bayangkan apabila kemudian para penumpang bus itu mengalami
ancaman, misalnya ada seorang pembajak di antaranya? Atau kemudian di
antara pemuda dan pemudi yang merupakan bagian dari penumpang itu mulai
saling tertarik dan kemudian berinteraksi? Renungkan, mungkinkah
orang-orang dalam bus itu akhirnya menjadi kelompok?</div>
<b>Kriteria Kelompok</b><br />
<div style="text-align: justify;">
Robert Biersted seperti dikutip oleh
Kamanto Soenarto dalam bukunya Pengantar Sosiologi, mengemukakan tiga
kriteria untuk menganalisis kelompok, pertama: (1) ada atau tidaknya
kesadaran bahwa mereka memiliki jenis atau karakteristik yang sama, (2)
ada atau tidaknya interaksi di antara orang-orang di dalamnya, dan (3)
ada atau tidaknya organisasi atau ketentuan-ketentuan formal yang
mengatur aktivitas-aktivitas dalam kelompok, misalnya tentang rekruitmen
anggota, dan proses-proses yang lainnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
Berdasarkan analisis menggunakan tiga
kriteria tersebut dalam masyarakat dikenal beberapa jenis atau macam
kelompok, yaitu: (1) asosiasi, (2) kelompok sosial, (3) kelompok
kemasyarakatan, dan (4) kelompok statisik.</div>
<b>Asosiasi</b><br />
<div style="text-align: justify;">
<b> </b>Asosiasi merupakan
kelompok yang memenuhi tiga kriteria Biersted tersebut. Suatu asosiasi
atau organisasi formal terdiri atas orang-orang yang memiliki kesadaran
akan kesamaan jenis, ada hubungan sosial di antara warga kelompok dan
organisasi.</div>
<b> </b><br />
<b>Kelompok sosial (<i>Social Groups</i>)</b><br />
<div style="text-align: justify;">
Kelompok yang para anggotanya memiliki
kesadaran akan kesamaan jenis serta hubungan sosial di antara warganya,
tetapi tidak mengenal organisasi, oleh Biersted disebut sebagai kelompok
sosial.<b> </b></div>
<b>kelompok kemasyarakatan (<i>Societal Groups</i>)</b><br />
<div style="text-align: justify;">
Kelompok kemasyarakatan merupakan
kelompok yang berisi orang-orang yang memiliki kesadaran jenis saja,
tidak ada hubungan sosial di antara orang-orang tersebut maupun
organisasi, disebut sebagai kelompok kemasyarakatan (<i>societal groups</i>).</div>
<div style="text-align: justify;">
Misalnya kelompok laki-laki, kelompok
perempuan. Orang sadar sebagai “sesama laki-laki” atau “sesama
perempuan”, namun tidak ada organisasi ataupun komunikasi di antara
mereka.</div>
<b>Kelompok statistik</b><br />
<div style="text-align: justify;">
Bentuk terakhir dari kelompok adalah
kategori atau kelompok statistik, yaitu kelompok yang terdiri atas
orang-orang yang memiliki kesamaan jenis (misalnya jenis kelamin, umur,
pekerjaan, dan sebagainya), tetapi tidak memiliki satu pun dari tiga
kriteria kelompok menurut Biersted. Sebenarnya kelompok statistik
bukanlah “kelompok”, sebab tidak memiliki tiga ciri tersebut. Kelompok
statistik hanyalah orang-orang yang memiliki kategori statistik sama,
misalnya kelompok umur (0-5 tahun, 6-10 tahun, dst.) yang dipakai dalam
data penduduk Biro Pusat Statistik. Dalam kelompok ini sama sekali tidak
ada organisasi, tidak ada hubungan antar-anggota, dan tidak ada
kesadararan jenis.</div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Macam-macam Kelompok</b></div>
<div style="text-align: justify;">
Berdasarkan uraian-uraian sebelumnya,
agaknya dapat diambil beberapa poin penting sebagai syarat-syarat suatu
pengumpulan manusia dapat disebut sebagai kelompok, yaitu (1) Setiap
individu harus merupakan bagian dari kesatuan sosial, (2) terdapat
hubungan timbal-balik di antara individu-individu yang tergabung dalam
kelompok, (3) adanya faktor-faktor yang sama dan dapat memperat hubungan
mereka yang tergabung dalam kelompok, seperti nasib yang sama,
kepentingan yang sama, tujuan yang sama, tempat tinggal yang sama, dan
sebagainya, (4) memiliki struktur atau kaidah, sehingga memiliki pola
yang teratur tentang perilaku, dan (5) bersistem dan berproses.</div>
<div style="text-align: justify;">
<a href="http://agsasman3yk.files.wordpress.com/2011/02/img_8896.jpg"><img alt="" class="alignleft size-thumbnail wp-image-1449" height="99" src="http://agsasman3yk.files.wordpress.com/2011/02/img_8896.jpg?w=150&h=99" title="IMG_8896" width="150" /></a>Kelompok yang paling sederhana mungkin adalah keluarga. Atau mungkin sebuah <i>dyadic group</i>
(kelompok diadik/duaan), misalnya orang yang berpacaran. Keluarga
ataupun berpacaran merupakan kelompok yang hampir setiap orang memiliki
atau mengalaminya. Dalam kelompok yang disebut keluarga, atau orang yang
berpacaran, kelima syarat tersebut dapat ditemukan.</div>
<div style="text-align: justify;">
Macam kelompok dalam keluarga, mulai dari
keluarga inti/batih, keluarga luas: bisa trah dalam masyarakat
bilateral (menganut perhitungan garis keturunan dari ayah dan ibu), atau
klen (semacam trah dalam masyarakat yang menganut sistem unilineal,
patrilineal atau matrileneal, kadang disebut marga). Untuk keluarga
inti atau batih, pada umumnya masih dapat memenuhi lima syarat tersebut,
tetapi kalau keluarga luas, trah atau klen/marga, dapat jadi sudah
sekedar memiliki ciri yang sama, yang terkadang juga tidak disadari.</div>
<div style="text-align: justify;">
Sebelum lebih lebih lanjut tentang
macam-macam kelompok, berikut ini akan dikemukakan beberapa dasar
pembentukan kelompok, yaitu (1) teritorial:
misalnya komunitas/masyarakat setempat: RT/RW. Desa, Kab/Kota, Provinsi,
dan Negara Bagian, Negara), (2) hubungan darah/keturunan (geneaologis):
misalnya keluarga inti, keluarga luas/trah, klan/marga, dan sebagainya,
dan (3) kepentingan atau dapat juga (4) minat, perhatian, keyakinan,
atau ideologi yang sama (semuanya dapat disbeut sebagai interest):
sekolah, kelompok arisan, kelompok profesi, kelompok politik, ekonomi,
pemerhati budaya, dan sebagainya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Klasifikasi Merton</b></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Robert K. Merton menjelaskan kelompok sebagai </b><i>a number of people who interact with another in accord with established patterns</i> (sekelompok orang yang saling berinteraksi sesuai dengan pola yang telah mapan). Kelompok tidak sama dengan kolektiva (<i>collectivities</i>),
yaitu sejumlah orang yang mempunyai solidaritas atas dasar nilai
bersama yang dimiliki serta adanya rasa kewajiban moral untuk
menjalankan peran yang diharapkan. Kelompok tidak sama dengan kategori
sosial (<i>social categories</i>), himpunan peran yang mempunyai ciri sama, misalnya jenis kelamin atau usia. Dalam kategori sosial tidak terdapat interaksi.</div>
<b>Klasifikasi Emmile Durkheim</b><br />
<div style="text-align: justify;">
<b>Durkheim </b>membedakan antara kelompok yang menganut <b>solidaritas mekanik </b>dan kelompok yang menganut <b>solidaritas organik. </b> <b>Solidaritas mekanik </b>merupakan
ciri pada masyarakat yang masih sederhana di mana masing-masing anggota
dapat menjalankan peran yang dilakukan oleh orang lain (difusseness:
bersifat umum dan serba meliputi), sehingga tidak ada spesialisasi atau
pembagian kerja. <b>Solidaritas organik </b>merupakan ciri
pada masyarakat modern/industri/kota/kompleks di mana masing-masing
anggota memiliki fungsi dan peran yang khusus dalam hal tertentu saja.
Dalam solidaritas organik terdapat kesalingtergantungan
antar-bagian/anggota dalam kelompok.</div>
<b>Klasifikasi Ferdinan <b>Tönnies</b></b><br />
<div style="text-align: justify;">
Tönnies membedakan antara “Gemeinschaft”
dengan Gesellschaft”. Gemeinschaft merupakan hubungan-hubungan yang
all intimate, private, and exclusive living together … is understood as
life in Gemainschaft (community). Terdapat 3 macam Gemainschaft: (1) by
blood, (2) of place, dan (3) of mind.</div>
<div style="text-align: justify;">
Gesselschaft (society) is public life, bersifat sementara (kontraktual), berdasarkan kepentingan tertentu, dan bersifat semu.</div>
<div style="text-align: justify;">
Tönnies juga menggunakan istilah kelompok
mekanik dan organik, tetapi dengan makna yang berbeda dari Durkheim.
Bagi Tönnies , gemainschat mrpakan kelompok organik, sedangkan
gesselschaft merupakan kelompok mekanik.</div>
<b>Klasifikasi Charles Horton Colley</b><br />
<div style="text-align: justify;">
Colley menjelaskan tentang primary group (kelompok primer), yaitu kelompok yang ditandai oleh pergaulan dan kerjasama <i>face to face </i>(tatap
muka) yang intim (menjamin kesejahteraan emosional). Contohnya:
keluarga, teman bermain pada anak kecil, geng, rukun warga serta
komunitas pada orang dewasa.</div>
<div style="text-align: justify;">
Kondisi fisik kelompok primer: (1) tidak
cukup hanya hubungan saling mengenal saja, akan tetapi yang terpenting
adalah bahwa anggota-anggotanya secara fisik harus berdekatan, (2)
jumlah anggotanya harus kecil, sehingga mereka dapat saling kenal dan
saling tatapmuka, (3) hubungan di antara anggota-anggotanya relatif
permanen.</div>
<div style="text-align: justify;">
Sifat-sifat hubungan primer: (1) kesamaan
tujuan, masing-masing anggota mempunyai tujuan dan sikap yang sama,
sehingga masing-masing rela berkorban untuk kepentingan anggota kelompok
lainnya, (2) hubungan primer bersifat sukarela, sehingga pihak-pihak
yang bersangkutan merasa tidak ada tekanan-tekanan melainkan kebebasan,
(3) hubungan primer melekat pada kepribadian orang, sehingga tidak dapat
digantikan oleh yang lain, dan hubungan berlangsung di segenap aspek
kepribadian, termasuk perasaan.</div>
<div style="text-align: justify;">
Kelompok sekunder lebih besar daripada
kelompok primer, lebih bersifat anonim, lebih formal, dan lebih tidak
mempribadi (personal). Pada umumya didasarkan pada kepentingan, dan
berinteraksi atas dasar status sepesifik, misalnya kelompok berdasarkan
profesi, partai politik, organisasi siswa, organisasi mahasiswa,
dll. Berbagai cara orang memperoleh pendidikan, mencari nafkah, dan
menggunakan uang atau waktu luang cenderung melibatkan kelompok
sekunder.</div>
<div style="text-align: justify;">
Walaupun demikian, kelompok primer juga
sering dijumpai dalam kelompok sekunder. Meskipun kelompok sekunder
penting bagi kehidupan masa kini kita, tetapi kelompok sekunder sering
gagal dalam memberikan kesejahteraan emosional (terkait kebutuhan akan
ikatan-ikatan intim/perasaan). Oleh karena itu, kelompok sekunder
cenderung terbagi-bagi ke dalam kelompok primer. Maka: di sekolah dan di
tempat kerja orang-orang menjalin persahabatan.</div>
<b>Klasifikasi Sumner: ingroup dan outgroup</b><br />
<div style="text-align: justify;">
<b> </b>Sumner menyatakan bahwa
di antara anggota INGROUP dijumpai persahabatan, kerjasama,
keteraturan, dan kedamaian. Istilah lain: fraksi intern, qliques/klik.
Sedangkan terhadap OUTGROUP dijumpai adanya antogonisme, berupa
kebencian, permusuhan, bahkan perampokan, pembunuhan, ataupun perang.</div>
<b>Robert K Merton: kelompok membership dan reference.</b><br />
<div style="text-align: justify;">
Membership group: merupakan kelompok di
mana seseorang secara fifik tercatat sebagai anggota. Reference group/
kelompok acuan merupakan kelompok yang menjadi ukuran (acuan) bagi
seseorang yang bukan anggota kelompok untuk membentuk pribadi dan
perilakuannya. Seorang anggota partai politik tertentu yang
perolehan suara dalam pemilu memenuhi untuk menjadi anggota DPR,
akhirnya menjadi anggota DPR. Secara fisik ia tercatat sebagai anggota
DPR, sehingga DPR merupakan membership group baginya. Tetapi rujukan
perilaku, bahkan jiwa dan pikirannya tetap terikat oleh partai, maka
PARPOL di mana ia berasal merupakan reference group baginya.</div>
<div style="text-align: justify;">
Robert K Merton, membedakan dua macam
reference group (1) tipe normatif (normative), dan (2) tipe perbadingan
(comparison). Tipe normatif merupakan sumber nilai, dan tipe
perbandingan merupakan rujukan untuk memberikan status kepada
seseorang/kelompok.</div>
<b>Klasifikasi Weber: Kelompok formal dan informal</b><br />
<div style="text-align: justify;">
Pembagian kelompok yang lain adalah
KELOMPOK INFORMAL dan FORMAL. Suatu gejala yang menarik adalah adanya
keterkaitan antara KELOMPOK FORMAL dengan INFORMAL, bahwa dalam KELOMPOK
FORMAL dapat terbentuk KELOMPOK INFORMAL, dan nilai serta aturan
kelompok informal dapat bertentangan dengan kelompok formal.</div>
<b>Kelompok Tidak Teratur</b><br />
<div style="text-align: justify;">
Beberapa kelompok tidak teratur dapat
disebut di sini: kerumunan (crowd), massa, dan public. Beberapa yang
lain mungkin jejaring sosial (social networks).</div>
<div style="text-align: justify;">
<b>1) </b><b>Kerumunan</b></div>
<ul>
<li>Ukuran utama kerumunan adalah kehadiran orang secara fisik (berkumpul pada range sejauh mata melihat dan telinga mendengar)</li>
<li>Tidak terorganisasi, tetapi dapat mempunyai pemimpin</li>
<li>Identitas seseorang tenggelam dalam kerumunan</li>
<li>Sifatnya spontan dan sementara, kerumunan akan bubar dengan perginya orang-orang dari kerumunan</li>
<li>Tidak memiliki alat pengendalian sosial, norma yang berlaku besifat permukan</li>
</ul>
<b>Tipe-tipe kerumunan</b><br />
a) Khalayak penonton (pendengar formal/<i>formal</i> <i>audience</i>)<br />
Kerumunan demikian mempunyai perhatian dan tujuan yang sama, misalnya penonton bioskop, pengunjung khotbah agama, dsb.<br />
b) Kelompok ekspresif yang direncanakan (planned <i>expressive</i> <i>group</i>)<br />
Kerumunan yang terdiri atas orang-orang yang mempunyai tujuan sama
tetapi pusat perhatiannya berbeda-beda, misalnya kerumunan orang-orang
yang berpesta<br />
c) Kumpulan orang yang kurang menyenangkan (<i>inconvinent</i> <i>aggregations</i>)<br />
Dalam kerumunan semacam ini kehadiran orang lain merupakan halangan
bagi seseorang dalam mencapai tujuan. Misalnya: antre tiket, kerumunan
penumpang bus, dst.<br />
d) Kumpulan orang-orang yang panik (<i>panic</i> <i>crowd</i>)<br />
Ialah kerumunan yang terdiri atas orang-orang yang menghindari bencana/ancaman. Misalnya pengungsi<br />
e) Kerumunan penonton (<i>spectator</i> <i>crowd</i>)<br />
Yaitu kerumunan orang-orang yang ingin melihat sesuatu atau peristiwa
tertentu. Kerumunan semacam ini hampir sama dengan formal audience,
tetapi tidak terencana<br />
f) <i>Lawless</i> <i>crowd</i><br />
Yaitu kerumunan orang-orang yang berlawanan dengan hukum, misalnya:
acting mobs, yakni kerumunan orang-orang yang bermaksud mencapai tujuan
tertentu dengan menggunakan kekuatan fisik. Contoh lain: <i>immoral</i> <i>crowd</i>, seperti <i>formal</i> <i>audience</i>, tetapi bersifat menyimpang.<br />
<b>2) </b>Massa<b> </b><br />
Massa merupakan kelompok tidak teratur yang mempunyai ciri-ciri
mirip dengan kerumunan, tetapi terbentuknya disengaja atau direncanakan
dengan persiapan (tidak spontan)<br />
Misalnya aksi protes/demontrasi, orang-orang yang mengikuti kegiatan tertentu, seperti sepeda gembira<br />
3) Publik<br />
<ul>
<li>Publik merupakan kelompok yang tidak merupakan kesatuan.</li>
<li>Interaksi terjadi tidak langsung melainkan melalui alat-alat komunikasi, seperti radio, televisi, internet, film, dsb.</li>
<li>Alat-alat komunikasi menjadikan publik sebagai kelompok semu yang sangat besar, meskipun tidak merupakan kesatuan</li>
<li>Dasar ikatan publik dapat berupa nilai-nilai sosial atau tradisi tertentu</li>
</ul>
<b>4) Jejaring social (social networks)</b><br />
<div style="text-align: justify;">
<b></b>Jika Anda adalah
anggota dari sebuah kelompok besar, mungkin akan menjalin hubungan yang
teratur dengan “beberapa orang “ dari kelompok tersebut. Kaitan
antara orang-orang dengan orang-orang dalam klik mereka, keluarga,
teman, kenalan, termasuk juga “temannya teman”, dalam studi sosiologi
disebut social networks (jejaring sosial). Suatu jejaring sosial
dapat dibayangkan dengan garis-garis yang menjulur keluar dari diri
Anda, yang secara bertahap semakin mencakup banyak orang</div>
<div style="text-align: justify;">
Para perwira intelejen AS menggunakan
analisis social networks untuk penangkapan Sadam Hussein.
Perwira-perwira itu menyusun “people map”, dengan foto SH di pusat
sasaran dan foto-foto orang dekat SH di sekitarnya, ada yang di
lingkaran dalam (intim) dan luar. Informasi keberadaan SH diperoleh
dari orang-orang yang berada di luar lingkaran intim, karena orang-orang
di dalam lingkaran intim akan menyimpan rahasia</div>
<b>Komunitas = Masyarakat Setempat</b><br />
<ul>
<li style="text-align: justify;">Merupakan bagian masyarakat yang tinggal
pada suatu wilayah (geografik) dengan batas-batas tertentu dengan
faktor utama yang menjadi dasar adalah interaksi yang lebih besar di
antara anggota-anggotanya daripada interaksi mereka dengan orang-orang
dari luar wilayah (Robert mciver dan Charles Horton Page)</li>
<li>Dasar: (1) Lokalitas: satuan wilayah (geografik), (2) Community
sentiment: perasaan saling dekat engan orang-orang yang sekomunitas</li>
<li style="text-align: justify;">Unsur-unsur community sentiment: (1)
seperasaaan, unsur ini muncul akibat dari warga komunitas
mengidentifikasikan dirinya dengan sebanyak mungkin orang yang ada di
dalam komunitas, sehingga muncul kelompok kami dan perasaan kami yang
pada giliran berikutnya memunculkan altruisme, kepentingan-kepentingan
diri diselaraskan dengan kepentingan komunitas), (2) SEPENANGGUNGAN,
setiap individu sadar akan perannya dalam kelompok, dan (3) SALING
MEMERLUKAN, individu satu memerlukan individu lain untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan hidupnya.</li>
<li style="text-align: justify;">Penggunaan istilah komunitas dalam
masyarakat berkembang menjadi tidak hanya untuk satuan sosial dengan
kategori utama kesatuan wilayah, tetapi juga kesukaan (hobi), minat dan
perhatian yang sama, dll. Faktor utamanya: hubungan yang lebih
dekat/interaksi yang lebih besar di antara para anggota-anggotanya</li>
</ul>
<div style="text-align: justify;">
Terakhir akan disampaikan tekanan
pengertian tentang kelompok formal atau asosiasi, agar para siswa mudah
membedakannya dengan kelompok sosial.</div>
<table border="1" cellpadding="0" cellspacing="0" style="width: 576px;">
<tbody>
<tr>
<td width="288"><h1>
Kelompok Sosial</h1>
</td>
<td width="288"><b>Perkumpulan (asosiasi)</b></td>
</tr>
<tr>
<td width="288">Kelompok primer</td>
<td width="288">Perkumpulan sekunder</td>
</tr>
<tr>
<td width="288">Gemainschaft</td>
<td width="288">Gesellschaft</td>
</tr>
<tr>
<td width="288">Hubungan familistik</td>
<td width="288">Hubungan kontraktual</td>
</tr>
<tr>
<td width="288">Dasar organisasi adat</td>
<td width="288">Dasar organisasi buatan</td>
</tr>
<tr>
<td width="288">Pimpinan berdasarkan kewibawaan/charisma</td>
<td width="288">Pimpinan berdasarkan wewenang dan hukum</td>
</tr>
<tr>
<td width="288">Hubungan berasas perorangan</td>
<td width="288">Hubungan berasas guna/kepentingan dan anonim</td>
</tr>
</tbody>
</table>
<b> </b><br />
<b>Robert M.Z. Lawang</b> mengemukakan ciri-ciri organisasi formal (asosiasi) sebagai berikut:<br />
(1) bersifat persistent (tetap/terus menerus),<br />
(2) memiliki identitas kolektif yang tegas,<br />
(3) memiliki daftar anggota yang rinci,<br />
(4) memiliki program kegiatan yang terus menerus, dan<br />
(5) memiliki prosedur keanggotaan.<br />
Demikianlah, tulisan ini merupakan bahan ajar untuk kajian tentang
kelompok dalam konteks pembahasan lebih luas yaitu masyarakat
multikultural. Semoga dapat membantu para siswa untuk mempelajari
kelompok.<br />
<div style="text-align: justify;">
Rujukan:</div>
<div style="text-align: justify;">
Agus Santosa. 2010. Seri Bimbingan Belajar: Sukses Ujian Sosiologi. Bogor: PT Yudhistira</div>
<div style="text-align: justify;">
Henslin, James M. 2006. Sosiologi Dengan Pendekatan Membumi Edisi 6. Jakarta: Penerbit Erlangga.</div>
<div style="text-align: justify;">
Horton, Paul B, dan Hunt Chester L. 1984. Sosiologi Edisi Keenam. Jakarta: Penerbit Erlangga.</div>
<div style="text-align: justify;">
J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto (Ed). 2006. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan Edisi Kedua. Jakarta: Prenada Media Group.</div>
<div style="text-align: justify;">
Kamanto Sunarto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Yasayan penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.</div>
<div style="text-align: justify;">
Soerjono Soekanto. 1987. Sosiologi Suatu Pengantar Edisi Revisi 1987. Jakarta: Rajawali Pers.</div>
<div style="text-align: justify;">
Sumber: <a href="http://www.agsasman3yk.wordpress.com/" target="_blank">Klik Disini </a></div>Muhammad Zamronihttp://www.blogger.com/profile/10110306643251368312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7866388757807007826.post-6243868971069289732012-02-13T20:42:00.000+07:002012-02-13T22:04:40.131+07:00Perkembangan dan Dinamika Hubungan Antar-Kelompok Sosial<div style="text-align: justify;">
Tulisan berikut ini adalah
rangkuman/intisari pembahasan Perkembangan dan Dinamika Hubungan
Antar-Kelompok Sosial yang merupakan bahan ajar untuk Kelas XI IPS
Semester 2. Karena merupakan rangkuman, maka beberapa hal atau
pembahasan yang muncul dalam pembicaraan di kelas tidak dapat terdapat
di tulisan ini. <span id="more-1472"></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Pendahuluan</b></div>
<div style="text-align: justify;">
Sebagaimana telah diungkapkan dalam
pembasan tentang kelompok sosial dan macam-macamnya bahwa kelompok
sosial merupakan suatu gejala yang sangat penting dalam kehidupan
manusia, kerena sebagian besar kegiatan manusia berlangsung di dalamnya.
Disadari maupun tidak, seseorang menjadi anggota suatu kelompok sejak
ia lahir di dunia. Hampir semua orang dilahirkan di dan selanjutnya
menjadi anggota sebuah kelompok atau satuan sosial yang disebut
keluarga. Secara otomatis, bayi tersebut menjadi anggota atau warga
sebuah rukun tetangga, rukun warga, desa, kelurahan, kecamatan,
kabupaten, dan negara.</div>
<div style="text-align: justify;">
Pada awal kehidupannya, interaksi
seseorang akan terbatas dengan orang-orang yang ada di keluarganya atau
dengan sesama warga rukun tetangga atau sebuah desa. Pada giliran
berikutnya, orang tersebut akan menjalin interaksi dengan orang-orang
yang berada di luar keluarganya atau di luar desanya, misalnya dengan
teman-teman <i>peer group</i>-nya atau guru-guru atau teman-teman
sekolahnya. Seseorang barangkali juga akan menjalin interaksi dengan
orang-orang yang mempunyai minat dan perhatian yang sama, dengan
orang-orang se-kantornya, dengan orang-orang yang dengan mereka
seseorang mempunyai kepentingan tertentu.</div>
<div style="text-align: justify;">
Kecuali kelompok-kelompok genealogis dan
teritorialnya yang relatif statis, kelompok-kelompok yang dibentuk
berdasarkan kepentingan sifatnya lebih dinamik. Perubahan-perubahan
mungkin saja terjadi dalam kelompok genealogis, seperti keluarga. Tetapi
karena alasan-alasan dan nilai-nilai tertentu, seseorang akan tidak
dengan mudah melepaskan keanggotaanya dari sebuah keluarga. Demikian
juga dengan kelompok-kelompok dengan kategori utama kesatuan wilayah,
walaupun satuan wilayah di masyarakat perkotaan bisa saja dinamis.
Mobilitas geografik orang-orang perkotaan lebih terasakan denyutnya
daripada mobilitas geografik orang-orang di perdesaan. Sedangkan pada
kelompok-kelompok kepentingan khusus (<i>special interest group</i>),
perkembangan dan dinamikanya lebih terasakan. Apabila seseorang tidak
suka dengan cara kerja kelompok-kelompok kepentingan, yang dari segi
hubungan sosial merupakan hubungan sekunder, ia akan meninggalkannya dan
mencari kelompok yang lain yang lebih dapat memberikan peluang untuk
mencapai tujuan-tujuan atau kepentingan-kepentingan hidupnya. Keluarga
dan kelompok-kelompok primer yang lain tidak mudah ditinggalkan orang,
karena hubungan-hubungan yang terjadi lebih didasarkan pada perasaan.
Sehingga banyak orang akan bersedih apabila dipaksa berpisah dengan
orang-orang dalam kelompok primernya.</div>
<div style="text-align: justify;">
Pada kesempatan ini, bahasan akan terfokus pada (1) perkembangan Kelompok, dan (2) masalah hubungan antar-kelompok.</div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Perkembangan Kelompok</b></div>
<div style="text-align: justify;">
Mengapa suatu kelompok kepentingan itu berdiri, kemudian berkembang, atau bahkan beberapa kelompok itu akhirnya bubar?</div>
<div style="text-align: justify;">
Telusuri kembali logika berdirinya suatu
kelompok. Apabila menggunakan paradigm theologies, kita dapat menyatakan
bahwa dalam diri manusia mempunyai naluri <i>gregariousness</i>,
yaitu semacam hasrat dasar, naluri, atau fitrah orang untuk menjadi satu
dengan lingkungan dan manusia-manusia lain di sekitarnya. Namun,
paradigm positif sebagaimana dianjurkan oleh Auguste Comte, bagaimana
orang tidak berkelompok, karena hampir semua kebutuhan hidup manusia
hanya dapat terpenuhi dengan membentuk kelompok. Coba pikirkan mengenai
kebutuhan-kebutuhan hidup Anda, mulai dari kebutuhan biologis, seperti
melanjutkan keturunan atau perlindungan dari cuaca dan iklim serta
binatang buas, keburuhan sosial, seperti gotongroyong atau kerjasama
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mendasar, bahkan kebutuhan-kebutuhan
integrative yang merupakan konsekuensi dari kenyataan bahwa manusia itu
terdiri atas unsur-unsur lahir (fisik-biologis) dan unsur-unsur batin
atau kejiwaaan, eksistensi, kenyamanan, pengakuan, dan sebagainya.
Dapatkah kebutuhan-kebutuhan itu dapat dipenuhi tanpa terlibat dengan
manusia yang lain?</div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Tahap-tahap terbentuknya kelompok</b></div>
<div style="text-align: justify;">
Berdasar uraian yang mengawali bahasan
ini, kiranya dapat dirumuskan bahwa terbentuknya suatu kelompok akan
mengikuri urutan ini. Pertama, adanya perasaan atau persepsi akan suatu
hal yang sama. Kedua, timbul motivasi untuk memenuhi hal tersebut.
