- Back to Home »
- SOSIOLOGI XI IPS »
- Perkembangan dan Dinamika Hubungan Antar-Kelompok Sosial
Posted by : Muhammad Zamroni
Senin, Februari 13, 2012
Tulisan berikut ini adalah
rangkuman/intisari pembahasan Perkembangan dan Dinamika Hubungan
Antar-Kelompok Sosial yang merupakan bahan ajar untuk Kelas XI IPS
Semester 2. Karena merupakan rangkuman, maka beberapa hal atau
pembahasan yang muncul dalam pembicaraan di kelas tidak dapat terdapat
di tulisan ini.
Pendahuluan
Sebagaimana telah diungkapkan dalam
pembasan tentang kelompok sosial dan macam-macamnya bahwa kelompok
sosial merupakan suatu gejala yang sangat penting dalam kehidupan
manusia, kerena sebagian besar kegiatan manusia berlangsung di dalamnya.
Disadari maupun tidak, seseorang menjadi anggota suatu kelompok sejak
ia lahir di dunia. Hampir semua orang dilahirkan di dan selanjutnya
menjadi anggota sebuah kelompok atau satuan sosial yang disebut
keluarga. Secara otomatis, bayi tersebut menjadi anggota atau warga
sebuah rukun tetangga, rukun warga, desa, kelurahan, kecamatan,
kabupaten, dan negara.
Pada awal kehidupannya, interaksi
seseorang akan terbatas dengan orang-orang yang ada di keluarganya atau
dengan sesama warga rukun tetangga atau sebuah desa. Pada giliran
berikutnya, orang tersebut akan menjalin interaksi dengan orang-orang
yang berada di luar keluarganya atau di luar desanya, misalnya dengan
teman-teman peer group-nya atau guru-guru atau teman-teman
sekolahnya. Seseorang barangkali juga akan menjalin interaksi dengan
orang-orang yang mempunyai minat dan perhatian yang sama, dengan
orang-orang se-kantornya, dengan orang-orang yang dengan mereka
seseorang mempunyai kepentingan tertentu.
Kecuali kelompok-kelompok genealogis dan
teritorialnya yang relatif statis, kelompok-kelompok yang dibentuk
berdasarkan kepentingan sifatnya lebih dinamik. Perubahan-perubahan
mungkin saja terjadi dalam kelompok genealogis, seperti keluarga. Tetapi
karena alasan-alasan dan nilai-nilai tertentu, seseorang akan tidak
dengan mudah melepaskan keanggotaanya dari sebuah keluarga. Demikian
juga dengan kelompok-kelompok dengan kategori utama kesatuan wilayah,
walaupun satuan wilayah di masyarakat perkotaan bisa saja dinamis.
Mobilitas geografik orang-orang perkotaan lebih terasakan denyutnya
daripada mobilitas geografik orang-orang di perdesaan. Sedangkan pada
kelompok-kelompok kepentingan khusus (special interest group),
perkembangan dan dinamikanya lebih terasakan. Apabila seseorang tidak
suka dengan cara kerja kelompok-kelompok kepentingan, yang dari segi
hubungan sosial merupakan hubungan sekunder, ia akan meninggalkannya dan
mencari kelompok yang lain yang lebih dapat memberikan peluang untuk
mencapai tujuan-tujuan atau kepentingan-kepentingan hidupnya. Keluarga
dan kelompok-kelompok primer yang lain tidak mudah ditinggalkan orang,
karena hubungan-hubungan yang terjadi lebih didasarkan pada perasaan.
Sehingga banyak orang akan bersedih apabila dipaksa berpisah dengan
orang-orang dalam kelompok primernya.
Pada kesempatan ini, bahasan akan terfokus pada (1) perkembangan Kelompok, dan (2) masalah hubungan antar-kelompok.
Perkembangan Kelompok
Mengapa suatu kelompok kepentingan itu berdiri, kemudian berkembang, atau bahkan beberapa kelompok itu akhirnya bubar?
Telusuri kembali logika berdirinya suatu
kelompok. Apabila menggunakan paradigm theologies, kita dapat menyatakan
bahwa dalam diri manusia mempunyai naluri gregariousness,
yaitu semacam hasrat dasar, naluri, atau fitrah orang untuk menjadi satu
dengan lingkungan dan manusia-manusia lain di sekitarnya. Namun,
paradigm positif sebagaimana dianjurkan oleh Auguste Comte, bagaimana
orang tidak berkelompok, karena hampir semua kebutuhan hidup manusia
hanya dapat terpenuhi dengan membentuk kelompok. Coba pikirkan mengenai
kebutuhan-kebutuhan hidup Anda, mulai dari kebutuhan biologis, seperti
melanjutkan keturunan atau perlindungan dari cuaca dan iklim serta
binatang buas, keburuhan sosial, seperti gotongroyong atau kerjasama
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mendasar, bahkan kebutuhan-kebutuhan
integrative yang merupakan konsekuensi dari kenyataan bahwa manusia itu
terdiri atas unsur-unsur lahir (fisik-biologis) dan unsur-unsur batin
atau kejiwaaan, eksistensi, kenyamanan, pengakuan, dan sebagainya.
Dapatkah kebutuhan-kebutuhan itu dapat dipenuhi tanpa terlibat dengan
manusia yang lain?
Tahap-tahap terbentuknya kelompok
Berdasar uraian yang mengawali bahasan
ini, kiranya dapat dirumuskan bahwa terbentuknya suatu kelompok akan
mengikuri urutan ini. Pertama, adanya perasaan atau persepsi akan suatu
hal yang sama. Kedua, timbul motivasi untuk memenuhi hal tersebut.
Ketiga, ditentukan atau dirumuskan tujuan-tujuan yang sama, dan
akhirnya terbentuk kelompok.
Dan, suatu kelompok sifatnya dinamik atau
mengalami perubahan-perubahan. Perubahan-perubahan itu terjadi karena
faktor internal maupun eksternal, seperti Kebutuhan hidup manusia itu
berkembang dan terus berubah-ubah, proses reformasi (penataan) dari pola
pola yang terdapat dalam kelompok itu sendiri, tekanan dan pengaruh
internal eksternal, konflik internal, pergantian anggota kelompok, atau
perubahan pada situasi sosial ekonomi, politik, budaya yang serba cepat.
Terhadap perubahan-perubahan yang terjadi
dalam kelompok, sikap orang-orang pun berbeda-beda. Maka adalah
beberapa kelompok dilihat dari sikapnya terhadap perubahan, seperti
kelompok reformis, kelompok radikal, kelompok status quo, kelompok
konservatif, dan juga –jangan lupa- kelompok apatis.
Golongan radikal merupakan golongan yang
menginginkan perubahan yang menyeluruh dan berlangsung cepat
(revolusioner), golongan reformis adalah golongan yang menginginkan
perubahan-perubahan yang tertata menuju keadaan yang lebih baik,
golongan konservatif terdiri atas orang-orang yang memiliki romantisme
terhadap sejarah dan fungsi tradisional masyarakat, sehingga berupaya
mengembalikan situasi sosial, politik, dan kultural ke keadaan yang
pernah ada.
Golongan status quo merupakan
golongan orang-orang yang mempertahankan keadaan yang ada, biasanya
terdiri atas orang-orang mapan yang takut akan tergeser dari zone nyaman
karena perubahan, dan golongan apatis adalah golongan yang tidak
peduli terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat.
Mengapa suatu kelompok itu bubar?
Ada berbagai alasan sehingga suatu
kelompok bubar. Antara lain, orang-orang dalam kelompok merasa tidak
membutuhkan lagi kelompok yang dimaksud, yang bisa disebabkan oleh
ketidak percayaan para anggotanya akan kemampuan kelompok mencapai
tujuan-tujuan yang telah dirumuskan. Perbedaan pendapat di antar anggota
tentang ideologi kelompok, tujuan kelompok, strategi kelompok yang
memunculkan konflik di antara anggota kelompok ataupun konflik dengan
kelompok lain pun dapat menjadi sebab bubarnya suatu kelompok. Kemudian
hilangnya sosok-sosok yang berpengaruh terhadap kelompok, serta tidak
ada kekompakan maupun keharmonisan di antara para anggota kelompok juga
dapat menjadi sebab berakhirnya suatu kelompok.
Hubungan Antar-Kelompok
Hubungan antar-kelompok atau inter-group
relations didefinisikan oleh Petigrew yang dikutip oleh Kamanto Sunarto
(2004, halaman 141) sebagai the social interactions between any two or more groups, dan akan melibatkan berbagai kriteria, seperti biologis, kultural, ekonomi, ataupun perilaku.
Kriteria biologis, akan meliputi
hubungan di antara kelompok-kelompok jenis kelamin (laki-laki
/perempuan), usia (tua-muda), atau ras. Kriteria kultural atau
kebudayaan misalnya hubungan di antara kelompok-kelompok etnik atau
agama. Kriteria ekonomi, misalnya tentang hubungan di antara
kelompok-kelompok yang mempunyai kekuasaan ekonomi (majikan) dengan yang
tidak menguasai (misalnya buruh).
Kriteria perilaku, misalnya tentang
hubungan orang-orang dengan golongan yang dinilai menyimpang
(orang-orang yang perilakunya nonkonform, anti-sosial, atau Kriminal).
Dimensi-dimensi Hubungan Antar-Kelompok
Hubungan antar-kelompok mempunyai
berbagai dimensi. Misalnya tentang hubungan di antara maioritas dengan
minoritas. Hal ini akan dapat dijelaskan dengan berbagai dimensi,
seperti sejarah, demografi, sikap, institusi, gerakan sosial, atau
perilaku kolektif.
Kajian dari sudut dimensi sejarah
diarahkan pada masalah tumbuh dan berkembangnya hubungan antar-kelompok.
Bilamanakah kontak pertama anatar kelompok ras kulit putih dengan kulit
hitam terjalin? Bagaimanakah kontak tersebut kemudian berkembang
menjadi hubungan dominasi dan bahkan perbudakan?
Melalui dimensi sikap, kita mengkaji
sikap anggota suatu kelompok terhadap kelompok lain. Misalnya tentang
bagaimana sikap orang-orang Tionghoa menyikapi orang-orang pribumi, dan
sebaliknya? Pembahasan tentang hal ini akan terfokus pada adanya
stereotype atau prasangka di antara kelompok-kelompok.
Dimensi gerakan sosial akan menjelaskan
tentang adanya upaya-upaya dari suatu kelompok untuk melepaskan diri
dari suatu dominasi oleh kelompok lain. Misalnya gerakan pembebasan
perempuan (Women’s Liberation Movement), gerakan orang-orang kulit hitam
radikal –Black Panthers– di Amerika Serikat, dan sebagainya.
Kajian-kajian ini akan dapat diterapkan
untuk membahas tentang hubungan antara maioritas dengan minoritas
seperti di sebut di depan, agesme, rasisme dan rasialisme, seksisme, dan
seterusnya.
Pembahasan berikutnya akan secara agak
rinci menguraikan tentang dimensi-dimensi hubungan antar-kelompok, yaitu
(1) dimensi sejarah, (2) dimensi sikap, (3) dimensi gerakan sosial, (4)
dimensi institusi, dan (4) dimensi perilaku atau perilaku kolektif.
Dimensi Sejarah Hubungan Antar-Kelompok
Bagaimana stratifikasi etnik –yang
mencakup pula stratifikasi ras, agama, dan kebangsaan— itu timbul?
Menurut Noel (1968), hal ini terjadi karena dalam sejarah ditemukan
adanya (1) ethnosentrisme, (2) persaingan, dan (3) perbedaan kekuasaan,
yang menjadi prasyarat terjadinya stratifikasi etnik.
Ethnosentrisme merupakan suatu sudut
pandang yang menempatkan kelompok sendiri di atas segala-galanya dan
menilai kelompok lain menggunakan kelompok sendiri sebagai rujukan (view of things in which one’s own group is the center of everything, and all others are scaled and rated with reference itu).
Tetapi terkait dengan terbentuknya
stratifikasi etnik, jika yang ada hanya ethnosentrisme tidak cukup
menjadi prasyarat. Misalnya di antara dua atau lebih kelompok itu
terjadi kerjasama atau ketergantungan. Jika yang ada hanya
ethnosentrisme dan persaiangan, tanpa disertai perbedaan kekuasaan, maka
yang terjadi hanyalah persaiangan berkepanjangan tanpa penyelesaian.
Perbudakan orang-orang kulit hitam oleh
kulit putih itu terjadi karena, (1) adanya ethosentrisme di kalangan
kulit putih, (2) terjadi persaingan memperebutkan sumber-sumber ekonomi,
dan (3) kekuasaan yang lebih besar di tangan pihak kelompok kulit
putih.
Bagaimana dengan terjadinya stratifikasi
jenis kelamin (seks)? Collins dan Parson menjelaskan bahwa faktor yang
mengawali dan mendasarinya dominasi dan eksploitasi laki-laki atas
perempuan itu adalah kekuatan fisik. Dan, dominasi ini akan berakhir
apabila perempuan dilindungi oleh negara, atau perempuan itu meraih
posisi ekonomi tertentu (tinggi).
Atas dasar perjalanan sejarah hubungan
antar-kelompok, para ilmuwan sosial mengidentifikasi adanya pola-pola
hubungan antar-kelompok, yaitu (1) akulturasi, (2) dominasi, (3)
paternalism, (4) integrasi, (5) pluralism.
Akulturasi terjadi manakala kebudayaan
dua kelompok ras/etnis yang bertemu mulai berbaur dan berpadu.
Akulturasi dapat terjadi di antara kelompok yang derajatnya sama maupun
berbeda. Misalnya, kebudayaan orang Belanda di Indonesia menyerap
berbagai unsur kebudayaan Jawa/Indonesia, misalnya pemakaian bahan batik
untuk celana laki-laki, cara makan dan lauk-pauknya, dan juga gaya
berbahasa.
Terkadang, proses akulturasi juga diikuti
dekulturasi, misalnya hilangnya kebudayaan asli dan hancurnya kehidupan
orang-orang Afrika yang secara paksa diculik untuk dijadikan budak di
Amerika Utara, juga dibunuhnya unsur-unsur pimpinan orang Aztec di
Mexico oleh orang Spanyol yang diikuti dengan pemindahan secara paksa,
penakhlukan, dan penciptaan sistem feudal baru (van den Berghe, 1967).
Dominasi terjadi bilamana suatu kelompok
ras menguasai kelompok lain. Kedatangan orang-orang kulit putih du Asia,
Afrika, Amerika, dan Australia diikuti dengan dominasi mereka atas
penduduk setempat.
Dalam sejarah, dominasi suatu kelompok
terhadap kelompok lainnya sering terwujud dalam bentuk pembunuhan
disengaja dan sistematik terhadap anggota suatu kelompok tertentu (genocide), pengusiran, perbudakan, atau segregasi.
Contoh-contoh genocide: selama Perang
Dunia II, sekitar enam juta orang Yahudi dibunuh secara missal oleh Kaum
Nazi Jerman, pembunuhan orang-orang Aztec di Mexico oleh orang-orang
Spanyol, Suku Indian oleh orang-orang Amerika, Orang-orang Kamboja oleh
Khmer Merah di bawah Pol Pot, juga pembunuhan orang-orang Bushmen oleh
orang-orang Boer di Afrika, pembunuhan yang dilakukan oleh orang-orang
Serbia terhadap orang-orang Muslik Bosnia-Herzegovina sejak tahun 1992
dan terhadap orang-orang Albania di Kosovo pada tahun 1999, yang sering
disebut sebagai Ethnic Cleansing (pembersihan ethnic).
Pola dominasi hubungan antar kelompok
pendatang (migrant) dan pribumi (indigenous) dapat terjadi dalam dua
pola, yaitu (1) migrant superordination, dan (2) indigenous
superordination. Pada pola pertama, orang-orang pendatang yang
mendominasi, sedangkan pada bentuk kedua, orang-orang pribumi yang
mendominasi.
Paternalisme merupakan bentuk dominasi
oleh ras pendatang terhadap ras/kelompok pribumi, hal ini terjadi ketika
pendatang secara politik lebih kuat dan mendirikan koloni di daerah
jajahan. Hubungan paternalistic ini kadang rumit, karena dapat terjadi
dalam bentuk dikuasinya penduduk oleh penguasa pribumi, tetapi penguasa
pribumi ini tunduk kepada penguasa yang merupakan bangsa/kelompok
pendatang.
Kemungkinan pola lain adalah integrasi.
Yang dimaksud adalah suatu pola hubungan yang mengakui adanya
perbedaan-perbedaan di antar kelompok-kelompok, tetapi itu diabaikan
karena tidak dianggap penting.
Bentuk lain adalah pluralism, yaitu suatu
pola hubungan antar-kelompok yang mengakui dan menghargai adanya
perbedaan-perbedaan di antara kelompok-kelompok. Furnival memberikan
gambaran bahwa dalam pluralism (kemajemukan), orang-orang yang berasal
dari kelompok ras/etnis yang bermacam-macam itu bercampur tetapi tidak
berbaur. Misalnya yang terjadi di Indonesia pada masa penjajahan, yang
terdiri paling tidak tiga kelompok ras yang hidup berdampingan dalam
satuan politik, tetapi terpisah satu dari lainnya, yaitu orang-orang
kulit putih, keturunan Timur Asing, dan pribumi. Demikian juga yang
terjadi di Kanada, terdapat orang-orang keturunan Perancis dan kelompok
orang-orang keturunan Inggris, dan seterusnya.
Dimensi Sikap
Para ilmuwan sosial menemukan dua sikap
yang berpengaruh dalam hubungan antar-kelompok, yaitu (1)
prasangka/prejudice, dan (2) stereotype. Prasangka adalah sikap
bermusuhan yang ditujukan kepada suatu kelompok tertentu atas dasar
dugaan bahwa kelompok tersebut mempunyai ciri-ciri yang tidak
menyenangkan.
Sikap ini dinamakan prasangka, karena
dugaan yang diyakini benar oleh orang-orang yang berprasangka tidak
didasarkan pada pengetahuan, pengalaman, ataupun bukti yang cukup
memadai. Pandangan laki-laki bahwa perempuan adalah kelompok orang-orang
yang emosional dan tidak rasional, pandangan orang-orang kulit putih
yang menganggap orang-orang kulit hitam sebagai orang-orang yang rendah
dan tidak tahu diri, pandangan orang-orang pribumi bahwa orang-orang
Tionghoa itu lihai dan curang dalam berdagang dan semata-mata tertarik
pada uang, pandangan orang-orang Tionghoa bahwa orang-orang mereka lebih
cerdas dan mampu daripada orang-orang pribumi, pandangan orang-orang
Jawa bahwa orang Batak itu kasar dan agresif, dan masih banyak yang
lainnya, merupakan contoh-contoh prasangka.
Beberapa ahli menjelaskan bahwa prasangka
itu mirip dengan antagonism atau antipati, tetapi bedanya antipati dan
antagonism dapat diselesaikan oleh pengetahuan atau pendidikan,
sedangkan prasangka berada pada bawah sadar dan tidak rasional, sehingga
sering tidak dapat diselesaikan oleh pengetahuan dan pendidikan.
Mengapa suatu kelompok berprasangka
terhadap kelompok lain? Salah satu teori mengatakan bahwa itu disebabkan
oleh adanya frustasi agresi (frustration-agression). Orang akan
mengalami agresi apabila kebutuhannya untuk memenuhi kepuasan terhalang
oleh kelompok lain. Terhadap pihak yang menghalangi usahanya inilah
kemudian timbul yang namaya prasangka.
Apabila agresi tidak dapat dilancarkan
kepada penghalangnya, maka mungkin saja dialihkan. Sehingga, terkadang
juga prasangka itu dialihkan. Penelitian Selo Soemardjan di Sukabumi
menunjukkan bahwa terjadi pengalihan prasangka orang-orang pribumi, dari
terhadap pemerintah yang menghalang-halanginya memenuhi kepuasan
terhadap orang-orang Tionghoa.
Dimensi sikap juga meliputi stereotype.
Yang dimaksud adalah citra atau gambaran yang kaku terhadap suatu
kelompok ras atau budaya yang dianut tanpa memperhatikan kebenaran citra
tersebut. Streotype bisa benar, tetapi juga bisa salah, juga dapat
positif dan negative.
Streotype yang negative terhadap suatu kelompok biasanya akan diikuti oleh adanya prasangka.
Dimensi Institusi
Institusi merujuk pada kenyataan bahwa
dalam suatu masyarakat terdapat cara hidup (cara berfikir, cara
berperasan, dan cara bertindak) yang telah berpola, baku, diharapkan
oleh sebagian besar warga masyarakat, dan tidak mudah berubah, karena
disosialisasikan kepada para anggota baru warga masyarakat, dan
berlakunya sistem pengendalian sosial.
Sehingga, karena hal tersebut, dalam hal
hubungan antar-kelompok juga terdapat pola-pola hubungan yang membaku
dan tidak mudah berubah. Misalnya White Supremacy yang pernah
dianut oleh orang-orang di Amerika Serikat dan di Republik Afrika
Selatan. Walaupun AS menyatakan diri sebagai negara yang paling
demokratis, tetapi di masa lalu itu, demokrasi Amerika adalah demokrasi
yang dikenal sebagai Herrenvolk Democracym, demokrasi banga
yang lebih unggul. Untuk masa sekarang, ketika Obama akhirnya menjadi
orang kulit hitam pertama yang menjabat presiden di AS, cara berfikir White Supremacy itu
apakah masih relevan apa tidak, dimensi institusi akan menjawabnya.
Apakah itu merupakan kasus yang hanya sekali terjadi, ataukah akan
menjadi pola yang konsisten memberikan ciri demokrasi baru orang-orang
Amerika.
Di Indonesia, hubungan antar-kelompok
dalam dimensi institusi dapat dicontohkan pada perlakuan terhadap
orang-orang keturunan Tionghoa pada masa orde baru. Aktivitas
orang-orang keturunan Tionghoa dibatasi hanya di bidang ekonomi saja,
mereka dilarang beraktivitas di bidang kehidupan kebudayaan dan politik
mengembangkan bahasa, kebudayaan, dan agama warisan nenek-moyangnya.
(bersambung …)
Sumber:
Kamanto Soenarto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Yayasan Peberbit FE UI.
Sumber: Klik Disini