- Back to Home »
- SOSIOLOGI XI IPS »
- Geertz: Abangan, Priayi, dan Santri
Posted by : Muhammad Zamroni
Senin, Februari 13, 2012
Ketika disebut tiga varian yang dibuat
oleh Geertz ini untuk sebuah contoh, misalnya terkait dengan nilai atau
cara hidup, dipastikan ada siswa yang bertanya tentang apakah santri,
priayi, dan abangan. Tidak sedikit anak murid saya yang tidak tahu
tentang hal ini. Barangkali memang karena jarak waktu anatar istilah ini
dikemukakan pertama kali dengan kehidupan sosial anak murid saya begitu
jauhnya, atau barangkali pemilahan tersebut memang sudah tidak relevan
di masyarakat pada waktu sekarang ini. Tulisan ini hendak menjelaskan
tentang tiga varian tersebut secara singkat.
Abangan, priayi, dan Santri, merupakan
klasifikasi yang digali oleh Clifford Geertz dari masyarakat Jawa,
khususnya masyarakat suatu kota di Jawa Timur (Pare, yang dalam
penelitian Geertz disamarkan menjadi Mojokuto) serta daerah pedesaann di
sekitarnya, pada sekitar tahun 1964.
Meskipun klasifikasi ini banyak dikritik
dan gejala yang diamati Geertz pun terjadi pada tahun 50-an dan 60-an
sehingga kini telah banyak berubah, tetapi pemikiran Geertz ini cukup
penting untuk kita ketahuii, karena sering digunakan para ilmuwan untuk
menjelaskan berbagai peristiwa di kala itu – terutama kehidupan politik
kita di tahun-tahun menjelang terjadinya tragedi pada tahun 1965 yang
sering disebut Gerakan Tiga Puluh September serta ideologinya.
Menurut Geertz pembagian masyarakat yang
ditelitinya ke dalam tiga tipe budaya ini didasarkan atas perbedaan
pendangan hidup di antara mereka. Subtradisi abangan yang menurut Geertz
didwarnai berbagai upacara selamatan, praktik pengobatan tradisional,
serta kepercayaan kepada mahluk halus dan kekuatan gaib itu terkait pada
kehidupan di pedesaan. Subtradisi santri yang ditandai oleh ketaatan
pada ajaran agama Islam serta keterlibatan dalam berbagai organisasi
sosial dan politik yang bernafaskan Islam dijumpai di kalangan pengusaha
yang banyak bergerak di pasar maupun di desa selaku pemuka agama.
Subtradisi ketiga, priayi, ditandai pengaruh mistik Hindu-Budha
prokolonial maupun pengaruh kebudayaan Barat dan dijumpai pada kelompok
elite kerah putih (white collar elite) yang merupakan bagian
dari birokrasi pemerintah. Dengan demikian Geertz melihat adanya
keterkaitan erat antara ketiga subtradisi ini –abangan, santri, dan
priayi—dengan tiga lingkungan –desa, pasar, dan birokrasi pemerintahan.
Di tahun 50-an dan 60-an dijumpai suatu
pengelompokan yang terdiri atas partai politik yang masing-masing
mempunyai organisasi massa sendiri –suatu pengelompokan yang oleh Geertz
dinamakan aliran. Di Jawa Geertz mengidentifikasikan empat aliran: PNI,
PKI, Masyumi, dan NU. Yang menarik ialah bahwa pola aliran tersebut
kemudian dikaitkan dengan ketiga subtradisi Geertz, muncul pandangan
bahwa ketiga subtradisi tersebut melandasi pengelompokan aliran. Menurut
pendapat ini aliran berhaluan Islam (Masyumi dan NU) didukung oleh kaum
santri, PNI berintikan kaum priayi, dan PKI didukung oleh kaum abangan.
Sebagaimana telah disebutkan, klasifikasi
Geertz telah memancing berbagai reaksi. Harsya W. Bachtiar (1973),
misalnya, menememukan beberapa masalah dalam klasifikasi Geertz ini,
antara lain mengemukakan bahwa Geertz tidak secara tegas mengemukakan
apakah klasifikasinya merupakan klasifikasi budaya ataukah klasifikasi
kelompok. Sebagai klasifikasi kelompok, pembagian Geertz ini dipandang
tidak memadai karena besarnya kemungkinan tumpang tindih. Dari segi
ketaatan pada ajaran agama Islam, misalnya, seorang priayi dapat
diklasifikasikan sebagai santri atau abangan.
