Tampilkan postingan dengan label SOSIOLOGI XI IPS. Tampilkan semua postingan

Struktur Sosial serta Berbagai Faktor Penyebab Konflik dan Mobilitas Sosial

By : Muhammad Zamroni
A. Pengertian Struktur Sosial
Struktur sosial merupakan susunan atau konfigurasi dari unsur-unsur sosial yang pokok dalam masyarakat, yaitu kelompok,  kelas sosial,  nilai dan norma sosial, dan lembaga sosial.
Struktur sosial merupakan ruang abstrak dalam masyarakat, sebagaimana ruang geografi yang kita kenal dan lebih konkrit. Kalau dalam ruang geografi kita dapat mempunyai alamat geografik (titik posisi atau lokasi kita berada), misalnya SMA Negeri 3 Yogyakarta berlokasi di Jalan Yos Sudarso  7, Kaluarhan Kota Baru, Kecamatan Gondokusuman, Kota  Yogyakarta,  maka demikian jugalah di ruang sosial, maka di ruang sosial atau struktur sosial, kita pun punya alamat sosial.  Di manakan posisi SMA Negeri 3 Yogyakarta di ruang sosial? Tergantung pada parameter apa yang kita gunakan, apakah nilai dan norma, kelompok, status atau kelas sosial, atau kah lembaga sosial.
Perhatikan bagan berikut!
Apabila unsur nilai dan norma kita gunakan untuk mengetahui posisi atau alamat sosial kita, maka apakah kita termasuk orang kebanyakan (normal), orang yang dijadikan panutan (super ordinat), ataukah orang menyimpang (deviant). Apabila menggunakan status atau kelas, maka apakah kita berada pada kelas atas, menengah atau bawah. Di lembaga manakah kita beraktivitas? Pendidikan, keluarga, politik, ekonomi, hokum, ataukah agama.
Struktur sosial dan peluang hidup (life chance)
Struktur sosial identik dengan struktur peluang hidup (life chance), semakin tinggi posisi dalam struktur sosial, semakin baik peluang hidupnya.
Struktur sosial dan fakta sosial
Struktur sosial merupakan fakta sosial, yaitu cara bertindak, berfikir, dan berperasaan yang berada diluar individu tetapi mengikat. Sehingga, kelas sosial tertentu identik dengan cara hidup tertentu. Kelas sosial bukanlah sekedar kumpulan dari orang-orang yang pendidikan atau penghasilannya relative sama, tetapi lebih merupakan kumpulan orang-orang yang memiliki cara atau gaya hidup yang relative sama.
Jawablah:
(1) mengapa musik dangdut sering diidentikan dengan musiknya kelas bawah, sementara music klasik atau jazz diidentikkan dengan kelas atas?
(2) mengapa orang-orang kelas atas diidentikkan dengan orang-orang berdasi dan bersepatu?
(3) Mengapa kelas sosial tertentu juga identik dengan merk mobil, merk sepatu, merek parfum, merek baju tertentu, juga aktivitas mengisi waktu luang dan olahraga tertentu?
Paramater struktur sosial.
Terdapat dua macam parameter yang dapat digunaan untuk menganalisis struktur sosial, yaitu
(1) Parameter Graduated/berjenjang, meliputi antara lain: kekuasaan, keturunan/kasta, tingkat pendidikan, kekayaan, usia, dst., dan
(2) paramater Nominal/tidak berjenjang, meliputi antara lain: sukubangsa, ras, golongan/kelompok, jenis kelamin, agama, dan seterusnya.
Konfigurasi atau pemilahan struktur sosial berdasarkan parameter-parameter  graduated disebut stratifikasi sosial (diferensiasi rank/tingkatan).
Sedangkan, konfigurasi atau pemilahan struktur sosial berdasarkan parameter nominal disebut diferensiasi sosial (diferensiasi fungsi, dan custom/adat).
Status, kedudukan, atau posisi individu atau kelompok dalam struktur sosial tidak bersifat statis atau tetap, melainkan dapat mengalami perubahan atau perpindahan. Perpindahan posisi dalam struktur sosial yang dialami oleh individu ataupun kelompok dalam struktur sosial disebut mobilitas sosial.
B. Diferensiasi Sosial
Diferensiasi sosial merupakan pemilahan atau konfigurasi struktur sosial berdasarkan parameter-parameter yang sifatnya nominal atau tidak berjenjang. Hasilnya dalam masyarakat terdapat kelompok-kelompok atau golongan sosial.
1. Diferensiasi sosial berdasarkan ras.
Ras merupakan penggolongan manusia berdasarkan ciri-ciri fisik-biologis manusia dengan kecenderungan yang besar.
Ciri fisik :
Fenotipe (tampak luar):
1)     Kualitatif: warna kulit, warna dan bentuk rambut, warna dan bentuk mata
2)     Kuantitatif: tinggi dan berat badan, ukuran kepala, ukuran hidung, dll.
Genotype (tidak tampak luar): golongan darah
Manusia dari seluruh dunia dapat diklasifikasikan ke dalam tiga ras utama, yaitu kaukasoid, mongoloid, dan negroid.
Dalam prakteknya terdapat kesulitan penggolongan ras, antara lain karena: (1) ciri fisik yang tumpang tindih, dan (2) terjadinya perkawinan campuran (amalgamasi).
2. Diferensiasi sosial berdasarkan sukubangsa/etnis
Sukubangsa adalah golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan kebudayaan, yang sering dikuatkan dengan kesatuan bahasa.
Sukubangsa sering disamakan dengan kelompok etnik (ethnic Group). Namun, kelompok etnik tidak selalu berarti sukubangsa. Misalnya kelompok etnik Tionghoa.
Disebut kelompok etnik apabila secara sosial telah mengembangkan SUBKULTUR-nya sendiri.
Lima cirri pengelompokan sukubangsa:
  • Bahasa/dialek yang memelihara keakraban dan kebersamaan di antara warga sukubangsa
  • Pola-pola sosial-kebudayaan (adat istiadat, cita-cita dan ideologi)
  • Ikatan sebagai satu kelompok
  • Kecenderungan menggolongkan diri ke dalam kelompok asli
  • Perasaan keterikatan kelompok karena kekerabatan/genealogis dan kesadaran teritorial di antara warga sukubangsa
Untuk kepentingan administrasi dan politik, di masa orde baru dibedakan antara
(1) masyarakat sukubangsa,
(2) masyarakat terasing, dan
(3) keturunan asing.
Masyarakat sukubangsa adalah kelompok etnis yang asalnya dari dalam wilayah Indonesia, dan mampu berinteraksi dan komunikasi dengan dunia luarnya, masyarakat terasing adalah kelompok etnis yang asalnya dari dalam wilayah Indonesia, tetapi terisolasi atau mengalami keterbatasan hubungan dengan dunia luarnya, sedangkan keturunan asing memiliki daerah asal di luar wilayah Indonesia. Ada tiga keturunan asing yang menonjol, yaitu China, India dan Arab,
3. Diferensiasi sosial berdasarkan agama






Agama merupakan sistem terpadu terdiri atas keyakinan dan praktek, berhubungan dengan sesuatu yang dianggap sacred (suci/sakral) menyatukan pengikutnya ke dalam suatu komunitas moral yang disebut umat.  Sesuatu yang sakral disebut TUHAN (God, Allah, Elia, Devon, Deva, Devi, dst.)
Diferensisasi agama merupakan diferensiasi customs.
Karena letak Indonesia di posisi silang, dalam masyarakatnya terdapat penganut dari lima agama besar dunia, Islam, Kristen, Katholik, Hindu, dan Budha.
4. Diferensiasi sosial berdasarkan profesi

