Salah satu hidden kurikulum
pembelajaran sosiologi adalah pemahaman para siswa mengenai keadaan riel
masyarakat kita yang bersifat multikultural. Secara spesifik, materi
tentang multikulturalisme diajarkan di SMA Kelas XI Program IPS,
walaupun secara kontekstual telah dibelajarkan sejak SD dan SMP melalui
pembelajaran IPS. Masalahnya adalah, walaupun hal tersebut telah
dibelajarkan kepada murid-murid sejak SD sampai dengan SMA, tetapi
penghayatan tentang multikulturalisme oleh masyarakat masih merupakan
masalah. Hubungan di antara kelompok-kelompok etnis, sosial, politik,
maupun kebudayaan dalam masyarakat kita masih sering diwarnai dengan
persoalan stereotype, ethnosentrisme, dan bahkan
primordialisme. Dalam masyarakat masih dapat disaksikan adanya
orang-orang dari suatu kelompok etnik, sosial, politik, agama, dan
lain-lain yang masih enggan berinteraksi dengan orang-orang dari
kelompok lain, bahkan berpandangan bahwa eksistensi kelompok lain
merupakan suatu gangguan, sehingga ketiadaan kelompok lain merupakan
harapan. Demikian juga konflik-konflik yang dilatarbelakangi oleh
perbedaan kepentingan-kepentingan politik, agama, ataupun aliran.
Apakah Multikulturalisme?
Multikulturalisme berasal dari dua kata multi (banyak/beragam) dan cultural
(budaya atau kebudayaan), yang secara etimologi berarti keberagaman
budaya. Budaya yang mesti dipahami, adalah bukan budaya dalam arti
sempit, melainkan mesti dipahami sebagai semua dialektika manusia
terhadap kehidupannya. Dialektika ini akan melahirkan banyak wajah,
seperti sejarah, pemikiran, budaya verbal, bahasa, seni, dan lain-lain.
Multikulturalisme adalah sebuah filosofi
terkadang ditafsirkan sebagai ideologi yang menghendaki adanya persatuan
dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial politik
yang sama dalam masyarakat modern. Istilah multikultural juga sering
digunakan untuk menggambarkan kesatuan berbagai etnis masyarakat yang
berbeda dalam suatu negara.
Konsep tentang mutikulturalisme, sebagaimana konsep ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan yang tidak bebas nilai (value free),
tidak luput dari pengayaan maupun penyesuaian ketika dikaji untuk
diterapkan. Demikian pula ketika konsep ini masuk ke Indonesia, yang
dikenal dengan sosok keberagamannya. Muncul konsep multikulturalisme
yang dikaitkan dengan agama, yakni ”multikulturalisme religius” yang
menekankan tidak terpisahnya agama dari negara, tidak mentolerir adanya
paham, budaya, dan orang-orang yang atheis (Harahap, 2008). Dalam
konteks ini, multukulturalisme dipandangnya sebagai pengayaan terhadap
konsep kerukunan umat beragama yang dikembangkan secara nasional.
Multikulturalisme dan integrasi nasional
Semangat multikulturalisme menjadikan
pemikiran bahwa integrasi nasional harus dibangun berdasarkan politik
kebudayaan seragam dianggap tidak lagi relevan, dan tidak sesuai lagi
dengan kondisi dan semangat demokrasi global yang juga meningkat sejalan
dengan reformasi tersebut. Desentralisasi kekuasaan dalam bentuk
otonomi daerah semenjak 1999 adalah jawaban bagi tuntutan demokrasi
tersebut. Namun, desentralisasi sebagai keputusan politik nasional
ternyata kemudian disadari tidak begitu produktif apabila dilihat dari
kacamata integrasi nasional suatu bangsa besar yang isinya luar biasa
beraneka ragam suku bangsa, agama, kondisi geografi, kemampuan ekonomi,
dan bahkan ras.
Di masa lalu, memang kekuatan pengikat
keanekaragaman itu adalah politik sentralisasi yang berpusat pada
kekuasaan pemerintah yang otoritarian. Namun, seiring dengan lajunya
demokratisasi cara demikian tidaklah sesuai lagi, kecuali akan
menjadikan konflik-konflik di negeri yang memang majemuk ini tak kunjung
selesai.
Model multikulturalisme
Mengikuti Bikhu Parekh (2001) dalam Rethinking Multiculturalism
[Harvard University Press], bahwa istilah multikulturalisme mengandung
tiga komponen, yakni (1) terkait dengan kebudayaan, (2) konsep ini
merujuk kepada pluralitas kebudayaan, dan (3) cara tertentu untuk
merespons pluralitas itu.
Oleh karena itu, multikulturalisme
bukanlah doktrin politik pragmatik, melainkan sebagai cara pandang
kehidupan manusia. Yang masih menjadi pertanyaan besar adalah, model
kebijakan multikultural seperti apa yang dapat dikembangkan oleh suatu
negara seperti Indonesia?
Kita mengenal paling tidak tiga model
kebijakan multikultural negara untuk menghadapi persoalan di atas.
Pertama, model yang mengedepankan nasionalitas. Nasionalitas adalah
sosok baru yang dibangun bersama tanpa memperhatikan aneka ragam suku
bangsa, agama, dan bahasa, dan nasionalitas bekerja sebagai perekat
integrasi. Dalam kebijakan ini setiap orang—bukan kolektif—berhak untuk
dilindungi negara sebagai warga negara.
Model ini dipandang sebagai penghancur
akar kebudayaan etnik yang menjadi dasar pembentukan negara dan
menjadikannya sebagai masa lampau saja. Model kebijakan multikultural
ini dikhawatirkan terjerumus ke dalam kekuasaan otoritarian karena
kekuasaan untuk menentukan unsur-unsur integrasi nasional berada di
tangan suatu kelompok elite tertentu.
Kedua, model nasionalitas-etnik yang
berdasarkan kesadaran kolektif etnik yang kuat yang landasannya adalah
hubungan darah dan kekerabatan dengan para pendiri nasional (founders).
Selain itu, kesatuan bahasa juga merupakan ciri nasional-etnik ini.
Model ini dianggap sebagai model tertutup karena orang luar yang tidak
memiliki sangkut paut hubungan darah dengan etnis pendiri nasional akan
tersingkir dan diperlakukan sebagai orang asing.
Ketiga, model multikultural-etnik yang
mengakui eksistensi dan hak-hak warga etnik secara kolektif. Dalam model
ini, keanekaragaman menjadi realitas yang harus diakui dan diakomodasi
negara, dan identitas dan asal-usul warga negara diperhatikan. Isu-isu
yang muncul karena penerapan kebijakan ini tidak hanya keanekaragaman
kolektif dan etnik, tetapi juga isu mayoritas-minoritas, dominan-tidak
dominan. Persoalannya menjadi lebih kompleks lagi karena ternyata
mayoritas tidak selalu berarti dominan, karena berbagai kasus
menunjukkan bahwa minoritas justru dominan dalam ekonomi.
Jika kekuasaan negara lemah karena
prioritas kekuasaan dilimpahkan ke aneka ragam kolektif sebagai
konsekuensi pengakuan negara, negara mungkin diramaikan konflik-konflik
internal berkepanjangan yang pada gilirannya akan melemahkan negara itu
sendiri.
Pembelajaran Sosiologi, multikulturalisme, dan integrasi nasional
Pembelajaran sosiologi di sekolah-sekolah
diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran di kalangan siswa akan adanya
keberagaman kebudayaan di antara kelompok-kelompok etnis, sosial,
ekonomi, politik, maupun kebudayaan, dan dapat meresponnya dengan
penghormatan satu terhadap lainnya. Pemahaman bahwa orang-orang yang
berasal dari bermacam-macam kelompok yang saling berbeda itu berhak
untuk hidup bersanding dan mendapatkan hak-haknya, diharapkan akan
meniadakan konflik-konflik baik yang bersifat ideologis maupun politis.
Bagaimana pembelajaran sosiologi akan menumbuhkan pemahaman itu?
Kajian sosiologi yang ruang lingkupnya
meliputi: (1) struktur sosial, (2) proses sosial, dan (3)
perubahan-perubahan sosial, sangat memadai untuk memberikan pemahaman
kepada siswa mengenai multikulturalisme. Melalui pembelajaran tentang
struktur sosial, diharapkan siswa dapat memahami bahwa masyarakat secara
vertikal akan terdiri atas berbagai kelas sosial, yang secara sederhana
meliputi kelas atas, kelas menengah, dan kelas bawah, baik didasarkan
pada kriteria-kriteria politik, ekonomi, maupun sosial. Sedangkan secara
horizontal, masyarakat terdiri atas berbagai kelompok atau golongan
yang didasarkan pada kesukubangsaan (etnisitas), agama, ras, maupun
aliran, yang dalam istilah sehari-hari dikenal sebagai SARA. Secara
lebih lanjut, siswa memahami bahwa di antara kelompok-kelompok dan
kelas-kelas sosial tersibut masing-masing memiliki sistem struktur
kelembagaan, nilai dan cara hidup (cara berfikir, cara berperasaan, dan
cara bertindak) yang dapat berbeda satu dengan lainnya, sehingga dalam
masyarakat ada kecenderungan terjadinya pengelompokan warga masyarakat
berdasarkan paramater-parameter tersebut yang bersifat masif, sehingga
nyaris merupakan penggumpalan atau segmentasi. Keadaan yang demikian
menimbulkan persoalan tentang interaksi di antara para warga kelompok
atau kelas tersebut, baik secara kelompok maupun perorangan.
Permasalahan-permasalahan yang muncul dari interaksi di antara kelompok
dan kelas-kelas sosial ini dapat menjadi kajian diskusi kelompok atau
pun kelas, sehingga secara langsung maupun tidak langsung dapat
menimbulkan kesadaran tentang perilaku-perilaku yang semestinya
berkembang di antara para warga masyarakat sehingga tidak menimbulkan
konflik-konflik yang dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan kelas atau
kelompok baik etnis, sosial, ekonomi, maupun kebudayaan.
Kemudian melalui pembelajaran tentang
proses sosial, para peserta didik tingkat SMA/MA dapat memahami tentang
adanya berbagai macam bentuk hubungan timbal-balik di antara unsur-unsur
sosial yang pokok, khususnya interaksi sosial, yaitu hubungan
timbal-balik yang dinamik dan saling mempengaruhi di antara orang-orang
dalam masyarakat, baik secara individu maupun kelompok, yang secara
garis besar meliputi dua macam proses, yaitu asosiatif (yang terdiri
atas kerjasama, akomodasi, dan asimilasi) dan disosiatif (yang terdiri
atas konflik, persaingan, dan kontravensi).
Bentuk mana yang akan terjadi ketika
suatu interaksi sosial berlangsung, akan sangat dipengruhi oleh
faktor-faktor yang mendasari atau mempengaruhinya, seperti imitasi,
identifikasi, sugesti, dan simpati.