Dalam dinamika sosial, di antara ketiga
golongan tersebut sering ditemukan pola-pola konflik, yakni konflik
idiologi, konflik kelas, dan konflik politik.
Konflik Ideologi
Ketegangan antara priayi dengan abangan
dalam hal ideologi tidak terlihat secara jelas dibandinkan ketegangan
antara kaum santri dengan kaum abangan dan kaum priayi. Terhadap
ideologi kaum santri terlihat jelas dengan nyanyian ejekan kaum abangan
yang mengisyaratkan bahwa kaum santri yang merasa memiliki moralitas
lebih suci dari kaum abangan dengan cara berpakaian sopan, seperti
kerudung namun dalam kenyataan –menurut kaum abangan– masih melakukan
perbuatan zina. Kaum priayi mengkritik tentang kemunafikan santri dan
intoleransi di kalangan kaum santri terhadap golongan-golongan lain
dalam masyarakat.
Menurut kaum abangan, ritual keagamaan
haji ke Makkah yang dilakukan oleh kaum santri merupakan sikap yang
tidak penting dan hanya membuang-buang uang saja. Yang lebih penting,
menurut kaum abangan dan priayi, kesucian itu ada di dalam hati, bukan
di Mekah atau di masjid.
Serangan kaum santri terhadap kedua
golongan tersebut (abangan dan priyayi) tidak kalah tajam. Mereka
menuduh kaum abangan sebagai penyembah berhala dan menuduh kaum priayi
tidak bisa membedakan dirinya dengan Tuhan, terkait dengan kecenderungan
kaum priayi untuk merumuskan nilai dan normanya sendiri yang berasal
dari hati nurani, dan bukan berasal dari kitab suci.
Konflik Kelas
Ketegangan priyayi dan abangan terlihat
jelas pada hubungannnya dengan persoalan status. Kaum priyayi menuduh
kaum abangan tidak tahu tempatnya yang layak sehingga mengganggu
keseimbangan organis masyarakat. Mereka menganggap bahwa kedudukan
status sosial mereka lebih tinggi dibangdingkan kaum abangan sehingga
mereka tidak suka jika kaum abangan yang mayoritas petani meniru gaya
hidup mereka. Namun sejak zaman pendudukan Jepang di Indonesia, kaum
abangan mulai menyuarakan persamaan hak dan status sosial dengan kaum
priayi. Hal ini karena tidak adanya orang kuat dari kaum priayi di
pedesaan sebagai tokoh-tokoh kekuasaan, kekayaan, dan kesaktian magis
dalam strutur masyarakat.
Konflik Politik
Dalam kehidupan politik, sering terdapat
ketegangan-ketegangan hubungan di antara ketiga golongan ini, yang
berawal dari berbedanya ideologi ketiga golongan. Pada masa orde baru di
mana partai politik yang ada disederhanakan menjadi tiga partai, ada
kecenderungan terjadinya himpitan parameter antara partai dan aliran
ini. Partai Persatuan Pembangunan identik dengan kaum santri, Partai
Demokrasi Indonesia identik dengan kaum abangan, dan Golkar identik
dengan kaum priayi. Ketiga varian ini sering ditajamkan dengan
warna-warna mereka yang memang berbeda, kaum santri dan PPP identik
dengan warna hijau, Kaum Abangan dan PDI identik dengan warna merah,
sedangkan KaumPriayi dan Golkar identik dengan warna kuning.
Ketika azas tunggal diberlakukan di
Indonesia, sehingga ketiga partai politik yang ada pada waktu itu harus
menganut ideologi negara Pancasila, memang ada moderasi konflik di
antara tiga golongan. Namun, tetap saja terjadi ketegangan ideologis
antara kaum santri dengan kaum abangan. Pada pembahasan berbagai hal di
kehidupan politik, misalnya tentang Undang-udang Perkawinan, konflik
atau ketegangan antara Kaum Abangan (PDI) dengan Kaum Santri (PPP)
sangat tajam.
Pada masa reformasi politik dengan banyak
partai, memang keberadaan tiga varian itu sangat tersebar, tetapi
apabila telah terjadi pergulatan ke titik-titik sentral kekuasaan,
misalnya pemilihan presiden, maka segmentasi tiga warna itu menjadi
terasakan kembali, bahwa akhirnya warna kehidupan politik Indonesia ya
merah, kuning, dan hijau.
Sumber: Klik Disini