Profesi merupakan pekerjaan yang untuk dapat melaksanakannya memerlukan keahlian.  Misalnya: dosen, guru, dokter, jurnalis, artis, penyiar radio, penyiar televisi, ahli komputer, designer, politikus, perawat, birokrat, militer, pengusaha, pedagang, dan sebagainya. Dirensiasi profesi merupakan diferensiasi fungsi.
5. Diferensiasi sosial berdasarkan jenis kelamin
Jenis kelamin merupakan pembedaan antara laki-laki dengan perempuan berdasarkan ciri fisik biologis yang tidak dapat dipertukarkan.
Gender merupakan pembedaan antara laki-laki dengan perempuan berdasarkan ciri-ciri sosial dan budaya yang sebenarnya dapat dipertukarkan, karena diperoleh melalui proses belajar. Misalnya perempuan bekerja di dalam rumah, dan laki-laki bekerja di luar rumah.
Maka, jenis kelamin (seks) merupakan pembedaan berdasarkan konstruksi biologis, sedangkan gender berdasarkan konstruksi sosial dan budaya, yang sering dikuatkan oleh ajaran agama.
C. Stratifikasi Sosial
Stratifikasi sosial merupakan konfigurasi atau pemilahan struktur sosial menggunakan parameter graduated/berjenjang. Hasilnya adalah dalam masyarakat terdapat kelas-kelas sosial.
Kriteria yang digunakan dapat berupa kriteria (1) sosial, (2) ekonomi, dan (3) politik. Kriteria sosial meliputi: pendidikan, profesi atau pekerjaan, dan keturunan atau keanggotaan dalam kasta dan kebangsawanan. Kriteria ekonomi meliputi pendapatan/penghasilan dan pemilikan/kekayaan. Kriteria politik meliputi kekuasaan.
Stratifikasi sosial berdasarkan kriteria sosial
Menurut Weber,  para anggota masyarakat dapat dipilah secara vertikal berdasarkan atas ukuran-ukuran kehormatan, sehingga ada orang-orang yang dihormati dan disegani dan orang-orang yang dianggap biasa-biasa saja, atau orang kebanyakan, atau bahkan orang-orang yang dianggap hina. Orang-orang yang dihormati atau disegani pada umumnya adalah mereka yang memiliki jabatan atau profesi tertentu,  keturunan bangsawan atau orang-orang terhormat, atau berpendidikan tinggi.
Ukuran-ukuran penempatan anggota masyarakat dalam stratifikasi sosial yang dapat dikategorikan sebagai kriteria sosial antara lain, (1) profesi, (2)  pekerjaan, (3) tingkat pendidikan, (4) keturunan, dan (5) kasta.
1. Profesi
Yang dimaksud profesi adalah pekerjaan-pekerjaan yang untuk dapat melaksanakannya memerlukan keahlian, misalnya dokter, guru, wartawan, seniman, pengacara, jaksa, hakim, dan sebagainya.  Orang-orang yang menyandang profesi-profesi tersebut disebut kelas profesional.
Di samping kelas profesional, dalam masyarakat terdapat juga kelas-kelas  tenaga terampil dan tidak terampil, yang pada umumnya ditempatkan pada posisi yang lebih rendah dalam stratifikasi sosial masyarakat.
2. Pekerjaan.
Berdasarkan tingkat prestise atau gengsinya, pekerjaan-pekerjaan dalam masyarakat dapat dibedakan menjadi: (1) pekerjaan kerah putih (white collar), dan (2) pekerjaan kerah biru (blue collar).  Pekerjaan kerah putih merupakan pekerjaan-pekerjaan yang lebih menuntut penggunaan pikiran atau daya intelektual, sedangkan pekerjaan-pekerjaan kerah biru lebih menuntut penggunaan energi atau kekuatan fisik. Pada umumnya anggota masyarakat lebih memberikan penghargaan atau gengsi yang lebih tinggi pada pekerjaan-pekerjaan kerah putih. Walaupun, tidak selalu bahwa pekerjaan kerah putih memberikan dampak ekonomi atau finansial yang lebih besar daripada pekerjaan kerah biru.
3. Pendidikan
Pada zaman sekarang ini pendidikan sudah dianggap sebagai kebutuhan yang harus dipenuhi oleh sebagian besar anggota masyarakat. Orang-orang yang berpendidikan tinggi akan menempati posisi dalam stratifikasi sosial yang lebih tinggi. Sehingga tamatan  S-3 dipandang lebih tinggi kedudukannya daripada tamatan  S2, S1, SMA/SMK, SMP, SD, dan mereka yang tidak pernah  sekolah.
4. Keturunan
Keturunan raja atau bangsawan dalam masyarakat dipandang memiliki kedudukan yang tinggi. Bahkan, pada masyarakat feodal, hampir tidak ada pengakuan terhadap simbol-simbol yang berasal dari luar istana, termasuk tata kota, arsitektur, pemilihan hari-hari penting, pakaian, seni, dan sebagainya. Penempatan orang dalam posisi-posisi penting dalam masyarakat akan selalu mempertimbangkan faktor keturunan, dan keaslian keturunan dipandang sangat penting.
5. Kasta
Kasta merupakan pemilahan anggota masyarakat yang dikenal pada masyarakat Hinduisme. Masyarakat dipilah menjadi kasta-kasta, seperti:  Brahmana, Ksatria, Weisyia, dan Sudra. Kemudian ada orang-orang yang karena tindakannya dihukum dikeluarkan dari kasta, digolongkan menjadi paria.
Sebagian besar orang menganggap pemilahan dalam kasta bersifat graduated atau berjenjang, mengingat orang-orang yang berasal dari kasta yang berbeda akan memiliki gengsi (prestige) dan hak-hak istimewa (privelege) yang berbeda. Namun, tokoh-tokoh Hinduisme menyatakan bahwa kasta bukanlah pemilahan vertikal, melainkan hanyalah merupakan catur warna.
Stratifikasi sosial berdasarkan kriteria ekonomi
Kriteria ekonomi yang digunakan sebagai dasar stratifikasi sosial dapat meliputi penghasilan dan  pemilikan atau kekayaan.
Apabila dipilah menggunakan kriteria ekonomi, maka masyarakat akan terdiri atas
  • Kelas atas, yaitu orang-orang yang karena penghasilan atau kekayaannya  dengan leluasa dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan  hidupnya
  • Kelas menengah, yaitu orang-orang yang karena penghasilan dan kekayaannya dapat leluasa memenuhi kebutuhan hidup mendasarnya, tetapi tidak leluasa untuk kebutuhan-kebutuhan lainnya
  • Kelas bawah, yaitu orang-orang yang dengan sumberdaya ekonominya hanya dapat memenuhi kebutuhan hidup mendasarnyanya, tetapi tidak leluasa, atau bahkan tidak mampu untuk itu.
Stratifikasi sosial berdasarkan kriteria politik
Ukuran yang digunakan untuk memilah masyarakat atas dasar dimensi atau kriteria politik adalah distribusi kekuasaan. Kekuasaan (power) berbeda dengan kewenangan (otoritas).  Seseorang yang berkuasa tidak selalu memiliki kewenangan.
Yang dimaksud kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi individu-individu lain dalam masyarakat, termasuk mempengaruhi pembuatan keputusan kolektif.  Sedangkan wewenang adalah hak untuk berkuasa.  Apa yang terjadi apabila orang mempunyai wewenang tetapi tidak memiliki kekuasaan? Mana yang lebih efektif, orang mempunyai kekuasaan saja, atau wewenang saja?
Meskipun seseorang memiliki hak untuk berkuasa, artinya ia memiliki wewenang, tetapi kalau dalam dirinya tidak memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain, maka ia tidak akan dapat melaksanakan hak itu dengan baik. Sebaliknya, apabila seseorang memiliki kemampuan mempengaruhi pihak lain, meskipun ia tidak punya wewenang untuk itu, pengaruh itu dapat berjalan secara efektif.  Untuk lebih memahami hal ini, dapat diperhatikan pengaruh tokoh masyarakat, seperti seorang tokoh agama atau orang yang dituakan dalam masyarakat.
Sudah beradab-abad menjadi pemikiran dalam dalil politik, bahwa kekuasaan dalam masyarakat selalu terdistribusikan tidak merata. Gaetano Mosca (1939) menyatakan bahwa dalam setiap masyarakat selalu terdapat dua kelas penduduk: satu kelas yang menguasai dan satu kelas yang dikuasai. Kelas pertama yang jumlahnya lebih kecil, menjalankan semua fungsi politik, memonopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan yang diberikan oleh kekuasaan itu, sedangkan kelas kedua, yang jumlahnya lebih besar, diatur dan dikendalikan oleh kelas pertama itu.
Vilfredo Pareto, Gaetano Mosca, dan Robert Michels memberikan pengertian bahwa beberapa asas umum yang menjadi dasar bagi terbentuknya stratifikasi sosial, khususnya yang berkaitan dengan kekuasaan politik, adalah:
1. Kekuasaan politik tidak dapat didistribusikan secara merata
2. Orang-orang dikategorikan ke dalam dua kelompok: yang memegang kekuasaan dan yang tidak memilikinya
3. Secara internal, elite itu bersifat homogen, bersatu, dan memiliki kesadaran kelompok
4. Keanggotaan dalam elite berasal dari lapisan yang sangat terbatas
5.Kelompok elite pada hakikatnya bersifat otonom, kebal akan gugatan dari siapa pun di luar kelompoknya mengenai keputusan-keputusan yang dibuatnya
Di dalam masyatakat yang demokratis, pembagian dikotomis antara yang berkuasa dan tidak berkuasa tidak sesederhana yang dikemukakan Mosca dan kawan-kawannya.  Biarpun kelas berkuasa jumlah orangnya selalu lebih sedikit, tetapi pada umumnya distribusi kekuasaan lebih terfragmentasi ke berbagai kelompok-kelompok.  Dalam masyarakat yang demokratis, kelompok elite tidak memiliki otonomi sebagaimana pada masyarakat diktator. Kekuasaan elite dalam masyarakat demokratis selalu dapat dikontrol oleh kelompok-kelompok yang ada di luar kelompok elite, dan jumlahnya lebih dari satu.
Dominasi
Dominasi merupakan kekuasaan yang nyaris tidak dapat ditolak oleh siapapun. Kekuasaan yang sifatnya hampir multlak.
Kekuasaan dalam masyarakat berdasarkan sumbernya dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: (1) kekuasaan tradisional, (2) kekuasaan kharismatik, dan (3) kekuasaan legal-rasional.
Kekuasasan tradisional adalah kekuasaan yang sumbernya berasal dari tradisi masyarakat, misalnya raja.  Kekuasaan kharismatik bersumber dari kewibawaan atau kualitas diri seseorang, dan kekuasaan legal rasional bersumber dari adanya wewenang yang didasarkan pada pembagian kekuasaan dalam birokrasi, misalnya pemerintahan.
Mengapa dominasi?
Dominasi dapat  terjadi  karena unsur-unsur kekuasaan seperti kharisma, tradisi dan legal rasional dimiliki oleh seseorang.  Dalam batas-batas tertentu, Sultan Yogyakarta memiliki ketiga unsur kekuasaan tersebut.

Status sosial
Unsur penting dalam stratifikasi sosial adalah status. Apakah status? Status adalah Posisi atau kedudukan atau tempat seseorang atau kelompok dalam struktur sosial masyarakat atau pola hubungan sosial tertentu.
Status seseorang dapat diperoleh sejak kelahirannya (ascribed status), diberikan karena jasa-jasanya (assigned status), atau karena prestasi dan perjuangannya (achived status). Masyarakat modern lebih menghargai status-status yang diperoleh melalui prestasi atau perjuangan, masyarakat feudal lebih menghargai status yang diperoleh sejak lahir.
Apakah kelas sosial?
  • Segolongan orang yang menyandang status relatif sama
  • Memiliki cara hidup tertentu
  • Sadar akan privelege (hak istimewa) tertentu, dan
  • memiliki prestige (gengsi kemasyarakatan) tertentu

Apakah simbol status?
  • Simbol “sesuatu” yang oleh penggunanya diberi makna tertentu
  • Ciri-ciri/tanda-tanda yang melekat pada diri seseorang atau kelompok yang secara relatif dapat menunjukkan statusnya
  • Antara lain: cara berpakaian,cara berbicara, cara belanja, desain rumah, cara mengisi waktu luang, keikutsertaan dalam organisasi, tempat tinggal,cara berbicara, perlengkapan hidup, akses informasi, dst.
Konsekuensi perbedaan status dalam pelapisan sosial masyarakat?
  • Cara hidup (cara berfikir, berperasaan dan bertindak) yang berbeda: sikap politik, kepedulian sosial, keterlibatan dalam kelompok sosial, dst.). Ingat: PS = f(S + K), bahwa perilaku sosial pada dasarnya merupakan fungsi dari struktur sosial dan kebudayaan.  Jawablah: mengapa seorang individu menyebut orangtuanya sebagai mama dan papa, bukan ayah dan ibu, bukan bapak dan ibu, atau bapak dan simbok?
  • Prestige (gengsi/kehormatan sosial) yang berbeda
  • Privilege (hak istimewa) yang berbeda
  • PELUANG HIDUP YANG BERBEDA
D. Konflik Sosial
Konflik sosial merupakan salah satu konsekuensi dari adanya perbedaan-perbedaan dalam masyarakat, misalnya peluang hidup, gengsi, hak istimewa, dan gaya hidup.
Sumber konflik:
  1. Perbedaan kepentingan
  2. Perbedaan individual
  3. Perbedaan kebudayaan
  4. Perubahan sosial

Macam-macam konflik
  1. Individu atau kelompok  (berdasarkan pelakunya perorangan atau kelompok)
  2. Horizontal atau vertical (berdasarkan status pihak-pihak yang terlibat, sejajar atau bertingkat)
Konflik horizontal = antar-etnis, antar-agama, antar-aliran, dll.
Konflik vertical = antara buruh dengan majikan, pemberontakan atau gerakan separatis/makar terhadap kekuasaan negara
  1. Ideologis atau politis (berdasarkan tingkat konflik, apabila sebatas pemikiran/ideologi, disebut konflik tingkat ideologis (misalnya pertentangan ideology antara santri denan abangan dan priyayi), apabila sampai muncul di tingkat tindakan disebut tingkat politis (misalnya: riot/kerusuhan, demonstrasi, pemberontakan, makar, dan sebagainya)
  2. Konflik terbuka, konflik laten dan konflik permukaan
Penjelasan:
  • TANPA KONFLIK: dalam kesan umum adalah lebih baik, namun setiap masyarakat atau kelompok yang hidup damai, jika ingin keadaan ini terus berlangsung, mereka harus hidup bersemangat dan dinamis. Memanfaatkan konflik perilaku dan tujuan, serta mengelola konflik secara kreatif.
  • KONFLIK LATEN: sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat ke permukaan agar dapat ditangani secara effektif
  • KONFLIK TERBUKA: berakar dalam, dan sangat nyata. à memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya.
  • KONFLIK DI PERMUKAAN: memiliki akar yang dangkal/tidak memiliki akar, muncul hanya karena kesalah fahaman mengenai sasaran yang dapat diatasi dengan meningkatkan komunikasi
E. Mobilitas Sosial

Pengertian Mobilitas Sosial

Istilah mobilitas (Ing: mobility) berasal darai kata mobilis (Latin) yang artinya bergerak atau berpindah. Meskipun demikian mobilitas sosial tidak sama dengan gerakan sosial.
Yang dimaksud gerakan sosial (social movement) suatu kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelas atau golongan sosial untuk memperoleh tujuan-tujuan yang diinginkan.
Mobilitas sosial merupakan perubahan posisi atau kedudukan orang atau kelompok orang dalam struktur sosial, misalnya dari satu lapisan ke lapisan lain yang lebih atas ataupun lebih bawah, atau dari satu kelompok/golongan ke kelompok/golongan lain.
Struktur sosial
Sebagaimana disebut di bagian awal ringkasan materi ini,  struktur sosial merupakan salah satu konsep paling esensial dalam sosiologi. Struktur sosial berkaitan dengan posisi-posisi individu atau kelompok dalam masyarakat. Kalau dalam ruang geografi seseorang atau sekelompok orang memiliki lokasi/tempat tinggal atau dalam bahasa yang lebih populer ”alamat”, maka dalam ruang sosial seseorang juga memiliki ”lokasi”, ”tempat”, atau ”alamat”.  Anda dan keluarga Anda memiliki posisi tertentu dalam struktur sosial, posisi itu sering disebut sebagai status atau kedudukan sosial.  SMA di mana Anda sekarang ini bersekolah juga memiliki posisi tertentu dalam struktur sosial masyarakat.
Bagaimana mengetahui posisi kita? Sama dengan ruang geografik,  ruang sosial juga memiliki dimensi horizontal dan vertikal. Di ruang geografik seseorang memiliki alamat ”Jl. Sultan Agung Nomor 8 Lantai 7”, maka di ruang sosial seseorang dapat memiliki alamat ”orang tua atau muda, beragama Islam, Kristen-Protestan, Kristen-Katholik, Hindu, atau Budha, bekerja sebagai petani, pedagang, pegawai pemerintah, pegawai swasta, atau bekerja di sektor nonformal perkotaan, miskin, setengah kaya, atau kaya raya, berbudi bekerti luhur dan berhati mulia atau dikenal sebagai penjahat, pengikut setia Bung Karno,  Bung Hatta,  Gus Dur,  Amien Rais, atau yang lain, dan seterusnya.
Dalam ruang imaginer ”struktur sosial”, setiap orang punya tempat tinggal, dan sama dengan di ruang geografi, tempat tinggal itu dapat berubah-ubah.  Orang dan sekelompok orang dapat bermigrasi dalam ruang geografi, dari Jawa ke Sumatra, atau sebaliknya. Maka, dalam ruang sosial, orang atau sekelompok orang dapat mengalami ”mobilitas sosial”, dari orang kaya menjadi orang miskin, atau sebaliknya, dari orang miskin menjadi orang kaya. Dari pemimpin menjadi orang biasa. Dari orang baik menjadi orang jahat, atau sebaliknya dari orang jahat menjadi orang baik.