Ketiga, ditentukan atau dirumuskan tujuan-tujuan yang sama, dan
akhirnya terbentuk kelompok.</div>
<div style="text-align: justify;">
Dan, suatu kelompok sifatnya dinamik atau
mengalami perubahan-perubahan. Perubahan-perubahan itu terjadi karena
faktor internal maupun eksternal, seperti Kebutuhan hidup manusia itu
berkembang dan terus berubah-ubah, proses reformasi (penataan) dari pola
pola yang terdapat dalam kelompok itu sendiri, tekanan dan pengaruh
internal eksternal, konflik internal, pergantian anggota kelompok, atau
perubahan pada situasi sosial ekonomi, politik, budaya yang serba cepat.</div>
<div style="text-align: justify;">
Terhadap perubahan-perubahan yang terjadi
dalam kelompok, sikap orang-orang pun berbeda-beda. Maka adalah
beberapa kelompok dilihat dari sikapnya terhadap perubahan, seperti
kelompok reformis, kelompok radikal, kelompok status quo, kelompok
konservatif, dan juga –jangan lupa- kelompok apatis.</div>
<div style="text-align: justify;">
Golongan radikal merupakan golongan yang
menginginkan perubahan yang menyeluruh dan berlangsung cepat
(revolusioner), golongan reformis adalah golongan yang menginginkan
perubahan-perubahan yang tertata menuju keadaan yang lebih baik,
golongan konservatif terdiri atas orang-orang yang memiliki romantisme
terhadap sejarah dan fungsi tradisional masyarakat, sehingga berupaya
mengembalikan situasi sosial, politik, dan kultural ke keadaan yang
pernah ada.</div>
<div style="text-align: justify;">
Golongan <i>status quo</i> merupakan
golongan orang-orang yang mempertahankan keadaan yang ada, biasanya
terdiri atas orang-orang mapan yang takut akan tergeser dari zone nyaman
karena perubahan, dan golongan apatis adalah golongan yang tidak
peduli terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat.</div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Mengapa suatu kelompok itu bubar?</b></div>
<div style="text-align: justify;">
Ada berbagai alasan sehingga suatu
kelompok bubar. Antara lain, orang-orang dalam kelompok merasa tidak
membutuhkan lagi kelompok yang dimaksud, yang bisa disebabkan oleh
ketidak percayaan para anggotanya akan kemampuan kelompok mencapai
tujuan-tujuan yang telah dirumuskan. Perbedaan pendapat di antar anggota
tentang ideologi kelompok, tujuan kelompok, strategi kelompok yang
memunculkan konflik di antara anggota kelompok ataupun konflik dengan
kelompok lain pun dapat menjadi sebab bubarnya suatu kelompok. Kemudian
hilangnya sosok-sosok yang berpengaruh terhadap kelompok, serta tidak
ada kekompakan maupun keharmonisan di antara para anggota kelompok juga
dapat menjadi sebab berakhirnya suatu kelompok.</div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Hubungan Antar-Kelompok</b></div>
<div style="text-align: justify;">
Hubungan antar-kelompok atau inter-group
relations didefinisikan oleh Petigrew yang dikutip oleh Kamanto Sunarto
(2004, halaman 141) sebagai <i>the social interactions between any two or more groups, </i>dan akan melibatkan berbagai kriteria, seperti biologis, kultural, ekonomi, ataupun perilaku.<i> </i></div>
<div style="text-align: justify;">
Kriteria biologis, akan meliputi
hubungan di antara kelompok-kelompok jenis kelamin (laki-laki
/perempuan), usia (tua-muda), atau ras. Kriteria kultural atau
kebudayaan misalnya hubungan di antara kelompok-kelompok etnik atau
agama. Kriteria ekonomi, misalnya tentang hubungan di antara
kelompok-kelompok yang mempunyai kekuasaan ekonomi (majikan) dengan yang
tidak menguasai (misalnya buruh).</div>
<div style="text-align: justify;">
Kriteria perilaku, misalnya tentang
hubungan orang-orang dengan golongan yang dinilai menyimpang
(orang-orang yang perilakunya nonkonform, anti-sosial, atau Kriminal).</div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Dimensi-dimensi Hubungan Antar-Kelompok</b></div>
<div style="text-align: justify;">
Hubungan antar-kelompok mempunyai
berbagai dimensi. Misalnya tentang hubungan di antara maioritas dengan
minoritas. Hal ini akan dapat dijelaskan dengan berbagai dimensi,
seperti sejarah, demografi, sikap, institusi, gerakan sosial, atau
perilaku kolektif.</div>
<div style="text-align: justify;">
Kajian dari sudut dimensi sejarah
diarahkan pada masalah tumbuh dan berkembangnya hubungan antar-kelompok.
Bilamanakah kontak pertama anatar kelompok ras kulit putih dengan kulit
hitam terjalin? Bagaimanakah kontak tersebut kemudian berkembang
menjadi hubungan dominasi dan bahkan perbudakan?</div>
<div style="text-align: justify;">
Melalui dimensi sikap, kita mengkaji
sikap anggota suatu kelompok terhadap kelompok lain. Misalnya tentang
bagaimana sikap orang-orang Tionghoa menyikapi orang-orang pribumi, dan
sebaliknya? Pembahasan tentang hal ini akan terfokus pada adanya
stereotype atau prasangka di antara kelompok-kelompok.</div>
<div style="text-align: justify;">
Dimensi gerakan sosial akan menjelaskan
tentang adanya upaya-upaya dari suatu kelompok untuk melepaskan diri
dari suatu dominasi oleh kelompok lain. Misalnya gerakan pembebasan
perempuan (Women’s Liberation Movement), gerakan orang-orang kulit hitam
radikal –Black Panthers– di Amerika Serikat, dan sebagainya.</div>
<div style="text-align: justify;">
Kajian-kajian ini akan dapat diterapkan
untuk membahas tentang hubungan antara maioritas dengan minoritas
seperti di sebut di depan, agesme, rasisme dan rasialisme, seksisme, dan
seterusnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
Pembahasan berikutnya akan secara agak
rinci menguraikan tentang dimensi-dimensi hubungan antar-kelompok, yaitu
(1) dimensi sejarah, (2) dimensi sikap, (3) dimensi gerakan sosial, (4)
dimensi institusi, dan (4) dimensi perilaku atau perilaku kolektif.</div>
<b>Dimensi Sejarah Hubungan Antar-Kelompok</b><br />
<b> </b><br />
<div style="text-align: justify;">
Bagaimana stratifikasi etnik –yang
mencakup pula stratifikasi ras, agama, dan kebangsaan— itu timbul?
Menurut Noel (1968), hal ini terjadi karena dalam sejarah ditemukan
adanya (1) ethnosentrisme, (2) persaingan, dan (3) perbedaan kekuasaan,
yang menjadi prasyarat terjadinya stratifikasi etnik.</div>
<div style="text-align: justify;">
Ethnosentrisme merupakan suatu sudut
pandang yang menempatkan kelompok sendiri di atas segala-galanya dan
menilai kelompok lain menggunakan kelompok sendiri sebagai rujukan (<i>view of things in which one’s own group is the center of everything, and all others are scaled and rated with reference itu</i>).</div>
<div style="text-align: justify;">
Tetapi terkait dengan terbentuknya
stratifikasi etnik, jika yang ada hanya ethnosentrisme tidak cukup
menjadi prasyarat. Misalnya di antara dua atau lebih kelompok itu
terjadi kerjasama atau ketergantungan. Jika yang ada hanya
ethnosentrisme dan persaiangan, tanpa disertai perbedaan kekuasaan, maka
yang terjadi hanyalah persaiangan berkepanjangan tanpa penyelesaian.</div>
<div style="text-align: justify;">
Perbudakan orang-orang kulit hitam oleh
kulit putih itu terjadi karena, (1) adanya ethosentrisme di kalangan
kulit putih, (2) terjadi persaingan memperebutkan sumber-sumber ekonomi,
dan (3) kekuasaan yang lebih besar di tangan pihak kelompok kulit
putih.</div>
<div style="text-align: justify;">
Bagaimana dengan terjadinya stratifikasi
jenis kelamin (seks)? Collins dan Parson menjelaskan bahwa faktor yang
mengawali dan mendasarinya dominasi dan eksploitasi laki-laki atas
perempuan itu adalah kekuatan fisik. Dan, dominasi ini akan berakhir
apabila perempuan dilindungi oleh negara, atau perempuan itu meraih
posisi ekonomi tertentu (tinggi).</div>
<div style="text-align: justify;">
Atas dasar perjalanan sejarah hubungan
antar-kelompok, para ilmuwan sosial mengidentifikasi adanya pola-pola
hubungan antar-kelompok, yaitu (1) akulturasi, (2) dominasi, (3)
paternalism, (4) integrasi, (5) pluralism.</div>
<div style="text-align: justify;">
Akulturasi terjadi manakala kebudayaan
dua kelompok ras/etnis yang bertemu mulai berbaur dan berpadu.
Akulturasi dapat terjadi di antara kelompok yang derajatnya sama maupun
berbeda. Misalnya, kebudayaan orang Belanda di Indonesia menyerap
berbagai unsur kebudayaan Jawa/Indonesia, misalnya pemakaian bahan batik
untuk celana laki-laki, cara makan dan lauk-pauknya, dan juga gaya
berbahasa.</div>
<div style="text-align: justify;">
Terkadang, proses akulturasi juga diikuti
dekulturasi, misalnya hilangnya kebudayaan asli dan hancurnya kehidupan
orang-orang Afrika yang secara paksa diculik untuk dijadikan budak di
Amerika Utara, juga dibunuhnya unsur-unsur pimpinan orang Aztec di
Mexico oleh orang Spanyol yang diikuti dengan pemindahan secara paksa,
penakhlukan, dan penciptaan sistem feudal baru (van den Berghe, 1967).</div>
<div style="text-align: justify;">
Dominasi terjadi bilamana suatu kelompok
ras menguasai kelompok lain. Kedatangan orang-orang kulit putih du Asia,
Afrika, Amerika, dan Australia diikuti dengan dominasi mereka atas
penduduk setempat.</div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam sejarah, dominasi suatu kelompok
terhadap kelompok lainnya sering terwujud dalam bentuk pembunuhan
disengaja dan sistematik terhadap anggota suatu kelompok tertentu (<i>genocide</i>), pengusiran, perbudakan, atau segregasi.</div>
<div style="text-align: justify;">
Contoh-contoh genocide: selama Perang
Dunia II, sekitar enam juta orang Yahudi dibunuh secara missal oleh Kaum
Nazi Jerman, pembunuhan orang-orang Aztec di Mexico oleh orang-orang
Spanyol, Suku Indian oleh orang-orang Amerika, Orang-orang Kamboja oleh
Khmer Merah di bawah Pol Pot, juga pembunuhan orang-orang Bushmen oleh
orang-orang Boer di Afrika, pembunuhan yang dilakukan oleh orang-orang
Serbia terhadap orang-orang Muslik Bosnia-Herzegovina sejak tahun 1992
dan terhadap orang-orang Albania di Kosovo pada tahun 1999, yang sering
disebut sebagai Ethnic Cleansing (pembersihan ethnic).</div>
<div style="text-align: justify;">
Pola dominasi hubungan antar kelompok
pendatang (migrant) dan pribumi (indigenous) dapat terjadi dalam dua
pola, yaitu (1) migrant superordination, dan (2) indigenous
superordination. Pada pola pertama, orang-orang pendatang yang
mendominasi, sedangkan pada bentuk kedua, orang-orang pribumi yang
mendominasi.</div>
<div style="text-align: justify;">
Paternalisme merupakan bentuk dominasi
oleh ras pendatang terhadap ras/kelompok pribumi, hal ini terjadi ketika
pendatang secara politik lebih kuat dan mendirikan koloni di daerah
jajahan. Hubungan paternalistic ini kadang rumit, karena dapat terjadi
dalam bentuk dikuasinya penduduk oleh penguasa pribumi, tetapi penguasa
pribumi ini tunduk kepada penguasa yang merupakan bangsa/kelompok
pendatang.</div>
<div style="text-align: justify;">
Kemungkinan pola lain adalah integrasi.
Yang dimaksud adalah suatu pola hubungan yang mengakui adanya
perbedaan-perbedaan di antar kelompok-kelompok, tetapi itu diabaikan
karena tidak dianggap penting.</div>
<div style="text-align: justify;">
Bentuk lain adalah pluralism, yaitu suatu
pola hubungan antar-kelompok yang mengakui dan menghargai adanya
perbedaan-perbedaan di antara kelompok-kelompok. Furnival memberikan
gambaran bahwa dalam pluralism (kemajemukan), orang-orang yang berasal
dari kelompok ras/etnis yang bermacam-macam itu bercampur tetapi tidak
berbaur. Misalnya yang terjadi di Indonesia pada masa penjajahan, yang
terdiri paling tidak tiga kelompok ras yang hidup berdampingan dalam
satuan politik, tetapi terpisah satu dari lainnya, yaitu orang-orang
kulit putih, keturunan Timur Asing, dan pribumi. Demikian juga yang
terjadi di Kanada, terdapat orang-orang keturunan Perancis dan kelompok
orang-orang keturunan Inggris, dan seterusnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Dimensi Sikap</b></div>
<div style="text-align: justify;">
Para ilmuwan sosial menemukan dua sikap
yang berpengaruh dalam hubungan antar-kelompok, yaitu (1)
prasangka/prejudice, dan (2) stereotype. Prasangka adalah sikap
bermusuhan yang ditujukan kepada suatu kelompok tertentu atas dasar
dugaan bahwa kelompok tersebut mempunyai ciri-ciri yang tidak
menyenangkan.</div>
<div style="text-align: justify;">
Sikap ini dinamakan prasangka, karena
dugaan yang diyakini benar oleh orang-orang yang berprasangka tidak
didasarkan pada pengetahuan, pengalaman, ataupun bukti yang cukup
memadai. Pandangan laki-laki bahwa perempuan adalah kelompok orang-orang
yang emosional dan tidak rasional, pandangan orang-orang kulit putih
yang menganggap orang-orang kulit hitam sebagai orang-orang yang rendah
dan tidak tahu diri, pandangan orang-orang pribumi bahwa orang-orang
Tionghoa itu lihai dan curang dalam berdagang dan semata-mata tertarik
pada uang, pandangan orang-orang Tionghoa bahwa orang-orang mereka lebih
cerdas dan mampu daripada orang-orang pribumi, pandangan orang-orang
Jawa bahwa orang Batak itu kasar dan agresif, dan masih banyak yang
lainnya, merupakan contoh-contoh prasangka.</div>
<div style="text-align: justify;">
Beberapa ahli menjelaskan bahwa prasangka
itu mirip dengan antagonism atau antipati, tetapi bedanya antipati dan
antagonism dapat diselesaikan oleh pengetahuan atau pendidikan,
sedangkan prasangka berada pada bawah sadar dan tidak rasional, sehingga
sering tidak dapat diselesaikan oleh pengetahuan dan pendidikan.</div>
<div style="text-align: justify;">
Mengapa suatu kelompok berprasangka
terhadap kelompok lain? Salah satu teori mengatakan bahwa itu disebabkan
oleh adanya frustasi agresi (frustration-agression). Orang akan
mengalami agresi apabila kebutuhannya untuk memenuhi kepuasan terhalang
oleh kelompok lain. Terhadap pihak yang menghalangi usahanya inilah
kemudian timbul yang namaya prasangka.</div>
<div style="text-align: justify;">
Apabila agresi tidak dapat dilancarkan
kepada penghalangnya, maka mungkin saja dialihkan. Sehingga, terkadang
juga prasangka itu dialihkan. Penelitian Selo Soemardjan di Sukabumi
menunjukkan bahwa terjadi pengalihan prasangka orang-orang pribumi, dari
terhadap pemerintah yang menghalang-halanginya memenuhi kepuasan
terhadap orang-orang Tionghoa.</div>
<div style="text-align: justify;">
Dimensi sikap juga meliputi stereotype.
Yang dimaksud adalah citra atau gambaran yang kaku terhadap suatu
kelompok ras atau budaya yang dianut tanpa memperhatikan kebenaran citra
tersebut. Streotype bisa benar, tetapi juga bisa salah, juga dapat
positif dan negative.</div>
<div style="text-align: justify;">
Streotype yang negative terhadap suatu kelompok biasanya akan diikuti oleh adanya prasangka.</div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Dimensi Institusi</b></div>
<div style="text-align: justify;">
Institusi merujuk pada kenyataan bahwa
dalam suatu masyarakat terdapat cara hidup (cara berfikir, cara
berperasan, dan cara bertindak) yang telah berpola, baku, diharapkan
oleh sebagian besar warga masyarakat, dan tidak mudah berubah, karena
disosialisasikan kepada para anggota baru warga masyarakat, dan
berlakunya sistem pengendalian sosial.</div>
<div style="text-align: justify;">
Sehingga, karena hal tersebut, dalam hal
hubungan antar-kelompok juga terdapat pola-pola hubungan yang membaku
dan tidak mudah berubah. Misalnya <i>White Supremacy</i> yang pernah
dianut oleh orang-orang di Amerika Serikat dan di Republik Afrika
Selatan. Walaupun AS menyatakan diri sebagai negara yang paling
demokratis, tetapi di masa lalu itu, demokrasi Amerika adalah demokrasi
yang dikenal sebagai Herrenvolk <i>Democracym</i>, demokrasi banga
yang lebih unggul. Untuk masa sekarang, ketika Obama akhirnya menjadi
orang kulit hitam pertama yang menjabat presiden di AS, cara berfikir <i>White Supremacy </i>itu
apakah masih relevan apa tidak, dimensi institusi akan menjawabnya.
Apakah itu merupakan kasus yang hanya sekali terjadi, ataukah akan
menjadi pola yang konsisten memberikan ciri demokrasi baru orang-orang
Amerika.</div>
<div style="text-align: justify;">
Di Indonesia, hubungan antar-kelompok
dalam dimensi institusi dapat dicontohkan pada perlakuan terhadap
orang-orang keturunan Tionghoa pada masa orde baru. Aktivitas
orang-orang keturunan Tionghoa dibatasi hanya di bidang ekonomi saja,
mereka dilarang beraktivitas di bidang kehidupan kebudayaan dan politik
mengembangkan bahasa, kebudayaan, dan agama warisan nenek-moyangnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
(bersambung …)</div>
<div style="text-align: justify;">
Sumber:</div>
<div style="text-align: justify;">
Kamanto Soenarto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Yayasan Peberbit FE UI.</div>
<div style="text-align: justify;">
Sumber: <a href="http://www.agsasman3yk.wordpress.com/" target="_blank">Klik Disini </a></div>Muhammad Zamronihttp://www.blogger.com/profile/10110306643251368312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7866388757807007826.post-84904923662890037682012-02-13T20:39:00.001+07:002012-02-13T22:05:01.442+07:00Dimensi Gerakan Sosial, Perilaku, dan Perilaku Kolektif Dalam Hubungan Antar-Kelompok<div style="text-align: justify;">
Tulisan ini lanjutan dari tulisan
sebelumnya, yaitu Perkembangan dan Dinamika Hubungan Antar-Kelompok,
yang merupakan bahan ajar kelas XI IPS. Saya merasa perlu segera
menuliskan bahan ajar yang dibelajarkan pada Kamis, 10 Maret 2011 yang
tidak optimal karena tiba-tiba listrik padam, karena ini merupakan
bagian akhir dari bahan ajar yang akan diulangantengahsemesterkan mulai
22 Maret 2011.<span id="more-1487"></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Dimensi Gerakan Sosial (<i>social movement</i>)</b></div>
<div style="text-align: justify;">
<b> </b></div>
<div style="text-align: justify;">
Hubungan antar-kelompok, baik yang
berbentuk hubungan antar-ras, antar-etnik, antar-agama, antar-generasi,
antar-jenis kelamin, antara penyandang cacat mental atau fisik dengan
mereka yang sehat jasmani atau rohani, ataupun antara orang-orang
konformis dengan para penyimpang, sering melibatkan gerkan sosial, baik
yang diprakarsai oleh pihak-pihak yang menginginkan perubahan maupun
oleh pihak-pihak yang mempertahankan keadaan.</div>
<div style="text-align: justify;">
Contoh gerakan sosial adalah seperti yang
diberitakan dalam Majalah Times 13 November 1989 bahwa kaum homoseks di
Amerika Serikat memperjuangkan hak untuk menjadi rohaniawan agama
Katholik dan berbagai sekte dalam agama Protestan, untuk menjadi anggota
angkatan bersenjata, dan untuk menjadi guru di sekolah.</div>
<div style="text-align: justify;">
Di berbagai negara kita juga sering
mendengar kaum perempuan berorganisasi dalam gerakan pembebasan kaum
perempuan dan menentang praktik diskriminasi serta pelecehan seksual.</div>
<div style="text-align: justify;">
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan gerakan sosial?</div>
<div style="text-align: justify;">
Gerakan sosial merupakan suatu aliansi
sosial sejumlah besar orang yang berserikat untuk mendorong ataupun
menghambat suatu segi perubahan sosial dalam suatu masyarakat. Gerakan
sosial merupakan salah salah satu bentuk perilaku kolektif, tetapi
berbeda dengan perilaku kolektif pada umumnya. Pada gerakan sosial
ditemukan adanya “tujuan dan kepentingan bersama”. Pada perilaku
kolektif pada umumnya, setelah para supporter sepak bola itu merusak
stadion dan mobil-mobil yang diparkir, stasiun kereta api, atau
fasilitas umum lainnya, karena tidak mempunyai tujuan dan kepentingan
bersama, kemudian berhenti begitu saja.</div>
<div style="text-align: justify;">
Gerakan sosial ditandai oleh adanya
tujuan jangka panjang, yaitu untuk mengubah atau mempertahankan keadaan
tertentu atau institusi yang ada di dalam masyarakat. Sepertihalnya
gerakan mahasiswa Indonesia pada tahun 1965-1966 yang dilancarkan hampir
setiap hari, bertujuan mengubah kebijakan ekonomi pemerintahan
(pembubaran kabinet, penurunan harga, dan pembubaran Partai Komunis
Indonesia). Gerakan mahasiswa di Amerika Serikat menentang perang
Vietnam pada akhir tahun 1960an dan awal tahun 1970an baru berakhir
setelah pasukan Amerika Serikat meninggalkan Vietnam Selatan. Contoh
lain, gerakan mahasiswa di China yang akhirnya ditindas dengan kekuatan
militer di lapangan Tienanmen, merupakan upaya untuk memperjuangkan
demokratisasi di Republik Rakyat China. Demikian juga <i>Green Peace </i>yang
merupakan gerakan sosial internasional yang melawan semua praktik yang
menurut mereka akan mengancam pelestarian lingkungan hidup.</div>
<div style="text-align: justify;">
Ada ciri lain yang dikemukakan para
sosiolog, bahwa gerakan sosial dalam melakukan perjuangannya mengambil
cara-cara yang berada di luar institusi, misalnya pemogokan, pawai dan
demonstrasi tanpa izin, mogok makan, intimidasi, konfrontasi dengan
aparat keamanan, dan sebagainya.</div>
<div style="text-align: justify;">
Gerakan sosial bermacam-macam bentuknya.
Apabila dilihat berdasarkan tipe perubahan dan besarnya perubahan yang
dikehendaki, maka adalah</div>
<ol style="text-align: justify;">
<li>Alternative Social Movements</li>
<li>Redemtive Social Movements</li>
<li>Reformative Social Movements</li>
<li>Transformative Social Movements</li>
</ol>
<div style="text-align: justify;">
Perhatikan tabel berikut!</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<table border="1" cellpadding="0" cellspacing="0" style="width: 579px;">
<tbody>
<tr>
<td colspan="2" rowspan="2" valign="top" width="196"><br /></td>
<td colspan="2" valign="top" width="383">Tipe Perubahan Yang Dikehendaki</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="176">Perubahan Perorangan</td>
<td valign="top" width="207">Perubahan Sosial</td>
</tr>
<tr>
<td rowspan="2" width="101">Besarnya Perubahan Yang Dikehendaki</td>
<td valign="top" width="95">Perubahan Sebagian</td>
<td width="176">ALTERNATIVE SOCIAL MOVEMENTS</td>
<td width="207">REFORMATIVE SOCIAL MOVEMENTS</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="95">Perubahan Menyeluruh</td>
<td width="176">RODEMPTIVE SOCIAL MOVEMENTS</td>
<td width="207">TRANSFORMATIVE SOCIAL MOVEMENTS</td>
</tr>
</tbody>
</table>
<div style="text-align: justify;">
Keterangan tabel:</div>
<ol style="text-align: justify;">
<li>Alternative Social Movements, merupakan gerakan sosial yang
menginginkan perubahan pada sebagian perilaku perorangan, misalnya
gerakan anti-merokok, anti-narkoba, kampanye anti AIDS, dan sebagainya.</li>
<li>Redemptive Social Movements, merupakan gerakan sosial yang
menginginkan perubahan menyeluruh pada perilaku perorangan, misalnya
gerakan agar orang-orang untuk bertobat dan mengubah cara hidupnya
dengan lebih merujuk pada ajaran agama</li>
<li>Reformative Social Movements, merupakan gerakan sosial yang
menginginkan perubahan pada segi-segi tertentu masyarakat, misalnya
gerakan kaum perempuan untuk memperoleh hak-haknya sama dengan kaum
laki-laki, gerakan kaum homoseks untuk mendapatkan pengakuan akan gaya
hidup mereka, dan sebagainya.</li>
<li>Transformative Social Movements, merupakan gerakan sosial yang
menginginkan perubahan menyeluruh dalam kehidupan bermasyarakat.
Misalnya gerakan kaum Khmer Merah yang ingin mengubah masyarakat Kamboja
sebagai masyarakat komunis, Revolusi di Uni Soviet tahun 30-an,
Revolusi China pada tahun 1949, dan sebagainya.</li>
</ol>
<div style="text-align: justify;">
Klasifikasi lain tentang gerakan sosial
dikemukakan oleh Kornblum, yaitu (1) revolutionary movements, (2)
Reformist Movements, dan (3) conservative movements.</div>
<div style="text-align: justify;">
<i>Revolutinary Movements</i> merupakan
jenis gerakan sosial yang menginginkan perubahan yang menyeluruh pada
sendi-sendi kehidupan masyarakat, baik itu sistem sosial, sistem budaya,
sistem ekonomi, maupun sistem politiknya.</div>
<div style="text-align: justify;">
Misalnya<i>, revolutionary Movements</i>
masyarakat Rusia pada tahun 1917 yang berhasil mengubah sistem sosial,
budaya, ekonomi, maupun politik Rusia menjadi sistem komunis. Demikian
juga yang terjadi di China pada 1949. Kedua peristiwa ini memenuhi
syarat revolusi yang dikemukakan oleh Antony Giddens, bahwa sebuah
revolusi itu; (1) melibatkan gerakan sosial secara massal, (2)
menghasilkan proses reformasi atau perubahan, dan (3) menggunakan
ancaman dan kekerasan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<i>Reformative</i> atau <i>reformist Movements</i>
merupakan gerakan sosial yang menginginkan perubahan pada segi-segi
tertentu kehidupan masyarakat. Misalnya gerakan Boedi Oetomo (1908) atau
Syarikat Islam (1912) yang menginginkan terpenuhinya hak-hak memperoleh
pendidikan di kalangan pribumi.</div>
<div style="text-align: justify;">
Sedangkan <i>conservative movements</i>, merupakan gerakan sosial yang mempertahankan suatu keadaan atau isntitusi yang ada dalam masyarakat.</div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Dimensi perilaku dan perilaku kolektif</b></div>
<div style="text-align: justify;">
<b> </b></div>
<div style="text-align: justify;">
Dimensi perilaku dalam hubungan
antar-kelompok dapat berupa diskriminasi atau menempatkan
anggota-anggota kelompok lain dalam jarak sosial tertentu.</div>
<div style="text-align: justify;">
Diskriminasi merupakan <i>the differential treatment </i>(perlakuan
yang berbeda) terhadap orang-orang yang memiliki kategori tertentu.
Kriteria tertentu ini bisa warna kulit dan ciri-ciri fisik-biologis yang
lain (ras, jenis kelamin, penyandang cacat tertentu), agama, daerah,
etnik, kelompok sosial, dan sebagainya.</div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam banyak masyarakat dan negara sering
kaum perempuan lebih kesulitan memperoleh hak-haknya dalam pendidikan
dan pekerjaan daripada kaum laki-laki.</div>
<div style="text-align: justify;">
Apa yang dimaksud dengan jarak sosial (<i>social distance</i>)?</div>
<div style="text-align: justify;">
Diskriminasi yang merupakan perlakuan
berbeda terhadap orang-orang berkategori tertentu, akan menghasilkan
jarak sosial, yaitu derajat penerimaan atau kesediaan untuk menerima
orang-orang berkategori tertentu, dalam hal pertemanan, menikah, bekerja
di kantor yang sama, menjadi anggota dalam tim kerja tertentu,
bertetangga atau tinggal dalam satu kawasan, atau sekedar kenal saja,
dan sebagainya.</div>
<div style="text-align: justify;">
Salah satu indicator jarak sosial adalah
perilaku menjauhi orang-orang dari kelompok tertentu. Pernikahan antar
etnis akan menunjukkan jarak sosial tertentu di antara kelompok etnis
yang bersangkutan, karena pernikahan tidak saja akan menyatukan seorang
laki-laki dengan seorang perempuan yang berbeda etnis itu, melainkan
juga para kerabatnya. Kesediaan orang tua menerima menantu dari etnis
lain menunjukkan tidak adanya jarak sosial yang jauh. Bandingkan dengan
perilaku endogamy pada beberapa kelompok. Demikian juga perilaku
berteman di antara orang-orang yang berbeda etnis atau berbeda agama
atau kategori yang lain.</div>
<div style="text-align: justify;">
Apa yang dimaksud dengan perilaku kolektif?</div>
<div style="text-align: justify;">
Kecenderungan orang-orang adalah
berperilaku dengan berpedoman pada institusi yang berlaku. Perilaku
orang-orang di pasar akan berpedoman pada institusi ekonomi, demikian
juga perilaku orang ketika di mimbar politik, akan memedomani
ketentuan-ketentuan pada isntitusi politik. Ketika seseorang masuk ke
dalam sebuah masjid, maka perilaku orang itu pun akan menyesuaikan diri
dengan ketentuan-ketentuan baku cara berperilaku di masjid.</div>
<div style="text-align: justify;">
Namun, terkadang kita melihat sejumlah
anggota masyarakat secara berkelompok atau berkerumun menampilkan
perilaku yang tidak berpedoman pada institusi yang ada, misalnya
sekelompok massa menghacurkan tempat ibadah dari agama yang berbeda
dengan mereka, supporter sepakbola merusak stadium dan fasilitas umum
serta kendaraan yang diparkir di sekitarnya, sekolompok orang menyerang
desa yang diidentifikasi merupakan tempat praktik ajaran yang mereka
anggap sesat, dan sebagainya.</div>
<div style="text-align: justify;">
Termasuk dalam perilaku kolektif adalah
perilaku para nasabah bank berbagai kota yang menarik dananya. Pada
tahun 1992, ketika Bank Summa kalah kliring dan izin operasinya dicabut
oleh pemerintah, maka isu bahwa bank swasta lain juga akan mengalami hal
yang sama, mendorong orang-orang (nasabah bank) di berbagai kota
beramai-ramai mendatangi bank di mana mereka menjadi nasabahnya untuk
menarik dana yang ia simpan, baik dalam bentuk rekening tabungan,
deposito berjangka, rekening Koran, dan memindahkannya ke bank-bank
milik pemerintah. Demikian juga, ketika terdengar isu, pemerintah akan
mendevaluasi rupiah, orang-orang pun berduyun-duyun membelanjakan
uangnya untuk memborong barang atau ke bank untuk menukarkan uangnya
dengan valuta asing.</div>
<div style="text-align: justify;">
Dari contoh-contoh tersebut kita dapat
mengambil pengertian tentang perilaku kolektif sebagai perilaku yang (1)
dilakukan oleh sejumlah besar orang secara bersama-sama, (2) tidak
bersifat rutin, dan (3) merupakan tanggapan terhadap rangsangan
tertentu.</div>
<div style="text-align: justify;">
Untuk lebih dapat memahami tentang
perilaku kolektif, coba renungkan peristiwa-peristiwa yang baru saja
terjadi di masyarakat kita, misalnya (1) peristiwa penyerangan terhadap
warga Ahmadiyah di berbagai tempat, (2) peristiwa kerusuhan di
Temanggung, (3) gerakan massa menentang pemilhan pengurus PSSI, dan
sebagainya.</div>
<div style="text-align: justify;">
Sumber:</div>
<div style="text-align: justify;">
Kamanto Sunarto. 200. Pengantar Sosiologi Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit FE UI.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Source: <a href="http://www.agsasman3yk.wordpress.com/" target="_blank">Klik Disini </a></div>Muhammad Zamronihttp://www.blogger.com/profile/10110306643251368312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7866388757807007826.post-62992533746451757442012-02-13T20:35:00.000+07:002012-02-13T22:05:45.097+07:00Struktur Majemuk Masyarakat IndonesiaTulisan ini disarikan dari sebuah buku
yang ditulis oleh Dr. Nasikun -Fisipol Universitas Gadjah Mada,
diterbitkan oleh Grafiti Pers, pada tahun 1984 (cetakan pertama). Sudah
cukup lama memang, tetapi karena keadaan struktur sosial masyarakat
Indonesia yang bersifat majemuk ini telah sedemikian rupa keadaaannya,
maka ketika buku ini dibaca pada tahun 2011, permasalahan-permasalahan
yang diungkapkan pada buku ini pun –rasanya– masih relevan.<span id="more-1546"></span>
<br />
<div style="text-align: justify;">
<b>Konsep Kemajemukan/Pluralitas</b></div>
<div style="text-align: justify;">
Struktur masyarakat Indonesia ditandai
oleh dua cirinya yang unik, yaitu (1) secara horizontal, ia ditandai
oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan
perbedaan-perbedaan sukubangsa, agama, adat, serta perbedaan-perbedaan
kedaerahan. Sedangkan (2) secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia
ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan antara lapisan atas dan
lapisan bawah yang cukup tajam.</div>
<div style="text-align: justify;">
Perbedaan-perbedaan sukubangsa, agama,
adat, dan kedaerahan seringkali disebut sebagai ciri masyarakat
Indonesia yang bersifat majemuk, suatu istilah yang mula-mula dikenalkan
oleh Furnivall untuk menggambarkan masyarakat Indonesia pada masa
Hindia Belanda. Konsep masyarakat majemuk sebagaimana yang digunakan
oleh ahli-ahli ilmu kemasyarakatan dewasa ini memang merupakan perluasan
dari konsep Furnivall tersebut.</div>
<div style="text-align: justify;">
Masyarakat Indonesia pada masa Hindia Belanda, demikianlah menurut Furnivall, merupakan suatu masyarakat majemuk (<i>plural society</i>),
yakni suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang
hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam
kesatuan politik (JS Furnivall, Netherlands India: A Study of Plural
Economy, Cambridge at The University Press, 1967, halaman 446-469).</div>
<div style="text-align: justify;">
Catatan penulis:</div>
<div style="text-align: justify;">
<i>Istilah plural atau majemuk
sebenarnya berbeda dengan pengertian heterogen. Majemuk atau plural itu
merupakan lawan dari kata singular atau tunggal. Sehingga, masyarakat
plural itu bukan masyarakat yang tunggal. Masyarakat tunggal merupakan
masyarakat yang mendukung satu sistem kebudayaan yang sama, sedangkan
pada masyarakat plural, di dalamnya terdapat lebih dari satu kelompok
baik etnik maupun sosial yang menganut sistem kebudayaan (subkultur)
berbeda satu dengan yang lain. Sebuah masyarakat kota, mungkin tepat
disebut sebagai masyarakat heterogen, sepanjang meskipun mereka berasal
dari latar belakang SARA (sukubangsa, agama, ras, atau pun
aliran/golongan-golongan) yang berbeda, tetapi mereka tidak mengelompok
berdasarkan SARA tersebut. Heterogen lawan dari kondisi yang disebut
homogen. Disebut homogen kalau anggota masyarakat berasal dari SARA yang
secara relatif sama. Disebut heterogen kalau berasal dari SARA yang
saling berbeda, namun –sekali lagi– mereka tidak mengelompok
(tersegmentasi) berdasarkan SARA tersebut.</i></div>
<div style="text-align: justify;">
Sebagai suatu masyarakat majemuk,
Furnivall menyebut Indonesia ketika itu sebagai suatu tipe masyarakat
tropis di mana mereka yang berkuasa dan mereka yang dikuasai memiliki
perbedaan ras. Orang-orang Belanda sebagai golongan minoritas merupakan
penguasa yang memerintah bagian amat besar orang-orang Indonesia prubumi
yang menjadi golongan kelas tiga di negerinya sendiri. Golongan
keturunan Tionghoa, sebagai golongan terbesar di antara orang-orang
keturunan Timur Asing lainnya, menempati kedudukan di antara kedua
golongan tersebut.</div>
<div style="text-align: justify;">
Di dalam kehidupan politik, pertanda
paling jelas dari masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk itu adalah
tidak adanya kehendak bersama (common will); masyarakat Indonesia
sebagai keseluruhan terdiri atas elemen-elemen yang terpisah satu sama
lain oleh karena perbedaan ras, masing-masing lebih merupakan kumpulan
individu-individu daripada sebagai suatu kesuluruhan yang organis.</div>
<div style="text-align: justify;">
Orang-orang Belanda datang ke Indonesia
untuk bekerja saja, mereka tidak menetap di Indonesia. Kehidupannya
semata-mata adalah di sekitar pekerjaannya saja. Mereka memandang
masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, kebudayaan, dan
masalah-masalah kemasyarakatan lainnya di Indonesia, tidak sebagai warga
masyarakat, apalagi warga negara, melainkan sebagai kapitalis atau
majikan dari buruh-buruh mereka. Banyak memang di antara mereka yang
tinggal di Indonesia sampai kira-kira 20 tahun, tetapi kemudian lebih
suka menghabiskan hari tuanya di negeri Belanda.</div>
<div style="text-align: justify;">
Orang-orang Timur Asing, terutama
orang-orang Tionghoa, sama dengan orang-orang Belanda. Mereka datang ke
Indonesia untuk kepentingan ekonomi. Kehidupan orang-orang pribumi pun
demikian juga, kehiduoan mereka semata-mata adalah kehidupan pelayan di
negerinya sendiri.</div>
<div style="text-align: justify;">
Tiga golongan masyarakat ini merupakan
masyarakat kasta yang masing-masing mempertahankan atau memelihara cara
berfikir, berperasaan, dan bertindak golongannya, hasilnya adalah tidak
adanya kehendak bersama sebagai suatu masyarakat yang utuh atau organis.</div>
<div style="text-align: justify;">
Demikianlah gambaran masyarakat Indonesia
pada masa Hindia Belanda sebagaimana digambarkan oleh Furnivall.
Keadaannya pada masa kini sudah tentu berbeda dari pada masa tersebut.
Namun demikian, mengikuti beberapa modifikasi atas pengertian masyarakat
majemuk yang dicetuskan setelah generasi Furnivall, konsep masyarakat
majemuk tetap dapat digunakan untuk menganalisis struktur sosial
masyarakat Indonesia.</div>
<div style="text-align: justify;">
Dengan mengabaikan perwujudannya yang
kongkrit di masa kini, esensi dari konsepsi Furnivall tentang masyarakat
majemuk adalah suatu masyarakat dalam mana sistem nilai yang dianut
oleh berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya adalah
sedemikian rupa sehingga para anggota masyarakat kurang nemiliki
loyalitas terhadap masyarakat sebagai keseluruhan, kurang memiliki
homogenitas kebudayaan, bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling
memahami satu terhadap yang lain.</div>
<div style="text-align: justify;">
Tegasnya, suatu masyarakat disebut
majemuk apabila masyarakat tersebut secara struktural memiliki
subkebudayaan-subkebudayaan yang bersifat <i>diverse</i>. Masyarakat
yang demikian ditandai oleh kurang berkembangnya sistem nilai atau
konsensus yang disepakati oleh seluruh anggota masyarakat, oleh
berkembangnya sistem nilai dari kesatuan-kesatuan sosial yang menjadi
bagian-bagiannya dengan penganutan para anggotanya masing-masing secara
tegar dalam bentuknya yang relatif murni, serta oleh sering tumbuhnya
konflik-konflik sosial, atau setidak-tidaknya oleh kurangnya integrasi
dan saling ketergantungan di antara kesatuan-kesatuan sosial yang
menjadi bagian-bagiannya. Sehubungan dengan keadaan yang demikian,
Clifford Geertz menjelaskan bahwa masyarakat majemuk merupakan
masyarakat yang terbagi-bagi ke dalam subsistem-subsistem yang
masing-masing terikat ke dalam ikatan-ikatan yang bersifat primordial.</div>
<div style="text-align: justify;">
Dengan cara yang lebih singkat, Pierre L. van den Berghe menyebutkan beberapa karakteristik masyarakat majemuk, sebagai berikut.</div>
<ol>
<li>terjadinya segmentasi ke dalam kelompok-kelompok yang seringkali memiliki subkebudayaan yang berbeda satu sama lain,</li>
<li>memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplementer,</li>
<li>kurang mampu mengembangkan konsensus di antara para anggota-anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar,</li>
<li>secara relatif sering kali mengalami konflik-konflik di antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain,</li>
<li>secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi, serta</li>
<li>adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok yang lain</li>
</ol>
<div style="text-align: justify;">
<b>Pluralitas Indonesia sesudah Masa Revolusi</b></div>
<div style="text-align: justify;">
Konsep pluralitas/kemajemukan yang dibuat
oleh Furnivall sangat tepat digunakan untuk menggambarkan masyarakat
Indonesia pada masa Hindia Belanda, di mana terdapat tiga golongan yang
saling berbeda, yaitu orang-orang kulit putih, keturunan Tionghoa, dan
pribumi.</div>
<div style="text-align: justify;">
Lalu, bagaimana apabila digunakan setelah masa revolusi 1945?</div>
<div style="text-align: justify;">
Sejak Indonesia mencapai kemerdeakaannya
pada 17 Agustus 1945, golongan Eropa yang sebelumnya menempati kedudukan
penting, terlempar keluar dari sistem sosial masyarakat Indonesia.
Maka sejak saat itu, pluralitas yang ada adalah pluralitas internal yang
terdapat di antara golongan-golongan pribumi, dan memperoleh artinya
yang lebih penting daripada apa yang dikemukakan oleh Furnivall.</div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Konfigurasi Etnis Masyarakat Majemuk</b></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam makalah yang disampaikan pada
seminar Pluralitas, Kesenjangan Sosial, dan Integrasi Nasional di
Surabaya tanggal 23 Juli 1990, Dr. Nasikun menyatakan bahwa berdasarkan
konfigurasinya, masyarakat majemuk dapat dibedakan ke dalam empat
kategori, yaitu: (1) masyarakat majemuk dengan kompetisi seimbang, (2)
masyarakat majemuk dengan mayoritas dominan, (3) masyarakat majemuk
dengan minoritas dominan, dan (4) masyarakat majemuk dengan fragmentasi.</div>
<div style="text-align: justify;">
Kategori pertama merupakan masyarakat
majemuk yang terdiri atas sejumlah kelompok etnik yang kurang lebih
seimbang, sehingga untuk mencapai integrasi sosial atau pemerintahan
yang stabil diperlukan koalisi lintas-etnis.</div>
<div style="text-align: justify;">
Kategori kedua dan ketiga merupakan
varian-varian masyarakat majemuk yang memiliki konfigurasi etnik yang
tidak seimbang, di mana salah satu kelompok etnik tertentu (kelompok
mayoritas pada kategori kedua dan kelompok minoritas pada kategori
ketiga) memiliki <i>competitive advantage</i> yang strategis di hadapan kelompok-kelompok yang lain.</div>
<div style="text-align: justify;">
Masyarakat majemuk dengan kategori
keempat (dengan fragmentasi) meliputi masyarakat-masyarakat yang terdiri
atas sejumlah besar kelompok etnik, semuanya dengan jumlah anggota yang
kecil dan tidak satupun memiliki posisi politik yang dominan dalam
masyarakat. Kehidupan politik dalam masyarakat dengan konfigurasi
demikian sangatlah labil, karena ketidakmampuan membangun<i> coalition building</i>
yang diperlukan untuk mengakomodasi konflik-konflik yang pada umumnya
bersifat anarkhis sebagai akibat dari kecurigaan etnik dan hadirnya
pemerintahan yang otoriterian.</div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Sebab-sebab pluralitas (Mengapa Majemuk?)</b></div>
<div style="text-align: justify;">
Ada beberapa faktor yang menyebabkan mengapa pluralitas masyarakat Indonesia yang demikian itu terjadi.<b> Yang pertama, </b>keadaan
geografik wilayah Indonesia yang terdiri atas kurang lebih tiga ribu
pulau yang terserak di sepanjang equator kurang lebih tiga ribu mil dari
timur ke barat, dan seribu mil dari utara selatan, merupakan faktor
yang sangat besar pengaruhnya terhadap terjadinya pluralitas sukubangsa
di Indonesia.</div>
<div style="text-align: justify;">
Ketika nenek moyang bangsa Indonesia yang
sekarang ini mula-mula sekali datang secara bergelombang sebagai
emigran daru daerah yang kita kenal sebagai daerah Tiongkok Selatan pada
kira-kira dua ribu tahun sebelum masehi, keadaan geografik serupa itu
telah memaksa mereka harus tinggal menetap di daerah yang terpisah-pisah
satu sama lainnya. Isolasi geografik demikian di kemudian hari
mengakibatkan penduduk yang menempati setiap pulau atau sebagian dari
pulau di Nusantara ini tumbuh menjadi kesatuan-kesatuan sukubangsa yang
sedikit banyak terisolasi dari kesatuan-kesatuan sukubangsa yang lain.
Setiap kesatuan sukubangsa terdiri atas sejumlah orang yang dipersatukan
oleh ikatan-ikatan emosional, serta memandang diri mereka sebagai suatu
jenis tersendiri. Dengan perkecualian yang sangat kecil, satuan-satuan
sosial itu mengembangkan dan akhirnya memiliki bahasa dan warisan
kebudayaan yang sama. Lebih dari itu, mereka biasanya mengembangkan
kepercayaan bahwa mereka memiliki asal-usul keturunan yang sama, suatu
kepercayaan yang seringkali didukung oleh mitos-mitos yang hidup dalam
masyarakat.</div>
<div style="text-align: justify;">
Tentang berapa jumlah sukubangsa yang
sebenarnya ada di Indonesia, ternyata terdapat berbagai pendapat yang
tidak sama di antara para ahli ilmu kemasyarakatan. Hildred Geertz
misalnya menyebutkan adanya lebih kurang tiga ratus sukubangsa di
Indonesia, masing-masing dengan bahasa dan identitas kultural yang
berbeda-beda.</div>
<div style="text-align: justify;">
Skinner menyebutkan adanya lebih dari 35
sukubangsa di Indonesia, masing-masing dengan adat istiadat yang tidak
sama. Lebih dari sekedar menyebutkan banyaknya sukubangsa di Indonesia,
Skinner menggambarkan juga perbandingan besarnya sukubangsa-sukubangsa
tersebut. Beberapa sukubangsa yang paling besar sebagaimana disebut oleh
Skinner adalah Jawa, Sunda, Madura, Mingangkabau, dan Bugis. Kemudian
ada beberapa sukubangsa yang lain yang cukup besar, yaitu Bali, Batak
Toba, dan Sumbawa.</div>
<div style="text-align: justify;">
Buku Statistik Hindia Belanda menggambarkan prosentasi sukubangsa di Indonesia pada tahun 1930, sebagai berikut.</div>
<ol>
<li>Jawa : 47.02 persen</li>
<li>Sunda : 14,53 persen</li>
<li>Madura : 7,28 persen</li>
<li>Minangkabau : 3,36 persen</li>
<li>Bugis : 2,59 persen</li>
<li>Batak : 2,04 persen</li>
<li>Bali : 1,88 persen</li>
<li>Betawi: 1,66 persen</li>
<li>Melayu: 1,61 persen</li>
<li>Banjar : 1,52 persen</li>
<li>Aceh: 1,41 persen</li>
<li>Palembang: 1,30 persen</li>
<li>Sasak: 1,12 persen</li>
<li>Dayak: 1,10 persen</li>
<li>Makasar: 1,09 persen</li>
<li>Toraja: 0,94 persen</li>
<li>lainnya : 9,54 persen.</li>
</ol>
<div style="text-align: justify;">
Walaupun angka tersebut dibuat pada waktu
yang telah sangat lampau, tetapi melihat angka kelahiran, angka
kematian, atau angka pertumbuhan penduduk, mungkin hal tersebut masih
dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi saat ini.</div>
<div style="text-align: justify;">
Mengikuti pengertian sukubangsa yang
dikemukakan oleh para ahli antropologi, Dr. Nasikun menggolongkan
orang-orang Tionghoa sebagai salah satu sukubangsa di Indonesia, dan
berdasarkan laporan Biro Pusat Statistik, dan berdasarkan perkiraan
tambahan penduduk golongan Tionghoa 3 persen, serta dengan mengingat
kurang lebih 100.000 orang Tionghoa kembali ke Tiongkok selama tahun
1959 dan 1960, diperkirakan jumlah orang Tionghoa yang tinggal di
Indonesia pada tahun 1961 sebanyak 2,45 juta orang, sementara penduduk
pribumi waktu itu diperkirakan 90.882 juta orang. Walaupun jumlah orang
Tionghoa sangat kecil dibandingkan dengan penduduk pribumi, tetapi
mengingat kedudukan mereka yang sangat penting dalam kehidupan ekonomi,
mereka sangat mempengaruhi hubungan mereka dengan sukubangsa-sukubangsa
yang lain (yang secara keseluruhan disebut pribumi).</div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Faktor kedua</b> yang
menyebabkan pluralitas masayarakat Indonesia adalah kenyataan bahwa
Indonesia terletak di antara Samudera Indonesia dan Samudera Pasifik.
Keadaan ini menjadikan Indonesia menjadi lalu lintas perdagangan,
sehingga sangat mempengaruhi terciptanya pluralitas agama di dalam
masyarakat Indonesia.</div>
<div style="text-align: justify;">
Telah sejak lama masyarakat Indonesia
memperoleh berbagai pengaruh kebudayaan bangsa lain melalui para
pedagang asing. Pengaruh yang pertama kali menyentuh masyarakat
Indonesia adalah agama Hindu dan Budha dari India sejak kurang lebih
empat ratus tahun sebelum masehi.</div>
<div style="text-align: justify;">
Hinduisme dan Budhaisme pada waktu itu
tersebar meliputi daerah yang cukup luas di Indonesia, serta lebur
bersama-sama dengan kebudayan asli yang telah hidup dan berkembang lebih
dulu. Namun, pengaruh Hindu dan Budaha terutama dirasakan di Pulau Jawa
dan Pulau Bali.</div>
<div style="text-align: justify;">
Pengaruh kebudayaan Islam mulai memasuki
masyarakat Indonesia sejak abad ke-13, akan tetapi baru benar-benar
mengalami proses penyebaran yang luas pada abad ke-15. Pengaruh Islam
sangat kuat terutama pada daerah-daerah di mana Hindu dan Budha tidak
tertanam cukup kuat. Karena keadaan yang demikian, cara beragama yang
sinkretik sangat terasakan, kepercayaan-kepercayaan animisme, dinamisme
bercampur dengan kepercayaan agama Hindu, Budha, dan Islam. Pengaruh
reformasi agama Islam yang memasuki Indonesia pada permulaan abad ke-17
dan terutama akhir abad ke-19 ternyata tidak berhasil mengubah keadaan
tersebut, kecuali memperkuat pengaruh agama Islam di daerah-daerah yang
sebelumnya memang telah merupakan daerah pengaruh agama Islam. Sementara
itu, Bali masih tetap merupakan daerah agama Hindu.</div>
<div style="text-align: justify;">
Pengaruh kebudayaan Barat mulai memasuki
masyarakat Indonesia melalui kedatangan Bangsa Portugis pada permulaan
abad ke-16. Kedatangan mereka ke Indonesia tertarik oleh kekayaan
rempah-rempah di daerah Kepulauan Maluku, suatu jenis barang dagangan
yang sedang laku keras di Eropa pada waktu itu.</div>
<div style="text-align: justify;">
Kegiatan missionaris yang menyertai
kegiatan perdagangan mereka, dengan segera berhasil menanamkan pengaruh
agama Katholik di daerah tersebut. Ketika bangsa Belanda berhasil
mendesak bangsa Portugis ke luar dari daerah-daerah tersebut pada
kira-kira tahun 1600-an, maka pengaruh agama Katholik pun segera
digantikan pula oleh pengaruh agama Kristen Protestan. Namun demikian,
sikap bangsa Belanda yang lebih lunak di dalam soal agama apabila
dibandingkan dengan bangsa Portugis, telah mengakibatkan pengaruh agama
Kristen Protestan hanya mampu memasuki daerah-daerah yang sebelumnya
tidak cukup kuat dipengaruhi oleh agama Islam dan Hindu.</div>
<div style="text-align: justify;">
Hasil fina dari semua pengaruh kebudayaan
tersebut kita jumpai dalam bentuk pluralitas agama di dalam masyarakat
Indonesia. Di luar Jawa, hasilnya kita lihat pada timbulnya golongan
Islam modernis terutama di daerah-daerah yang strategis di dalam jalur
perdagangan internasional pada waktu masuknya reformasi agama Islam,
golongan Islam konservatif-tradisional di daerah pedalaman-pedalaman,
dan golongan Kristen (Katholik dan Protestan) di daerah-daerah Maluku,
Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Tapanuli, dan sedikit di daerah
Kalimantan Tengah; serta golongan Hindu Bali (Hindu Dharma) terutama di
Bali.</div>
<div style="text-align: justify;">
Di Pulau Jawa dijumpai golongan Islam
modernis terutama di daerah-daerah pantai Utara Jawa Tengah dan Jawa
Timur dengan kebudayaan pantainya, serta sebagian besar daerah Jawa
Barat, golongan Islam konservatif-tradisional di daerah-daerah pedalaman
Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta golongan Kristen yang tersebar di
hampir setiap daerah perkotaan Jawa.</div>
<div style="text-align: justify;">
Faktor ketiga, iklim yang berbeda-beda
dan struktur yang tidak sama di antara berbagai daerah di kepulauan
Nusantara, telah mengakibatkan pluralitas regional. Perbedaan curah
hujan dan kesuburan tanah merupakan kondisi yang menciptakan dua macam
lingkungan ekologis yang berbeda, yakni daerah pertanian basah <i>(wet rice cultivation</i>) yang terutama banyak dijumpai di Pulau Jawa dan Bali, serta daerah ladang (<i>shifting cultivation</i>) yang banyak dijumpai di luar Jawa.</div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Struktur Kepartaian Sebagai Wujud Struktur Sosial Masyarakat Indonesia</b></div>
<div style="text-align: justify;">
Apabila perbedaan sukubangsa dan regional
secara sederhana membedakan antara Jawa dan Luar Jawa, perbedaan agama
membedakan golongan Islam Santri, Islam Non-Santri, dan Kristen,
perbedaan lapisan sosial membedakan golongan priyayi dan wong cilik yang
secara simplitis oleh Edward Shills disederhanakan lagi menjadi kota
dan desa, maka konfigurasi semua itu menghasilkan penggolongan
masyarakat ke dalam dua belas golongan, sebagai berikut.</div>
<table border="1" cellpadding="0" cellspacing="0">
<tbody>
<tr>
<td valign="top" width="128"><div style="text-align: center;">
Golongan</div>
</td>
<td colspan="2" style="text-align: center;" valign="top" width="128">Islam Santri</td>
<td colspan="2" style="text-align: center;" valign="top" width="128">Islam NonSantri</td>
<td colspan="2" style="text-align: center;" valign="top" width="128">Kristen</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="128">Daerah</td>
<td valign="top" width="60">Desa</td>
<td valign="top" width="68">Kota</td>
<td valign="top" width="62">Desa</td>
<td valign="top" width="66">Kota</td>
<td valign="top" width="63">Desa</td>
<td valign="top" width="65">Kota</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="128">Jawa</td>
<td valign="top" width="60">1</td>
<td valign="top" width="68">2</td>
<td valign="top" width="62">3</td>
<td valign="top" width="66">4</td>
<td valign="top" width="63">5</td>
<td valign="top" width="65">6</td>
</tr>
<tr>
<td style="text-align: center;" valign="top" width="128">Non-Jawa</td>
<td style="text-align: center;" valign="top" width="60">7</td>
<td style="text-align: center;" valign="top" width="68">8</td>
<td style="text-align: center;" valign="top" width="62">9</td>
<td style="text-align: center;" valign="top" width="66">10</td>
<td style="text-align: center;" valign="top" width="63">11</td>
<td valign="top" width="65"><div style="text-align: center;">
12</div>
</td>
</tr>
</tbody>
</table>
<div style="text-align: justify;">
Pengelompokan masyarakat Indonesia serupa
itu membawa akibat yang luas lagi mendalam di dalamn seluruh pola
hubungan-hubungan sosial di dalam masyarakat, di bidang politik,
ekonomi, hukum, kekeluargaan, dan sebagainya.</div>
<div style="text-align: justify;">
Timbulnya kematangan kondisi-kondisi
teknis, politis, dan sosial sejak permulaan abad ke-20, dan terutama
sesudah kemerdekaan, telah berhasil mengubah kelompok-kelompok semu
tersebut menjadi berbagai kelompok kepentingan. Salah satu kelompok
kepentingan yang sangat khusus sifatnya adalah yang kemudian kita kenal
sebagai partai politik.</div>
<div style="text-align: justify;">
Pada awal pertumbuhannya di Indonesia,
kelompok-kelompok kepentingan semacam itu mula-mula lebih memusatkan
perhatiannya pada kegiatan-kegiatan yang bersifat sosio-kultural
daripada yang bersifat politis. Baru di kemudian hari kelompok-kelompok
kepentingan tersebut mengubah sifatnya menjadi organisasi yang
benar-benar bersifat politis.</div>
<div style="text-align: justify;">
Beberapa partai politik, seperti Masyumi
yang menurut hasil Pemilu 1955 merupakan partai paling besar sesudah
PNI, atau Partai Nahdatul Ulama yang merupakan partai paling besar nomor
tiga, kiranya dapat memberikan gambaran tentang struktur kepartaian
yang berbasis pada kelompok-kelompok yang ada pada masyarakat.</div>
<div style="text-align: justify;">
Pada tahun 1943, beberapa organisai
keagamaan termasuk Muhammdiyah dan Nahdatul Ulama bergabung ke dalam
suatu organisasi massa dengan nama “Masyumi” (Majelis Syuro Muslimin
Indonesia). Pada permulaan revolusi, organisasi massa tersebut mengubah
dirinya menjadi suatu partai politik yang berdiri di atas landasan
organisasi-organisasi keagamaan dengan Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama
sebagai dua di antara anggota-anggotanya yang paling besar. Persaingan
lama antara Muhammadiyah dan NU, yang bersumber pada perbedaan latar
belakang sosio-kultural di antara pendukung Muhammadiyah dan NU pun
segera terlihat di dalam tubuh Masyumi. Sebagaimana diketahui bahwa
orang-orang Muhammadiyah adalah pendukung gerakan modernisme Islam yang
seringkali dihubungkan dengan ajaran-ajaran Muhammad Abduh dari
Universitas Al-Azhar di Cairo pada abad ke-19. Sekalipun organisasi
Muhammadiyah berpusat di Jawa, tetapi basis pendukungnya terutama
berasal dari Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, dan
daerah-daerah sepanjang pantai Utara Jawa Tengah dan Jawa Timur yang
cenderung bersifat kosmopolitan, kekotaan, dan suka berdagang.</div>
<div style="text-align: justify;">
Kebanyakan warga NU –termasuk para
pemimpinnya– merupakan orang-orang yang menolak gerakan modernisme
Islam. Kelahirannya sebagai organisasi keagamaan pada tahun 1926 sendiri
merupakan reaksi atas munculnya gerakan modernisasi Islam yang
dilancarkan oleh Muhammadiyah. Anggota-anggota NU berasal dari
daerah-daerah perdesaan Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan kepercayaan
yang banyak dipengaruhi oleh kepercayaan yang berasal dari agama Hindu
dan kepercayaan Kejawen yang telah hidup jauh sejak sebelum masuknya
agama Hindu di Pulau Jawa.</div>
<div style="text-align: justify;">
Konflik dan ketegangan-ketegangan di
antara NU dengan Muhammadiyah pada tubuh Masyumi diakhiri dengan
keluarnya NU dari Masyumi, dan pada tanggal 30 Agustus 1952, bersama
dengan PSII dan PERTI, NU mendirikan Liga Muslimin Indonesia, dan 30
Agustus 1952 itu sendiri dikenal sebagai tanggal berdirinya NU sebagai
sebuah partai politik.</div>
<div style="text-align: justify;">
Sebuah partai lain yang pernah menempati
posisi sangat penting di dalam kehidupan politik Indonesia pada
masa-masa silam adalah PNI (Partai Nasional Indonesia). Pada Pemilu 1955
merupakan partai paling besar. Sejak awal kelahirannya (1927), PNI
banyak memperoleh dukungan dari golongan elit birokrasi, yang kebanyakan
adalah elite golongan Jawa yang berpendidikan.</div>
<div style="text-align: justify;">
Dukungan yang kemudian menjadi sangat
kuat dari lapisan bawah masyarakat Jawa terjjadi ketika PNI merumuskan
isue tentang Marhaenisme sebagai ideologi partai dan faktor bung Karno
sebagai tokoh (Bapak Marhaenisme).</div>
<div style="text-align: justify;">
Pendukung PNI kebanyakan berasal dari
golongan Islam Nominal yang sangat hormat kepada pimpinan birokrasi, dan
karena cenderung menganut kepercayaan animisme dan dinamisme
menyebabkan golongan ini tidak menyukai partai-partai Islam.</div>
<div style="text-align: justify;">
Partai lain yang tidak kalah pentingnya
adalah PKI (Partai Komunis Indonesia). Pada Pemilu 1955 partai ini
merupakan terbesar ke-empat. Seperti PNI, pendukung PKI terutama dari
kalangan Islam Non-Santri di daerah-daerah Jawa Tengah dan Timur. Lebih
dari PNI, pendukung (basis massa) PKI terutama di lapisan bawah
masyarakat desa, karenanya di antara partai-partai politik yang ada,
PKI-lah yang lebih memiliki banyak pemimpin dari lapisan bawah.
Popularitas PKI di kalangan bawah, terutama di perdesaan Jawa, setara
dengan PNU.</div>
<div style="text-align: justify;">
Sebuah partai yang lebih kecil dari yang
sudah disebut di depan adalah PSI (Partai Sosialis Indonesia). Partai
ini lebih didukung oleh golongan eliter berpendidikan, seperti halnya
PNI, tetapi PSI kurang populer di kalangan masyarakat bawah atau
perdesaan.</div>
<div style="text-align: justify;">
Sementara itu ada dua partai yang
didukung oleh orang-orang dari kotak 11 dan 12 pada diagram di atas,
adalah PARKINDO (Partai Kristen Indonesia) dan Partai Katholik
Indonesia. Pengaruh kedua partai ini meliputi daerah-daerah yang
penduduknya menganut agama Katholik dan agama Protestan, seperti Maluku,
Sulawesi Utara, Tapanuli, NTT, dan sedikit di daerah pedalaman
Kalimantan, serta di daerah-daerah perkotaan hampir di seluruh wilayah
Indonesia.</div>
<div style="text-align: justify;">
Melihat struktur politik seperti
diuraikan di atas, dapat dimengerti bahwa konflik-konflik di antara
partai-partai politik di masa silam itu lebih merupakan konflik di
antara kelompok-kelompok atau golongan-golongan sosial-kultural
berdasarkan perbedaan sukubangsa, agama, daerah, dan stratifikasi
sosial, walau sebenarnya tidak sesederhana ini. Konflik-konflik partai
politik jauh lebih kompleks dari sekedar bersumber pada
perbedaan-perbedaan di atas.</div>
<div style="text-align: justify;">
Gambaran yang diberikan oleh Herberth Feith berikut barangkali lebih dapat menjelaskan.</div>
<div style="text-align: justify;">
Feith menjelaskan bahwa konflik-konflik
politik di Indonesia lebih merupakan konflik ideologis yang bersumber
dari ketegangan-ketegangan yang terjadi antara (1) pandangan-pandangan
(ideologi) tradisional (tradisi Hindu-Jawa dan Islam) di satu pihak, dan
(2) pandangan-pandangan (ideologi) modern di lain pihak, yang
perwujudannya adalah konflik ideologis di antara lima aliran pemikiran
politik yang ada, yaitu:</div>
<ol>
<li>Nasionalisme Radikal</li>
<li>Tradisionalisme Jawa</li>
<li>Islam</li>
<li>Sosialisme Demokrat, dan</li>
<li>Komunisme</li>
</ol>
dan aliran-aliran tersebut dalam batas-batas tertentu berasosiasi
dengan perbedaan-perbedaan sukubangsa, agama, daerah, dan kelas sosial.<br />
<div style="text-align: justify;">
Pola kepartaian sebagaimana digambarkan
di atas tentu saja telah mengalami perubahan-perubahan. Dibubarkannya
Masyumi, PSI, dan PKI, serta terjadinya fusi partai-partai Islam menjadi
faktor penting perubahan-perubahan itu. Namun, dasar-dasar pemikiran
politik yang bersumber pada perbedaan-perbedaan sukubangsa, agama,
daerah, dan kelas sosial, juga aliran-aliran politik, masih tetap
terbaca pada struktur kepartaian dewasa ini.</div>
<div style="text-align: justify;">
Catatan penulis:</div>
<div style="text-align: justify;">
<i>Warna dasar kehidupan politik
Indonesia yang menurut Geertz lebih merupakan representasi dari tiga
varian dalam masyarakat, yaitu (1) Santri, (2) Priyayi, dan (3) Abangan,
masih tetap relevan pada masa sekarang ini. Reformasi politik di masa
presiden Soeharto (1973) di mana partai-partai politik yang ada ketika
itu disederhanakan menjadi hanya tiga partai saja (Golkar, Partai
Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI)),
seolah-olah justru mengukuhkan kehidupan politik aliran, di mana Golkar
identik dengan golongan priyayi, PPP identik dengan golongan santri, dan
PDI identik dengan kaum abangan.</i></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Struktur Masyarakat Indonesia dan Masalah Integrasi Nasional</b></div>
<div style="text-align: justify;">
Pluralitas masyarakat yang bersifat
multidimensional itu akan dan telah menimbulkan persoalan-persoalan
tentang bagaimana masyarakat Indonesia terintegrasi secara horizontal
maupun vertikal pada tingkat nasional.</div>
<div style="text-align: justify;">
Apabila mengikuti pandangan para penganut
teori fungsionalisme-struktural, sistem sosial senantiasa terintegrasi
di atas landasan dua hal, yaitu: (1) konsensus di antara sebagian besar
anggota masyarakat akan nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat
fundamental, dan (2) anggota-anggota masyarakat sekaligus menjadi
anggota dari berbagai kesatuan sosial (<i>cross-cutting affiliation</i>), sehingga tumbuh <i>cross-cutting loyalities</i>,
loyalitas yang silang-menyilang dari para anggota masyarakat terhadap
kelompok-kelompok atau satuan-satuan sosial di mana mereka menjadi
anggotanya.</div>
<div style="text-align: justify;">
Ketika hal ini diterapkan di suatu
masyarakat majemuk akan berhadapan dengan rendahnya kemampuan
elemen-elemen dalam masyarakat majemuk membangun konsensus tentang
nilai-nilai dasar sebagaimana dikemukakan oleh van den Berghe.
Segmentasi ke dalam bentuk satuan-satuan sosial yang masing-masing
terikat oleh ikatan-ikatan yang sifatnya primordial, mudah sekali
menimbulkan konflik-konflik yang terjadi baik pada tingkat ideologis
maupun politis.</div>
<div style="text-align: justify;">
Pada tingkat ideologis, konflik tersebut
terwujud di dalam bentuk konflik antara sistem nilai yang dianut oleh
(serta menjadi ideologi) satuan-satuan sosial. Pada tingkat politik,
konflik-konflik di antara elemen-elemen dalam masyarakat majemuk terjadi
dalam bentuk pertentangan dalam pembagian kekuasaan dan sumber-sumber
ekonomi. Dalam situasi konflik, sadar atau tidak setiap pihak yang
berselisih akan berusaha mengabadikan diri dengan cara memperkokoh
solidaritas ke dalam di antara sesama anggotanya dengan cara memperkokoh
solidaritas ke dalam, membentuk organisasi-organisasi kemasyarakatan
untuk keperluan kesejahteraan dan pertahanan bersama: mendirikan
sekolah-sekolah untuk memperkuat identitas kultural, bersaing di dalam
bidang pendidikan, sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya.</div>
<div style="text-align: justify;">
Mengikuti pandangan Parsons, kelangsungan
hidup masyarakat Indonesia tidak saja menuntut tumbuhnya nilai-nilai
umum tertentu yang disepakati bersama oleh sebagian besar orang-orang
Indonesia, akan tetapi lebih dari itu, nilai-nilai umum tersebut harus
pula dihayati benar melalui proses sosialisasi dan internalisasi.</div>
<div style="text-align: justify;">
Pada derajat tertentu, pengakuan
bertumpah darah satu, berkebangsaan satu, dan berbahasa satu, yang
tumbuh sebagai hasil gerakan nasionalisme pada permulaan abad ke-20 yang
berjiwa anti-kolonialisme itu, merupakan konsensus nasional yang
memiliki daya tiada terkira di dalam mengintegrasikan masyarakat
Indonesia sampai pada saat ini.</div>
<div style="text-align: justify;">
Pandangan para penganut pendekatan konflik, bahwa masyarakat majemuk dapat terintegrasi di atas paksaan (<i>coercion</i>)
dari suatu kelompok-kelompok atau kesatuan sosial yang dominan,
memperoleh kebenaran paling tidak pada masyarakat Indonesia di zaman
kolonial, di mana terdapat sejumlah kecil orang-orang kulit putih dengan
kekuasaan politik, militer, dan ekonominya yang mampu menguasai
sejumlah besar orang yang terpisah-pisah secara etnis, ekonomi, politik,
ideologis, maupun budaya ke dalam satuan-satuan sosial yang banyak
sekali jumlahnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Konsensus atau paksaan?</b></div>
<div style="text-align: justify;">
Mengikuti pemikiran R. William Lidle,
konsensus nasional merupakan prasyarat bagi tumbuhnya integrasi
nasional, karena integrasi nasional yang tangguh hanya dapat berkembang
apabila, (1) sebagian besar anggota masyarakat sepakat tentang
batas-batas<b> teritorial </b>kehidupan politik dalam mana
mereka menjadi warganya, dan (2) sebagian besar warga masyarakat sepakat
tentang struktur pemerintahan dan aturan-aturan dari proses-proses
politik yang berlaku bagi seluruh masyarakat di wialayah teritorial
tersebut.</div>
<div style="text-align: justify;">
Dengan kata lain, integrasi nasional
hanya dapat tumbuh di atas konsensus mengenai batas-batas suatu
masyarakat politik dan sistem politik yang berlaku bagi seluruh
masyarakat tersebut; yang pertama: kesadaran sebagai warga sebuah bangsa
dan yang kedua konsensus mengenai bagaimana suatu kehidupan bangsa
diselenggarakan, termasuk sistem nilai yang mendasari hubungan-hubungan
sosial di antara para anggota suatu bangsa.</div>
<div style="text-align: justify;">
Pancasila sebagai dasar dan falsafah atau
ideologi negara dalam tataran yang sangat umum dapat dinyatakan sebagai
kesepakatan nasional tentang nilai-nilai yang bersifat dasar. Kemudian,
perundang-undangan yang lahir dari sistem politik yang ada, dapat
dikatakan sebagai kesepakatan menganai bagaimana kehidupan bangsa ini
diselenggarakan.</div>
<div style="text-align: justify;">
Walaupun demikian, seperti berulang
disampaikan, pembahasan tentang bagaimana masyarakat majemuk
terintegrasi dalam tingkat nasional tidak dapat dilihat dari sudut
pandang teori struktural fungsional. Sifat majemuk masyarakat Indonesia
memang telah menjadi sebab dan kondisi bagi timbulnya konflik-konflik
sosial yang sedikit banyak bersifat <i>vicious circle</i>, dan yang oleh karenanya mendorong tumbuhnya proses integrasi sosial di atas landasan <i>coercion</i>.</div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Bentuk struktur sosial dan integrasi nasional</b></div>
<div style="text-align: justify;">
Sesudah revolusi kemerdekaan, konflik di
antara golongan-golongan di dalam masyarakat Indonesia berubah menjadi
tidak bersifat eksklusif lagi. Perbedaan sukubangsa, yang pada masa
penjajahan lebih merupakan perbedaan ras, tidak lagi jatuh berhimpitan
dengan perbedaan-perbedaan agama, daerah, dan pelapisan sosial.
Perbedaan antara sukubangsa Jawa dan luar Jawa tidaklah dengan
sendirinya merupakan perbedaan antara golongan Islam Santri, golongan
Abangan, dan golongan Kristen. Mereka yang berasal dari
sukubangsa-sukubangsa berbeda-beda dapat bersama-sama menjadi anggota
dari suatu golongan agama yang sama, demikian juga sebaliknya. Struktur
demikian, menurut Peter M. Blau disebut struktur sosial yang mengalami
interseksi (<i>intersection social structure</i>), yang fungsinya
positif atau mendukung terciptanya integrasi sosial. Berbeda dengan
struktur sosial yang berhimpitan yang disebut <i>consolidated social structure</i> (struktur sosial terkonsolidasi) yang menghambat terciptanya integrasi sosial.</div>
<div style="text-align: justify;">
Catatan penulis:</div>
<div style="text-align: justify;">
Secara sosiologis, terdapat dua
pendekatan untuk menjawab persoalan integrasi sosial/nasional dalam
masyarakat majemuk, yaitu (1) ada tidaknya konsensus yang lebih
menekankan pada dimensi budaya (teori struktural fungsional), dan (2)
ada-tidaknya ketergantungan di antara kelompok-kelompok yang ada, atau
ada-tidaknya kelompok dominan. Pandangan yang kedua ini lebih menekankan
dimensi struktural (teori struktural konflik).</div>
<div style="text-align: justify;">
Menurut pendekatan konsensus (teori
struktural fungsional) integrasi dapat dicapai melalui suatu kesepakatan
tentang nilai dasar, atau semacam <i>common platform </i>di antafra
kelompok-kelompok atau satuan-satuan sosial yang ada; sedangkan menurut
pendekatan konflik, integrasi hanya dapat dicapai melalui dominasi satu
kelompok atas lainnya, atau adanya saling ketergantungan di antara
kelompok-kelompok yang ada.</div>
<div style="text-align: justify;">
Terciptanya integrasi sosial/nasional
dalam masyarakat majemuk dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain:
(1) struktur sosialnya, apakah mengalami interseksi atau
konsolidasi, (2) faham atau ideologi, yang berkembang dalam masyarakat
apakah ethnosentrisme, primordialisme, aliran, sektarianisme, dan
lain-lain, ataukah faham relativisme kebudayaan, (3) apakah dapat
berlangsung koalisi lintas-etnis/kelompok, (4) apakah dapat membangun
konsensus tentang nilai dasar, (5) apakah berlangsung proses-proses
menuju akulturasi budaya majemuk, (6) adakah dalam masyarakat tersebut
kelompok dominan, atau (7) apakah di antara kelompok-kelompok yang ada
terdapat saling ketergantungan, terutama di bidang ekonomi.</div>
<div style="text-align: justify;">
Struktur sosial yang bersifat
intersected, berkembangnya faham relativisme kebudayaan, koalisi
lintas-etnis, konsensus tentang nilai dasar, akulturasi budaya majemuk,
dan adanya kelompok dominan merupakan faktor-faktor yang mendorong
berlangsungnya integrasi sosial dalam masyarakat majemuk.</div>
<div style="text-align: justify;">
Sumber:</div>
<div style="text-align: justify;">
Nasikun. 1984. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT Grafiti Pers.</div>
<div style="text-align: justify;">
Nasikun. 1990. Masyarakat Majemuk dabn
Dinamika Integrasi Nasional. Suatu Tinjauan Sosiologis. Makalah
disampaikan pada Seminar Pluralitas, Kesenjangan Sosial, dan Integrasi
Nasional dalam rangka HUT KNPI ke17, 23 Juli 1990 di Surabaya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Source: <a href="http://www.agsasman3yk.wordpress.com/" target="_blank">Klik Disini </a></div>Muhammad Zamronihttp://www.blogger.com/profile/10110306643251368312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7866388757807007826.post-38918461626082808312012-02-13T20:30:00.001+07:002012-02-13T22:06:55.597+07:00Pembelajaran Sosiologi dan MultikulturalismeSalah satu <i>hidden</i> kurikulum
pembelajaran sosiologi adalah pemahaman para siswa mengenai keadaan riel
masyarakat kita yang bersifat multikultural. Secara spesifik, materi
tentang multikulturalisme diajarkan di SMA Kelas XI Program IPS,
walaupun secara kontekstual telah dibelajarkan sejak SD dan SMP melalui
pembelajaran IPS. Masalahnya adalah, walaupun hal tersebut telah
dibelajarkan kepada murid-murid sejak SD sampai dengan SMA, tetapi
penghayatan tentang multikulturalisme oleh masyarakat masih merupakan
masalah. Hubungan di antara kelompok-kelompok etnis, sosial, politik,
maupun kebudayaan dalam masyarakat kita masih sering diwarnai dengan
persoalan <i>stereotype</i>, ethnosentrisme, dan bahkan
primordialisme. Dalam masyarakat masih dapat disaksikan adanya
orang-orang dari suatu kelompok etnik, sosial, politik, agama, dan
lain-lain yang masih enggan berinteraksi dengan orang-orang dari
kelompok lain, bahkan berpandangan bahwa eksistensi kelompok lain
merupakan suatu gangguan, sehingga ketiadaan kelompok lain merupakan
harapan. Demikian juga konflik-konflik yang dilatarbelakangi oleh
perbedaan kepentingan-kepentingan politik, agama, ataupun aliran.<span id="more-873"></span>
<br />
<div style="text-align: justify;">
<b>Apakah Multikulturalisme?</b></div>
<div style="text-align: justify;">
Multikulturalisme berasal dari dua kata <i>multi</i> (banyak/beragam) dan <i>cultural</i>
(budaya atau kebudayaan), yang secara etimologi berarti keberagaman
budaya. Budaya yang mesti dipahami, adalah bukan budaya dalam arti
sempit, melainkan mesti dipahami sebagai semua dialektika manusia
terhadap kehidupannya. Dialektika ini akan melahirkan banyak wajah,
seperti sejarah, pemikiran, budaya verbal, bahasa, seni, dan lain-lain.</div>
<div style="text-align: justify;">
Multikulturalisme adalah sebuah filosofi
terkadang ditafsirkan sebagai ideologi yang menghendaki adanya persatuan
dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial politik
yang sama dalam masyarakat modern. Istilah multikultural juga sering
digunakan untuk menggambarkan kesatuan berbagai etnis masyarakat yang
berbeda dalam suatu negara.</div>
<div style="text-align: justify;">
Konsep tentang mutikulturalisme, sebagaimana konsep ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan yang tidak bebas nilai (<i>value free</i>),
tidak luput dari pengayaan maupun penyesuaian ketika dikaji untuk
diterapkan. Demikian pula ketika konsep ini masuk ke Indonesia, yang
dikenal dengan sosok keberagamannya. Muncul konsep multikulturalisme
yang dikaitkan dengan agama, yakni ”multikulturalisme religius” yang
menekankan tidak terpisahnya agama dari negara, tidak mentolerir adanya
paham, budaya, dan orang-orang yang atheis (Harahap, 2008). Dalam
konteks ini, multukulturalisme dipandangnya sebagai pengayaan terhadap
konsep kerukunan umat beragama yang dikembangkan secara nasional.</div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Multikulturalisme dan integrasi nasional<br />
</b></div>
<div style="text-align: justify;">
Semangat multikulturalisme menjadikan
pemikiran bahwa integrasi nasional harus dibangun berdasarkan politik
kebudayaan seragam dianggap tidak lagi relevan, dan tidak sesuai lagi
dengan kondisi dan semangat demokrasi global yang juga meningkat sejalan
dengan reformasi tersebut. Desentralisasi kekuasaan dalam bentuk
otonomi daerah semenjak 1999 adalah jawaban bagi tuntutan demokrasi
tersebut. Namun, desentralisasi sebagai keputusan politik nasional
ternyata kemudian disadari tidak begitu produktif apabila dilihat dari
kacamata integrasi nasional suatu bangsa besar yang isinya luar biasa
beraneka ragam suku bangsa, agama, kondisi geografi, kemampuan ekonomi,
dan bahkan ras.</div>
<div style="text-align: justify;">
Di masa lalu, memang kekuatan pengikat
keanekaragaman itu adalah politik sentralisasi yang berpusat pada
kekuasaan pemerintah yang otoritarian. Namun, seiring dengan lajunya
demokratisasi cara demikian tidaklah sesuai lagi, kecuali akan
menjadikan konflik-konflik di negeri yang memang majemuk ini tak kunjung
selesai.</div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Model</b><b> multikulturalisme</b></div>
<div style="text-align: justify;">
Mengikuti Bikhu Parekh (2001) dalam <b>Rethinking Multiculturalism</b>
[Harvard University Press], bahwa istilah multikulturalisme mengandung
tiga komponen, yakni (1) terkait dengan kebudayaan, (2) konsep ini
merujuk kepada pluralitas kebudayaan, dan (3) cara tertentu untuk
merespons pluralitas itu.</div>
<div style="text-align: justify;">
Oleh karena itu, multikulturalisme
bukanlah doktrin politik pragmatik, melainkan sebagai cara pandang
kehidupan manusia. Yang masih menjadi pertanyaan besar adalah, model
kebijakan multikultural seperti apa yang dapat dikembangkan oleh suatu
negara seperti Indonesia?</div>
<div style="text-align: justify;">
Kita mengenal paling tidak tiga model
kebijakan multikultural negara untuk menghadapi persoalan di atas.
Pertama, model yang mengedepankan nasionalitas. Nasionalitas adalah
sosok baru yang dibangun bersama tanpa memperhatikan aneka ragam suku
bangsa, agama, dan bahasa, dan nasionalitas bekerja sebagai perekat
integrasi. Dalam kebijakan ini setiap orang—bukan kolektif—berhak untuk
dilindungi negara sebagai warga negara.</div>
<div style="text-align: justify;">
Model ini dipandang sebagai penghancur
akar kebudayaan etnik yang menjadi dasar pembentukan negara dan
menjadikannya sebagai masa lampau saja. Model kebijakan multikultural
ini dikhawatirkan terjerumus ke dalam kekuasaan otoritarian karena
kekuasaan untuk menentukan unsur-unsur integrasi nasional berada di
tangan suatu kelompok elite tertentu.</div>
<div style="text-align: justify;">
Kedua, model nasionalitas-etnik yang
berdasarkan kesadaran kolektif etnik yang kuat yang landasannya adalah
hubungan darah dan kekerabatan dengan para pendiri nasional (founders).
Selain itu, kesatuan bahasa juga merupakan ciri nasional-etnik ini.
Model ini dianggap sebagai model tertutup karena orang luar yang tidak
memiliki sangkut paut hubungan darah dengan etnis pendiri nasional akan
tersingkir dan diperlakukan sebagai orang asing.</div>
<div style="text-align: justify;">
Ketiga, model multikultural-etnik yang
mengakui eksistensi dan hak-hak warga etnik secara kolektif. Dalam model
ini, keanekaragaman menjadi realitas yang harus diakui dan diakomodasi
negara, dan identitas dan asal-usul warga negara diperhatikan. Isu-isu
yang muncul karena penerapan kebijakan ini tidak hanya keanekaragaman
kolektif dan etnik, tetapi juga isu mayoritas-minoritas, dominan-tidak
dominan. Persoalannya menjadi lebih kompleks lagi karena ternyata
mayoritas tidak selalu berarti dominan, karena berbagai kasus
menunjukkan bahwa minoritas justru dominan dalam ekonomi.</div>
<div style="text-align: justify;">
Jika kekuasaan negara lemah karena
prioritas kekuasaan dilimpahkan ke aneka ragam kolektif sebagai
konsekuensi pengakuan negara, negara mungkin diramaikan konflik-konflik
internal berkepanjangan yang pada gilirannya akan melemahkan negara itu
sendiri.</div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Pembelajaran Sosiologi, multikulturalisme, dan integrasi nasional<br />
</b></div>
<div style="text-align: justify;">
Pembelajaran sosiologi di sekolah-sekolah
diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran di kalangan siswa akan adanya
keberagaman kebudayaan di antara kelompok-kelompok etnis, sosial,
ekonomi, politik, maupun kebudayaan, dan dapat meresponnya dengan
penghormatan satu terhadap lainnya. Pemahaman bahwa orang-orang yang
berasal dari bermacam-macam kelompok yang saling berbeda itu berhak
untuk hidup bersanding dan mendapatkan hak-haknya, diharapkan akan
meniadakan konflik-konflik baik yang bersifat ideologis maupun politis.</div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Bagaimana pembelajaran sosiologi akan menumbuhkan pemahaman itu?</b></div>
<div style="text-align: justify;">
Kajian sosiologi yang ruang lingkupnya
meliputi: (1) struktur sosial, (2) proses sosial, dan (3)
perubahan-perubahan sosial, sangat memadai untuk memberikan pemahaman
kepada siswa mengenai multikulturalisme. Melalui pembelajaran tentang
struktur sosial, diharapkan siswa dapat memahami bahwa masyarakat secara
vertikal akan terdiri atas berbagai kelas sosial, yang secara sederhana
meliputi kelas atas, kelas menengah, dan kelas bawah, baik didasarkan
pada kriteria-kriteria politik, ekonomi, maupun sosial. Sedangkan secara
horizontal, masyarakat terdiri atas berbagai kelompok atau golongan
yang didasarkan pada kesukubangsaan (etnisitas), agama, ras, maupun
aliran, yang dalam istilah sehari-hari dikenal sebagai SARA. Secara
lebih lanjut, siswa memahami bahwa di antara kelompok-kelompok dan
kelas-kelas sosial tersibut masing-masing memiliki sistem struktur
kelembagaan, nilai dan cara hidup (cara berfikir, cara berperasaan, dan
cara bertindak) yang dapat berbeda satu dengan lainnya, sehingga dalam
masyarakat ada kecenderungan terjadinya pengelompokan warga masyarakat
berdasarkan paramater-parameter tersebut yang bersifat masif, sehingga
nyaris merupakan penggumpalan atau segmentasi. Keadaan yang demikian
menimbulkan persoalan tentang interaksi di antara para warga kelompok
atau kelas tersebut, baik secara kelompok maupun perorangan.
Permasalahan-permasalahan yang muncul dari interaksi di antara kelompok
dan kelas-kelas sosial ini dapat menjadi kajian diskusi kelompok atau
pun kelas, sehingga secara langsung maupun tidak langsung dapat
menimbulkan kesadaran tentang perilaku-perilaku yang semestinya
berkembang di antara para warga masyarakat sehingga tidak menimbulkan
konflik-konflik yang dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan kelas atau
kelompok baik etnis, sosial, ekonomi, maupun kebudayaan.</div>
<div style="text-align: justify;">
Kemudian melalui pembelajaran tentang
proses sosial, para peserta didik tingkat SMA/MA dapat memahami tentang
adanya berbagai macam bentuk hubungan timbal-balik di antara unsur-unsur
sosial yang pokok, khususnya interaksi sosial, yaitu hubungan
timbal-balik yang dinamik dan saling mempengaruhi di antara orang-orang
dalam masyarakat, baik secara individu maupun kelompok, yang secara
garis besar meliputi dua macam proses, yaitu asosiatif (yang terdiri
atas kerjasama, akomodasi, dan asimilasi) dan disosiatif (yang terdiri
atas konflik, persaingan, dan kontravensi).</div>
<div style="text-align: justify;">
Bentuk mana yang akan terjadi ketika
suatu interaksi sosial berlangsung, akan sangat dipengruhi oleh
faktor-faktor yang mendasari atau mempengaruhinya, seperti imitasi,
identifikasi, sugesti, dan simpati.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Source: <a href="http://www.agsasman3yk.wordpress.com/" target="_blank">Klik Dsini </a></div>Muhammad Zamronihttp://www.blogger.com/profile/10110306643251368312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7866388757807007826.post-78109734166854120142012-02-13T20:24:00.001+07:002012-02-13T22:07:23.028+07:00Konsep Dasar Sosiologi (Pengantar)<b>Definisi Sosiologi</b><br />
<b> </b><br />
<b>a. </b><b>Berdasarkan etimologi (kebahasaan/asal kata)</b><br />
Secara kebahasaan nama sosiologi berasal dari kata <i>socious</i>, yang artinya ”kawan” atau ”teman” dan <i>logos</i>,
yang artinya ”kata”, ”berbicara”, atau ”ilmu”. Sosiologi berarti
berbicara atau ilmu tentang kawan. Dalam hal ini, kawan memiliki arti
yang luas, tidak seperti dalam pengertian sehari-hari, yang mana kawan
hanya digunakan untuk menunjuk hubungan di anatra dua orang atau lebih
yang berusaha atau bekerja bersama. Kawan dalam pengertian ini merupakan
hubungan antar-manusia, baik secara individu maupun kelompok, yang
meliputi seluruh macam hubungan, baik yang mendekatkan maupun yang
menjauhkan, baik yang menuju kerpada bentuk kerjasama maupun yang menunu
kepada permusuhan.<span id="more-5"></span><br />
Jadi, sosiologi adalah ilmu tentang berbagai hubungan antar-manusia
yang terjadi di dalam masyarakat. Hubungan antar-manusia dalam
masyarakat disebut hubungan sosial.<br />
<b>b. </b><b> Definisi menurut para ahli sosiologi</b><br />
Secara umum sosiologi dapat diberi batasan sebagai studi tentang kehidupan sosial manusia, kelompok dan masyarakat.<br />
Berikut dikemukakan definisi sosiologi dari beberapa ahli sosiologi.<br />
<ul>
<li><b>Van der Zanden</b> memberikan batasan bahwa sosiologi merupakan studi ilmiah tentang interaksi antar-manusia.<b> </b></li>
<li><b>Roucek</b> dan <b>Warren</b> mendefinisikan sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari hubungan antar-manusia dalam kelompok.<b> </b></li>
<li><b>Pitirim A. Sorokin</b> menyatakan bahwa sosiologi
adalah ilmu yang mempelajari: (1) hubungan dan pengaruh timbal-balik
antara aneka macam gejala sosial, misalnya gejala ekonomi dengan agama,
keluarga dengan moral, hukum dengan ekonomi, gerak masyarakat dengan
politik, dan sebagainya, (2) hubungan dan pengaruh timbal-balik antara
gejala sosial dengan gejala nonsosial, misalnya pengaruh iklim terhadap
watak manusia, pengaruh kesuburan tanah terhadap pola migrasi, dan
sebagainya, dan (3) ciri-ciri umum dari semua jenis gejala sosial yang
terjadi dalam masyarakat<b> </b></li>
<li><b>Selo Soemardjan</b> dan <b>Soelaiman Soemardi</b>
dalam bukunya yang berjudul Setangkai Bunga Sosiologi menyatakan bahwa
sosiologi atau ilmu masyarakat ialah ilmu yang mempelajari struktur
sosial dan proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial. <b> </b></li>
</ul>
Struktur sosial merupakan jalinan atau konfigurasi unsur-unsur sosial
yang pokok dalam masyarakat, seperti: kelompok-kelompok sosial,
kelas-kelas sosial, kekuasaan dan wewenang, lembaga-lembaga sosial
maupun nilai dan norma sosial. Proses sosial merupakan hubungan
timbal-balik di antara unsur-unsur atau bidang-bidang kehidupan dalam
masyarakat melalui interaksi antar-warga masyarakat dan
kelompok-kelompok. Sedangkan perubahan sosial meliputi
perubahan-perubahan yang terjadi pada struktur sosial dan proses-proses
sosial.<b> </b><br />
<b> </b><br />
<b>2. </b><b>Sejarah dan Perkembangan Sosiologi</b><br />
<b> </b><br />
<b>a. </b><b>Sejarah kelahiran sosiologi</b><br />
Sebagai ilmu, sosiologi masih cukup muda, bahkan paling muda di
antara ilmu-ilmu sosial yang lain. Tokoh yang sering dianggap sebagai
Bapak Sosiologi adalah <b>Auguste Comte</b>, seorang ahli
filsafat dari Perancis yang lahir pada tahun 1798 dan meninggal pada
tahun 1853. Auguste Comte mencetuskan pertama kali nama <b>sociology</b> dalam bukunya yang berjudul <b>Positive Philoshopy</b>
yang terbit pada tahun 1938. Pada waktu itu Comte menganggap bahwa
semua penelitian tentang masyarakat telah mencapai tahap terakhir, yakni
tahap ilmiah, oleh karenanya ia menyarankan semua penelitian tentang
masyarakat ditingkatkan menjadi ilmu yang berdiri sendiri, lepas dari
filsafat yang merupakan induknya. Pandangan Comte yang dianggap baru
pada waktu itu adalah bahwa sosiologi harus didasarkan pada observasi
dan klasifikasi yang sistematis, dan bukan pada kekuasaan serta
spekulasi.<br />
Di samping mengemukakan istilah sosiologi untuk ilmu baru yang
berasal dari filsafat masyarakat ini, Comte juga merupakan orang pertama
yang membedakan antara ruang lingkup dan isi sosiologi dari ilmu-ilmu
lainnya.<br />
Menurut Comte ada tiga tahap perkembangan intelektual, yang masing-masing merupakan perkembangan dari tahap sebelumnya. Tahap <i>pertama</i> dinamakan tahap theologis, <i>kedua </i>adalah tahap metafisik, dan <i>ketiga</i>
adalah tahap positif. Pada tahap pertama manusia menafsirkan
gejala-gelajala di sekelilingnya secara teologis, yaitu dengan kekuatan
adikodrati yang dikendalikan oleh roh, dewa, atau Tuhan yang Maha
Kuasa. Pada tahap kedua manusia mengacu pada hal-hal metafisik atau
abstrak, pada tahap ketiga manusia menjelaskan fenomena-fenomena ataupun
gejala-gejala dengan menggunakan metode ilmiah, atau didasarkan pada
hukum-hukum ilmiah. Di sinilah sosiologi sebagai penjelasan ilmiah
mengenai masyarakat.<br />
Dalam sistematika Comte, sosiologi terdiri atas dua bagian besar,
yaitu: (1) sosiologi statik, dan (2) sosiologi dinamik. Sosiologi statik
diibaratkan dengan anatomi sosial/masyarakat, sedangkan sosiologi
dinamik berbicara tentang perubahan-perubahan yang terjadi dalam
masyarakat.<br />
<b>b. </b><b>Perkembangan Sosiologi setelah Comte</b><br />
Istilah sosiologi menjadi lebih populer setelah setengah abad
kemudian berkat jasa dari Herbert Spencer, ilmuwan Inggris, yang menulis
buku berjudul <b><i>Principles of Sociology</i></b> (1876), yang mengulas tentang sistematika penelitian masyarakat.<br />
Perkembangan sosiologi semakin mantap, setelah pada tahun 1895
seorang ilmuwan Perancis bernama Emmile Durkheim menerbitkan bukunya
yang berjudul <b><i>Rules of Sociological Method</i>.</b>
Dalam buku yang melambungkan namanya itu, Durkheim menguraikan tentang
pentingnya metodologi ilmiah dan teknik pengukuran kuantitatif di dalam
sosiologi untuk meneliti fakta sosial. Misalnya dalam kasus bunuh diri (<i>suicide</i>).
Angka bunuh diri dalam masyarakat yang cenderung konstan dari tahun ke
tahun, dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari luar individu. Dalam
suatu jenis bunuh diri yang dinamakan <b><i>altruistic suicide</i></b>
disebabkan oleh derajat integrasi sosial yang sangat kuat. Misalnya
dalam satuan militer, dapat saja seorang anggota mengorbankan dirinya
sendiri demi keselematan satuannya. Sebaliknya, dalam masyarakat yang
derajat integrasi sosialnya rendah, akan mengakibatkan terjadinya bunuh
diri egoistik (<b><i>egoistic suicide</i></b>). Derajat
integrasi sosial yang rendah dapat disebabkan oleh lemahnya ikatan agama
ataupun keluarga. Seseorang dapat saja melakukan bunuh diri karena
tidak tahan menderita penyakit yang tidak kunjung sembuh, di lain sisi
ia merasa tidak mempunyai ikatan apapun dengan anggota keluarga atau
masyarakat yang lain. Pada masyarakat yang dilanda kekacauan,
anggota-anggota masyarakat yang merasa bingung karena tidak adanya
norma-norma yang dapat dijadikan pedoman untuk mencapai
kebutuhan-kebutuhan hidupnya, dapat saja melakukan bunuh diri jenis
anomie (<b><i>anomic suicide</i></b>). Berbagai macam jenis
bunuh diri ini, oleh Durkheim dinyatakan sebagai peristiwa yang terjadi
bukan karena faktor-faktor internal individu, melainkan dari pengaruh
faktor-faktor eksternal individu, yang disebut fakta sosial..<br />
Banyak pihak kemudian mengakui bahwa Durkheim sebagai ”<b>Bapak Metodologi Sosiologi</b>”.
Durkheim bukan saja mampu melambungkan perkembangan sosiologi di
Perancis, tetapi bahkan berhasil mempertegas eksistensi sosiologi
sebagai bagian dari ilmu pengetahuan ilimiah (sains) yang terukur, dapat
diuji, dan objektif.<br />
Menurut Durkheim, tugas sosiologi adalah mempelajari apa yang disebut
fakta sosial. Fakta sosial adalah cara-cara bertindak, berfikir, dan
berperasaan yang berasal dari luar individu, tetapi memiliki kekuatan
memaksa dan mengendalikan individu. Fakta sosial dapat berupa kultur,
agama, atau isntitusi sosial.<br />
Perintis sosiologi yang lain adalah <b>Max Weber</b>.
Pendekatan yang digunakan Weber berbeda dari Durkheim yang lebih
menekankan pada penggunaan metodologi dan teknik-teknik pengukuran
kuantitatif dari pengaruh faktor-faktor eksternal individu. Wever lebih
menekankan pada pemahaman di tingkat makna dan mencoba mencari
penjelasan pada faktor-faktor internal individu. Misalnya tentang
tindakan sosial. Tindakan sosial merupakan perilaku individu yang
diorientasikan kepada pihak lain, tetapi bermakna subjektif bagi aktor
atau pelakunya. Makna sebenarnya dari suatu tindakan hanya dimengerti
oleh pelakukunya. Tugas sosiologi adalah mencari penjelasan tentang
makna subjektif dari tindakan-tindakan sosial yang dilakukan oleh
individu.<br />
<b>3. </b><b>Karakteristik Sosiologi</b><br />
Sebagai ilmu, sosiologi memiliki sifat hakikat atau karakteristik sosiologi:<br />
<ol>
<li>Merupakan <b>ilmu sosial</b>, bukan ilmu kealaman ataupun humaniora</li>
<li>Bersifat <b>empirik-kategorik</b>, bukan normatif atau
etik; artinya sosiologi berbicara apa adanya tentang fakta sosial secara
analitis, bukan mempersoalkan baik-buruknya fakta sosial tersebut.
Bandingkan dengan pendidikan agama atau pendidikan moral.</li>
<li>Merupakan ilmu pengetahuan yang <b>bersifat umum</b>,
artinya bertujuan untuk menghasilkan pengertian dan pola-pola umum dari
interaksi antar-manusia dalam masyarakat, dan juga tentang sifat
hakikat, bentuk, isi dan struktur masyarakat.</li>
<li>Merupakan <b>ilmu pengetahuan murni</b> (<i>pure science</i>), bukan ilmu pengetahuan terapan (<i>applied science</i>)</li>
<li>Merupakan <b>ilmu pengetahuan yang abstrak</b> atau
bersifat teoritis. Dalam hal ini sosiologi selalu berusaha untuk
menyusun abstraksi dari hasil-hasil observasi. Abstraksi tersebut
merupakan kerangka dari unsur-unsur yang tersusun secara logis serta
bertujuan untuk menjelaskan hubungan sebab-akibat sehingga menjadi
teori.</li>
</ol>
<b> </b><br />
<b>4. </b><b>Kegunaan Sosiologi dan Peran Sosiolog</b><br />
Sosiologi dipelajari untuk apa? Dengan pertanyaan lain mengapa kita
belajar sosiologi? Pertanyaan-pertanyaan itu dapat dijawab dengan uraian
tentang peran sosiolog (ahli sosiologi) berikut ini.<br />
Sebenarnya di mana dan sebagai apa seorang sosiolog dapat berkiprah,
tidak mungkin dapat dibatasi oleh sebutan-sebutan dalam administrasi
okupasi (pekerjaan/mata pencaharian) resmi yang dileluarkan oleh Badan
Pusat Statistik (BPS). Di beberapa negara telah muncul pengakuan yang
kuat terhadap sumbangan dan peran sosiolog di berbagai bidang kehidupan
dan pembangunan.<br />
Horton dan Hunt (1987) menyebutkan beberapa profesi yang pada umumnya diisi oleh para sosiolog.<br />
<ol>
<li>Ahli riset, baik itu riset ilmiah (dasar) untuk perkembangan ilmu
pengetahuan ataupun riset yang diperlukan untuk kepentingan industry
(praktis)</li>
<li>Konsultan kebijakan, khususnya untuk membantu untuk memprediksi pengaruh sosial dari suatu kebijakan dan/atau pembangunan</li>
<li>Sebagai teknisi atau sosiologi klinis, yakni ikut terlibat di dalam
kegiatan perencanaan dan pelaksanaan program kegiatan dalam masyarakat</li>
<li>Sebagai pengajar/pendidik</li>
<li>Sebagai pekerja sosial (<i>social worker</i>)</li>
</ol>
Di luar profesi yang telah disebutkan oleh Horton dan Hunt tersebut,
tentu saja masih banyak profesi lain yang dapat digeluti oleh seorang
sosiolog. Banyak bukti menunjukkan, bahwa dengan kepekaan dan semangat
keilmuannya yang selalu berusaha membangkitkan sikap kritis, para
sosiologi banyak yang berkarier cemerlang di berbagai bidang yang
menuntut kreativitas, misalnya dunia jurnalistik. Di jajaran birokrasi,
para sosiolog sering berpeluang menonjol dalam karier karena
kelebihannya dalam dalam visinya atas nasib rakyat.<br />
Seiring dengan perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat,
keterlibatan para sosiolog di berbagai bidang kehidupan akan semakin
penting dan sangat diperlukan. Perubahan sosial yang terjadi dalam
masyarakat akan menuntut penyesuaian dari segenap komponen masyarakat
yang menuntut kemampuan mengantisipasi keadaan baru. Para sosiolog pada
umumnya unggul dalam hal penelitian sosial, sehingga perannya sangat
diperlukan.<br />
<br />
Source: <a href="http://www.agsasman3yk.wordpress.com/" target="_blank">Klik Disini</a>Muhammad Zamronihttp://www.blogger.com/profile/10110306643251368312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7866388757807007826.post-38628115474984610432012-02-13T20:19:00.000+07:002012-02-13T22:07:59.417+07:00Mengapa Sosiologi di SMA diajarkan?<table border="1" cellpadding="0"><tbody>
<tr><td width="698"><div align="center">
<b>APA DAN MENGAPA SOSIOLOGI?</b></div>
</td>
</tr>
<tr>
<td width="698"><b>Apakah Sosiologi?<br />
</b>Sosiologi mempunyai dua pengertian, yaitu sebagai ilmu dan
sebagai metode. Sebagai ilmu sosiologi merupakan kumpulan pengetahuan
tentang masyarakat dan kebudayaan yang disusun secara sistematik
berdasarkan analisis berpikir logis. Sebagai metode, sosiologi adalah
cara berfikir untuk mengungkapkan realitas sosial dan budaya yang ada
dalam masyarakat dengan prosedur dan teori yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah<span id="more-8"></span></td>
</tr>
<tr>
<td width="698"><b>Mengapa Sosiologi diajarkan di sekolah menengah?<br />
</b>Pengajaran sosiologi di sekolah menengah berfungsi untuk
meningkatkan kemampuan siswa mengaktualisasikan potensi-potensi diri
mereka dalam mengambil dan mengungkapkan status dan peran masing-masing
dalam kehidupan sosial dan budaya yang terus mengalami perubahan<br />
Tujuan pengajaran sosiologi di sekolah menengah mencakup dua sasaran,
yang pertama bersifat kognitif dan yang kedua bersifat praktis. Secara
kognitif pengajaran sosiologi di SMA dimaksudkan untuk memberikan
pengetahuan dasar sosiologi agar siswa mampu memahami dan menelaah
secara rasional komponen-komponen dari individu, kebudayaam dan
masyarakat sebagai suatu sistem. Sementara itu secara praktis sosiologi
dimaksudkan untuk mengembangkan ketrampilan sikap dan perilaku siswa
yang rasional dan kritis dalam menghadapi kemajemukan masyarakat,
kebudayaan, situasi sosial serta berbagai masalah yang ditemukan dalam
kehidupan sehari-hari</td>
</tr>
<tr>
<td width="698"><b>Apa yang menarik dalam Sosiologi ?<br />
</b>Pernyataan-pernyataan sosiologi terkadang mengagetkan sebagian
(besar) orang yang berpandangan bahwa semua hal memang seharusnya
demikian. Taken from granted! Apa tujuan pemerintah mendirikan sekolah?
Jawabnya bermacam-macam: Untuk mengajarkan budaya dan nilai-nilai
masyarakat kepada para pemuda, untuk menyiapkan orang-orang menuju
dunia kerja, untuk mengajari anak-anak tentang kebudayaan masyarakat di
mana seseorang tinggal, untuk menciptakan sistem kelas dan menyadarkan
orang tentang kedudukannya dalam masyarakat, untuk menciptakan tenaga
kerja terlatih, dsb., tapi jangan lupa bahwa sekolah didirikan juga
untuk: menghindari anak-anak berkeliaran di jalanan atau di
tempat-tempat permainan dan ketangkasan sebelum mereka cukup siap untuk
masuk ke dunia kerja, dan … (jangan kaget): memberikan pekerjaan kepada
banyak orang yang tidak punya ketrampilan apa pun kecuali
mengajar!Memang sedikit banyak berbeda dengan agama dan ilmu-ilmu moral,
sosiologi lebih menekankan pada gejala-gejala atau peristiwa-peristiwa
sosial yang secara nyata terjadi dalam masyarakat, sedang ilmu agama
atau moral menekankan pada bagaimana idealnya suatu peristiwa dalam
masyarakat itu terjadi. Maka, pengertian musyawarah menurut agama atau
moral dapat berbeda dengan pengertian sosiologi. Secara sosiologis
musyawarah dapat berarti keinginan atau kehendak pihak-pihak yang
berkuasa yang dengan terpaksa disepakati oleh pihak-pihak yang tidak
berkuasa! Yah, definisi ideal memang tidak selalu sejalan dengan
definisi sosial! Sumber: <a href="http://www.agsasman3yk.wordpress.com/" target="_blank">Klik Disini</a></td></tr>
</tbody></table>Muhammad Zamronihttp://www.blogger.com/profile/10110306643251368312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7866388757807007826.post-73932073662195251642012-02-13T20:08:00.001+07:002012-02-13T22:08:22.935+07:00Interaksi Sosial sebagai Dasar Pengembangan Pola Keteraturan dan Dinamika Kehidupan Sosial<b>A. </b><b>Pengertian</b><br />
Kata Interaksi berasal dari kata ”inter” yang artinya ”antar ” dan
”aksi ” yang artinya tindakan. Interaksi berarti antar-tindakan. Kata
sosial berasal dari ”socious” yang artinya teman/kawan, yaitu hubungan
antar-manusia.<span id="more-28"></span><br />
Interaksi sosial terjadi ketika ada seseorang atau kelompok orang
melakukan suatu tindakan kemudian dibalas oleh pihak lain (individu atau
kelompok) dengan perilaku/atau tindakan tertentu.<br />
Proses berlangsungnya interaksi dapat digambarkan sebagai berikut,<br />
<ol>
<li>Ada dua orang atau lebih</li>
<li>Terjadi kontak sosial (hubungan sosial)</li>
<li>Terjadi komunikasi sosial (penyampaian pesan/informasi menggunakan simbol-simbol)</li>
<li>Terjadi reaksi atas komunikasi</li>
<li>Terjadi hubungan timbal-balik yang dinamik di antara individu dan/atau kelompok dalam masyarakat</li>
</ol>
Berdasarkan proses tersebut, dapat diketahui bahwa ada dua syarat
utama terjadinya interaksi sosial, yaitu kontak dan komunikasi sosial.
Kontak adalah hubungan yang terjadi di antara dua individu/kelompok.
Kontak dapat berupa kontak fisik, misalnya dua orang bersenggolan atau
bersentuhan, dapat juga nonfisik, misalnya tatapan mata di antara dua
orang yang saling bertemu.<br />
Sedangkan komunikasi merupakan proses penyampaian pesan atau
informasi dari suatu pihak (individu atau kelompok) kepada pihak lain
(individu atau kelompok) menggunakan simbol-simbol.<br />
Simbol dalam komunikasi dapat berupa apa saja yang oleh penggunanya
diberi makna tertentu, bisa berupa kata-kata, benda, suara, warna,
gerakan anggota badan/isyarat. Sebagaimana pengertian simbol yang
dikemukakan oleh Ahli Antropologi Amerika Serikat bernama Leslie White,
dalam <i>The Evolution of Culture </i>(1959) , bahwa simbol adalah
sesuatu yang nilai atau maknanya diberikan oleh mereka yang
mempergunakannya. Nilai dan makna tersebut tidak ditentukan oleh
sifat-sifat yang secara intrinsik terdapat dalam bentuk fisiknya.<br />
Proses komunikasi dinyatakan berhasil apabila simbol-simbol yang
digunakan dipahami bersama oleh pihak-pihak yang terlibat, baik
komunikator (pihak yang menyampaikan pesan) dan komunikan (pihak yang
menerima pesan).<br />
Kontak dan komunikasi sebagai syarat utama terjadinya interaksi
sosial dapat berlangsung secara primer maupun sekunder. Kontak atau
komunikasi primer adalah yang berlangsung secara tatap muka (<i>face to face</i>),
sedangkan kontak atau komunikasi sekunder dibedakan menjadi dua macam,
yaitu langsung dan tidak langsung. Kontak/komunikasi sekunder langsung
terjadi melalui media komunikasi, seperti surat, e-mail, telepon, video
call, chating, dan semacamnya, sedangkan kontak/komunikasi sekunder
tidak langsung terjadi melalui pihak ketiga.<b> </b><br />
<b>B. </b><b>Faktor-faktor Yang Mempengaruhi</b><br />
Interaksi sosial baik yang berlangsung antara individu dengan invidu,
individu dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok, dipengaruhi
oleh faktor-faktor imitasi, identifikasi, sugesti, dan simpati.<br />
<ul>
<li><b>Imitasi</b> merupakan tindakan meniru pihak lain, dalam
hal tindakan dan penampilan, seperti cara berbicara, cara berjalan,
cara berpakaian, dan sebagainya. Seorang individu melakukan imitasi
sejak di lingkungan keluarga, teman sepermainan, ataupun teman
sesekolahan. Meskipun demikian imitasi juga dapat berlangsung melalui
media massa, misalnya televisi, radio, maupun internet.</li>
</ul>
<ul>
<li><b>Identifikasi</b> juga merupakan proses meniru, tetapi
berbeda dengan imitasi. Peniruan pada imitasi tidak diikuti dengan
pemberian makna yang dalam terhadap hal-hal yang ditiru, tetapi pada
identifikasi diikuti dengan pemberian makna. Apabila seseorang
mengidentifikasikan dirinya terhadap seseorang, maka dapat diartikan
individu tersebut sedang menjadikan dirinya seperti orang lain tersebut,
baik dalam tindakan maupun nilai-nilai, ideologi atau pandangan hidup
tokoh yang dijadikannya sebagai rujukan/acuan/reference atau panutan.</li>
</ul>
<ul>
<li><b>Sugesti</b> merupakan pengaruh yang diterima oleh
seseorang secara emosional dari pihak lain, misalnya pengaruh dari tokoh
yang kharismatik, orang pandai, seperti dukun, paranormal, dokter,
guru, tokoh yang menjadi idola, dan lain-lain . Apabila pengaruh
tersebut diterima oleh seseorang berdasarkan pertimbangan rasional, maka
disebut <b>motivasi</b>.</li>
</ul>
<ul>
<li><b>Simpati</b> merupakan kemampuan seseorang untuk
merasakan diri dalam keadaan pihak lain. Misalnya seseorang merasa
simpati kepada sahabatnya yang sedang mengalami musibah. Simpati juga
dapat diartikan sebagai ketertarikan terhadap pihak lain karena telah
menampilkan tindakan atau perilaku yang sungguh berkenan di hati.
Apabila ketertarikan atau dalam merasakan keadaan orang lain tersebut
diikuti dengan reaksi-reaksi fisiologis, misalnya meneteskan air mata,
dapat disebut sebagai <b>emphati</b>.</li>
</ul>
<b> </b><br />
<b>C. </b><b>Nilai dan Norma Sebagai Dasar Interaksi Sosial</b><br />
<b>Pengertian Nilai</b><br />
Apabila Anda dihadapkan pada dua pilihan, mana yang akan Anda pilih
karena menurut Anda lebih baik: (1) menjadi kaya meskipun harus
kehilangan nama baik, atau (2) mempertahankan nama baik meskipun harus
hidup secara <i>pas-pasan</i>?<br />
Apabila pilihan Anda hadapkan kepada teman-teman Anda, barangkali
akan mendapatkan jawaban yang berbeda-beda. Ada yang menyatakan pilihan
pertama lebih baik, tetapi ada juga yang menganggap pilihan yang kedua
lebih baik. Apa yang mendorong kita memilih salah satu di antara dua
pilihan tersebut? Itulah yang disebut dengan nilai.<br />
Apa yang dimaksud dengan nilai? Dalam Kamus Sosiologi yang disusun oleh Soerjono Soekanto disebutkan bahwa nilai (<b><i>value</i></b>) adalah konsepsi-konsepsi abstrak di dalam diri manusia, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk.<br />
<b>Prof. Notonegoro</b> membedakan nilai menjadi tiga macam, yaitu: (1) <b>Nilai material</b>, yakni meliputi berbagai konsepsi mengenai segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia, (2) <b>Nilai vital</b>,
yakni meliputi berbagai konsepsi yang berkaitan dengan segala sesuatu
yang berguna bagi manusia dalam melaksanakan berbagai aktivitas, dan (3)
<b>Nilai kerohanian</b>, yakni meliputi berbagai konsepsi
yang berkaitan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan kebutuhan
rohani manusia: nilai kebenaran, yakni yang bersumber pada akal manusia
(cipta), nilai keindahan, yakni yang bersumber pada unsur perasaan
(estetika), nilai moral, yakni yang bersumber pada unsur kehendak
(karsa), dan nilai keagamaan (religiusitas), yakni nilai yang bersumber
pada revelasi (wahyu) dari Tuhan.<br />
<b>Nilai individual – nilai sosial</b><br />
Seorang individu mungkin memiliki nilai-nilai yang berbeda, bahkan
bertentangan dengan individu-individu lain dalam masyarakatnya. Nilai
yang dianut oleh seorang individu dan berbeda dengan nilai yang dianut
oleh sebagaian besar anggota masyarakat dapat disebut sebagai nilai
individual. Sedangkan nilai-nilai yang dianut oleh sebagian besar
anggota masyarakat disebut nilai sosial.<br />
<b>Beberapa definisi</b> nilai sosial:<br />
<ul>
<li><i>Kimbbal Young </i>memberikan definisi bahwa nilai sosial adalah
asumsi abstrak dan sering tidak disadari tentang apa yang benar dan apa
yang pentinga,</li>
<li>Menurut A.<i>W. Green</i> nilai sosial adalah kesadaran yang secara relatif berlangsung disertai emosi terhadap objek,</li>
<li><i>Woods </i>memberikan definisi bahwa nilai sosial merupakan
petunjuk-petunjuk umum yang telah berlangsung lama yang mengarahkan
tingkah laku dan kepuasan dalam kehidupan sehari-hari</li>
</ul>
<b> </b><br />
<b>Ciri-ciri nilai sosial: </b><br />
<ul>
<li>Nilai sosial merupakan konstruksi abstrak dalam pikiran orang yang tercipta melalui interaksi sosial,</li>
<li>Nilai sosial bukan bawaan lahir, melainkan dipelajari melalui proses
sosialisasi, dijadikan milik diri melalui internalisasi dan akan
mempengaruhi tindakan-tindakan penganutnya dalam kehidupan sehari-hari
disadari atau tanpa disadari lagi (enkulturasi),</li>
<li>Nilai sosial memberikan kepuasan kepada penganutnya,</li>
<li>Nilai sosial bersifat relative,</li>
<li>Nilai sosial berkaitan satu dengan yang lain membentuk sistem nilai,</li>
<li>Sistem nilai bervariasi antara satu kebudayaan dengan yang lain,</li>
<li>Setiap nilai memiliki efek yang berbeda terhadap perorangan atau kelompok,</li>
<li>Nilai sosial melibatkan unsur emosi dan kejiwaan, dan</li>
<li>Nilai sosial mempengaruhi perkembangan pribadi.</li>
</ul>
<b>Fungsi nilai sosial</b>.<br />
Nilai Sosial dapat berfungsi:<br />
<ul>
<li>Sebagai faktor pendorong, hal ini berkaitan dengan nilai-nilai yang berhubungan dengan cita-cita atau harapan,</li>
<li>Sebagai petunjuk arah mengenai cara berfikir dan bertindak, panduan
menentukan pilihan, sarana untuk menimbang penghargaan sosial,
pengumpulan orang dalam suatu unit sosial,</li>
<li>Sebagai benteng perlindungan atau menjaga stabilitas budaya.</li>
</ul>
<b>Kerangka Nilai Sosial</b><br />
Antara masyarakat yang satu dengan yang lain dimungkinkan memiliki
nilai yang sama atau pun berbeda. Cobalah ingat pepatah lama dalam
Bahasa Indonesia: “Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”,
atau pepatah dalam bahasa Jawa: “<i>desa mawa cara, negara mawa tata</i>”.
Pepatah-pepatah ini menunjukkan kepada kita tentang adanya perbedaan
nilai di antara masyarakat atau kelompok yang satu dengan yang lainnya.<br />
Mengetahui sistem nilai yang dianut oleh sekelompok orang atau suatu
masyarakat tidaklah mudah, karena nilai merupakan konsep asbtrak yang
hidup di alam pikiran para warga masyarakat atau kelompok. Namun lima
kerangka nilai dari Cluckhohn yang di Indonesia banyak dipublikasikan
oleh antropolog Koentjaraningrat berikut ini dapat dijadikan acuan untuk
mengenali nilai macam apa yang dianut oleh suatu kelompok atau
masyarakat.<br />
Lima kerangka nilai yang dimaksud adalah:<br />
<ul>
<li>Tanggapan mengenai hakekat hidup (MH), variasinya: ada individu,
kelompok atau masyarakat yang memiliki pandangan bahwa “hidup itu baik”
atau “hidup itu buruk”,</li>
<li>Tanggapan mengenai hakikat karya (MK), variasinya: ada orang yang
menganggap karya itu sebagai status, tetapi ada juga yang menganggap
karya itu sebagai fungsi,</li>
<li>Tanggapan mengenai hakikat waktu(MW), variasinya: ada kelompok yang berorientasi ke masa lalu, sekarang atau masa depan,</li>
<li>Tanggapan mengenai hakikat alam (MA), Variainya: masyarakat
Industri memiliki pandangan bahwa manusia itu berada di atas alam,
sedangkan masyarakat agraris memiliki pandangan bahwa manusia merupakan
bagian dari alam. Dengan pandangannya terhadap alam tersebut,
masyarakat industri memiliki pandangan bahwa manusia harus menguasai
alam untuk kepentingan hidupnya, sedangkan masyarakat agraris berupaya
untuk selalu menyerasikan kehidupannya dengan alam,</li>
<li>Tanggapan mengenai hakikat manusia (MM), variasi: masyarakat
tradisional atau feodal memandang orang lain secara vertikal, sehingga
dalam masyarakat tradisional terdapat perbedaan harga diri (prestige)
yang tajam antara para pemimpin (bangsawan) dengan rakyat jelata.
Sedangkan masyarakat industrial memandang manusia yang satu dengan
yang lain secara horizontal (sejajar).</li>
</ul>
<b> </b><br />
<b>Pengertian Norma sosial</b><br />
Kalau nilai merupakan pandangan tentang baik-buruknya sesuatu, maka
norma merupakan ukuran yang digunakan oleh masyarakat apakah tindakan
yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang merupakan tindakan
yang wajar dan dapat diterima karena sesuai dengan harapan sebagian
besar warga masyarakat ataukah merupakan tindakan yang menyimpang karena
tidak sesuai dengan harapan sebagian besar warga masyarakat.<br />
Apa hubungannya antara nilai dengan norma? Norma dibangun di atas
nilai sosial, dan norma sosial diciptakan untuk menjaga dan
mempertahankan nilai sosial. Pelanggaran terhadap norma akan mendapatkan
sanksi dari masyarakat.<br />
<b>Berbagai macam norma dalam masyarakat</b><br />
Dilihat dari tingkat sanksi atau kekuatan mengikatnya terdapat:<br />
<ol>
<li>Tata cara atau <b><i>usage. </i></b>Tata cara (<i>usage</i>);
merupakan norma dengan sanksi yang sangat ringat terhadap pelanggarnya,
misalnya aturan memegang garpu atau sendok ketika makan, cara memegang
gelas ketika minum. Pelanggaran atas norma ini hanya dinyatakan tidak
sopan.</li>
<li>Kebiasaan (<i>folkways</i>). Kebiasaan (<i>folkways</i>);
merupakan cara-cara bertindak yang digemari oleh masyarakat sehingga
dilakukan berulang-ulang oleh banyak orang. Misalnya mengucapkan salam
ketika bertemu, membungkukkan badan sebagai tanda penghormatan kepada
orang yang lebih tua, dst.</li>
<li>Tata kelakuan (<i>mores</i>). Tata kelakuan merupakan norma yang
bersumber kepada filsafat, ajaran agama atau ideology yang dianut oleh
masyarakat. Pelanggarnya disebut jahat. Contoh: larangan berzina,
berjudi, minum minuman keras, penggunaan napza, mencuri, dst.</li>
<li>Adat (<i>customs</i>). Adat merupakan norma yang tidak tertulis namun sangat kuat mengikat, apabila adat menjadi tertulis ia menjadi hukum adat.</li>
<li>Hukum (<i>law</i>). Hukum merupakan norma berupa aturan tertulis,
ketentuan sanksi terhadap siapa saja yang melanggar dirumuskan secara
tegas. Berbeda dengan norma-norma yang lain, pelaksanaan norma hukum
didukung oleh adanya aparat, sehingga memungkinkan pelaksanaan yang
tegas.</li>
</ol>
<b>Mode atau fashion. </b><br />
Di samping lima macam norma yang telah disebutkan itu, dalam
masyarakat masih terdapat satu jenis lagi yang mengatur tentang
tindakan-tindakan yang berkaitan dengan estetika atau keindahan, seperti
pakaian, musik, arsitektur rumah, interior mobil, dan sebagainya. Norma
jenis ini disebut mode atau <i>fashion</i>. Fashion dapat berada pada tingkat usage, folkways, mores, custom, bahkan law.<br />
<b>D. </b><b>Bentuk Interaksi Sosial</b><br />
Interaksi sosial sebagai proses sosial utama mempunyai dua bentuk
pokok, yaitu (1) menjauhkan, dan (2) mendekatkan (Mark L. Knap). Ahli
sosiologi lain, membedakan antara (1) interaksi asosiatif dan (2)
disosiatif. Dua macam pembedaan ini sebenarnya tidaklah berbeda.
Interaksi asosiatif merupakan bentuk interaksi sosial yang menguatkan
ikatan sosial, jadi bersifat mendekatkan atau positif. Interaksi
disosiatif merupakan bentuk interaksi yang merusak ikatan sosial,
bersifat menjauhkan atau negatif.<br />
Interaksi sosial asosiatif, meliputi berbagai bentuk kerjasama,
akomodasi, dan asimilasi. Interaksi disosiatif meliputi bentuk-bentuk
seperti persaingan/kompetisi, pertikaian/konflik, dan kontravensi.<br />
<b>Proses-proses asosiatif</b><br />
Interaksi asosiatif bersifat menguatkan ikatan sosial, cenderung
kontinyu atau berkelanjutan. Mengapa? Karena (1) didasarkan kepada
kebutuhan yang nyata, (2) memperhitungkan efektivitas, (3) memperhatikan
efisiensi, (4) mendasarkan pada kaidah-kaidah atau nilai dan norma
sosial yang berlaku, dan (5) tidak memaksa secara fisik dan mental.<b> </b><br />
<b>1. </b><b>Kerjasama (koperasi)</b><br />
Yang dimaksud kerjasama adalah dua atau lebih orang/kelompok melakukan kerjasama untuk mencapai tujuan tertentu.<br />
Kerja sama timbul ketika orang-orang menyadari adanya kepentingan
yang sama pada saat bersamaan, dan mempunyai pengertian bahwa
kepentingan yang sama tersebut dapat lebih mudah dicapai apabila
dilakukan bersama-sama.<br />
Motivasi bekerjasama<br />
Kesadaran orang/kelompok untuk bekerjasama dapat berupa:<br />
<ul>
<li>menghadapi tantangan bersama,</li>
<li>menghadapi pekerjaan yang memerlukan tenaga massal,</li>
<li>melaksanakan upacara keagamaan,</li>
<li>menghadapi musuh bersama,</li>
<li>memperoleh keuntungan ekonomi,</li>
<li>untuk menghindari persaingan bebas, menggalang terjadinya integrasi sosial (keutuhan masyarakat).</li>
</ul>
<b>Bentuk-bentuk kerjasama</b><br />
Kerjasama di antara individu atau kelompok dalammasyarakat dapat berupa:<br />
<ul>
<li><i>bargaining</i> (pertukaran “barang” atau “jasa” di antara dua individu/kelompok),</li>
<li><i>kooptasi</i> (penerimaan unsur baru dalam kepemimpinan dan pengambilan keputusan untuk menghindari kegoncangan stabilitas kelompok), dan</li>
<li><i>koalisi</i> (penggabungan dua kelompok atau lebih yang mempunyai tujuan sama).</li>
</ul>
<b>2. </b><b>Akomodasi</b><br />
Akomodasi dapat berarti proses atau keadaan. Sebagai proses,
akomodasi merupakan upaya-upaya menghindarkan, meredakan atau mengakhiri
konflik atau pertikaian, Sebagai keadaan, akomodasi merupakan keadaan
di mana hubungan-hubungan di antara unsur-unsur sosial dalam keselarasan
dan keseimbangan, sehingga warga masyarakat dapat dengan mudah
menyesuaikan dirinya dengan harapan-harapan atau tujuan-tujuan
masyarakat.<br />
Gillin dan Gillin menyatakan bahwa akomodasi merupakan istilah yang
dipakai oleh para sosiolog untuk menggambarkan keadaan yang sama dengan
pengertian adaptasi yang digunakan oleh para ahli biologi untuk
menggambarkan proses penyesuaian mahluk hidup dengan lingkungan alam di
mana ia hidup.<br />
Tujuan akomodasi:<br />
<ul>
<li>Untuk mengurangi pertentangan antara orang-orang atau
kelompok-kelompok akibat perbedaan faham. Dalam hal ini akomodasi
diarahkan untuk memperoleh sintesa baru dari faham-faham yang berbeda.</li>
<li>Untuk mencegah meledaknya pertentangan untuk sementara waktu</li>
<li>Untuk memungkinkan dilangsungkannya kerjasama di antara
individu-individu atau kelompok-kelompok yang karena faktor psikologi
atau kebudayaan menjadi terpisah satu dari lainnya</li>
<li>Mengusahakan peleburan antara kelompok-kelompok yang sebelumnya terpisah</li>
</ul>
Bentuk-bentuk akomodasi sebagai proses menghindarkan, meredakan atau mengakhiri konflik:<br />
<ul>
<li>Kompromi (pihak yang bertikai saling mengurangi tuntutan)</li>
<li>Toleransi (saling menghargai, menghormati, membiarkan di antara pihak-pihak yang sebenarnya saling berbeda)</li>
<li>Konsiliasi (usaha yang bersifat kelembagaan untuk mempertemukan pihak-pihak yang bertikai sehingga dicapai kesepakatan bersama)</li>
<li>Koersi (keadaan tanpa konflik karena terpaksa; akibat dari
berbedanya secara tajam kedudukan atau kekuatan di antara fihak-fihak
yang berbeda, misalnya antara buruh–majikan, orangtua-anak,
pemimpin-pengikut, dan seterusnya)</li>
<li>Mediasi (penyelesaian konflik melalui pihak ketiga yang netral sebagai penasehat)</li>
<li>Arbitrasi (penyelesaian konflik melalui pihak ketiga yang berwenang untuk mengambil keputusan penyelesaian)</li>
<li><i>Stalemate</i> (perang dingin, yakni keadaan seimbang tanpa konflik karena yang bertikai memiliki kekuatan yang seimbang</li>
<li><i>Displacement</i> (menghindari konflik dengan mengalihkan perhatian)</li>
<li>Ajudikasi (penyelesaian konflik melalui proses hukum/in court)</li>
</ul>
Secara umum dapat dinyatakan bahwa akomodasi merupakan upaya menyelesaikan konflik atau pertikaian di luar hukum.<br />
<b>3. </b><b>Asimilasi</b><br />
Asimilasi merupakan proses sosial tingkat lanjut yang ditandai oleh
adanya upaya-upaya mengurangi perbedaan serta mempertinggi kesatuan
tindakan, sikap dan proses-proses mental di antara orang-perorangan atau
kelompok-kelompok dengan memperhatikan kepentingan atau tujuan bersama.<br />
Asimilasi akan terjadi apabila:<b> </b><br />
<ul>
<li>dua kelompok yang berbeda kebudayaan</li>
<li>individu/warga kelompok saling bertemu dan bergaul intensif dalam waktu yang lama, sehingga</li>
<li>terjadi kontak kebudayaan (akulturasi) yang memungkinkan dua
kelompok yang berbeda itu saling mengadopsi (meminjam) unsur-unsur
kebudayaan</li>
<li>cara hidup dan kebudayaan dua kelompok itu saling menyesuaikan diri sehingga masing-masing mengalami perubahan</li>
<li>kelompok-kelompok tersebut melebur membentuk kelompok baru dengan cara hidup dan kebudayaan baru yang berbeda dari kelompok asal</li>
</ul>
Interaksi sosial yang menghasilkan asimilasi: bersifat pendekatan<br />
<ul>
<li>tidak mengalami hambatan dan pembatasan</li>
<li>interaksi berlangsung primer</li>
<li>interaksi berlangsung dengan frekuensi yang tinggi dan dalam keseimbangan</li>
</ul>
Hal-hal yang mempermudah asimilasi:<br />
<ul>
<li>toleransi</li>
<li>kesempatan yang seimbang dalam proses ekonomi</li>
<li>sikap menghargai orang asing dengan segenap kebudayaannya</li>
<li>sikap terbuka dari golongan yang berkuasa (<i>elite/the rulling class</i>)</li>
<li>persamaan unsur-unsur kebudayaan</li>
<li>perkawinan campuran (amalgamasi)</li>
</ul>
Hal-hal yang menghambat asimilasi:<br />
<ul>
<li>terisolirnya suatu kelompok</li>
<li>kurangnya pengetahuan terhadap kebudayaan lain</li>
<li>adanya prasangka terhadap kebudayaan lain</li>
<li>penilaian bahwa kebudayaan kelompoknya lebih tinggi derajatnya (ethnosentrisme)</li>
<li>Loyalitas yang berlebihan kepada kelompok bawaan lahirnya (primordialisme)</li>
<li><i>in group feeling</i> yang kuat</li>
<li>perbedaan warna kulit dan ciri-ciri badaniah (ras)</li>
</ul>
Karena asimilasi berkaitan dengan proses yang mendahuluinya, yakni
akulturasi, maka berikut dikemukakan beberapa hal yang berkait dengan
proses akulturasi atau kontak kebudayaan itu.<br />
Unsur-unsur kebudayaan yang mudah diterima:<br />
<ul>
<li>Unsur kebudayaan material dan teknologi</li>
<li>Unsur kebudayaan yang mudah disesuaikan</li>
<li>Unsur kebudayaan yang dampaknya tidak begitu mendalam, misalnya mode (<i>fashion</i>) atau unsur kesenian</li>
</ul>
Unsur kebudayaan yang tidak mudah diterima:<br />
<ul>
<li>Unsur-unsur yang berkaitan dengan nilai yang mendasari pola berfikir
dan cara hidup, misalnya: agama, ideologi atau falsafah hidup</li>
<li>Unsur kebudayaan yang telah tersosialisasi dan terinternalisasikan secara luas dan mendalam: sistem kekerabatan (<i>discent</i>), makanan pokok, kebiasaan makan, dan sebagainya.</li>
</ul>
Kelompok dalam masyarakat yang mudah menerima kebudayaan baru:<br />
<ul>
<li>golongan muda yang identitas diri dan kepribadiannya belum mantap</li>
<li>kelompok masyarakat yang tidak mapan atau anti kemapanan</li>
<li>kelompok masyarakat yang berada dalam tekanan, misalnya kaum minoritas</li>
<li>golongan terdidik (kelas menengah/perkotaan)</li>
</ul>
<b> </b><br />
<b>Proses-proses disosiatif, meliputi</b><b> </b><br />
<b>1. </b><b>Persaingan (Kompetisi)</b><br />
Persaingan merupakan suatu proses sosial di mana orang-perorangan
atau kelompok-kelompok saling memperebutkan sesuatu yang menjadi pusat
perhatian dengan cara berusaha menarik perhatian atau mempertajam
prasangka, tanpa disertai dengan tindakan kekerasan ataupun ancaman,
melainkan dengan peningkatan mutu atau kualitas diri.<br />
Persaingan mempunyai dua tipe umum, yaitu:<br />
<ul>
<li>bersifat personal/pribadi atau perorangan (<i>rivalry</i>),</li>
<li>bersifat korporasi atau kelompok</li>
</ul>
Ruang lingkup persaingan dapat diberbagai bidang kehidupan: ekonomi
(perdagangan), sosial (kesempatan pendidikan), budaya (kesenian,
olahraga), politik (pemerintahan, partai politik) maupun keagamaan
(antar kelompok agama, aliran, madzab, sekte, dst.)<br />
<b>2. </b><b>Konflik (Pertikaian)</b><br />
Pertikaian atau konflik merupakan proses sosial seperti halnya
kompetisi atau persaingan, hanya bedanya pada pertikaian disertai dengan
ancaman dan/atau tindak kekerasaan, baik fisik maupun nonfisik.<br />
Pertikaian dapat timbul karena:<br />
<ul>
<li>perbedaan individual, berupa pendirian atau perasaan</li>
<li>perbedaan kebudayaan, berupa perbedaan sistem nilai atau norma</li>
<li>perbedaan kepentingan, berupa kepentingan ekonomi atau politik</li>
<li>perubahan sosial dan budaya yang berlangsung cepat sehingga para
warga masyarakat kesulitan menyesuaikan diri dengan keadaan baru,
misalnya antara kelompok yang mempertahankan status quo dengan kelompok
reformis (pembaru).</li>
</ul>
Seperti halnya persaingan, pertikaian pun dapat berlangsung antara perorangan ataupun kelompok.<br />
<b>3. </b><b>Kontrvensi</b><br />
Kontravensi merupakan proses sosial yang berada di antara persaingan
dan konflik. Kontravensi merupakan sikap yang tersembunyi terhadap
pihak-pihak lain atau terhadap unsur-unsur kebudayaan suatu golongan.
Sikap tersebut dapat berubah menjadi kebencian, tetapi tidak sampai
menimbulkan pertikaian.<br />
<b>Bentuk-bentuk kontravensi:</b><b> </b><br />
<ul>
<li>proses umum: perbuatan menolak, keengganan, menganggu proses atau mengacaukan rencana</li>
<li>sederhana: menyangkal pernyataan di depan umum, memaki, mencerca,
memfitnah, menyebarakan selebaran atau melemparkan pembuktian kepada
orang lain</li>
<li>intensif: menghasut, menyebarkan desas-desus</li>
<li>taktis: mengejutkan lawan dengan perang urat syaraf (<i>psy war</i>), unjuk kekuatan (<i>show of force</i>), dan sebagainya.</li>
</ul>
<b>E. </b><b>Interaksi Sosial dan Pembentukan Keteraturan Sosial</b><br />
Keteraturan sosial terjadi apabila tindakan dan interaksi sosial di
antara para warga masyarakat berlangsung sesuai dengan nilai dan norma
yang berlaku.<br />
Menurut para penganut teori fungsionalisme struktural, meskipun di
dalam masyarakat terdapat unsur-unsur sosial yang saling berbeda, tetapi
unsur-unsur tersebut cenderung saling menyesuaikan sehingga membentuk
suatu keseimbangan (<i>equilibrium</i>) dalam kehidupan sosial.
Sedangkan menurut para penganut teori konflik, keteraturan sosial akan
terjadi apabila dalam masyarakat terdapat unsur sosial yang dominan
(menguasai) atau adanya ketergantungan ekonomi satu terhadap lainnya.<br />
Wujud nyata dari keseimbangan ini adalah keteraturan sosial, yaitu
kondisi di mana cara berfikir, berperasaan dan bertindak serta interaksi
sosial di antara para warga masyarakat selaras (konformis) dengan
nilai-nilai dan norma-norma sosial yang belaku dalam masyarakat yang
besangkutan.<br />
Keteraturan sosial akan tercipta dalam masyarakat apabila:<br />
<ul>
<li>terdapat sistem nilai dan norma sosial yang jelas. Jika nilai dan
norma dalam masyarakat tidak jelas akan menimbulkan keadaan yang
dinamakan anomie (kekacauan norma).</li>
<li>individu atau kelompok dalam masyarakat mengetahui dan memahami nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku</li>
<li>individu atau kelompok menyesuaikan tindakan-tindakannya dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku</li>
<li>berfungsinya sistem pengendalian sosial (<i>social control</i>)</li>
</ul>
Source:<a href="http://www.agsasman3yk.wordpress.com/" target="_blank"> Klik Disini</a>Muhammad Zamronihttp://www.blogger.com/profile/10110306643251368312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7866388757807007826.post-5768849431756972612012-02-13T20:01:00.000+07:002012-02-13T22:08:34.396+07:00Nilai dan Norma Sosial<b>Pengertian Nilai Sosial</b><br />
<div style="text-align: justify;">
Satu bagian penting dari kebudayaan atau
suatu masyarakat adalah nilai sosial. Suatu tindakan dianggap sah, dalam
arti secara moral diterima, kalau tindakan tersebut harmonis dengan
nilai-nilai yang disepakati dan dijunjung tinggi oleh masyarakat di mana
tindakan tersebut dilakukan. <span id="more-268"></span> Dalam sebuah
masyarakat yang menjunjung tinggi kasalehan beribadah, maka apabila ada
orang yang malas beribadah tentu akan menjadi bahan pergunjingan,
cercaan, celaan, cemoohan, atau bahkan makian. Sebaliknya, kepada
orang-orang yang rajin beribadah, dermawan, dan seterusnya, akan dinilai
sebagai orang yang pantas, layak, atau bahkan harus dihormati dan
diteladani.</div>
Apakah yang dimaksud dengan nilai sosial?<br />
<div style="text-align: justify;">
Dalam Kamus Sosiologi yang disusun oleh Soerjono Soekanto disebutkan bahwa nilai (<b><i>value</i></b>)
adalah konsepsi-konsepsi abstrak di dalam diri manusia, mengenai apa
yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Horton dan Hunt (1987)
menyatakan bahwa nilai adalah gagasan mengenai apakah suatu pengalaman
itu berarti apa tidak berarti. Dalam rumusan lain, nilai merupakan
anggapan terhadap sesuatu hal, apakah sesuatu itu pantas atau tidak
pantas, penting atau tidak penting, mulia ataukah hina. Sesuatu itu
dapat berupa benda, orang, tindakan, pengalaman, dan seterusnya.</div>
<b>Macam-macam Nilai Sosial</b><br />
<div style="text-align: justify;">
<b>Prof. Notonegoro</b> membedakan nilai menjadi tiga macam, yaitu: (1) <b>Nilai material</b>, yakni meliputi berbagai konsepsi mengenai segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia, (2) <b>Nilai vital</b>,
yakni meliputi berbagai konsepsi yang berkaitan dengan segala sesuatu
yang berguna bagi manusia dalam melaksanakan berbagai aktivitas, dan (3)
<b>Nilai kerohanian</b>, yakni meliputi berbagai konsepsi
yang berkaitan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan kebutuhan
rohani manusia: nilai kebenaran, yakni yang bersumber pada akal manusia
(cipta), nilai keindahan, yakni yang bersumber pada unsur perasaan
(estetika), nilai moral, yakni yang bersumber pada unsur kehendak
(karsa), dan nilai keagamaan (religiusitas), yakni nilai yang bersumber
pada revelasi (wahyu) dari Tuhan.</div>
<b>Nilai individual – nilai sosial</b><br />
<div style="text-align: justify;">
Seorang individu mungkin memiliki
nilai-nilai yang berbeda, bahkan bertentangan dengan individu-individu
lain dalam masyarakatnya. Nilai yang dianut oleh seorang individu dan
berbeda dengan nilai yang dianut oleh sebagaian besar anggota masyarakat
dapat disebut sebagai nilai individual. Sedangkan nilai-nilai yang
dianut oleh sebagian besar anggota masyarakat disebut nilai sosial.</div>
<b>Ciri-ciri nilai sosial: </b><b></b><br />
<ul>
<li>Nilai sosial merupakan konstruksi abstrak dalam pikiran orang yang tercipta melalui interaksi sosial,</li>
<li style="text-align: justify;">Nilai sosial bukan bawaan lahir,
melainkan dipelajari melalui proses sosialisasi, dijadikan milik diri
melalui internalisasi dan akan mempengaruhi tindakan-tindakan
penganutnya dalam kehidupan sehari-hari disadari atau tanpa disadari
lagi (enkulturasi),</li>
<li>Nilai sosial memberikan kepuasan kepada penganutnya,</li>
<li>Nilai sosial bersifat relative,</li>
<li>Nilai sosial berkaitan satu dengan yang lain membentuk sistem nilai,</li>
<li>Sistem nilai bervariasi antara satu kebudayaan dengan yang lain,</li>
<li>Setiap nilai memiliki efek yang berbeda terhadap perorangan atau kelompok,</li>
<li>Nilai sosial melibatkan unsur emosi dan kejiwaan, dan</li>
<li>Nilai sosial mempengaruhi perkembangan pribadi.</li>
</ul>
<b>Fungsi nilai sosial</b>.<br />
Nilai Sosial dapat berfungsi:<br />
<ul>
<li>Sebagai faktor pendorong, hal ini berkaitan dengan nilai-nilai yang berhubungan dengan cita-cita atau harapan,</li>
<li>Sebagai petunjuk arah mengenai cara berfikir dan bertindak, panduan
menentukan pilihan, sarana untuk menimbang penghargaan sosial,
pengumpulan orang dalam suatu unit sosial,</li>
<li>Sebagai benteng perlindungan atau menjaga stabilitas budaya.</li>
</ul>
<b>Kerangka Nilai Sosial</b><br />
<div style="text-align: justify;">
Antara masyarakat yang satu dengan yang
lain dimungkinkan memiliki nilai yang sama atau pun berbeda. Cobalah
ingat pepatah lama dalam Bahasa Indonesia: “Lain ladang lain belalang,
lain lubuk lain ikannya”, atau pepatah dalam bahasa Jawa: “<i>desa mawa cara, negara mawa tata</i>”.
Pepatah-pepatah ini menunjukkan kepada kita tentang adanya perbedaan
nilai di antara masyarakat atau kelompok yang satu dengan yang lainnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
Mengetahui sistem nilai yang dianut oleh
sekelompok orang atau suatu masyarakat tidaklah mudah, karena nilai
merupakan konsep asbtrak yang hidup di alam pikiran para warga
masyarakat atau kelompok. Namun lima kerangka nilai dari Cluckhohn yang
di Indonesia banyak dipublikasikan oleh antropolog Koentjaraningrat
berikut ini dapat dijadikan acuan untuk mengenali nilai macam apa yang
dianut oleh suatu kelompok atau masyarakat.</div>
Lima kerangka nilai yang dimaksud adalah:<br />
<ul>
<li style="text-align: justify;">Tanggapan mengenai hakekat hidup (MH),
variasinya: ada individu, kelompok atau masyarakat yang memiliki
pandangan bahwa “hidup itu baik” atau “hidup itu buruk”,</li>
<li style="text-align: justify;">Tanggapan mengenai hakikat karya (MK),
variasinya: ada orang yang menganggap karya itu sebagai status, tetapi
ada juga yang menganggap karya itu sebagai fungsi,</li>
<li style="text-align: justify;">Tanggapan mengenai hakikat waktu(MW), variasinya: ada kelompok yang berorientasi ke masa lalu, sekarang atau masa depan,</li>
<li style="text-align: justify;">Tanggapan mengenai hakikat alam (MA),
Variainya: masyarakat Industri memiliki pandangan bahwa manusia itu
berada di atas alam, sedangkan masyarakat agraris memiliki pandangan
bahwa manusia merupakan bagian dari alam. Dengan pandangannya terhadap
alam tersebut, masyarakat industri memiliki pandangan bahwa manusia
harus menguasai alam untuk kepentingan hidupnya, sedangkan masyarakat
agraris berupaya untuk selalu menyerasikan kehidupannya dengan alam,</li>
<li style="text-align: justify;">Tanggapan mengenai hakikat manusia (MM),
variasi: masyarakat tradisional atau feodal memandang
orang lain secara vertikal, sehingga dalam masyarakat tradisional
terdapat perbedaan harga diri (prestige) yang tajam antara para
pemimpin (bangsawan) dengan rakyat jelata. Sedangkan masyarakat
industrial memandang manusia yang satu dengan yang lain secara
horizontal (sejajar).</li>
</ul>
<div style="text-align: justify;">
<b>Pengertian Norma sosial</b></div>
<div style="text-align: justify;">
Kalau nilai merupakan pandangan tentang
baik-buruknya sesuatu, maka norma merupakan ukuran yang digunakan oleh
masyarakat apakah tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau
sekelompok orang merupakan tindakan yang wajar dan dapat diterima karena
sesuai dengan harapan sebagian besar warga masyarakat ataukah merupakan
tindakan yang menyimpang karena tidak sesuai dengan harapan sebagian
besar warga masyarakat.</div>
<div style="text-align: justify;">
Apa hubungannya antara nilai dengan
norma? Norma dibangun di atas nilai sosial, dan norma sosial diciptakan
untuk menjaga dan mempertahankan nilai sosial. Pelanggaran terhadap
norma akan mendapatkan sanksi dari masyarakat.</div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Berbagai macam norma dalam masyarakat</b></div>
<div style="text-align: justify;">
Dilihat dari tingkat sanksi atau kekuatan mengikatnya terdapat:</div>
<ol style="text-align: justify;">
<li>Tata cara atau <b><i>usage. </i></b>Tata cara (<i>usage</i>);
merupakan norma dengan sanksi yang sangat ringat terhadap pelanggarnya,
misalnya aturan memegang garpu atau sendok ketika makan, cara memegang
gelas ketika minum. Pelanggaran atas norma ini hanya dinyatakan tidak
sopan.</li>
<li>Kebiasaan (<i>folkways</i>). Kebiasaan (<i>folkways</i>);
merupakan cara-cara bertindak yang digemari oleh masyarakat sehingga
dilakukan berulang-ulang oleh banyak orang. Misalnya mengucapkan salam
ketika bertemu, membungkukkan badan sebagai tanda penghormatan kepada
orang yang lebih tua, dst.</li>
<li>Tata kelakuan (<i>mores</i>). Tata kelakuan merupakan norma yang
bersumber kepada filsafat, ajaran agama atau ideology yang dianut oleh
masyarakat. Pelanggarnya disebut jahat. Contoh: larangan berzina,
berjudi, minum minuman keras, penggunaan napza, mencuri, dst.</li>
<li>Adat (<i>customs</i>). Adat merupakan norma yang tidak tertulis namun sangat kuat mengikat, apabila adat menjadi tertulis ia menjadi hukum adat.</li>
<li>Hukum (<i>law</i>). Hukum merupakan norma berupa aturan tertulis,
ketentuan sanksi terhadap siapa saja yang melanggar dirumuskan secara
tegas. Berbeda dengan norma-norma yang lain, pelaksanaan norma hukum
didukung oleh adanya aparat, sehingga memungkinkan pelaksanaan yang
tegas.</li>
</ol>
<div style="text-align: justify;">
<b>Mode atau fashion. </b></div>
<div style="text-align: justify;">
Di samping lima macam norma yang telah
disebutkan itu, dalam masyarakat masih terdapat satu jenis lagi yang
mengatur tentang tindakan-tindakan yang berkaitan dengan estetika atau
keindahan, seperti pakaian, musik, arsitektur rumah, interior mobil, dan
sebagainya. Norma jenis ini disebut mode atau <i>fashion</i>. Fashion dapat berada pada tingkat usage, folkways, mores, custom, bahkan law.</div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Hubungan antara nilai dengan norma sosial<br />
</b></div>
<div style="text-align: justify;">
Di dalam masyarakat yang terus
berkembang, nilai senantiasa ikut berubah. Pergeseran nilai dalam banyak
hal juga akan mempengaruhi kebiasaan-kebiasaan ataupun tata kelakuan
yang berlaku dalam masyarakat. Di wilayah perdesaan, sejak berbagai
siaran dan tayangan telivisi swasta mulai dikenal, perlahan-lahan
terlihat bahwa di dalam masyarakat itu mulai terjadi pergesaran nilai,
misalnya tentang kesopanan. Tayangan-tayangan yang didominasi oleh
sinetron-sinetron mutakhir yang acapkali memperlihatkan artis-artis yang
berpakaian relatif terbuka, sedikit banyak menyebabkan batas-batas
toleransi masyarakat menjadi semakin longgar. Berbagai kalangan semakin
permisif terhadap kaum remaja yang pada mulanya berpakaian normal,
menjadi ikut latah berpakaian minim dan terkesan makin berani. Model
rambut panjang kehitaman yang dulu menjadi kebanggaan gadis-gadis desa,
mungkin sekarang telah dianggap sebagai simbol ketertinggalan. Sebagai
gantinya, yang sekarang dianggap trendy dan sesuai dengan konteks zaman
sekarang (modern) adalah model rambut pendek dengan warna pirang atau
kocoklat-coklatan. Jadi berubahnya nilai akan berpengaruh terhadap
norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Source: <a href="http://www.agsasman3yk.wordpress.com/" target="_blank">Klik Disini</a></div>Muhammad Zamronihttp://www.blogger.com/profile/10110306643251368312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7866388757807007826.post-79798969318734163122012-02-13T19:57:00.000+07:002012-02-13T22:09:16.894+07:00Metode SosiologiSebagai ilmu, sosiologi memiliki cara kerja yang sistematik untuk memahami berbagai fenomena, permasalahan atau <i>issue</i> yang terjadi dalam hubungan antar-manusia dalam masyarakat.<span id="more-271"></span><br />
Meskipun merupakan ilmu murni, bukan berarti sosiologi tidak dapat
berfungsi dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai ilmu pengetahuan yang
objeknya masyarakat, sosiologi paling tidak mempunyai kegunaan dalam
bidang perencanaan pembangunan masyarakat (<i>social engineering</i>)
dan penelitian sosial yang berfungsi untuk memecahkan
permasalahan-permasalahan yang timbul dalam rangka hubungan
antar-manusia dalam masyarakat.<br />
Dalam hubungan ini, <b>C. Wright Mills</b> memperkenalkan apa yang disebut sebagai <i>the sociological imagination </i>(khayalan
sosiologis), yakni suatu khayalan yang memungkinkan kita untuk memahami
sejarah masyarakat, riwayat hidup pribadi dan hubungan antara keduanya.<br />
Memang tidak selamanya kebenaran ataupun pemecahan masalah diperoleh
melalui prosedur atau metode ilmiah,. ada proses-proses non-ilmiah,
seperti:<br />
<ol>
<li>Penemuan kebenaran secara <b>kebetulan. </b>Tidak dapat
dipungkiri bahwa penemuan-penemuan besar yang banyak manfaatnya bagi
kehidupan manusia di dunia ini ditemukan secara kebetulan. Apakah benua
Amerika merupakan penemuan sistematik dari seorang Columbus? Bahkan,
enzim <i>urease</i> yang amat berguna bagi manusia ditemukan secara
kebetulan oleh Dr. J.S. Summers ketika ia sedang bekerja dengan ekstrak
aceton dan bergegas ke lapangan tenis ia menyimpannya ke dalam kulkas.
Ketika ia ingin meneruskan pekerjaannya dengan ekstrak tersebut dan
membuka kulkas, dilihatnya telah timbul kristal-kristal pada esktrak
tersebut.</li>
<li><b><i>Common sense. </i></b>Bahwa daging kambing dapat
meningkatkan libido seksual, bahwa hukuman merupakan alat utama dalam
pendidikan anak, maka menyingkirkan rotan berarti memajakan anak, bahwa
pria lebih tahan terhadap tantangan dan penderitaan dari pada wanita,
bahwa penyakit pilek disebabkan oleh hawa dingin dan kaki basah, bahwa
orang yang menipu ketika bermain kartu akan menipu pula dalam
pekerjaannya, bahwa industrialisasi mengancam religiusitas, bahwa orang
berkacamata adalah orang yang cerdas, orang kulit hitam berbakat dalam
musik tetapi kurang dalam kecerdasan, bahwa orang cerdas susah diatur
untuk melangsungkan upacara bendera, dan seterusnya adalah <i>common sense</i>. <i>Common sense</i>
adalah kumpulan gagasan atau dugaan, firasat dan hasil belajar
coba-coba dari sekelompok masyarakat yang tidak diketahui asal-usulnya
dan apa yang melandasi dugaan atau gagasan tersebut, namun diikuti
begitu saja. Banyak juga <i>common sense</i> yang baik, masuk akal
(sehingga sering disebut akal sehat), sederhana dan bermanfaat. Namun
banyak juga yang tidak benar dan tidak bermanfaat, dan menghasilkan
prasangka, misalnya tentang ras, bahwa ras kulit hitam tidak lebih
cerdas dari ras kulit putih.</li>
<li><b>Menemukan kebenaran melalui intuisi. </b>Intuisi
merupakan manifestasi intelegensi yang metarasional (Hidayat Nata
atmadja, 1982: 22). Kebenaran melalui intuisi diperoleh secara cepat
tanpa melalui langkah-langkah sistematik, penalaran, proses berfikir
ataupun perenungan.</li>
<li><b>Kebenaran wahyu (revelasi). </b>Menurut comte, sebelum
orang berfikir positif, maka adalah tahapan theologis dan metafisika,
bahwa segala sesuatu lebih banyak ditentukan oleh “sesuatu yang bersifat
ghaib” dan berada di luar kemampuan manusia. Wahyu diturunkan oleh
Allah melalui para nabi dan rasul, sehingga bukan merupakan usaha
penalaran manusia, maka tidak dapat disebut kebenaran ilmiah. Meskipun
demikian bagi orang-orang yang beragama, kebenaran wahyu merupakan
kebenaran yang mutlak dan hakiki. Bahkan disebut sebagai tingkat
kebenaran yang tertinggi (<i>the ultimate truth</i>).</li>
<li><b>Penemuan kebenaran melalui <i>trial and error. </i></b>Ketika
ilmu pengetahuan dalam tahap embrional, orang menemukan kebenaran
melalui upaya mencoba sesuatu, kemudian apabila ternyata keliru ia akan
mencoba lagi, mencoba lagi dan mencoba lagi sampai didapat pemecahan
yang dipandang memuaskan. Sutrisno hadi menyatakan bahwa <i>trial and error </i>merupakan perkembangan yang pertama kali dalam tahap-tahap metode ilmiah.</li>
<li><b>Penemuan kebenaran melalui spekulasi. </b>Spekulasi merupakan upaya menemukan kebenaran yang lebih tinggi tingkatnya dari <i>trial and error</i>.
Dalam berspekulasi orang sudah mendasarkan diri pada pertimbangan,
biarpun pertimbangan tersebut kurang matang dan dikerjakan dalam suasana
yang penuh resiko.</li>
<li><b>Kharisma. </b>Pernyataan atau pendapat dari seorang
ilmuwan, tokoh atau pemimpin politik yang berbobot tinggi ataupun yang
memiliki otoritas dalam suatu bidang ilmu tertentu dan mempunyai banyak
pengalaman sering diterima begitu saja tanpa perlu diuji kebenarannya.</li>
</ol>
<b> </b><br />
Bagaimana sosiologi menggambarkan berbagai fenomena ataupun
permasalahan yang muncul dalam masyarakat? Tentu berbeda dari cara-cara
nonilmiah tersebut. Sebagai ilmu, sosiologi mendasarkan pada bukti yang
dapat diuji. Yang dimaksud “bukti” adalah pengamatan faktual yang dapat
dilihat, ditimbang, dihitung dan diperiksa ketelitiannya oleh para
pengamat lainnya. Dengan kata lain, sosiologi mendasarkan pada observasi
ilmiah sebagai teknik dasar metode ilmiah. Metode atau observasi ilmiah
tidaklah sama dengan sekedar “melihat sesuatu”, tetapi merupakan
observasi yang dilakukan secara: (1) cermat, (2) tepat, (3) sistematik,
(4) objektif, (5) dilakukan oleh orang-orang yang terlatih, dan (6)
dilaksanakan dalam kondisi yang terkendali.<br />
<b>John Dewey</b> (1933) memberikan garis-garis besar dari apa yang disebut metode ilmiah yang meliputi lima taraf, yakni: (1) <i>the felt need</i>, (2) <i>the problem</i>, (3) <i>the hypothesis</i>, (4) <i>collection of data as evidence</i>, dan (5) <i>concluding bilief.</i> <b>Kelley</b> melengkapinya dengan satu taraf lagi, yakni; (6) <i>general value of conclusion</i>. Berikut akan dijelaskan satu per satu.<br />
<ol>
<li><i>The felt need</i>. Dalam taraf ini orang merasakan kesulitan
untuk menyesuaikan dirinya terhadap kebutuhan atau tujuan-tujuan
masyarakat, atau untuk menemukan ciri-ciri dari suatu objek, atau untuk
menerangkan sesuatu kejadian yang terjadi tiba-tiba dan tidak terduga.</li>
<li><i>The problem. </i>Orang merumuskan kesulitan-kesulitan itu sebagai masalah atau problema, yakni sesuatu yang terjadi dalam kenyataan (<i>das sein</i>) namun tidak sesuai dengan harapan (<i>das sollen</i>), atau sebagai sesuatu yang tidak diketahui <i>who, what, where, when, why</i> dan <i>how</i>-nya.</li>
<li><i>The hypothesis. </i>Langkah yang ketiga adalah mengajukan
kemungkinan pemecahannya atau mencoba menerangkannya, berupa
terkaan-terkaan, kesimpulan sementara, teori-teori, kesan-kesan umum,
atau apapun yang masih belum dapat dipandang sebagai sebuah konklusi
yang final.</li>
<li><i>Collection of data as evidence.</i> Selanjutnya bahan-bahan,
informasi-informasi, atau bukti-bukti dikumpulkan, dan melalui
pengolahan-pengolahan yang logis dan sistematik dijadikan bukti atas
hipotesis yang telah dirumuskan.</li>
<li><i>Concluding bilief. </i>Berdasarkan bukti-bukti yang sudah
diolah maka akan terbukti hipotesis, teori atau kesan-kesan yang telah
dirumuskan apakah “benar” atau “salah”, “diterima” atau “ditolak”.</li>
<li><i>General value of the conclusion. </i>Akhirnya, apabila suatu pemecahan masalah telah dipandang tepat, maka disimpulkan implikasi-implikasinya untuk masa depan.</li>
</ol>
<i> </i><br />
<i> </i><br />
<i> </i><br />
<i> </i><br />
<i> </i><br />
<b>Metode kualitatif dan kuantitatif</b><br />
<b> </b><br />
Seperti halnya ilmu sosial yang lain, sosiologi menawarkan dua macam
metode, yakni: (1) kualitatif, dan (2) kuantitatif. Metode kualitatif
berupaya menjelaskan makna dari fenomena-fenomena atau
peristiswa-peristiwa yang nyata terjadi dalam masyarkat namun sukar
diukur dengan angka-angka atau dengan ukuran-ukuran lain yang bersifat
eksak. Sedangkan metode kuantitatif berupaya menjelaskan
fenomena-fenomena atau peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat
menggunakan data yang berupa angka-angka. Metode kuantitatif dalam
sosiologi diperkenalkan oleh <b>Emmile Durkheim</b> (1968) dalam penelitiannya tentang laju bunuh diri. <b>Durkheim</b>
menggambarkan laju bunuh diri dengan angka bunuh diri dalam tiap
masyarakat yang dari tahun ke tahun cenderung konstan. Laju bunuh diri
dipengaruhi oleh derajat integrasi sosial, sehingga adalah: (1) bunuh
diri altruistik, terjadi karena derajat integrasi sosial yang terlalu
kuat, (2) bunuh diri egoistik, terjadi ketika derajat integrasi sosial
terlalu lemah, dan (3) bunuh diri anomi, terjadi karena masyarakat tidak
memberikan pegangan kepada seseseorang.<br />
<b>Prosedur deduktif dan induktif</b><br />
Berbeda dengan antropologi yang cenderung meneliti pada masyarakat
yang kecil-kecil kemudian hasilnya diterapkan untuk masyarakat yang
lebih besar (induktif), sosiologi lebih cenderung untuk menggunakan main
atau grand teori untuk diterapkan pada masyarakat-masyarakat yang lebih
kecil (deduktif). Tapi pada dasarnya dua cara atau metode berfikir ini
digunakan dalam sosiologi maupun antropologi.<br />
<b>Bagaimana data sosiologi dikumpulkan, dianalisis, diinterpretasi, dan akhirnya diambil simpulan?<br />
</b><br />
Dalam usaha mengumpulkan data yang dapat menghasilkan temuan-temuan
baru, para ahli sosiologi memperhatikan tahap-tahap penelitian, yang
saling berkaitan secara erat.<br />
Sebelum melakukan suatu penelitian terlebih dahulu harus dilakukan
peninjauan terhadap bahan-bahan pustaka untuk mengetahui
penemuan-penemuan sebelumnya.<br />
Setelah merumuskan tujuan penelitian, peneliti harus menentukan
metode pengumpulan data yang akan digunakannya. Dalam ilmu-ilmu sosial
dikenal bebagai metode pengumpulan data, seperti metode survai serta
beberapa metode nonsurvai seperti metode riwayat hidup, studi kasus,
analisa isi, kajian data yang telah dilumpulkan oleh pihak lain, dan
eksperimen.<br />
Dalam penelitian survai hal-hal yang diteliti dituangkan dalam suatu
daftar pertanyaan. Teknik survai mengandung persamaan dengan sensus;
namun pada sensus yang menjadi subyek wawancara adalah seluruh populasi
sedangkan dalam teknik survai daftar pertanyaan diajukan pada sejumlah
subyek penelitian yang dianggap mewakili populasi (sampel).<br />
Pengamatan (observasi) merupakan teknik pengumpulan data penelitian
di mana peneliti mengamat secara lansung perilaku para subjek
penelitiannya dan merekam perilaku yang wajar, asli, tidak dibuat-buat,
spontan dalam kurun waktu relativf lama sehingga terkumpul data yang
bersifat mendalam dan rinci.<br />
Dalam sosiologi dibedakan antara penelitian di mana pengamat (1)
sepenuhnya terlibat dalam kehidupa sehari-hari masyarakat yang diteliti
(observasi partisipatif), dan (2) hanya berperan sebagai pengamat yang
sepenuhnya melakukan pengamatan tanpa keterlibatan apapun dengan subyek
penelitian (observasi non-partisipatif).<br />
Salah satu kelebihan pengamatan terlibat (obervasi partisipatif) bila
dibandingkan dengan survai ialah bahwa pengamatan terlibat lebih
memungkinkan terjalinnya hubungan yang akrab antara peneliti dengan
subjek penelitiannya, dan subjek penelitian tidak menyadari kalau sedang
diteliti atau diamati.<br />
Di samping dengan cara pengamatan (observasi), data sosiologi dapat
digali dengan menggunakan angket/daftar pertanyaan ataupun wawancara.<br />
Dalam pencarian maupun pengamatan ilmu seorang ilmuwan harus
menghormati aturan etika, seperti keikutsertaan secara sukarela, tidak
membawa cedera bagi subyek penelitian, asas anonimitas dan kerahasiaan,
tidak memberikan keterangan yang keliru, dan menyajikan data penelitian
secara jujur.<br />
<br />
Source: <a href="http://www.agsasman3yk.wordpress.com/" target="_blank">Klik Disini</a>Muhammad Zamronihttp://www.blogger.com/profile/10110306643251368312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7866388757807007826.post-1710050355322450232012-02-13T19:53:00.000+07:002012-02-13T22:09:46.369+07:00Pembelajaran Sosiologi di SMA/MA<h3>
A. Latar Belakang</h3>
<div style="text-align: justify;">
Sosiologi ditinjau dari sifatnya digolongkan sebagai ilmu pengetahuan murni (<i>pure science)</i> bukan ilmu pengetahuan terapan (<i>applied science). </i>Sosiologi
dimaksudkan untuk memberikan kompetensi kepada peserta didik dalam
memahami konsep-konsep sosiologi seperti sosialisasi, kelompok sosial,
struktur sosial, lembaga sosial, perubahan sosial, dan konflik sampai
pada terciptanya integrasi sosial. Sosiologi mempunyai dua pengertian
dasar yaitu sebagai ilmu dan sebagai metode. Sebagai ilmu, sosiologi
merupakan kumpulan pengetahuan tentang masyarakat dan kebudayaan yang
disusun secara sistematis berdasarkan analisis berpikir logis. Sebagai
metode, sosiologi adalah cara berpikir untuk mengungkapkan realitas
sosial yang ada dalam masyarakat dengan prosedur dan teori yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.</div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam kedudukannya sebagai sebuah
disiplin ilmu sosial yang sudah relatif lama berkembang di lingkungan
akademika, secara teoretis sosiologi memiliki posisi strategis dalam
membahas dan mempelajari masalah-masalah sosial-politik dan budaya yang
berkembang di masyarakat dan selalu siap dengan pemikiran kritis dan
alternatif menjawab tantangan yang ada. Melihat masa depan masyarakat
kita, sosiologi dituntut untuk tanggap terhadap isu globalisasi yang di
dalamnya mencakup demokratisasi, desentralisasi dan otonomi, penegakan
HAM, <i>good governance</i> (tata kelola pemerintahan yang baik), emansipasi, kerukunan hidup bermasyarakat, dan masyarakat yang demokratis.</div>
<div style="text-align: justify;">
Pembelajaran sosiologi dimaksudkan untuk
mengembangkan kemampuan pemahaman fenomena kehidupan sehari-hari.
Materi pelajaran mencakup konsep-konsep dasar, pendekatan, metode, dan
teknik analisis dalam pengkajian berbagai fenomena dan permasalahan yang
ditemui dalam kehidupan nyata di masyarakat. Mata pelajaran Sosiologi
diberikan pada tingkat pendidikan dasar sebagai bagian integral dari
IPS, sedangkan pada tingkat pendidikan menengah diberikan sebagai mata
pelajaran tersendiri.</div>
<span style="font-size: 15px; font-weight: bold;">B. Tujuan</span><br />
Mata pelajaran sosiologi bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut.<br />
<ol>
<li>Memahami konsep-konsep sosiologi seperti sosialisasi, kelompok
sosial, struktur sosial, lembaga sosial, perubahan sosial, dan konflik
sampai dengan terciptanya integrasi sosial</li>
<li>Memahami berbagai peran sosial dalam kehidupan bermasyarakat</li>
<li>Menumbuhkan sikap, kesadaran dan kepedulian sosial dalam kehidupan bermasyarakat.</li>
</ol>
<h3>
C. Ruang Lingkup</h3>
Ruang lingkup mata pelajaran Sosiologi meliputi aspek-aspek sebagai berikut.<br />
<ol>
<li>Struktur sosial</li>
<li>Proses sosial</li>
<li>Perubahan sosial</li>
<li>Tipe-tipe lembaga sosial.</li>
</ol>
<b>D. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar</b><br />
<b>Kelas X, Semester 1</b><br />
<b> </b><br />
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0">
<tbody>
<tr>
<td width="258"><b>Standar Kompetensi</b></td>
<td width="300"><b>Kompetensi Dasar</b></td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="258">1. Memahami perilaku keteraturan hidup sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat</td>
<td valign="top" width="300">1.1 Menjelaskan fungsi sosiologi sebagai ilmu yang mengkaji hubungan masyarakat dan lingkungan
1.2 Mendeskripsikan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat<br />
1.3 Mendeskripsikan proses interaksi sosial sebagai dasar pengembangan pola keteraturan dan dinamika kehidupan sosial</td>
</tr>
</tbody>
</table>
<b> </b><br />
<b>Kelas X, Semester 2</b><br />
<b> </b><br />
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0">
<tbody>
<tr>
<td width="258"><b>Standar Kompetensi</b></td>
<td width="300"><b>Kompetensi Dasar</b></td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="258">2. Menerapkan nilai dan norma dalam proses pengembangan kepribadian</td>
<td valign="top" width="300">2.1 Menjelaskan sosialisasi sebagai proses dalam pembentukan kepribadian
2.2 Mendeskripsikan terjadinya perilaku menyimpang dan sikap-sikap anti sosial<br />
2.3 Menerapkan pengetahuan sosiologi dalam kehidupan bermasyarakat</td>
</tr>
</tbody>
</table>
<b>Kelas XI, Semester 1</b><br />
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0">
<tbody>
<tr>
<td width="258"><b>Standar Kompetensi</b></td>
<td width="300"><b>Kompetensi Dasar</b></td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="258">1. Memahami struktur sosial serta berbagai faktor penyebab konflik dan mobilitas sosial</td>
<td valign="top" width="300">1.1 Mendeskripsikan bentuk-bentuk struktur sosial dalam fenomena kehidupan
1.2 Menganalisis faktor penyebab konflik sosial dalam masyarakat<br />
1.3 Menganalisis hubungan antara struktur sosial dengan mobilitas sosial</td>
</tr>
</tbody>
</table>
<b>Kelas XI, Semester 2 </b><br />
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0">
<tbody>
<tr>
<td width="258"><b>Standar Kompetensi</b></td>
<td width="300"><b>Kompetensi Dasar</b></td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="258">2. Menganalisis kelompok sosial dalam masyarakat multikultural
</td>
<td valign="top" width="300">2.1 Mendeskripsikan berbagai kelompok sosial dalam masyarakat multikultural
2.2 Menganalisis perkembangan kelompok sosial dalam masyarakat multikultural<br />
2.3 Menganalisis keanekaragaman kelompok sosial dalam masyarakat multikultural</td>
</tr>
</tbody>
</table>
<b>Kelas XII, Semester 1</b><br />
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0">
<tbody>
<tr>
<td width="258"><b>Standar Kompetensi</b></td>
<td width="288"><b>Kompetensi Dasar</b></td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="258">1. Memahami dampak perubahan sosial</td>
<td valign="top" width="288">1.1 Menjelaskan proses perubahan sosial di masyarakat
1.2 Menganalisis dampak perubahan sosial terhadap kehidupan masyarakat</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="258">2. Memahami lembaga sosial</td>
<td valign="top" width="288">2.1 Menjelaskan hakikat lembaga sosial
2.2 Mengklasifikasikan tipe-tipe lembaga sosial<br />
2.3 Mendeskripsikan peran dan fungsi lembaga sosial</td>
</tr>
</tbody>
</table>
<b> </b><br />
<b> </b><br />
<b>Kelas XII, Semester 2 </b><br />
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0">
<tbody>
<tr>
<td width="258"><b>Standar Kompetensi</b></td>
<td width="288"><b>Kompetensi Dasar</b></td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="258">3. Mempraktikkan metode penelitian sosial</td>
<td valign="top" width="288">3.1 Merancang metode penelitian sosial secara sederhana
3.2 Melakukan penelitian sosial secara sederhana<br />
3.3 Mengkomunikasikan hasil penelitian sosial secara sederhana</td>
</tr>
</tbody>
</table>
<b> </b><br />
<b> </b><br />
<b>E. Arah Pengembangan</b><br />
<div style="text-align: justify;">
Standar kompetensi dan kompetensi dasar
menjadi arah dan landasan untuk mengembangkan materi pokok, kegiatan
pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian. Dalam
merancang kegiatan pembelajaran dan penilaian perlu memperhatikan
Standar Proses dan Standar Penilaian.</div>
SELAMAT BELAJAR!<br />
<br />
Source: <a href="http://www.agsasman3yk.wordpress.com/" target="_blank">Klik Disini</a>Muhammad Zamronihttp://www.blogger.com/profile/10110306643251368312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7866388757807007826.post-36780797993557844012010-12-05T16:06:00.019+07:002012-02-13T19:36:00.201+07:00Mobil Keluarga Ideal Terbaik Indonesia<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "; font-size: 130%; line-height: 150%;">Toyota sebagai <a href="http://www.toyota.astra.co.id/"><b style="color: #33ff33;"><i>market leader</i></b> </a> otomotif di Indonesia masih sulit digoyahkan. </span><span lang="SV" style="font-family: "; font-size: 130%; line-height: 150%;">Ketika kita berkendara di jalan raya kita akan menemui banyak sekali mobil produk toyota baik produk lama maupun produk terkini. Dari dulu sampai sekarang Toyota selalu setia memberikan produk-produk terbaiknya untuk keluarga Indonesia. Selalu menciptakan mobil yang sesuai dengan kebutuhan keluarga yang membuat Toyota selalu di gemari masyarakat. Ini semua merupakan hasil dari kerja keras toyota yang selalu <a href="http://www.toyota.astra.co.id/"><b style="color: #33ff33;"><i>”moving forward ” </i></b></a>sampai kapanpun. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "; font-size: 130%; line-height: 150%;"> Ketika bertanya tentang apa <b><a href="http://www.toyota.astra.co.id/" style="color: #33ff33;">Mobil Keluarga Ideal Terbaik Indonesia?</a> </b>Jawabanya satu yaitu <a href="http://www.toyota.astra.co.id/" style="color: #33ff33;"><b>TOYOTA</b></a>. Toyota mempunyai andil yang besar dan selalu mempunyai ruang di hati keluarga Indonesia dengan berbagai inovasinya dalam produknya baik dari mesin, interior, exterior dan lain sebagainya demi kenyamanan, keamanan dan keselamatan pelanggan.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "; font-size: 130%; line-height: 150%;"> Tentunya kita akan selalu memberikan yang terbaik untuk keluarga kita. Begitu juga dalam memilih mobil terbaik untuk keluarga. Toyota merupakan <a href="http://www.toyota.astra.co.id/" style="color: #33ff33;"><b>Mobil Keluarga Ideal Terbaik Indonesia</b></a> yang memberikan berbagai pilihan produk yang unggul dikelasnya. Mesin bandel, irit, ramah lingkungan dan harga yang kompetitif kerap kali menjadi pertimbangan utama sebelum memilih sebuah mobil. Dan toyota adalah jawaban dari semua hal tersebut. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "; font-size: 130%; line-height: 150%;"> Toyota siap bersaing dengan berbagai varian produknya. Sebut saja avanza yang sangat di gandrungi keluarga indonesia. Avanza sudah berkali-kali mendapatkan penghargaan sebagai mobil yang terlaris di kelasnya. Tak kalah juga kijang innova, yaris, Camry, Alphard, Fortuner, Rush, Vios, Corolla Altis, Hilux, Prius dan lain sebagainya yang unggul di kelasnya masing-masing. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "; font-size: 130%; line-height: 150%;"> Anda bebas memilih Sesuai dengan keinginan dan kebutuhan keluarga anda. Ingin mempuyai mobil yang lapang, mewah, sporty atau yang stylis dan modern semua ada di Toyota. Anda pun di berikan banyak pilihan sesuai dengan jumlah anggota keluarga anda, apakah membutuhkan mobil yang bisa memuat anggota keluarga yang cukup besar? ataupun keluarga kecil? Toyota memang super lengkap dan paling mengerti kebutuhan keluarga Indonesia dalam menciptakan <a href="http://www.toyota.astra.co.id/" style="color: #33ff33;"><b>Mobil Keluarga Ideal Terbaik Indonesia</b>. </a>Tentunya semua itu di sesuaikan dengan bajet yang ada di kantong anda, tapi jangan khawatir karena Toyota selalu menawarkan harga yang kompetitif. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "; font-size: 130%; line-height: 150%;"> Ingat <b><a href="http://www.toyota.astra.co.id/" style="color: #33ff33;">Mobil Keluarga Ideal Terbaik Indonesia,</a> </b>ingat <b><a href="http://www.toyota.astra.co.id/" style="color: #33ff33;">TOYOTA</a> </b>bukan yang lain.</span></div>
<span style="font-size: 130%;"><br /><br /><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgqQ2a7BKnVSw4fXvpMF2SECrH6wakjCgI-PWiMD3kutZT45hLMg0l7Kwq2sfsZcWp9tdHJPCSXimfs1XxZVOsXa0xps0tuxN6EskVjhZDuc5G21hD9TalYEG4M-HU41PP4wUtWF6QPRKQ/s1600/vi.jpg"><img alt="" border="0" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5549494435042668434" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgqQ2a7BKnVSw4fXvpMF2SECrH6wakjCgI-PWiMD3kutZT45hLMg0l7Kwq2sfsZcWp9tdHJPCSXimfs1XxZVOsXa0xps0tuxN6EskVjhZDuc5G21hD9TalYEG4M-HU41PP4wUtWF6QPRKQ/s320/vi.jpg" style="cursor: pointer; float: left; height: 214px; margin: 0pt 10px 10px 0pt; width: 320px;" /></a><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhO650SikNE7RmQfMrbjoKr5i76qJLSLrcSqJjvdL-uPFXsZBaQg7BPuFU3yPdx2StdXNa6lwttOw93xMOzFB8IKWfeaVOxw6c4TcsOrqHS09Wb_hxX7IZQKgOw3hqLF2nTcVupfFKD_ok/s1600/temee+%25281%2529.jpg"><img alt="" border="0" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5549494148735691458" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhO650SikNE7RmQfMrbjoKr5i76qJLSLrcSqJjvdL-uPFXsZBaQg7BPuFU3yPdx2StdXNa6lwttOw93xMOzFB8IKWfeaVOxw6c4TcsOrqHS09Wb_hxX7IZQKgOw3hqLF2nTcVupfFKD_ok/s320/temee+%25281%2529.jpg" style="cursor: pointer; float: left; height: 214px; margin: 0pt 10px 10px 0pt; width: 320px;" /></a><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjGarJbIUTBvj1h760sOLtZKgtb_x1Fjla2NLkSV-gHNTxNpw9T06gW9_ZfTBFJioova2CMaIgad6AQoleK4Vsx4qCGbqR6iLiQgOmNncLe5DIAcAljU4-h7T2L0HsJ0wE2FhnipLyZJ7Q/s1600/su+%25281%2529.jpg"><img alt="" border="0" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5549494143420297698" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjGarJbIUTBvj1h760sOLtZKgtb_x1Fjla2NLkSV-gHNTxNpw9T06gW9_ZfTBFJioova2CMaIgad6AQoleK4Vsx4qCGbqR6iLiQgOmNncLe5DIAcAljU4-h7T2L0HsJ0wE2FhnipLyZJ7Q/s320/su+%25281%2529.jpg" style="cursor: pointer; float: left; height: 215px; margin: 0pt 10px 10px 0pt; width: 320px;" /></a><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjxAoPztfKZBZhZ8n9zhY4AAOs204RjItUzKu3_EBdjPMsdgXmrWzVnMzc-WCsGfDOEAk5S5Hi9WHpw8JadIz3p297yM-O3HR37D7kGmvNqKjjqlAuHzdlp6tkH5PyzzIErvyIgo9rn_5g/s1600/se.jpg"><img alt="" border="0" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5549494138651465250" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjxAoPztfKZBZhZ8n9zhY4AAOs204RjItUzKu3_EBdjPMsdgXmrWzVnMzc-WCsGfDOEAk5S5Hi9WHpw8JadIz3p297yM-O3HR37D7kGmvNqKjjqlAuHzdlp6tkH5PyzzIErvyIgo9rn_5g/s320/se.jpg" style="cursor: pointer; float: left; height: 215px; margin: 0pt 10px 10px 0pt; width: 320px;" /></a><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiE8_yzil92DLqKe0aUwi0a9dh93Enr7A8NWREt-4Eonzti0zDpDk7-J7pVjqyeHytBDsjc82e34FmzZOZzp-fFPlKuhRjPbZwaHMhD9X-i1EhzybqcKHoVvm6CX0kDziT9Ca8g_z2g8PI/s1600/Picture3.jpg"><img alt="" border="0" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5549494136218610514" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiE8_yzil92DLqKe0aUwi0a9dh93Enr7A8NWREt-4Eonzti0zDpDk7-J7pVjqyeHytBDsjc82e34FmzZOZzp-fFPlKuhRjPbZwaHMhD9X-i1EhzybqcKHoVvm6CX0kDziT9Ca8g_z2g8PI/s320/Picture3.jpg" style="cursor: pointer; float: left; height: 214px; margin: 0pt 10px 10px 0pt; width: 320px;" /></a><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhy6tVDYejLBIA0yPCn1CdcIaNzwev2FeQ7mshx4FO7bUxnvTg49YR_7dEUHHLYDjsHoxfDj1LC8vkAwyws7O1nAOKhkzoN_F2ZNGcNOVlF-BfF7OTA3qYuw5MUdf7Q9Eqk2I-88T5mS8k/s1600/Picture2.jpg"><img alt="" border="0" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5549494131080604066" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhy6tVDYejLBIA0yPCn1CdcIaNzwev2FeQ7mshx4FO7bUxnvTg49YR_7dEUHHLYDjsHoxfDj1LC8vkAwyws7O1nAOKhkzoN_F2ZNGcNOVlF-BfF7OTA3qYuw5MUdf7Q9Eqk2I-88T5mS8k/s320/Picture2.jpg" style="cursor: pointer; float: left; height: 206px; margin: 0pt 10px 10px 0pt; width: 320px;" /></a><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg33JhtFWDZOLC0dHCvIQ_7-MC0_SuLxgMNivesvJpRTFOIF-ZicBwHjNVOdK4M5CyHPuIzwDwNIvp_CKedz5JOqoOLALduuXgV8SK5r9b0ODFZ9A6njh-BvsqRKsla5cDXdISnpixkuaA/s1600/image_005.jpg"><img alt="" border="0" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5549493516459871826" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg33JhtFWDZOLC0dHCvIQ_7-MC0_SuLxgMNivesvJpRTFOIF-ZicBwHjNVOdK4M5CyHPuIzwDwNIvp_CKedz5JOqoOLALduuXgV8SK5r9b0ODFZ9A6njh-BvsqRKsla5cDXdISnpixkuaA/s320/image_005.jpg" style="cursor: pointer; float: left; height: 215px; margin: 0pt 10px 10px 0pt; width: 320px;" /></a><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg39ldar_Peovi_KYB7h8JY8e1h9npJuWvT8zLq7XYabjnngy_KoZXK0Vp7WabIWseAXKhqQqv4z1kGxrIopMw5THRFHPgsg_KyGWfnm_MywpGrG3WkjUwgLUZWKMFr45qU-oKynTsg7YU/s1600/image_002+copy.jpg"><img alt="" border="0" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5549493508397955810" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg39ldar_Peovi_KYB7h8JY8e1h9npJuWvT8zLq7XYabjnngy_KoZXK0Vp7WabIWseAXKhqQqv4z1kGxrIopMw5THRFHPgsg_KyGWfnm_MywpGrG3WkjUwgLUZWKMFr45qU-oKynTsg7YU/s320/image_002+copy.jpg" style="cursor: pointer; float: left; height: 215px; margin: 0pt 10px 10px 0pt; width: 320px;" /></a><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgN403B_netLOMHz-7pX_A9Rki8FmtlPmohrQrNJW8HaCf__XbaoxeiwaEv0VHg1zijEB4qGIrbiStL5UFUWJHFP5B8Qt3CxfOVLGRyhwq2jupw1ugh01xlQfLFQQeYuuhKiOVRVoiX5k4/s1600/image_002.jpg"><img alt="" border="0" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5549493498549421298" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgN403B_netLOMHz-7pX_A9Rki8FmtlPmohrQrNJW8HaCf__XbaoxeiwaEv0VHg1zijEB4qGIrbiStL5UFUWJHFP5B8Qt3CxfOVLGRyhwq2jupw1ugh01xlQfLFQQeYuuhKiOVRVoiX5k4/s320/image_002.jpg" style="cursor: pointer; float: left; height: 214px; margin: 0pt 10px 10px 0pt; width: 320px;" /></a><br /><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjj76ujjnO5FfQNRKSi2ZjTRBaRpOH2KsAkLL3BGKl84I6HA4cSLxmzlHoRdIlJ998ysq80pqjhuadIyts0QFwIFy7elnk8AH9E01zjUizMldPLTHkPrkdAuUW3YmhcWWrF377SahN6kBI/s1600/Picture1.jpg"><img alt="" border="0" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5549493519904493666" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjj76ujjnO5FfQNRKSi2ZjTRBaRpOH2KsAkLL3BGKl84I6HA4cSLxmzlHoRdIlJ998ysq80pqjhuadIyts0QFwIFy7elnk8AH9E01zjUizMldPLTHkPrkdAuUW3YmhcWWrF377SahN6kBI/s320/Picture1.jpg" style="cursor: pointer; float: left; height: 212px; margin: 0pt 10px 10px 0pt; width: 320px;" /></a><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgl-veWfTvZQhWsKBKYut2jFUacdeRSWjt4ezo6BB5mx4qZablqYFHr-zkITOmzjfmonSv2-rQTUKR5IumiPRT2ST6NxK_XpvUffnEXSy0QzNqGFGmkq8gipN6y_lXlaBsrRvB64fOfxp4/s1600/fo2.jpg"><img alt="" border="0" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5549493494829942130" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgl-veWfTvZQhWsKBKYut2jFUacdeRSWjt4ezo6BB5mx4qZablqYFHr-zkITOmzjfmonSv2-rQTUKR5IumiPRT2ST6NxK_XpvUffnEXSy0QzNqGFGmkq8gipN6y_lXlaBsrRvB64fOfxp4/s320/fo2.jpg" style="cursor: pointer; float: left; height: 215px; margin: 0pt 10px 10px 0pt; width: 320px;" /></a><br /></span><br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "; font-size: 130%; line-height: 150%;"> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-size: 130%;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjaisqORQF-fg_csH4liOrpb0UTKhFHrUJUtaIowE1SMFvsC0faxDWjsEuD4h2P1Mjw0KZgSnrj2Wd2FqjqgRIvRufrcmtuCBei2nmjXXBOXH4U8YVhOycC9hFRYxeRqjifJUfoQwQE2so/s1600/image_002.jpg"><br /></a></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-size: 130%;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi85lpmnxp2VxDumkHA1bSlHo6ldQnB_07KR9Luy0b0ik9Jzt5gUlGy4nRcXt3DcK5Pq4xeLDa1BypigA9aDOQl4-T_zs5x1Ubfb1zAn0JxXGBtyfOxLzOpZSRRqO8Acphtq-yKZrtbk5Y/s1600/image_002.jpg"><br /></a></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-size: 130%;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh8mKkxXu3YjVknt8jOzkZUSqrY6qQzVleES2_5Vv7Ui0C3XQXjKtz72sUQ6jXauH6JO7Wn8dj0PS2FnMlVCzQIjwGAJy2o89zJalPRtua-0bBt4UDoav8dn_4uTRwRvljx3XEhP9tlxyE/s1600/image_005.jpg"><br /></a></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-size: 130%;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi85lpmnxp2VxDumkHA1bSlHo6ldQnB_07KR9Luy0b0ik9Jzt5gUlGy4nRcXt3DcK5Pq4xeLDa1BypigA9aDOQl4-T_zs5x1Ubfb1zAn0JxXGBtyfOxLzOpZSRRqO8Acphtq-yKZrtbk5Y/s1600/image_002.jpg"><br /></a></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "; font-size: 130%; line-height: 150%;"><a href="http://boedijaeni.wordpress.com/2010/10/18/mobil-keluarga-ideal-terbaik-indonesia/www.toyota.astra.co.id/" target="_blank"><span style="color: black; text-decoration: none;"><br /></span></a></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-size: 130%;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiCkQub7Gm2sdwhIZyc7nO1-MO9aF1D7BljBU5eCyn93TyGtIH1un-32tEuHOMn9qppWYlNpkV5qIgAoER_Lab5PhufR8fo2EP9WOG9-89v7UPhvJtRDxQEpsNt__GV4geewISRtPYl_Pg/s1600/image_002.jpg"><br /></a></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-size: 130%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "; font-size: 130%; line-height: 150%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-size: 130%;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjlNb9R99b9PO4CNxwhB7pOTqOVJnuoNACIIpyfdx_qrnvuTzBNKXZuKliXH3kk7-er6PJim0E1ok_oKVCsZvt2YM0r4rsUwjWXoePJFw3aiVIrf4_l2IJCiujvcafuzOt9LoF0keYG10k/s1600/image_004.jpg"><br /></a></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "; font-size: 130%; line-height: 150%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-size: 130%;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhgOXeHoqA8CsQ87LRPQoACk0lcpeDsWUMFwV4jRlYT_dmiQZVIu-ZHw24Lcfn_-uq_y8TSc59zD3xn1HFkKscjqjUqlYozFkaJMci4ksTg5bubOk52-VdJwd7kqPtsYdC0JI-dfDmIrl0/s1600/image.jpg"><br /></a></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "; font-size: 130%; line-height: 150%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-size: 130%;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiJP0OBJ8HHazfnhiY5iZVkmQXLyFX5e4jmDmjjiim6dNqGJfpCLgr0KFEq4FeiDifcLzr4YqMcmdczxHognxv22G-_trXqRWwQkWrUaH4RzMle6c3CI2U7kgQkH4m2StyZA7iCgVholBc/s1600/image_002.jpg"><br /></a></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-size: 130%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "; font-size: 130%; line-height: 150%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "; font-size: 130%; line-height: 150%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "; font-size: 130%; line-height: 150%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "; font-size: 130%; line-height: 150%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "; font-size: 130%; line-height: 150%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "; font-size: 130%; line-height: 150%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "; font-size: 130%; line-height: 150%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "; font-size: 130%; line-height: 150%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-size: 130%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-size: 130%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "; font-size: 130%; line-height: 150%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "; font-size: 130%; line-height: 150%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "; font-size: 130%; line-height: 150%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "; font-size: 130%; line-height: 150%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "; font-size: 130%; line-height: 150%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "; font-size: 130%; line-height: 150%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "; font-size: 130%; line-height: 150%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "; font-size: 130%; line-height: 150%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "; font-size: 130%; line-height: 150%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "; font-size: 130%; line-height: 150%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "; font-size: 130%; line-height: 150%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-size: 130%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-size: 130%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-size: 130%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-size: 130%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "; font-size: 130%; line-height: 150%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "; font-size: 130%; line-height: 150%;">Silahkan anda pilih salah satu untuk keluarga terbaik anda (seperti pada gambar yang terlihat di atas), dengan desain-desain yang elegan, kokoh, sporty dan modern semakin menyempurnakan kualitas toyota selain kualitas mesinya yang super tangguh dan super bandel. Kecanggihan teknologi Toyota pun kian lama kian canggih dan mutakhir seiring dengan perkembangan zaman yang semakin serba canggih. Anda tak perlu ragu lagi, percayakan semua pada Toyota ! sekali Toyota tetap Toyota! Sudah terbukti ketangguhanya! Semoga bermanfaat. Amin</span></div>Muhammad Zamronihttp://www.blogger.com/profile/10110306643251368312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7866388757807007826.post-79402365612228923322010-10-27T11:03:00.003+07:002012-02-13T19:36:43.033+07:00“(Bencana (Banjir) Manusia di Jakarta)”<br />
Oleh : Muhammad Zamroni*<br />
<br />
Jakarta bagaikan magnet yang selalu mempunyai daya tarik untuk berurbanisasi. Jakarta menjadi pilihan utama untuk mengadu nasib karena sebagai kota pusat pemerintahan dan perekonomian. Ledakan penduduk yang tiap tahunya selalu naik kian lama kian memunculkan segudang permasalahan yang kompleks. Mulai dari kemacetan, tingginya tingkat kriminalitas, bahkan Banjir sebagai tradisi tahunan yang merendam<span style="color: red;"> </span><a href="http://metro.vivanews.com/news/read/185209-soal-banjir--fauzi-bowo-siap-sambangi-dpr"><span style="color: red;">ibu kota Indonesia ini.</span></a><br />
Hampir tidak ada lahan kosong lagi di jakarta semuanya di gunakan untuk mendirikan mal-mal, supermarket, tempat tinggal, perusahaan dan tempat-tempat bisnis yang lainya. Dengan harapan dapat merubah nasib menjadi lebih baik ketika merantau ke Jakarta adalah faktor utama yang menyebabkan tingginya tingkat pertambahan penduduk di Jakarta. Ada beberapa dari mereka bisa menjadi orang yang lebih sukses setelah merantau di ibukota tercinta ini tetapi tak sedikit pula yang tak mencapai kesuksesan bahkan menjadi pengamen, gembel dan penghuni pemukiman tepian sungai di jakarta.<br />
<br />
Dengan tingginya peningkatan jumlah penduduk maka semakin tinggi pula tingkat kebutuhan tempat tinggal, dan lahan untuk beraktifitas. Propinsi-propinsi di pulau jawa jelas terlihat sangat mendominasi 5 besar propinsi yang mempunyai jumlah penduduk terbanyak di Indonesia dengan menempatkan 5 propinsi yakni Jawa Barat dengan jumlah penduduknya 43.021.826 dengan jumlah laki-laki sebesar 21.876.572 dan perempuan 21.145.254. Urutan selanjutnya yaitu Jawa Timur, JawaTengah, Banten dan DKI Jakarta.<br />
<br />
Berdasarkan jumlah penduduk dan luas wilayah, maka provinsi yang paling tinggi kepadatan penduduknya adalah propinsi DKI Jakarta, yaitu sebesar 14.440 orang per km2. Hal ini di perparah lagi dengan Pembangunan tanpa kendali di wilayah hilir, penyimpangan peruntukan lahan kota, dan penurunan tanah akibat eksploitasi air oleh industri, menyebabkan turunnya kapasitas penyaluran air sistem sungai, yang menyebabkan terjadinya banjir besar di Jakarta.<br />
<br />
Sesuai dengan kodrat sifat air adalah mengalir dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah. Ketika kodrat tersebut tidak di penuhi maka air pun akan berontak dengan wujud sebagai banjir. Padatnya pemukiman dan bangunan-bangunan yang ada di Jakarta membuat air tidak bisa meresap ke bawah tanah. Musnahnya pohon-pohon sebagai penyerap air demi kepentingan tertentu turut mempunyai andil dalam hal ini.<br />
Banjir di Jakarta sering di sebut-sebut sebagai “Banjir Kiriman dari Bogor”. Memang kenyataanya seperti itu karena air bergerak dari Bogor (sesuai kodrat alam) menuju laut melewati Jakarta. Tetapi apakah kita akan menyalahkan kodrat air tersebut? Tidak bukan? Kemudian permasalahanya mengapa air tidak bisa lancar mengalir ke laut? Apa yang terjadi di Jakarta? Terhambatnya aliran air ini yang menyebabkan genangan dan kemudian menjadi banjir. Dan hujan tidak hanya mengguyur Bogor tetapi juga mengguyur Jakarta.<br />
<br />
Menggenangya air di jakarta ini di sebabkan oleh beberapa faktor. Yaitu, Selokan mampet karena sampah, Sungai mampet karena sampah, belum ada kanal banjir yang berfungsi dengan baik, Kawasan hijau yang makin hilang sehingga air hujan tidak terserap ke tanah dan langsung menggenang, Kawasan rawa-rawa di kawasan Jakarta Utara yang secara alami berfungsi sebagai tandon air sudah menjelma menjadi perumahan mewah, Saluran drainase dan gorong-gorong kota yang mampet karena sampah juga, Banyaknya rumah-rumah liar di bantaran sungai yang secara alami sebenarnya berfungsi sebagai tanggul, Kawasan Jakarta Raya yang memang dataran rendah yang rawan banjir.<br />
<br />
Keadaan ini pun diperparah dengan semakin gudulnya kawasan puncak serta pertumbuhan kawasan ini yang tidak terkendali dengan di bangunya Villa-villa dan Restoran-restoran. Puncak secara alami berfungsi sebagai tandon tempat meresapnya air hujan. Dan ini berpengaruh besar menyebabkan tingginya debit air di Ciliwung ketika hujan tiba. Menyedihkan memang, pemerintah menjadikan perizinan sebagai salah satu sumber pendapatan daerah. tanpa di iringi dengan pembenahan atau “reboisasi” terhadap kawasan-kawasan gundul untuk memaksimalkan kembali fungsi penyerapan air.<br />
<br />
Permaslahan ini dapat di selesaikan dengan cara memperbaiki semua sarana-sarana saluran air yang sudah mulai rusak, membuat selokan-selokan di pemukiman padat penduduk, memaksimalkan pembangunan kanal banjir sehingga air bisa lancar sampai ke laut. Penertiban perizinan pembangunan di kawasan-kawasan resapan air, menumbhkan kesadaran masyarakat untuk tidak membuang sampah sembarangan, penertiban kawasan kumuh di bantaran sungai, melakukan penanaman kembali di kawasan-kawasan yang sudah kritis, menekan meledaknya pertambahan penduduk tiap tahunnya (dapat di lakukan ketika kesejahteraan masyarakat di daerah sudah terwujud). Wallahua’lam….<br />
<br />
*Penulis, Mahasiswa Sosiologi (Smt.5) Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.Muhammad Zamronihttp://www.blogger.com/profile/10110306643251368312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7866388757807007826.post-27201460828543952672010-02-27T08:54:00.000+07:002012-02-13T19:37:03.722+07:00” Pergaulan Bebas, Rapuhnya Fondasi Agama”Manusia di bekali oleh Allah SWT hawa nafsu dalam dirinya. Salah satunya adalah nafsu seks. Sebuah nafsu suci yang harus di jaga kesucianya. Nafsu seks itu baru boleh di salurkan setelah adanya pernikahan yang sah. Islam melarang umatnya untuk mendekati zina. Sebab, ketika seseorang telah dekat dengan zina maka akan sulit untuk tidak melakukanya.<br />
Dewasa ini, pergaulan antara pria dan wanita sudah banyak menyimpang dari ajaran agama islam yang sebenarnya. Anak-anak muda zaman sekarang dengan enaknya dan tanpa ada malu sedikitpun ketika berkencan atau berpacaran di muka umum. Seakan-akan itu semua adalah suatu kewajaran dan bukan larangan norma Agama.<br />
Perbuatan zina sudah menyebar mulai dari perkotaan hingga ke pelosok-pelosok pedesaan. Baik zina yang di lakukan atas dasar suka sama suka ataupun atas pemaksaan (pemerkosaan). Bahkan mulai menggerogoti beberapa lembaga pendidikan, yang notabene merupakan tolok ukur dan wajah masa depan bangsa. Adanya siswa sekolah yang hamil di luar nikah, mahasiswa atau mehasiswi yang hidup bersama dalam satu kontrakan, rumah, atau kos tanpa ada ikatan pernikahan (kumpul kebo). Bahkan lebih tragis lagi adanya hubungan badan antara orang tua dengan anak dan adanya orang-orang tua yang sudah berkeluarga (bersuami/ beristri) yang masih juga mencari partner untuk selingkuh.<br />
Padahal Allah SWT telah menerangkan dalam Al-qur’an, Q,S. al-isra’ :32) : “ dan janganlah kamu mendekati zina; karena sesungguhnya perbuatan zina itu adalah suatu perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk”. Dalil ini merupakan peringatan yang sangat keras. Sebab mendekatinya saja tidak boleh, apalagi melakukanya. Menunjukkan bahwa betapa seriusnya agama melarang perbuatan tersebut. Karena akan memunculkan beberapa dampak negatif yang besar. Seperti munculnya berbagai penyakit kelamin, sampai penyakit AIDS/ HIV yang merupakan salah satu penyakit mematikan yang belum di temukan obatnya yang tepat sampai sekarang.<br />
Dalam sebuah hadits riwayat Ibnu Al-Jauzi juga telah di jelaskan dampak perbuatan zina ada enam perkara. Tiga perkara menimpa di dunia dan Tiga perkara menimpa di akhirat. Tiga perkara yang menimpa di dunia adalah hilangnya kewibawaan, memperpendek usia dan selalu di lilit kefakiran. Sedangkan tiga perkara yang menimpa di akhirat adalah mendapatkan murka Allah SWT, jeleknya perhitungan amal dan siksa dalam neraka.<br />
Islam melarang umatnya untuk berdua-duaan di tempat-tempat sepi antara lawan jenis dan pergaulan bebas. Karena hal tersebut dapat membangkitkan gairah seksual dan setanpun akan mendorong agar terus berlanjut pada tingkat yang lebih seru. Jika keduanya tidak bisa membendung gairah seksual dan bujuk rayu setan maka akan terjadilah perzinaan sebagai wujud pelampiasanya.<br />
Rapuhnya fondasi agama merupakan salah satu faktor besar yang menyebabkan munculnya kemaksiatan, kemungkaran, dan perzinaan. Tidak adanya kesadaran akan prinsip-prinsip dan norma-norma agama yang harus di junjung tinggi dan karena agama tidak menjadi bagian dari kepribadiannya. Sehingga timbulnya ketakutan pada dosa itu hanya di rasakan oleh orang yang mengerti ajaran atau norma-norma agama atau kuat imannya saja. Sehingga yang muncul dalam masyarakat yang tidak memperdulikan agama adalah mereka akan melakukan perilaku menyimpang, seks bebas, kumpul kebo dan lain sebagainya selama mereka merasa aman tanpa memikirkan adanya dosa dan kemurkaan Allah SWT.<br />
Semua itu dibutuhkan kerja sama peran serta semua komponen masyarakat untuk mengatasinya. Sebagai orang tua harus pandai mengontrol pergaulan anak-anaknya, tingkah lakunya, penampilannya, dan lain sebagainya. Sebagai remaja harus ada kesadaran untuk menjunjung tinggi budi pekerti yang luhur dan menjaga kehormatannya serta didukung oleh peran serta masyarakat yang kuat. Dan pemerintah harus berani mengambil tindakan tegas terhadap penyimpangan-penyimpangan dan perbuatan asusila yang terjadi. Dengan peran serta semua komponen masyarakat dan membangun fondasi agama yang kuat pada semua lapisan masyarakat, maka fondasi agama yang kuat ini akan menjadi landasan yang kuat dalam menghadapi berbagai masalah atau keadaan. Sehingga masalah-masalah penyimpangan sosial dalam masyarakat akan teratasi dengan baik. Wallahu a’lam……<br />
<br />
bernas jogja 5 feb 2010Muhammad Zamronihttp://www.blogger.com/profile/10110306643251368312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7866388757807007826.post-53783532729757673132009-12-30T14:27:00.002+07:002012-02-13T19:37:47.534+07:00Seputar Pembangunan Pembangunan merupakan bentuk perubahan sosial yang terarah dan terencana melalui berbagai macam kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat. Kesejahteraan masyarakat adalah suatu keadaan yang selalu menjadi cita-cita seluruh bangsa di dunia ini. Begitu juga bangsa Indonesia seperti yang termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 telah mencantumkan tujuan pembangunan nasionalnya. Berbagai teori tentang pembangunan telah banyak dikeluarkan oleh ahli-ahli sosial barat, salah satunya yang juga dianut oleh Bangsa Indonesia dalam program pembangunannya adalah teori modernisasi. Modernisasi merupakan tanggapan ilmuan sosial barat terhadap tantangan yang dihadapi oleh negara dunia kedua setelah berakhirnya Perang Dunia II.<br />
<br />
Modernisasi menjadi sebuah model pembangunan yang berkembang dengan pesat seiring keberhasilan negara dunia kedua. Negara dunia ketiga juga tidak luput oleh sentuhan modernisasi ala barat tersebut. berbagai program bantuan dari negara maju untuk negara dunia berkembang dengan mengatasnamakan sosial dan kemanusiaan semakin meningkat jumlahnya. Namun demikian kegagalan pembangunan ala modernisasi di negara dunia ketiga menjadi sebuah pertanyaan serius untuk dijawab. Beberapa ilmuan sosial dengan gencar menyerang modernisasi atas kegagalannya ini. Modernisasi dianggap tidak ubahnya sebagai bentuk kolonialisme gaya baru, bahkan Dube (1988) menyebutnya seolah musang berbulu domba. Dan di belakang nanti akan lebih di fokuskan pada dampak-dampak negatif yang di timbulkan oleh proses tersebut.<br />
<br />
Pembangunan di Indonesia khususnya sejak era Orde Baru yang memanfaatkan teknologi Barat dan modal asing telah melahirkan nilai-nilai baru dalam masyarakat yang menggeser kebudayaan tradisional. Dan dengan modernisasi yang menggunakan teknologi Barat serta masuknya modal asing, kita tidak dapat mencegah masuknya kebudayaan asing yang perlahan-lahan menyisihkan kebudayaan tradisional.<br />
<br />
Tujuan pembangunan yaitu untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan . Kesejahteraan masyarakat. Dan modernisasi adalah suatu tuntutan bagi semua Negara-negara yang ada di semua belahan dunia. Tetapi modernisasi itu harus di sertai dengan kuatnya fondasi moral yang ada di dalamnya. Sehingga terjadi suatu keseimbangan antara perkembangan ilmu dan teknologi. Dan di sertai dengantingginya moral dan perilaku masyarakat.<br />
<br />
Modernisasi tentu harus kita olah lebih jauh lagi dan tidak menerimanya sebagai teori Tuhan yang berharga mati. Perbaikan-perbaikan konsep modernisasi yang diselaraskan dengan budaya serta pengetahuan lokal masyarakat akan menjadi sebuah konsep pembangunan yang berwawasan lingkungan dan kemanusiaan.<br />
Wallahu A’lam…………..Muhammad Zamronihttp://www.blogger.com/profile/10110306643251368312noreply@blogger.com0