- Back to Home »
- OPINI »
“(Bencana (Banjir) Manusia di Jakarta)”
Oleh : Muhammad Zamroni*
Jakarta bagaikan magnet yang selalu mempunyai daya tarik untuk berurbanisasi. Jakarta menjadi pilihan utama untuk mengadu nasib karena sebagai kota pusat pemerintahan dan perekonomian. Ledakan penduduk yang tiap tahunya selalu naik kian lama kian memunculkan segudang permasalahan yang kompleks. Mulai dari kemacetan, tingginya tingkat kriminalitas, bahkan Banjir sebagai tradisi tahunan yang merendam ibu kota Indonesia ini.
Hampir tidak ada lahan kosong lagi di jakarta semuanya di gunakan untuk mendirikan mal-mal, supermarket, tempat tinggal, perusahaan dan tempat-tempat bisnis yang lainya. Dengan harapan dapat merubah nasib menjadi lebih baik ketika merantau ke Jakarta adalah faktor utama yang menyebabkan tingginya tingkat pertambahan penduduk di Jakarta. Ada beberapa dari mereka bisa menjadi orang yang lebih sukses setelah merantau di ibukota tercinta ini tetapi tak sedikit pula yang tak mencapai kesuksesan bahkan menjadi pengamen, gembel dan penghuni pemukiman tepian sungai di jakarta.
Dengan tingginya peningkatan jumlah penduduk maka semakin tinggi pula tingkat kebutuhan tempat tinggal, dan lahan untuk beraktifitas. Propinsi-propinsi di pulau jawa jelas terlihat sangat mendominasi 5 besar propinsi yang mempunyai jumlah penduduk terbanyak di Indonesia dengan menempatkan 5 propinsi yakni Jawa Barat dengan jumlah penduduknya 43.021.826 dengan jumlah laki-laki sebesar 21.876.572 dan perempuan 21.145.254. Urutan selanjutnya yaitu Jawa Timur, JawaTengah, Banten dan DKI Jakarta.
Berdasarkan jumlah penduduk dan luas wilayah, maka provinsi yang paling tinggi kepadatan penduduknya adalah propinsi DKI Jakarta, yaitu sebesar 14.440 orang per km2. Hal ini di perparah lagi dengan Pembangunan tanpa kendali di wilayah hilir, penyimpangan peruntukan lahan kota, dan penurunan tanah akibat eksploitasi air oleh industri, menyebabkan turunnya kapasitas penyaluran air sistem sungai, yang menyebabkan terjadinya banjir besar di Jakarta.
Sesuai dengan kodrat sifat air adalah mengalir dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah. Ketika kodrat tersebut tidak di penuhi maka air pun akan berontak dengan wujud sebagai banjir. Padatnya pemukiman dan bangunan-bangunan yang ada di Jakarta membuat air tidak bisa meresap ke bawah tanah. Musnahnya pohon-pohon sebagai penyerap air demi kepentingan tertentu turut mempunyai andil dalam hal ini.
Banjir di Jakarta sering di sebut-sebut sebagai “Banjir Kiriman dari Bogor”. Memang kenyataanya seperti itu karena air bergerak dari Bogor (sesuai kodrat alam) menuju laut melewati Jakarta. Tetapi apakah kita akan menyalahkan kodrat air tersebut? Tidak bukan? Kemudian permasalahanya mengapa air tidak bisa lancar mengalir ke laut? Apa yang terjadi di Jakarta? Terhambatnya aliran air ini yang menyebabkan genangan dan kemudian menjadi banjir. Dan hujan tidak hanya mengguyur Bogor tetapi juga mengguyur Jakarta.
Menggenangya air di jakarta ini di sebabkan oleh beberapa faktor. Yaitu, Selokan mampet karena sampah, Sungai mampet karena sampah, belum ada kanal banjir yang berfungsi dengan baik, Kawasan hijau yang makin hilang sehingga air hujan tidak terserap ke tanah dan langsung menggenang, Kawasan rawa-rawa di kawasan Jakarta Utara yang secara alami berfungsi sebagai tandon air sudah menjelma menjadi perumahan mewah, Saluran drainase dan gorong-gorong kota yang mampet karena sampah juga, Banyaknya rumah-rumah liar di bantaran sungai yang secara alami sebenarnya berfungsi sebagai tanggul, Kawasan Jakarta Raya yang memang dataran rendah yang rawan banjir.
Keadaan ini pun diperparah dengan semakin gudulnya kawasan puncak serta pertumbuhan kawasan ini yang tidak terkendali dengan di bangunya Villa-villa dan Restoran-restoran. Puncak secara alami berfungsi sebagai tandon tempat meresapnya air hujan. Dan ini berpengaruh besar menyebabkan tingginya debit air di Ciliwung ketika hujan tiba. Menyedihkan memang, pemerintah menjadikan perizinan sebagai salah satu sumber pendapatan daerah. tanpa di iringi dengan pembenahan atau “reboisasi” terhadap kawasan-kawasan gundul untuk memaksimalkan kembali fungsi penyerapan air.
Permaslahan ini dapat di selesaikan dengan cara memperbaiki semua sarana-sarana saluran air yang sudah mulai rusak, membuat selokan-selokan di pemukiman padat penduduk, memaksimalkan pembangunan kanal banjir sehingga air bisa lancar sampai ke laut. Penertiban perizinan pembangunan di kawasan-kawasan resapan air, menumbhkan kesadaran masyarakat untuk tidak membuang sampah sembarangan, penertiban kawasan kumuh di bantaran sungai, melakukan penanaman kembali di kawasan-kawasan yang sudah kritis, menekan meledaknya pertambahan penduduk tiap tahunnya (dapat di lakukan ketika kesejahteraan masyarakat di daerah sudah terwujud). Wallahua’lam….
*Penulis, Mahasiswa Sosiologi (Smt.5) Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.