Macam-macam Mobilitas sosial

Di samping manusia hidup dan bergerak dalam sebuah ruang geografik, manusia juga hidup dalam sebuah ruang yang unik, yaitu struktur sosial yang di dalamnya terdapat pemilahan-pemilahan vertikal maupun horizontal. Sehingga, di samping manusia dapat berpindah dari satu ruang geografik (wilayah) ke ruang geografik yang lain, dalam sebuah ruang sosial yang unik tadi, manusia juga dapat berpindah dari satu strata atau kelas sosial ke strata atau kelas sosial yang lain, ataupun dari satu golongan ke golongan yang lain.
Mobilitas dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni:
  1. Mobilitas geografik, yakni perpindahan orang dari satu tempat/daerah ke tempat/daerah yang lain
  2. Mobilitas sosial, yakni perpindahan posisi dari suatu kelas sosial atau kelompok sosial ke kelas sosial atau kelompok sosial yang lain.
Berdasarkan arah perpindahan, mobilitas sosial dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
  1. Mobilitas sosial horizontal, yakni perpindahan posisi individu atau kelompok individu dari satu kelompok atau golongan sosial ke kelompok atau golongan sosial lain yang sederajat
  2. Mobilitas sosial vertikal, yaitu perpindahan posisi atau kedudukan individu atau kelompok individu dari satu strata sosial ke strata sosial lain, baik yang lebih tinggi maupun yang lebih rendah.
Mobilitas sosial vertikal dapat dibedakan menjadi:
1.     Mobilitas sosial vertikal naik (social climbing), dapat berupa:
  • masuknya individu dari kedudukan rendah ke kedudukan tinggi
  • pembentukan kelompok baru yang derajatnya lebih tinggi
2.     Mobilitas sosial vertikal turun (social sinking), dapat berupa:
  • turunnya individu dari kedudukan yang lebih tinggi ke kedudukan yang lebih rendah
  • turunnya derajat sekelompok individu karena disintegrasi kelompok (sering disebut sebagai dislokasi sosial)
3.    Mobilitas sosial antar-generasi,  yang dimaksud adalah mobilitas yang terjadi pada generasi yang berbeda,  misalnya:
  • orang tua berkedudukan sebagai petani atau buruh, anak-anaknya menjadi pengajar di perguruan tinggi atau majikan. Contoh mobilitas dalam bentuknya yang demikian banyak terjadi di daerah-daerah yang mengalami industrialisasi. Banyak orang yang akhirnya meninggalkan pekerjaan sebagai petani atau pekerjaan agraris yang lain sebagaimana yang ditekuni oleh para orangtua mereka karena tertarik untuk bekerja di pabrik-pabrik/industri.
  • Atau sebaliknya, orang tuanya sebagai majikan atau pejabat negara, sedangkan anak-anaknya menjadi buruh atau pegawai biasa di instansi pemerintah.
Di samping dua macam mobilitas di atas, sering pula dijumpai istilah mobilitas mental, yang artinya perubahan sikap dan perilaku individu atau sekelompok individu karena didorong oleh rasa ingin tahu, tuntutan penyesuaian diri, hasrat meraih prestasi, dan sebagainya. Sedangkan faktor penghambatnya dapat berupa sikap malas dan kepasrahan terhadap nasib maupun isolasi sosial.

Faktor-faktor yang mendorong dan menghambat mobilitas social

Menurut berbagai pengamatan terdapat beberapa faktor yang mendorong terjadinya mobilitas sosial, antara lain:
  • Status sosial
Ketidakpuasan seseorang atas status yang diwariskan oleh orangtuanya, karena orang pada dasarnya tidak dapat memilih oleh siapa ia dilahirkan, dapat menjadi dorongan untuk berupaya keras memperoleh status atau kedudukan yang lebih baik dari status atau kedudukan orangtuanya.


  • Keadaan ekonomi
Keadaan ekonomi yang tidak menguntungkan, misalnya yang dialami oleh masyarakat di daerah minus, mendorong mereka untuk berurbanisasi ke kota-kota besar dengan harapan memperoleh kehidupan ekonomi yang lebih baik.
  • Situasi politik
Situasi politik yang tidak menentu, biasanya juga berakibat pada jaminan keamanan yang juga tidak menentu, dapat mendorong orang untuk meninggalkan tempat itu menuju ke tempat lain.
  • Motif-motif keagamaan
Mobilitas sosial yang didorong oleh motif keagamaan tampak pada peristiwa orang berhaji. Orang yang melakukan ibadah haji lazim disebut naik haji. Istilah “naik” jelas menunjuk adanya peristiwa mobilitas sosial, bahwa status orang tersebut akan menjadi berbeda antara sebelum dan sesudah menjalankan ibadah haji. Demikian juga fenomena-fenomena dalam kehidupan agama yang lain, misalnya yang dilakukan oleh kaum misionaris atau zending.
  • Faktor kependudukan/demografi
Bertambahnya jumlah dan kepadatan penduduk yang berimplikasi pada sempitnya permukiman, kualitas lingkungan yang buruk, kesempatan kerja yang menyempit,  kemiskinan, dan sebagainya, dapat mendorong orang untuk melakukan migrasi ke tempat lain.
  • Keinginan melihat daerah lain
Hal ini tampak pada fenomena tourisme, orang mengunjungi daerah atau tempat tertentu dengan tujuan sekedar melihat sehingga menambah pengalaman atau bersifat rekreasional.
Di samping faktor-faktor yang mendorong ada pula faktor-faktor yang menghambat mobilitas sosial, misalnya:
  1. Perangkap kemiskinan
  2. Diskriminasi gender, ras, agama, kelas sosial
  3. Subkultur kelas sosial, misalnya apa yang oleh Oscar Lewis disebut sebagai the culture of poverty, ataupun rendahnya hasrat meraih prestasi, yang oleh David McClelland disebut sebagai need for achievement (n-Ach).

Prinsip-prinsip Mobilitas Sosial

  1. Hampir tidak terdapat masyarakat yang sistem pelapisan sosialnya secara mutlak tertutup, sehingga mobilitas sosial – meskipun terbatas – tetap akan dijumpai pada setiap masyarakat
  2. Sekalipun suatu masyarakat menganut sistem pelapisan sosial yang terbuka, namun mobilitas sosial tidak dapat dilakukan sebebas-bebasnya
  3. Tidak ada mobilitas sosial yang umum berlaku bagi semua masyarakat; artinya setiap masyarakat memiliki karakteristiknya sendiri dalam hubungannya dengan mobilitas sosial
  4. Laju mobilitas sosial yang disebabkan faktor-faktor ekonomi, politik maupun pekerjaan tidaklah sama
  5. Tidak ada kecenderungan yang kontinyu mengenai bertambah atau berkurangnya laju mobilitas sosial

Saluran-saluran Mobilitas Sosial


Pitirim A. Sorokin menyatakan bahwa mobilitas sosial vertikal mempunyai saluran-saluran yang disebut social circulation sebagai berikut:
  1. Angkatan bersenjata (tentara); terutama dalam masyarakat yang dikuasai oleh sebuah rezim militer atau dalam keadaan perang
  2. Lembaga keagamaan. Contohnya tokoh organisasi massa keagamaan yang karena reputasinya kemudian menjadi tokoh atau pemimpin di tingkat nasional
  3. Lembaga pendidikan; sekolah sering merupakan saluran yang paling konkrit untuk mobilitas sosial, sehingga disebut sosial elevator yang utama. Semakin tinggi tingkat pendidikan yang berhasil diraih seseorang semakin terbuka peluangnya untuk menempati posisi atau kedudukan tinggi dalam struktur sosial masyarakatnya.
  4. Organisasi politik, ekonomi dan keahlian (profesi); seorang tokoh organisasi politik yang pandai beragitasi, berorganisasi, memiliki kepribadian yang menarik, penyalur aspirasi yang baik, akan lebih terbuka peluangnya memperoleh posisi yang tinggi dalam masyarakat.
  5. Perkawinan; melalui perkawinan seorang rakyat jelata dapat masuk menjadi anggota kelas bangsawan. Status sosial seseorang yang bersuami/beristerikan orang ternama atau menempati posisi tinggi dalam struktur sosial ikut pula memperoleh penghargaan-penghargaan yang tinggi dari masyarakat.

Konsekuensi Mobilitas Sosial

Terjadinya mobilitas sosial di dalam masyarakat menimbulkan berbagai konsekuensi, baik positif maupun negatif. Apakah konsekuensi tersebut positif atau negatif ditentukan oleh kemampuan individu atau kelompok individu menyesuaikan dirinya terhadap “situasi” baru: kelompok baru, orang baru, cara hidup baru.
Apabila individu atau kelompok individu yang mengalami mobilitas sosial mampu menyesuaikan dirinya dengan situasi yang baru maka akan memperoleh hal-hsl posiitif sebagai konsekuensi mobilitas sosial, antara lain:
  • mengalami kepuasan, kebahagiaan dan kebanggaan.
  • Peluang mobilitas sosial juga berarti kesempatan bagi individu atau kelompok individu untuk lebih maju.
  • Kesempatan mobilitas sosial yang luas akan mendorong orang-orang untuk mau bekerja keras, mengejar prestasi dan kemajuan sehingga dapat meraih kedudukan yang dicita-citakan.
Apabila individu atau kelompok individu tidak mampu menyesuaikan dirinya dengan situasi baru, maka akan terjadi konsekuensi-konsekuensi sebagai berikut:
  • Konflik antar-kelas
Konflik ini terjadi karena benturan kepentingan antar-kelas sosial. Misalnya konflik antara majikan dengan buruh yang menghendaki kenaikan upah.
  • Konflik antar-kelompok
Konflik antar-kelompok (konflik horizontal) bisa melibatkan ras, etnisitas, agama atau aliran/golongan. Konflik jenis ini dapat terjadi karena perebutan peluang mobiitas sosial, misalnya kesempatan memperoleh sumber-sumber ekonomi, rekrutmen anggota, peluang memperoleh kekuasasan politik atau pengakuan masyarakat.
  • Konflik antar-individu
Konflik antar-individu dapat terjadi misalnya karena masuknya individu ke dalam kelompok tidak diterima oleh anggota kelompok yang lain. Misalnya lingkungan organisasi atau seseorang tidak dapat menerima kehadiran seseorang yang dipromosikan menduduki suatu jabatan tertentu.
  • Konflik antar-generasi
Konflik ini terjadi dalam hubungannya mobilitas antar-generasi. Fenomena yang sering terjadi  adalah ketika anak-anak berhasil meraih posisi yang tinggi, jauh lebih tinggi dari posisi sosial orang tuanya, timbul ethnosentrisme generasi. Masing-masing generasi –orang tua maupun anak— saling menilai berdasarkan ukuran-ukuran yang berkembang dalam generasinya sendiri. Generasi anak memandang orang tuanya sebagai generasi yang tertinggal, kolot, kuno, lambat mengikuti perubahan, dan sebagainya. Sementara itu generasi tua mengganggap bahwa cara berfikir, berperasaan dan bertindak generasinya lebih baik dan lebih mulia dari pada yang tumbuh dan berkembang pada generasi anak-anaknya.
  • Konflik status dan konflik peran
Seseorang yang mengalami mobilitas sosial, naik ke kedudukan yang lebih tinggi, atau turun ke kedudukan yang lebih rendah, dituntut untuk mampu menyesuaikan dirinya dengan kedudukannya yang baru.
Kesulitan menyesuaikan diri dengan statusnya yang baru akan menimbulkan konflik status dan konflik peran.
Konflik status adalah pertentangan antar-status yang disandang oleh seseorang karena kepentingan-kepentingan yang berbeda. Hal ini berkaitan dengan banyaknya status yang disandang oleh seseorang.
Konflik peran merupakan keadaan ketika seseorang tidak dapat melaksanakan peran sesuai dengan tuntutan status yang disandangnya. Hal ini dapat terjadi karena statusnya yang baru tidak disukai atau tidak sesuai dengan kehendak hatinya. Post Power Syndrome merupakan bentuk konflik peran yang dialami oleh orang-orang yang harus turun dari kedudukannya yang tinggi.
Sumber: Klik Disini

Stratifikasi Sosial: Determinan dan Konsekuensi

By : Muhammad Zamroni
Pendahuluan

Stratifikasi sosial dan kelas sosial adalah dua hal yang berbeda, tetapi seringkali dipergunakan secara bergantian sehingga dalam beberapa bagian menjadi rancu. Stratifikasi sosial sebenarnya lebih merujuk pada pembagian sekelompok orang ke dalam tingkatan-tingkatan atau strata yang berjenjang secara vertikal. Jadi apabila kita berbicara tentang stratifikasi sosial, kita akan berbicara tentang posisi yang tidak sederajat antar-orang atau antar-kelompok dalam masyarakat. Secara umum, stratifikasi sosial juga sering dikaitkan dengan persoalan kesenjangan atau polarisasi sosial.
Sedangkan istilah kelas sosial lebih sempit dari itu. Istilah kelas lebih merujuk pada satu lapisan atau satu strata tertentu dalam sebuah stratifikasi sosial.  Orang-orang yang berasal dari suatu kelas sosial pada umumnya memiliki orientasi politik, nilai dan budaya, sikap, dan perilaku sosial yang –pada umumnya–  sama.
Masyarakat kelas atas, misalnya, dalam banyak hal memiliki karakteristik yang berbeda dengan masyarakat miskin, bukan hanya dalam penampilan fisik mereka, seperti cara berpakaian dan saara transportasi yang dipergunakan, atau bahkan mereknya. Tetapi, antarmereka biasanya juga berbeda ideologi politik, nilai yang dianut, sikap, dan perilaku sehari-harinya.
Secara sederhana, perbedaan kelas sosial bisa terjadi dan dilihat dari perbedaan besar penghasilan rata-rata seseorang setiap hari atau setiap bulannya. Namun, seperti yang dikatakan oleh Paul B. Horton dan Chester L. Hunt (1984) bahwa terbentuknya stratifikasi dan kelas-kelas sosial di dalamnya sesungguhnya tidak hanya berkaitan dengan uang. Kelas sosial adalah suatu strata atau pelapisan orang-orang yang berkedudukan relatif sama dalam kontinum atau rangkaian kesatuan status sosial. Mereka mempunyai jumlah penghasilan yang relatif sama. Namun, lebih penting dari itu, mereka memiliki sikap, nilai-nilai, dan gaya hidup yang sama. Semakin rendah kedudukan seseorang di dalam pelapisan sosial, biasanya semakin sedikit pula perkumpulan dan hubungan sosialnya. Orang-orang dari lapisan rendah lebih sedikit berpartisipasi dalam jenis organisasi apa pun — klub, organisasi sosial, lembaga formal, atau bahkan lembaga keagamaan– daripada orang-orang yang berasal dari strata atau kelas menengah dan atas.
Determinan stratifikasi sosial.
Di dalam dunia kemiliteran, kita biasanya dengan mudah dan cepat membedakan strata anggotanya berdasarkan jenjang kepangkatan yang telah terstruktur dengan jelas. Tetapi, apakah kita juga dengan mudah bisa membedakan strata seseorang di dalam masyarakat yang begitu heterogen?
Seorang direktur sebuah perusahaan swasta yang terkenal, misalnya, apakah kedudukan lebih tinggi dari seorang rektor sebuah universitas atau perguruan tinggi negeri atau swasta? Seorang artis, apakah lantaran mereka lebih populer kemudian dikatakan kedudukannya lebih tinggi dari dosen, wartawan, atau pengusaha yang sukses? Ukuran atau kriteria apakah yang kita gunakan untuk membedakan seseorang termasuk ke dalam suatu lapisan sosial tertentu?
Secara rinci, faktor-faktor yang menjadi determinan stratifikasi sosial memang relatif beragam, yakni dimensi usia, jenis kelamin, agama, kelompok etnis atau ras, pendidikan formal, pekerjaan, kekuasaan, status, tempat tinggal, dan dimensi ekonomi. Berbagai dimensi ini, signifikansi dan kadar pengaruhnya dalam pembentukan stratifikasi sosial sudah tentu tidak sama kuat dan berbeda-beda tergantung pada tahap perkembangan masyarakat dan konteks sosial yang berlaku. Pada masyarakat di zaman dahulu, jenis kelamin, usia, serta penguasaan agama, mungkin sangat dominan sebagai faktor yang mendasari pemilahan anggota sukubangsa tertentu. Dalam cerita seputar kerajaan, laki-laki pada umumnya dipandang lebih tinggi derajatnya daripada perempuan, sehingga mereka dinilai lebih layak menyandang gelar sebagai putra mahkota.
Dalam masyarakat yang makin modern, perbedaan strata yang terbentuk dan berkembang di masyarakat umumnya tidak lagi atas dasar hal-hal yang bersifat kodrati, seperti perbedaan jenis kelamin atau usia, tetapi diterminan stratifikasi sosial menjadi semakin kompleks dan tidak lagi bersifat given (askriptif), melainkan lebib berdasarkan prestasi (achieved).
Secara umum, determinan yang menurut para ahli banyak berpengaruh dalam pembentukan stratifikasi sosial di masyarakat yang semakin modern adalah: dimensi ekonomi (kelas-kelas sosial),  dimensi sosial (status sosial), dan dimensi politik (penguasa dan yang dikuasai/pemimpin dan pengikut). Hal ini sesuai dengan klasifikasi Jeffris dan Ransford (1980), di dalam masyarakat pada dasarnya dapat dibedakan tiga macam stratifikasi sosial, yaitu:
1. Hirarkhi kelas, yang didasarkan pada penguasaan atas barang dan jasa;
2.Hirarkhi kekuasasan, yang didadasarkan pada kekuasaan, dan
3. Hirarkhi status, yang didasarkan pada pembagian kehormatan dan status sosial.
Akumulasi Dimensi.
Selain tiga dimensi stratifikasi sosial di atas sudah tentu masih ada sejumlah dimensi yang lain. Namun, lepas berapa jumlah dimensi stratifikasi sosial yang ada, satu hal yang perlu dicermati adalah kemungkinan terjadinya akumulasi dari sejumlah dimensi itu. Artinya, seseorang yang memiliki aset produksi berlimpah, kaya, dan memiliki banyak perusahaan, biasanya ia sebelumnya lahir dari keluarga yang berkecukupan, terhormat, memiliki pendidikan yang tinggi, dan bahkan didukung dengan pemilikan jaringan atau koneksi yang sangat luas. Seseorang yang berpendidikan, misalnya, mestki tidak selalu menjamin, tetapi pada umumnya lebih berpeluang untuk melakukan mobilitas sosial vertikal.  Sebagaimana dinyatakan oleh Beteille, bahwa pendidikan berharga karena memberikan akses untuk jabatan dengan bayaran atau gaji yang lebih baik (Kuper dan Kuper, 2000: 1059).
Mungkin banyak terjadi di cerita-cerita dan sedikit terjadi dalam kenyataan, cerita-cerita seperti “gareng jadi ratu” atau “seorang penggembala kerbau akhirnya menjadi presiden”.
Dalam realitas, seseorang yang memiliki kekuasaan politik atau menduduki jabatan tertentu,  akan cenderung lebih besar peluangnya untuk meraih fasilitas dan kebutuhan material. Sebaiknya, untuk orang miskin, selain tidak memiliki kekuasaan apapun, mereka biasanya juga tidak berdaya dan mudah dijadikan bahan eksploitasi. Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi dalam Setangkai Bunga Sosiologi (1964),  menyatakan bahwa anggota masyarakat yang posisinya tinggi akan cenderung mengakumulasikan posisi dalam dimensi yang berlainan.
Dalam masyarakat yang terstratifikasi, memang salah satu ciri utama yang menandai adalah ketidaksamaan untuk mengakumulasi basis kekuasaan sosial. Yang dimaksud basis kekuasaan sosial itu menurut Friedman (1979), meliputi:
1. Modal produktif atas aset (tanah,  rumah, peralatan, dan kesehatan)
2. sumber keuangan (pendapatan dan akses kredit)
3. organisasi sosial dan politik yang digunakan untuk mencapai kepentingan bersama
4.network atau jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang-barang, pengetahuan, dan keterampilan yang memadai
5. informasi-informasi yang berguna untuk kehidupan
Bagi kelas yang memiliki kekayaan atau kekuasaan lebih, peluang untuk mengakumulasikan basis kekuatan sosial menjadi lebih besar. Sebaliknya, bagi kelas sosial menengah ke bawah, apalagi miskin, peluang mereka untuk mendapatkan basis kekuatan sosial juga rendah, sehingga peluang untuk melakukan mobilitas sosial vertikal pun menjadi kecil.
Lebih lanjut, dalam kajian ilmu sosial, pengertian stratifikasi sosial tidak sebatas pada pembagian kelas-kelas sosial saja, melainkan juga interaksi atau hubungan timbal-balik antar-kelas.  Nah, apa yang terjadi ketika suatu kelas sosial berhubungan timbal-balik dengan kelas sosial lainya, ternyata lebih menunjukkan fenomena yang sifatnya relasional atau interaksional daripada gradual. Kenapa suatu kelompok tetap miskin, dan kenapa pula kelas sosial yang berkuasa senantiasa hidup dalam lingkaran kekayaan, adalah hal yang sering dipertanyakan ketika kita berbicara mengenai relasi atau hubungan antar-kelas sosial.
Kita sering mendengar istilah kemiskinan struktural. Dalam konteks hubungan antar-kelas inilah kemiskinan struktural terjadi. Ciri utama kemiskinan struktural adalah tidak terjadinya mobilitas vertikal di kalangan lapisan bawah. Kalau toh ada, maka itu akan lamban sekali. Hal ini karena kemiskinan itu terjadi akibat hubungan antar-kelas, bahwa terjadi kungkungan struktur sosial, sehingga yang miskin tetap miskin, dan yang kaya tetap berada pada lingkungannya yang kaya.
Ciri lain kemiskinan struktural adalah adanya ketergantungan dari pihak yang miskin terhadap pihak yang kaya, atau kelas sosial di atasnya. Mohtar Mas’ud (1994: 143) menyatakan bahwa ketergantungan si miskin terhadap kelas sosial di atasnya inilah yang memerosotkan si miskin dalam hal bargaining positionnya, sehingga tetap tidak mempunyai kemampuan tawar terhadap kelas sosial di atasnya.
Konsekuensi stratifikasi sosial.

Perbedaan tingkat pendidikan, kekayaan, status atau perbedaan kelas sosial tidak cuma mempengaruhi perbedaan dalam hal gaya hidup dan tindakan, tetapi –seperti yang ditulis oleh Horton dan Hunt (1987), juga menimbulkan sejumlah perbedaan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti peluang hidup dan kesehatan, peluang bekerja dan berusaha, respons terhadap perubahan, pola sosialisasi dalam keluarga, dan perilaku politik.
Apabila dirinci, konsekuensi perbedaan stratifikasi sosial akan terjadi pada
1. Perbedaan gaya hidup
2. Perbedaan peluang hidup dan kesehatan
3. Respons terhadap perubahan
4. Peluang bekerja dan berusaha
5. Kebahagiaan dan sosialisasi dalam keluarga
6. Perilaku politik
Yogyakarta, 15  Juli 2009.
Diadaptasi dari tulisan Bagong Suyanto dan Karmaji (Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan,  Edisi Kedua, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006.
Oleh Agus Santosa, SMA Negeri 3 Yogyakarta.
Sumber: Klik Disini

Konsekuensi Stratifikasi Sosial

By : Muhammad Zamroni
Perbedaan tingkat pendidikan, kekayaan, status atau perbedaan kelas sosial tidak cuma mempengaruhi perbedaan dalam hal gaya hidup atau tindakan, tetapi –seperti ditulis Horton dan Hunt (1987)– juga menimbulkan sejumlah perbedaan dalam berbagai aspek kehidupan manusia, seperti peluang hiduo dan kesehatan, peluang bekerja danberusaha, respons terhadap perubahan, pola sosialisasi dalam keluarga, dan perilaku politik.
Gaya hidup.
Gaya hidup (life style) yang ditampilkan antara kelas sosial satu dengan kelas sosial yang lain dalam banyak hal tidaklah sama, bahkan ada kecenderungan masing-masing kelas mencoba mengembangkan gaya hidup ekslusif untuk membedakan dirinya dengan kelas sosial yang lain. Berbeda dengan kelas sosial rendah yang umumnya bersikap konservatif di bidang agama, moralitas, selera pakaian, selera makanan, cara baru perawatan kesehatan, cara mendidik anak, dan hal-hal lainya, gaya hidup dan penampilan kelas sosial menengah dan atas umumnya lebih atraktif dan eksklusif (Dickson, 1968). Mulai dari tutur kata, cara berpakaian, pilihan hiburan, pemanfaatan waktu luang, pola berlibur, dan sebagainya, antar kelas yang satu dengan yang lainnya umumnya tidak sama.
Sebuah keluarga yang berasal dari kelas atas, mereka biasanya akan cenderung memilih berlibur ke luar negeri. Setiap bulan atau minimal setiap liburan semester anak-anaknya, mereka akan menyembatkan waktu pergi ke Singapura, Australia, Hongkong, Amerika, atau Eropa. Untuk keluarga kelas menengah, tempat untuk berlibur biasanya tidak di luar negeri, tetapi cukup di Bali,  Lombok, Yogyakarta, atau Jakarta. Untuk keluarga kelas bawah, biasanya mereka hanya berlibur di kota-kota terdekat yang udaranya lebih sejuk atau sekedar berjalan-jelan di pusat-pusat perbelanjaaan untuk  menghabiskan waktu luang. Di kalangan keluarga yang benar-benar miskin, mereka bahkan hanya mengisi waktu luang dengan menikmati tontonan televisi di rumah, atau sesekali ke kebun binatang, taman hiburan rakyat, pantai, dan sebagainya.
Gaya hidup lain yang tidak sama antara kelas sosial satu dengan lainnya adalah dalam hal berpakaian. Atribut-atribut yang sifatnya massal dan dianggap berselera rendahan –pakaian kodian, misalnya– biasanya selalu dihindari oleh orang-orang yang secara ekonomi mapan atau berada. Bagi mereka, atribut yang dikenakan adalah simbol status yang mencerminkan dan membedakan statusnya dari kelas sosial lain yang lebih rendah.
Di Indonesia, sering terjadi seseorang yang merasa bagian dari kelas menengah atau atas dalam banyak hal akan gengsi atau malu bila disebut sebagai penggemar musik dangdut atau penonton setia film India. Vonis masyarakat yang menempatkan musik dan film goyang pinggul sebagai hiburan kacangan yang banyak diputar di deerah pinggiran atau desa-desa menyebabkan orang-orang dari kelas menengah atau atas seoalah merasa turun derajatnya bila dikategorikan sebagai salah satu penggemar kedua hiburan ini.
Dalam memanfaatkan waktu luang di malam minggu, film-film yang banyak ditonton orang-orang dari kelas menengah ke atas biasanya film-film barat baru yang dibintangi oleh bintang-bintang Hollywood terkenal, macam Tom Cruise, Tom Hank, Kevin Costner, Sharon Stone, Mat Dammon, J-Lo, Demi Moore, dan sebagainya. Sedangkan musik yang banyak didengar adalah musik-musik jazz atau pop Barat yang acapkali ditayangkan di acara-acara televisi swasta, seperti MTV, Clear Top Ten, dan sebagainya. Beberapa penyanyi yang menjadi pujaan kelas menengah, misalnya adalah Britney Spears, Clay Aiken, J-Lo, Michael Bolton, Michael Jackson, Mariah Carrey, atau Whitney Houston.
Sebagai orang kelas sosial bawah, memang terkadang mereka mencoba meniru-niru atribut yang dikenakan sebagai gaya hidup kelas di atasnya. Dalam pemilihan pakaian, sepatu, atau jam tangan, misalnya, banyak orang-orang dari kelas rendah mencoba menirunya dengan cara membeli barang-barang tiruan yang biasa dikenakan kelas menengah ke atas. Salah satu ciri dari kelas sosial bawah adalah mereka acapkali mengapresiasi dan sejauh mungkin ingin tampil seperti kelas sosial di atasnya. Jika orang-orang dari kelas atas memakai kaos merek Hammer atau sepatu merek Nike, maka orang-orang dari kelas bawah akan memakai dengan merek yang sama tetapi tiruan. Demikian ketika orang-orang dari kelas atas memakai tas merk Braun Buffel, Etienne Eigner, dan sejenisnya, maka sebagian orang-orang dari kelas bawah akan menirunya dengan membeli tas “tembakan” buatan Korea atau China. Bagi orang-0rang yang belum berpengalaman dan dipandang sepintas kilas mereknya akan terlihat sama. Selera kalangan bawah yang umumnya lebih menyukai pakaian denngan warna-warna mencolok dalam banyak hal juga semakin mengukuhkan adanya perbedaan penampilan mereka dengan kelas di atasnya.
Peluang Hidup dan Kesehatan.
Berbagai kajian yang dilakukan ahli sosiologi dan kependudukan telah banyak menemukan kaitan antara stratifikasi sosial dengan peluang hidup dan derajat kesehatan keluarga. Studi yang dilakukan oleh Robert Chambers (1987), misalnya, menemukan bahwa di lingkungan keluarga miskin, tidak berpendidikan, dan rentan, mereka umumnya lemah jasmani dan mudah terserang penyakit. Sementara itu, studi yang dilakukan oleh Brooks (1975) menemukan bahwa kecenderungan terjadinya kematian bayi ternyata dipengaruhi oleh tinggi-rendahnya kelas sosial orangtua. Semakin tinggi kelas sosial orangtua, semakin kecil kemungkinan terjadinya kematian bayi. Di kalangan kaum ibu yang kurang berpendidikan, terjadinya kematian bayi relatif lebih tinggi karena tinggi-rendahnya tingkat pendidikan ibu erat kaitannya dengan tingkat pengertiannya terhadap perawatan kesehatan, hygiene, perlunya pemeriksaan kehamilan dan pasca persalinan, serta kesadarannya terhadap kesehatan anak-anak dan keluarganya (Utomo, 1985).
Menurut studi yang dilakukan oleh Antonovsky (1972) dan Harkey (1976), sekurang-kurangnya ada dua faktor yang berinteraksi untuk menghasilkan hubungan antara kelas sosial dengan kesehata. Pertama: para anggota kelas sosial yang lebih tinggi biasanya menikmati sanisitas, tindakan-tindakan pencegahan serta perawatan medis yang lebih baik. Kedua: orang-orang yang mengidap penyakit kronis, status sosialnya cenderung untuk “meluncur” ke bawah dan sulit mengalami mobilitas sosial vertikal naik karena penyakitnya menghalangi mereka untuk memperoleh dan mempertahankan berbagai pekerjaan.
Bisa dibayangkan, apa yang bakal terjadi jika sebuah keluarga miskin suatu saat kepala keluarga yang merupakan tenaga kerja produktif dan andalan ekonomi keluarga tiba-tiba jatuh sakit hinga berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu. Berbeda dengan keluarga kelas menengah ke atas yang biasanya memiliki tabungan yang cukup dan ikut asuransi kesehatan, keluarga-keluarga miskin yang bekerja dengan upah harian, tatkala mereka sakit, maka akibat yang segera terjadi biasanya adalah mereka terpaksa jatuh pada perangkap utang, dan pelan-pelan satu per satu barang yang mereka miliki terpaksa dijual untuk menyambung hidup (Suyanto, 2003).  Dengan alasan tidak lagi ada uang yang tersisa,  sering terjadi keluarga miskin yang salah satu anggota keluarganya sakit akan memilih mengobati seadanya dengan cara tradisional, yang ironisnya kadang justru membuat penyakit yang mereka derita menjadi tidak kunjung sembuh.
Singkatnya seperti yang diungkapkan oleh Weber, bahwa semakin tinggi posisi seseorang atau kelompok dalam struktur sosial peluang hidupnya akan semakin baik.
Respon terhadap perubahan.
Berbeda dengan orang-orang yang datang dari kelas sosial atas, orang-orang dari kelas sosial bawah merupakan kelompok yang paling terlambat menerapkan kecenderungan-kecenderungan baru, khususnya dalam hal cara mengambil keputusan. Memang, setiap kali terjadi perubahan, tentu membutuhkan proses adaptasi, dan bahkan respons yang tepat dari warga masyarakat. Orang-orang dari kelas sisial bawah umumnya ragu-ragu untuk menerima pemikiran dan cara-cara baru serta curiga terhadap para pembaharu (pencipta hal-hal baru). Studi yang dilakukan oleh IB Wirawan (1972) mengenai perilaku ber-KB masyarakat desa menunjukkan bahwa KB mandiri lebih banyak dilakukan oleh orang-orang dari kelas sosial atas daripada bawah. Ragu dan curiga terhadap hal baru barangkali merupakan ciri yang relatif tetap pada kelas bawah, misalnya juga terhadap pembaruan cara bertani, penggunaan pupuk tablet menggantikan pupuk tabur di desa kami juga menunjukkan hal itu. Semula para petani menolah penggunaan pupuk tablet, tetapi karena penjualan pupuk tabur dibatasi, akhirnya terpaksa menerima. Dan ketika menghadapi kenyataan bahwa pupuk tablet lebih hemat, mereka baru mau menerimanya.
Terbatasnya pendidikan, kebiasaan membaca, dan pergaulan mengakibatkan kebanyakan orang-orang dari kelas sosial bawah itu tidak mampu mengetahui latar belakang pemikiran yang mendasari berbagai program perubahan yang ditawarkan (Horton dan Hunt, 1987).
Kelas sosial atas -di mana sebagian besar berpendidikan relatif memadai– cenderung lebih responsif terhadap ide-ide baru, sehingga acapkali mereka lebih sering bisa memetik manfaat dengan cepat atas program-program baru atau inovasi-inovasi yang diketahuinya.
James Scout menyatakan bahwa salah satu ciri masyarakat desa miskin di Asia Tenggara adalah keengganan untuk menempuh resiko atau lebih dikenal dengan istilah prinsip safety first (dahulukan selamat). Petani-petani kecil yang meruasa lebih baik menunggu daripada segera merespon perubahan atau tawaran program baru, karena bagi mereka kelangsungan hidup lebih penting daripada melakukan langkah-langkah terobosan yang menurut mereka belum tentu jelas hasilnya.
Peluang bekerja dan berusaha.
Peluang bekerja dan berusaha antara kelas sosial rendah dengan kelas sosial di atasnya umumnya jauh berbeda. Dengan koneksi, kekuasaan, tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dan uang yang dimiliki, kelas sosial atas relatif lebih mudah membuka usaha atau mencari pekerjaan yang sesuai dengan minatnya. Seseorang yang sejak kecil telah disertakan dalam kursus Bahasa Iggris oleh orangtuanya yang kaya, tentu kemungkinan mereka bersekolah di luar negeri lebih terbuka. Dengan menyandang gelar MBA atau MA dari luar negeri, jelas kesempatan mereka untuk bekerja di perusahaan besar lebih besar.
Sementara itu, untuk kelas sosial rendah, akibat belitan atau perangkap kemiskinan dan pendidikannya yang rendah, mereka umumnya rentan, tidak berdaya dan kecil kemungkinan untuk bisa memperoleh pekerjaan yang memadai atau kemungkinan melakukan diversivikasi okupasi.
Keluarga-keluarga yang dibelit perangkap kemiskinan acapkali tidak bisa ikut meramaikan hasil pertumbuhan ekonomi, rapuh, dan sulit meningkatkan kualitas hidupnya. Walaupun orang-orang dari kelas bawah telah sering memperoleh bantuan permodalan dari KUD, KUT, BRI UNIT DESA, Pegadaian, BLT, dst. tetapi acapkali bantuan-bantuan ekonomi itu tidak dapat menyelsaikan masalah kemiskinan secara tuntas.
Kebahagiaan dan sosialisasi keluarga
Horton dan Hunt (1984) menyatakan bahwa orang-orang kaya umumnya lebih mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, sehingga lebih berkemungkinan untuk merasa bahagia daripada orang-orang yang kurang berada. Fenomena child abuse atau tindak kekerasan dalam keluarga cenderung lebih sering terjadi dan dialami oleh keluarga-keluarga yang secara sosial-ekonomi tergolong miskin.
Keluarga-keluara dari kalangan bawah cenderung mengalami kegagalan dalam melaksanakan fungsi-fungsi dasar keluarga, khususnya fungsi afeksi dan sosialisasi, karena setiap harinya mereka masih harus dipusingkan oleh kebutuhan perut yang tidak bisa ditunda-tunda lagi.
Dalam kajian Oscar Lewis (Lima Keluarga Miskin di Mexico) dihasilkan informasi bahwa figur ayah dalam keluarga yang serba susah biasanya kasar, tidak berpendidikan, pengangguran, hidup tidak teratur, bahkan tidak mandi atau makan pagi terlebih dulu sebelum pergi, terjepit oleh pekerjaan yang rendah dengan gaji yang rendah pula, dan merupakan keturunan dari seorang ayah yang kejam pula.
Dalam konteks ini bahwa “kekerasan” menghasilkan “kekerasan” adalah kebenaran yang tidak mudah disangkal. Seorang anak yang dibesarkan dalam suasana keluarga yang serbakekurangan dan penuh dengan tindak kekerasan, besar kemungkinan ketika ia menjadi dewasa dan berkeluarga, akan menjadi seorang suami atau ayah yang ringan tangan terhadap isteri atau anak-anaknya. Ia akan enggan memberikan kasih sayang dan perasaan cintanya terhadap anggota-anggota keluarganya.
Perilaku politik
Berbagai studi memperlihatkan bahwa kelas sosial mempengaruhi perilaku politik orang. Studi yang dilakukan oleh Erbe (1964), Hansen (1975), dan lain-lain menyimpulkan bahwa semakin tinggi kelas sosial semakin cenderung aktif dalam kehidupan politik, seperti mendaftarkan diri sebagai pemilih, memberikan suara dalam pemilu, tertarik pada pembahasan politik, dan berusaha mempengaruhi pandangan politik orang lain.
Di lingkungan orang-orang yang berpendidikan di kalangan kelas menengah, ditengarai tingkat partisipasi politiknya tinggi daripada orang-orang yang kurang berpendidikan karena ada kaitannya dengan semakin tumbuhnya sikap kritis mereka. Akses mereka terhadap informasi merupakan salah satu faktor penyebabnya.  Kelas menengah bahkan diharapkan berperan sebagai motor penggerak perubahan, kendati justru tidak jarang dijumpai orang-orang dari kalangan kelas menengah yang justru menjadi pendukung status quo.
Diadaptasi dan modifikasi oleh Agus Santosa,
dari Bagong Suyanto dan Karmaji,  dalam J. Narwoko dan Bagong Suyanto, 2006, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan Edisi Kedua, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Source: Klik Disini

- Copyright © Hidup Adalah Pilihan - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -