Posted by : Muhammad Zamroni Senin, Februari 13, 2012

Salah satu hidden kurikulum pembelajaran sosiologi adalah pemahaman para siswa mengenai keadaan riel masyarakat kita yang bersifat multikultural. Secara spesifik, materi tentang multikulturalisme diajarkan di SMA Kelas XI Program IPS, walaupun secara kontekstual telah dibelajarkan sejak SD dan SMP melalui pembelajaran IPS. Masalahnya adalah, walaupun hal tersebut telah dibelajarkan kepada murid-murid sejak SD sampai dengan SMA, tetapi penghayatan tentang multikulturalisme oleh masyarakat masih merupakan masalah. Hubungan di antara kelompok-kelompok etnis, sosial, politik, maupun kebudayaan dalam masyarakat kita masih sering diwarnai dengan persoalan stereotype, ethnosentrisme, dan bahkan primordialisme.  Dalam masyarakat masih dapat disaksikan adanya orang-orang dari suatu kelompok etnik, sosial, politik, agama, dan lain-lain yang masih enggan berinteraksi dengan orang-orang dari kelompok lain, bahkan berpandangan bahwa eksistensi kelompok lain merupakan suatu gangguan, sehingga ketiadaan kelompok lain merupakan harapan. Demikian juga konflik-konflik yang dilatarbelakangi oleh perbedaan kepentingan-kepentingan politik, agama, ataupun aliran.

Apakah Multikulturalisme?
Multikulturalisme berasal dari dua kata multi (banyak/beragam) dan cultural (budaya atau kebudayaan), yang secara etimologi berarti keberagaman budaya. Budaya yang mesti dipahami, adalah bukan budaya dalam arti sempit, melainkan mesti dipahami sebagai semua dialektika manusia terhadap kehidupannya. Dialektika ini akan melahirkan banyak wajah, seperti sejarah, pemikiran, budaya verbal, bahasa, seni, dan lain-lain.
Multikulturalisme adalah sebuah filosofi terkadang ditafsirkan sebagai ideologi yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial politik yang sama dalam masyarakat modern. Istilah multikultural juga sering digunakan untuk menggambarkan kesatuan berbagai etnis masyarakat yang berbeda dalam suatu negara.
Konsep tentang mutikulturalisme, sebagaimana konsep ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan yang tidak bebas nilai (value free), tidak luput dari pengayaan maupun penyesuaian ketika dikaji untuk diterapkan. Demikian pula ketika konsep ini masuk ke Indonesia, yang dikenal dengan sosok keberagamannya. Muncul konsep multikulturalisme yang dikaitkan dengan agama, yakni ”multikulturalisme religius” yang menekankan tidak terpisahnya agama dari negara, tidak mentolerir adanya paham, budaya, dan orang-orang yang atheis (Harahap, 2008). Dalam konteks ini, multukulturalisme dipandangnya sebagai pengayaan terhadap konsep kerukunan umat beragama yang dikembangkan secara nasional.
Multikulturalisme dan integrasi nasional
Semangat multikulturalisme menjadikan pemikiran bahwa integrasi nasional harus dibangun berdasarkan politik kebudayaan seragam dianggap tidak lagi relevan, dan tidak sesuai lagi dengan kondisi dan semangat demokrasi global yang juga meningkat sejalan dengan reformasi tersebut. Desentralisasi kekuasaan dalam bentuk otonomi daerah semenjak 1999 adalah jawaban bagi tuntutan demokrasi tersebut. Namun, desentralisasi sebagai keputusan politik nasional ternyata kemudian disadari tidak begitu produktif apabila dilihat dari kacamata integrasi nasional suatu bangsa besar yang isinya luar biasa beraneka ragam suku bangsa, agama, kondisi geografi, kemampuan ekonomi, dan bahkan ras.
Di masa lalu, memang kekuatan pengikat keanekaragaman itu adalah politik sentralisasi yang berpusat pada kekuasaan pemerintah yang otoritarian. Namun, seiring dengan lajunya demokratisasi cara demikian tidaklah sesuai lagi, kecuali akan menjadikan konflik-konflik di negeri yang memang majemuk ini tak kunjung selesai.
Model multikulturalisme
Mengikuti Bikhu Parekh (2001) dalam Rethinking Multiculturalism [Harvard University Press], bahwa istilah multikulturalisme mengandung tiga komponen, yakni (1) terkait dengan kebudayaan, (2) konsep ini merujuk kepada pluralitas kebudayaan, dan (3) cara tertentu untuk merespons pluralitas itu.
Oleh karena itu, multikulturalisme bukanlah doktrin politik pragmatik, melainkan sebagai cara pandang kehidupan manusia. Yang masih menjadi pertanyaan besar adalah, model kebijakan multikultural seperti apa yang dapat dikembangkan oleh suatu negara seperti Indonesia?
Kita mengenal paling tidak tiga model kebijakan multikultural negara untuk menghadapi persoalan di atas. Pertama, model yang mengedepankan nasionalitas. Nasionalitas adalah sosok baru yang dibangun bersama tanpa memperhatikan aneka ragam suku bangsa, agama, dan bahasa, dan nasionalitas bekerja sebagai perekat integrasi. Dalam kebijakan ini setiap orang—bukan kolektif—berhak untuk dilindungi negara sebagai warga negara.
Model ini dipandang sebagai penghancur akar kebudayaan etnik yang menjadi dasar pembentukan negara dan menjadikannya sebagai masa lampau saja. Model kebijakan multikultural ini dikhawatirkan terjerumus ke dalam kekuasaan otoritarian karena kekuasaan untuk menentukan unsur-unsur integrasi nasional berada di tangan suatu kelompok elite tertentu.
Kedua, model nasionalitas-etnik yang berdasarkan kesadaran kolektif etnik yang kuat yang landasannya adalah hubungan darah dan kekerabatan dengan para pendiri nasional (founders). Selain itu, kesatuan bahasa juga merupakan   ciri nasional-etnik ini. Model ini dianggap sebagai model tertutup karena orang luar yang tidak memiliki sangkut paut hubungan darah dengan etnis pendiri nasional akan tersingkir dan diperlakukan sebagai orang asing.
Ketiga, model multikultural-etnik yang mengakui eksistensi dan hak-hak warga etnik secara kolektif. Dalam model ini, keanekaragaman menjadi realitas yang harus diakui dan diakomodasi negara, dan identitas dan asal-usul warga negara  diperhatikan. Isu-isu yang muncul karena penerapan kebijakan ini tidak hanya keanekaragaman kolektif dan etnik,  tetapi juga isu mayoritas-minoritas, dominan-tidak dominan. Persoalannya menjadi lebih kompleks lagi karena  ternyata mayoritas tidak selalu berarti dominan, karena berbagai kasus menunjukkan bahwa minoritas justru dominan  dalam ekonomi.
Jika kekuasaan negara lemah karena prioritas kekuasaan dilimpahkan ke aneka ragam kolektif sebagai konsekuensi pengakuan negara, negara mungkin diramaikan konflik-konflik internal berkepanjangan yang pada gilirannya akan melemahkan negara itu sendiri.
Pembelajaran Sosiologi, multikulturalisme, dan integrasi nasional
Pembelajaran sosiologi di sekolah-sekolah diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran di kalangan siswa akan adanya keberagaman kebudayaan di antara kelompok-kelompok etnis, sosial, ekonomi, politik, maupun kebudayaan, dan dapat meresponnya dengan penghormatan satu terhadap lainnya.  Pemahaman bahwa orang-orang yang berasal dari bermacam-macam kelompok yang saling berbeda itu berhak untuk hidup bersanding dan mendapatkan hak-haknya, diharapkan akan meniadakan konflik-konflik baik yang bersifat ideologis maupun politis.
Bagaimana pembelajaran sosiologi akan menumbuhkan pemahaman itu?
Kajian sosiologi yang ruang lingkupnya meliputi: (1) struktur sosial, (2) proses sosial, dan (3) perubahan-perubahan sosial, sangat memadai untuk memberikan pemahaman kepada siswa mengenai multikulturalisme.  Melalui pembelajaran tentang struktur sosial, diharapkan siswa dapat memahami bahwa masyarakat secara vertikal akan terdiri atas berbagai kelas sosial, yang secara sederhana meliputi kelas atas, kelas menengah, dan kelas bawah, baik didasarkan pada kriteria-kriteria politik, ekonomi, maupun sosial. Sedangkan secara horizontal, masyarakat terdiri atas berbagai kelompok atau golongan yang didasarkan pada kesukubangsaan (etnisitas), agama, ras, maupun aliran, yang dalam istilah sehari-hari dikenal sebagai SARA. Secara lebih lanjut, siswa memahami bahwa di antara kelompok-kelompok dan kelas-kelas sosial tersibut masing-masing memiliki sistem struktur kelembagaan, nilai dan cara hidup (cara berfikir, cara berperasaan, dan cara bertindak) yang dapat berbeda satu dengan lainnya, sehingga dalam masyarakat ada kecenderungan terjadinya pengelompokan warga masyarakat berdasarkan paramater-parameter tersebut yang bersifat masif, sehingga nyaris merupakan penggumpalan atau segmentasi.  Keadaan yang demikian menimbulkan persoalan tentang interaksi di antara para warga kelompok atau kelas tersebut, baik secara kelompok maupun perorangan. Permasalahan-permasalahan yang muncul dari interaksi di antara kelompok dan kelas-kelas sosial ini dapat menjadi kajian diskusi kelompok atau pun kelas, sehingga secara langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan kesadaran tentang perilaku-perilaku yang semestinya berkembang di antara para warga masyarakat sehingga tidak menimbulkan konflik-konflik yang dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan kelas atau kelompok baik etnis, sosial, ekonomi, maupun kebudayaan.
Kemudian melalui pembelajaran tentang proses sosial, para peserta didik tingkat SMA/MA dapat memahami tentang adanya berbagai macam bentuk hubungan timbal-balik di antara unsur-unsur sosial yang pokok, khususnya interaksi sosial, yaitu hubungan timbal-balik yang dinamik dan saling mempengaruhi di antara orang-orang dalam masyarakat, baik secara individu maupun kelompok, yang secara garis besar meliputi dua macam proses, yaitu asosiatif (yang terdiri atas kerjasama, akomodasi, dan asimilasi) dan disosiatif (yang terdiri atas konflik, persaingan, dan kontravensi).
Bentuk mana yang akan terjadi ketika suatu interaksi sosial berlangsung, akan sangat dipengruhi oleh faktor-faktor yang mendasari atau mempengaruhinya, seperti imitasi, identifikasi, sugesti, dan simpati.

Source: Klik Dsini

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Hidup Adalah Pilihan - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -