Popular Post

Archive for Februari 2012

Perubahan Sosial, Modernisasi, dan Pembangunan

By : Muhammad Zamroni
Pengantar

Sebagaimana telah dinyatakan oleh Comte, sosiologi dibedakan menjadi sosiologi statik dan sosiologi dinamik. Walaupun kajian sosiologi di sekolah menengah lebih menekankan segi-segi statika, seperti pada pokok bahasan struktur sosial, kelompok dan kelas sosial, institusi, nilai dan norma, dan sebagainya, tetapi sebenarnya juga telah menyentuh aspek-aspek dinamik atau perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat, seperti hubungan dan dinamika kelompok sosial dalam masyarakat majemuk dan  mobilotas sosial, sertu tentu saja kajian spesifik tentang perubahan sosial, modernisasi, dan pembangunan.
Apa yang dimaksud dengan perubahan sosial?
Kingsley Davis memberikan pengertian bahwa perubahan-perubahan yang terjadi pada struktur dan fungsi masyarakat,  sedangkan Selo Soemardjan menyatakan bahwa perubahan sosial merupakan perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga kemasyarakatan yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai, sikap, pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Bagaimana kalau perubahan sosial dibandingkan dengan perubahan kebudayaan?
Secara singkat dapat dibedakan bahwa, perubahan sosial merupakan perubahan yang terjadi pada struktur dan proses sosial (konfigurasi dan hubungan di antara unsur-unsur sosial),  sedangkan perubahan kebudayaan terjadi pada struktur kebudayaan (nilai/idea, pola bertindak, dan artefak).
Apabila menggunakan pemikiran struktur kebudyaan, maka ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih luas daripada perubahan sosial.  Perubahan sosial terbatas pada perubahan sistem tindakan (sistem sosial),  sedangkan perubahan kebudayaan meliputi semua perubahan pada aspek kebudayaan masyarakat, yang meliputi (1) sistem idea, (2) sistem sosial, dan (3) sistem artefak.  Namun, apabila menggunakan pendekatan bahwa masyarakat dan kebudayaan merupakan dwi tunggal, sehingga masyarakat merupakan wadah dan kebudayaan merupakan isi, maka perubahan sosial lebih luas ruang lingkupnya daripada perubahan kebudayaan. Karena perubahan sosial akan meliputi semua perubahan yang terjadi pada masyarakat. Perubahan kebudayaan merupakan perubahan pada isi. Sehingga, perubahan kebudayaan merupakan bagian dari perubahan sosial.
Lepas dari beda sudut pandang tentang ruang lingkup perubahan sosial dan perubahan kebudayaan, yang lebih penting diketahui adalah hubungan di antara keduanya.
Pernahkan Anda membayangkan,  perubahan interaksi sosial dari bersifat otoriter menjadi ekualiter apakah mungkin terjadi apabila tidak didahului oleh adanya perubahan nilai-nilai berkenaan dengan tanggapan orang terhadap orang lain dari yang bersifat vertikal (feodal) menjadi horizontal (demokratis)?Kemudian apa yang terjadi apabila dalam masyarakat terjadi perubahan-perubahan unsur kebudayaan seperti seni tari, seni musik, dan seterusnya, apakah akan mempengaruhi unsur-unsur sosial? Bandingkan dengan ketika suatu negara mengubah undang-undang dasarnya, apakah akan diikuti oleh perubahan-perubahan pada struktur dan proses sosial?
Berdasarkan hal tersebut, dapat ditarik semacam kesimpulan bahwa perubahan sosial selalu diawali oleh perubahan kebudayaan. Tetapi tidak semua perubahan unsur kebudayaan diikuti oleh perubahan sosial, hanya perubahan-perubahan unsur kebudayaan yang fundamental saja yang diikuti oleh perubahan sosial. Misalnya perubahan undang-undang dasar. Perubahan unsur-unsur seni tidak akan diikuti oleh perubahan sosial, karena tidak bersifat fundamental.
Mengidentifikasi perubahan sosial
Perubahan sosial dapat diketahui bahwa telah terjadi dalam masyarakat dengan membandingkan keadaan pada dua atau lebih rentang waktu yang berbeda. Misalnya struktur masyarakat Indonesia pada masa pra kemerdekaan, setelah merdeka,  orde lama, orde baru, reformasi, dst.
Yang harus dipahami adalah bahwa suatu hal baru yang sekarang ini bersifat radikal, mungkin saja beberapa tahun mendatang akan menjadi konvensional, dan beberapa tahun lagi akan menjadi tradisional.
Bahwa perubahan sosial dapat dipastikan terjadi dalam masyarakat, karena adanya ciri-ciri sebagai berikut.
  • Tidak ada masyarakat yang berhenti berkembang, setiap masyarakat pasti berubah, hanya ada yang cepat dan ada yang lambat
  • Perubahan yang terjadi pada lembaga sosial tertentu akan diikuti perubahan pada lembaga lain
  • Perubahan sosial yang cepat akan mengakibatkan disorganisasi sosial
  • Disorganisasi sosial akan diikuti oleh reorganisasi melalui berbagai adaptasi dan akomodasi
  • Perubahan tidak dapat dibatasi hanya pada bidang kebendaan atau spiritual saja, keduanya akan kait-mengkait
Tipologi perubahan
Perubahan Siklus dan Linier
Perubahan siklus
Perubahan-perubahan berpola siklus diterangkan antara lain oleh Arnold Toynbe, Oswald Spengler, dan Vilfredo Pareto, bahwa masyarakat berkembang laksana suatu roda, kadangkala naik ke atas, kadang kala turun ke bawah. Spengler dalam bukunya The Decline of The West menyatakan bahwa kebudayaan tumbuh, berkembang dan pudar laksana perjalanan gelombang yang muncul mendadak, berkembang, kemudian lenyap
Perubahan linier
Perubahan berpola linier dianut oleh Comte, Spencer, Durkheim, Weber, Parsons, dst.,  bahwa kemajuan progresif masyarakat mengikuti suatu jalan yang linier, dari suatu kondisi ke kondisi lain, misalnya dari tradisional menjadi modern, dari agraris ke industria, atau sebagaimana yang dikemukakan oleh Alvin Tofler bahwa masyarakat akan bergerak dari masyarakat gelombang I yang agraris, menuju ke gelombang II yang industrial, dan akhirnya gelombang III masyarakat informasi, dan sebagainya.

Evolusi dan Revolusi
Evolusi merupakan perubahan yang berangsung secara lambat.  Menurut uniliniar theory of evolution ,  evolusi berlangsung melalui tahap-tahap evolusi tertentu,  menurut universal theory of evolution, perubahan yang terjadi secara lambat dan mengikuti garis evolusi tertentu, sedangkan menurut multilineal theory of evolution,  perubahan evolusi tidak mengikuti tahap atau garis evolusi tertentu,  karena perubahan pada  suatu unsur dapat mengakibatkan perubahan pada unsur lain, sehingga bersifat multilineal.

Sedangkan, revolusi merupakan perubahan yang berlangsung cepat, radikal,  dan/atau menyangkut nilai-nilai dan unsur-unsur yang mendasar.
Revolusi dapat berlangsung dalam kehidupan ekonomi, sosial, politik, maupun kebudayaan. Dalam kehidupan politik,  revolusi politik terjadi apabila:  (1) ada keinginan umum, (2) ada pemimpin, (3) pemimpin tadi dapat menampung aspirasi,  (4) pemimpin tadi dapat menunjukkan tujuan yang konkrit maupun yang abstrak paska revolusi, dan (5) ada momentum yang tepat. Dapat dibayangkan, Revolusi Indonesia pada 17 Agustus 1945, dapat terjadi karena adanya momentum yang tepat, pembomam Hiroshima dan Nagasaki yang membuat Jepang lumpuh.
Perubahan Progresif dan regresif
Perubahan progresif merupakan perubahan ke arah kemajuan, sedangkan regresif merupakan perubahan menuju kea rah keadaan yang lebih buruk (mundur).
Peubahan intended (diinginkan) dan unintended (tidak diinginkan)

Perubahan intended merupakan perubahan yang diinginkan atau direncanakan (planned change), misalnya pembangunan, sedangkan unintended merupakan perubahan-perubahan  yang tidak diinginkan (dapat berupa dampak dari suatu perubahan).
Mengapa masyarakat mengalami perubahan?
Masyarakat mengalami perubahan disebabkan oleh baik faktor-faktor yang bersifat internal maupun eksternal, baik yang bersifat material ataupun nonmaterial/ideologis.
David Mc Clelland menyebut faktor hasrat meraih prestasi (n-Ach = need for achievement) sebagai faktor perubahan, sedangkan Alvin Betrand menyebut faktor komunikasi sebagai faktor perubahan yang penting.
Faktor-faktor penyebab perubahan
Apabila dibedakan menurut asal faktor, maka faktor-faktor penyebab perubahan dapat dibedakan antara faktor-faktor internal dan eksternal.
Faktor-faktor eksternal, atau faktor-faktor yang beasal dari luar masyarakat, dapat berupa: (1) pengaruh kebudayaan masyarakat lain,  yang meliputi proses-proses difusi (penyebaran unsur kebudayaan), akulturasi (kontak kebudayaan), dan asimilasi (perkawinan budaya), (2)  perang dengan negara atau masyarakat lain, dan (3) perubahan lingkungan alam, misalnya disebabkan oleh bendana.
Faktor-faktor internal, merupakan faktor-faktor perubahan yang berasal dari dalam masyarakat, misalnya (1) perubahan aspek demografi (bertambah dan berkurangnya penduduk), (2) konflik antar-kelompok dalam masyarakat, (3) terjadinya gerakan sosial dan/atau pemberontakan (revolusi), dan (4) penemuan-penemuan baru, yang meliputi (a) discovery, atau penemuan  ide/alat/hal baru yang belum pernah ditemukan sebelumny (b) invention, penyempurnaan penemuan-penemuan pada discovery oleh individu atau serangkaian individu, dan (c) inovation, yaitu diterapkannya ide-ide baru atau alat-alat baru menggantikan atau melengkapi ide-ide atau alat-alat yang telah ada.
Faktor material dan immaterial
Faktor-faktor penyebab perubahan menurut jenisnya dapat dibedakan antara faktor-faktor yang bersifat material dan yang bersifat immaterial. Faktor-faktor yang bersifat material, meliputi: (1)  perubahan lingkungan alam, (2) perubahan kondisi fisik-biologis, dan (3)  alat-alat dan teknologi baru, khususnya Teknologi Informasi dan Komunikasi.
Sedangkan faktor-faktir yang bersifat nonmaterial, meliputi: (1) ilmu pengetahuan, dan (2) ide-ide atau pemikiran baru, ideologi, dan nilai-nilai lain yang hidup dalam masyarakat.
Max Weber menyatakan bahwa industrialisasi dan modernisasi di Eropa Barat pada abad ke-19 bersumber pada pandangan hidup agama Kristen Protestan (baca: Weber dalam The Protestan Ethic and The Spirit of Capitalism). Robert N. Bellah mengkaji tentang pengaruh agama Tokugawa terhadap perkembangan Jepang yg menghasilkan Restorasi Meiji. Ajaran Tokugawa: tentang bekerja keras dan menghindari pemborosan waktu, hidup hemat, serta jujur.
Di samping dikenal adanya faktor penyebab perubahan, berikut diidentifikasi tentang faktor-faktor pendorong dan penghambat perubahan.
Faktor pendorong perubahan:
  1. Kontak/komunikasi dengan kelompok/kebudayaan lain
  2. Pendidikan yang maju
  3. Need for Achievement (n-Ach)
  4. Sikap menghargai orang lain dan kebudayaannya
  5. Toleransi
  6. Struktur sosial (stratifikasi) terbuka
  7. Penduduk yang heterogen
  8. Ketidakpuasan terhadap keadaan
  9. Orientasi ke masa depan
Faktor penghambat perubahan
  1. Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain
  2. Perkembangan IPTEK yang terhambat
  3. Sikap masyarakat yang tradisional
  4. Vested interested
  5. Ketakutan akan terjadi kegoyahan dalam sistem sosial apabila terjadi perubahan
  6. Prasangka terhadap hal baru
  7. Hambatan ideologis (nilai sosial)
  8. Hambatan adat dan tradisi
Industrialisasi, Urbanisasi dan Modernisasi
Modernisasi merupakan proses menjadi modern. Istilah modern berasal dari kata modo yang artinya yang kini. Sehingga, modernisasi dapat diartikan sebagai cara hidup yang sesuai dengan situasi yang kini ada, atau konteks masa sekarang.  Apabila cara hidup suatu masyarakat seperti  yang diwariskan oleh nenek-moyang atau generasi pendahulunya, masyarakat tersebut disebut masyarakat tradisional. Istilah tradisi berasal dari kata traditum yang artinya warisan.
Tekanan pengertian modernisasi adalah pada teknologi dan organisasi sosial.
Menurut Samuel Huntington proses modernisasi mengandung beberapa ciri pokok sebagai berikut:
  1. Merupakan proses bertahap, dari tatanan hidup yang primitif-sederhana menuju kepada tatanan yang lebih maju dan kompleks
  2. Merupakan proses homogenisasi. Modernisasi membentuk struktur dan kecenderungan yang serupa pada banyak masyarakat. Penyebab utama proses homogenisasi ini adalah perkembangan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi. Contoh: fenomena coca colonization, Mc world serta californiazation.
  3. Terwujud dalam bentuk lahirnya sebagai: Amerikanisasi dan Eropanisasi
  4. Merupakan proses yang tidak bergerak mundur, tidak dapat dihindrkan dan tidak dapat dihentikan
  5. Merupakan proses progresif (ke arah kemajuan), meskipun tidak dapat dihindari adanya dampak (samping).
  6. Merupakan proses evolusioner, bukan revolusioner dan radikal; hanya waktu dan sejarah yang dapat mencatat seluruh proses, hasil maupun akibat-akibat serta dampaknya
Alex Inkeles dan David Smith mengemukakan ciri-ciri individu modern, sebagai berikut:
  1. Memiliki alam pikiran (state of mind) yang terbuka terhadap pengalaman baru
  2. Memiliki kesanggupan membentuk dan menghargai opini
  3. Berorientasi ke depan
  4. Melakukan perencanaan
  5. Percaya terhadap ilmu pengetahuan
  6. Memiliki keyakinan bahwa segala sesuatu dapat diperhitungkan
  7. Menghargai orang lain karena prestasinya
  8. Memiliki perhatian terhadap persoalan politik masyarakat
  9. Mengejar fakta dan informasi
Modernisasi sebagai proses industrialisasi dan urbanisasi
Menjadi modern identik dengan menjadi kota atau menjadi industri. Sehingga perubahan dari tradisional ke modern, akan identik dengan peubahan dari situasi desa menjadi kota, dan perubahan dari kehidupan agraris ke industri.
Talcott Parson menyebut variable-variabel yang berubah dalam perubahan itu, yaitu
  1. “Affektivity” ke “Affective Neutrality”. Dari hubungan-hubungan dan tindakan yang didasarkan pada perasaan, ke hubungan-hubungan dan tindakan yang didasarkan pada pertimbangan rasional atau kepentingan tertentu. Modernisasi dan industrialisasi membuat warga masyarakat mampu menunda kesenangan, yang kalau dalam aktivitas ekonomi akan muncul sebagai investasi.
  2. “Partikularisme” ke “Universalisme”. Dari interaksi dan komunikasi yang terbatas pada kelompok-kelompok, golongan-golongan, atau aliran-alirann, berubah ke lingkup yang lebih luas (universal).
  3. “Orientasi Kolektif” ke “Orientasi Diri”. Dari orientasi hidup untuk kepentingan kelompok ke kepentingan diri.
  4. “Askriptif” ke “Achievement”. Dari penghargaan kepada faktor-faktor bawaan lahir, berubah kepada penghargaan-penghargaan berdasarkan prestasi.
  5. “Functionally diffused” ke “Functionally specified”. Dari cara kerja yang bersifat umum dan serba meliputi, berubah menjadi berdasarakan kekhususan atau spesialiasi yang dibatasi oleh konteks ruang dan waktu. Bandingkan hubungan antara orangtua – anak dengan guru – murid. Orangtua – anak tidak terbatas oleh ruang dan waktu, sedangkan guru – murid dibatasi oleh ruang dan waktu.
PEMBANGUNAN
Pembangunan merupakan perubahan sosial dengan ciri-ciri sebagai berikut.
  1. Merupakan perubahan untuk mewujudkan suatu kondisi kehidupan yang lebih baik dari yang sekarang
  2. Meliputi seluruh aspek kehidupan: fisik, sosial, ekonomi, politik maupun kebudayaan
  3. Kuantitatif dan kualitatif
  4. Secara sadar dilakukan
  5. Menggunakan perencanaan (social planning)
  6. Menghasilkan perubahan sosial dan kebudayaan
  7. Dalam prosesnya memerlukan perubahan sosial dan kebudayaan
  8. Bermuara pada kondisi ideal (maka pembangunan merupakan proses yang tidak pernah selesai)
KONSEP TENTANG NEGARA BERKEMBANG
Dulu pernah disebut “backward nations” dengan ciri: (1) kemelaratan kronis, (2) kemelaratan tersebut bukan karena    tiadanya SDA, tetapi teknik produksi yg usang.
Istilah tersebut dinilai merendahkan dan tidak menghargai martabat bangsa-bangsa yang dimaksud, kemudian disebut “underdeveloped” atau “lower developed countries” (LDC), yg  dihadapkan dng developed atau more developed countries (MDC). Istilah diperbarui menjadi ”developing countries”= negara-negara sedang berkembang. Dalam Konferensi Asia Afrika (Bandung, 1955), sebutan tersebut diubah menjadi “Negara-negara Selatan”.  Di lain pihak adalah Negara-negara Utara. Latar belakang istilah ini adalah bahwa kenyataan sebagian besar negara-negara yang dimaksud berada di belahan bumi selatan, walaupun tidak semuanya. Australia meskipun berada di belahan bumi selatan, tetapi tidak termasuk kelompok negara-negara ini.
Sebutan yang lain: DUNIA KETIGA.  Sisi lain: DUNIA PERTAMA dan KEDUA. Dunia pertama adalah negara-negara maju, sedangkan dunia kedua adalah negara-negara sosialis di Eropa Timur.
PERMASALAHAN DI NEGARA BERKEMBANG
  1. Tingkat kehidupan yang rendah
  2. Produktivitas yang rendah
  3. Pertumbuhan penduduk dan angka ketergantungan (Dependency Ratio) yang tinggi
Ketiga permasalahan ini melahirkan kemiskinan dan saudara kembarnya keterbelakangan, dan membentuk lingkaran setan yang tidak ada ujung pangkalnya. Sehingga, permasalahan utama pembangunan negara-negara berkembang adalah bagaimana mengeluarkan orang dari lingkaran ini.
MACAM-MACAM KEMISKINAN
Menurut jenisnya:
  1. Absolut (mutlak)
  2. Relatif (nisbi)
  3. Subjektif
Menurut penyebabnya:
  1. Kemiskinan struktural
  2. Kemiskinan kultural
  3. Kemiskinan Natural
Penjelasan:
Kemiskinan Absolut
Ketika sumber daya ekonomi seseorang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhannya yang paling dasar. Patokannya adalah Garis Kemiskinan.
Garis Kemiskinan
Tentang garis kemiskinan Prof. Sayogya, menggunakan ukuran tingkat konsumsi yang ekuivalen dengan 240 kg beras/kapita/tahun di desa, atau 360 kg beras/kapita/tahun di kota.
Atau dapat juga menggunakan Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) yang ukurannya adalah kemampuan suatu keluarga memenuhi sembilan bahan kebutuhan pokok (sembako). Wujud real KFM adalah ditetapkannya Upah Minimum Propinsi (UMP) yang sebelumnya disebut sebagai UMR (Upah Minimum Regional). Sebagai gambaran, pada tahun 2010 ini Serikat Pekerja Seluruh Indonesia menyepakati bahwa UMP Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar Rp802.000/pekerja/bulan, dengan asumsi seorang pekerja menanggung beban seorang isteri dan dua orang anak.
Kemiskinan Relatif
Kemiskinan relatif merupakan kemiskinan akibat adanya perbandingan kelas-kelas pendapatan.  Pengertian kemiskinan relatif menurut BPS (2008) adalah “suatu kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan”.
Kemiskinan subjektif
Dalam pengertian kemiskinan subyektif, setiap orang mendasarkan pemikirannya sendiri dengan menyatakan bahwa kebutuhannya tidak terpenuhi secara cukup walaupun secara absolut atau relatif sebenarnya orang itu tidak tergolong miskin.
Kemiskinan natural
Kemiskinan natural merupakan kemiskinan yang bersumber atau disebabkan oleh karenanya minimnya sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya.
Kemiskinan Kultural
Kemiskinan yang disebabkan oleh sikap hidup masyarakat yang diwarnai oleh The culture of Poverty (kebudayaan kemiskinan).
Pengertian budaya miskin (cultur of poverty) yang dikemukakan Oscar Lewis digunakan berbagai pihak sebagai rujukan untuk merumuskan pengertian kemiskinan kultural, sebagai kemiskinan yang diakibatkan oleh faktor-faktor adat dan budaya suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang tetap melekat dengan indikator kemiskinan,  seperti
1)      sikap malas dan rendahnya etos kerja serta sikap pasrah menerima nasib
2)      mengutamakan status dari pada fungsi dan prestasi
3)      mentalitas meremehkan mutu
4)      sikap tidak disiplin dan tidak menghargai waktu
5)      sikap tidak jujur
6)      hidup bermewah-mewah (hedonis) dan boros; ketidakmampuan menunda kesenangan (affectivity)
7)      tiadanya sikap percaya diri (mentalitas bangsa terjajah)
8)      prasangka buruk terhadap perubahan dan pembangunan

Kemiskinan struktural
Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang ditengarai disebabkan oleh kondisi struktur atau tatanan kehidupan yang tidak menguntungkan, bukan oleh sebab-sebab atau  faktor-faktor yang alami atau faktor-faktor pribadi dari orang miskin itu sendiri, melainkan oleh sebab tatanan sosial yang tidak adil.
Tatanan yang tidak adil ini menyebabkan banyak masyarakat gagal untuk mengakses sumber-sumber yang dibutuhkan untuk mengembangkan dirinya maupun untuk meningkatkan kualitas kehidupannya.
Faktor-faktor tersebut utamanya ditengarai berasal dari pemerintah dan struktur-struktur kekuasaan yang berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Faktor-faktor penyebab dalam pengertian kemiskinan struktural antara lain kebijakan sosial yang tidak berpihak kepada masyarakat, penguasaan sumberdaya secara berlebihan oleh pemerintah, pembangunan yang tidak dialokasikan secara adil dan terbatasnya kesempatan yang diberikan kepada masyarakat untuk berperan sebagai subjek dalam pembangunan.
Misalnya persoalan, mengapa seseorang menjadi penganggur. Sama sekali tidak disebabkan oleh sebab-sebab atau faktor-faktor yang bersifat individual, melainkan:
1)         Perubahan teknologi (mesin-mesin baru)
2)         Perubahan cara kerja (efisiensi)
3)         Pekerjaan dilakukan di tempat/negara lain (globalisasi)
4)         Perubahan politik (kebijakan pemerintah)
5)         Perubahan budaya (dibutuhkan produk yang berbeda)

Dampak perubahan
Dampak positif perubahan:
Globalisasi
Memudarnya batas-batas fisik/geografik maupun politik dalam masyarakat dunia, sehingga interaksi dan komunikasi sosial di antara orang-orang dapat berlangsung tanpa hambatan-hambatan yang bersifat geografik maupun politik.
Hal positif yang dapat diambil dari globalisasi adalah berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, karena arus informasi dan alih teknologi dapat berlangsung tanpa batas.
HAM
Universalisme yang berkembang sesuai dengan arus perubahan menjadikan orang-orang mengakui akan HAM. Hak-hak azazi manusia tidak lagi dibatasi karena ras yang berbeda, agama yang berbeda, daerah, atau sukubangsa.
Demokratisasi
Terbukanya peluang berpartisipasi dalam proses ekonomi, sosial, politik, maupun kebudayaan bagi segenap warga masyarakat, tidak memandang asal-usul daerah, kesukubangsaan, ras, aliran, ataupun agama.
Modernisasi
Modernisasi merupakan proses menjadi modern. Istilah modern berasal dari kata modo yang artinya yang kini. Sehingga, modernisasi dapat diartikan sebagai cara hidup yang sesuai dengan situasi yang kini ada, atau konteks masa sekarang.  Apabila cara hidup suatu masyarakat seperti  yang diwariskan oleh nenek-moyang atau generasi pendahulunya, masyarakat tersebut disebut masyarakat tradisional. Istilah tradisi berasal dari kata traditum yang artinya warisan. Tekanan pengertian modernisasi adalah pada teknologi dan organisasi sosial.
Dampak Negatif  Perubahan sosial, Modernisasi, dan Pembangunan
Beberapa dampak negatif dari perubahan sosial adalah:
  1. Westernisasi (meniru gaya hidup orang barat tanpa reserve).
  2. Sekularisme (pada tingkatnya yang moderat, sekularisme merupakan pandangan hidup yang memisahkan kehidupan agama dengan kehidupan dunia, pada tingkatnya yang lebih ekstrim, sekularisme merupakan pandangan hidup yang menekankan pada pentingnya kehidupan dunia daripada kehidupan akhirat, bahkan sampai pada faham yang tidak mengakui adanya Tuhan)
  3. Konsumerisme (pandangan hidup bahwa lebih baik membeli produk barang dan jasa daripada membuatnya sendiri)
  4. Konsumtivisme (mengkonsumsi barang dan jasa yang sebenarnya bukan merupakan keperluannya)
  5. Hedonisme (cara hidup bermewah-mewah untuk mengejar prestise atau gengsi tertentu)
  6. Liberalisme (faham kebebasan berfikir, misalnya Islam Liberal)
  7. Feminisme (gerakan sosial yang berupaya menempatkan perempuan dalam urusan-urusan public).
  8. Separatisme/pemberontakan/pergolakan daerah
  9. Kesenjangan sosial dan ekonomi, yang terjadi karena ketidakadilan dalam proses pembangunan, misalnya karena menekankan atau memprioritaskan daerah atau golongan sosial tertentu
  10. Munculnya berbagai tindak kejahatan, baik yang berupa kejahatan kerah putih (white collar crime) maupun yang berupa kejahatan kerah biru (blue collar crime)
  11. Munculnya berbagai perilaku menyimpang, seperti kenakan remaja, prostitusi, dan sebagainya yang disebabkan oleh adanya keinginan untuk menyesuaikan dengan taraf hidup, tetapi tidak didukung oleh kemampuan dan ketrampilan yang memadai (demonstration effect)
Sumber: Klik Disini

Modernisasi, Industrialisasi, & Urbanisasi

By : Muhammad Zamroni
Pengertian Modernisasi
Modernisasi dapat diartikan sebagai proses perubahan dari corak kehidupan masyarakat yang “tradisional” menjadi “modern”, terutama berkaitan dengan teknologi dan organisasi sosial. Teori modernisasi dibangun di atas asumsi dan konsep-konsep evolusi bahwa perubahan sosial merupakan gerakan searah (linier), progresif dan berlangsung perlahan-lahan, yang membawa masyarakat dari tahapan yang primitif kepada keadaan yang lebih maju.
Tradisionalitas
Istilah tradisional berasal dari kata Latin “traditum” yang artinya sesuatu yang diteruskan atau diwariskan dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Sesuatu yang diwariskan dapat berupa:
  1. Sistem nilai, dapat berupa kepercayaan, keyakinan, agama, idea atau gagasan
  2. Cara hidup (oleh Emmile Durkheim disebut sebagai fakta sosial, yakni cara berfikir, berperasaan dan bertindak para warga masyarakat yang mengikat).
  3. Teknologi
  4. Lembaga atau pranata sosial
Suatu masyarakat dapat disebut sebagai masyarakat tradisional apabila hidup dengan sistem nilai, cara berfikir, berperasaan dan bertindak, teknologi dan lembaga atau pranata sosial yang diwariskan dan secara turun temurun dipelihara.
Contoh masyarakat tradisional: masyarakat atau komunitas desa.
Ciri-ciri tradisional masyarakat perdesaan:
Masyarakat desa adalah masyarakat yang tinggal pada suatu wilayah dengan batas-batas tertentu dan di antara para warganya mempunyai hubungan yang lebih erat dan mendalam daripada hubungannya dengan orang-orang yang berada di luar batas wilayahnya.
William F. Oughburn dan Nimkoff Meyer memberikan definisi bahwa desa adalah sebuah organisasi kehidupan sosial yang menyeluruh di dalam suatu wilayah dengan batas-batas tertentu (a total organization of social life within a limited area).
Terdapat banyak macam desa, tetapi berikut ini dikemukakan tiga macam desa menurut perkembangannya:
  1. Desa swadaya, yaitu desa yang masih bersifat tradisional. Adat istiadat mengikat kuat. Mata pencaharian penduduknya semacam dan diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Tingkat produktivitasnya rendah dan sarana kehidupannya kurang.
  2. Desa swakarya, yaitu desa yang adat istiadatnya sudah mulai mengalami perubahan karena pengaruh kebudayan dari luar desa yang telah mulai masuk. Lapangan pekerjaan dan mata pencaharian mulai terdiferensiasi dan  berkembang dari sektor primer ke sekunder. Produktivitas desa mulai meningkat seiring dengan mulai bertambahnya sarana dan prasarana desa.
  3. Desa swasembada, yaitu desa yang telah mengalami kemajuan, ikatan adat istiadat tidak kuat lagi, teknologi telah digunakan dalam proses produksi barang dan jasa, mata pencaharian masyarakatnya beraneka ragam. Sarana dan prasarana desa sudah memadai, bahkan di beberapa desa tidak dapat lagi dibedakan dari sarana dan prasarana kota, seperti: jaringan listrik dan telepon, air minum, jalan beraspal, angkutan umum, dan sebagainya.
Meskipun demikian ada beberapa ciri umum masyarakat desa, yaitu:
  1. Isolasi, yakni hubungan yang terbatas dengan orang-orang di luar desa, sebuah komunitas desa bisa jadi terpisah hubungannya dengan komunitas desa lain. Karena keterbatasan ini menjadikan seorang warga desa sangat mengenal warga desa yang lainnya seluruh aspek kepribadiannya, bukan hanya peran dan fungsinya dalam masyarakat.
  2. Homogenitas, yakni keseragaman yang relatif mengenai latar belakang etnik, keluarga maupun cara hidup di antara para warga desa
  3. Pertanian. Kiranya dapat dikatakan bahwa masyarakat desa identik dengan masyarakat pertanian. Tentunya pertanian dalam arti luas, yang menyangkut aktivitas bercocok tanam, beternak, memelihara ikan maupun berkebun. Kalaupun ada warga desa yang berstatus sebagai pegawai negara, guru, dokter, petugas keamanan, macam-macam tukang, dan sebagainya, tetapi mereka tetap terlibat baik langsung maupun tidak langsung dengan aktivitas pertanian.
  4. Ekonomi subsisten, artinya aktivitas ekonomi masyarakat desa dioerientasikan kepada menghasilkan barang-barang dan jasa untuk mencukupi keperluan sendiri, tidak diorientasikan kepada ekonomi pasar.
Sebagai pembanding mengenai ciri-ciri masyarakat desa, berikut ini dikemukakan rincian yang dikemukakan oleh Roucek dan Warren:
  1. Masyarakat desa memiliki sifat yang homogen dalam hal mata pencaharian, kebudayaan dan tingkah laku
  2. Kehidupan masyarakat desa menekankan anggota keluarga sebagai unit ekonomi dan berperan dalam pengambilan keputusan
  3. Faktor geografi sangat berpengaruh atas kehidupan yang ada, misalnya keterkaitan anggota masyarakat dengan tanah atau desa kelahirannya
  4. Hubungan sesama warga desa lebih intim dan awet dari pada kota
Sedangkan Rogers mengemukakan ciri masyarakat desa, sebagai berikut:
  1. Mutual distrust interpersonal relations (rasa ketidakpercayaan timbal balik di antara warga desa berkaitan dengan sumber-sumber ekonomi desa seperti tanah)
  2. Perceived limited group (pandangan untuk maju yang sempit dan terbatas)
  3. Dependence on hostility towards government authority (ketergantungan dan sekaligus curiga terhadap pemerintah atau kepada unsur-unsur pemerintah)
  4. Familiesm (adanya keakraban dan keintiman hubungan sosial di antara orang-orang yang memiliki hubungan darah)
  5. Lack of innovationess (rasa enggan untuk menciptakan atau menerima ide baru)
  6. Fatalism (pandangan bahwa kegagalan atau keberhasilan lebih banyak ditentukan oleh faktor eksternal dari pada faktor internal dalam diri warga masyarakat. Dalam hal ini Dr. Nasikun mengemukakan tiga macam bentuk fatalisme masyarakat perdesaan: (1) supernaturalism, (keberhasilan atau kegagalan ditentukan oleh sesuatu yang bersifat supernatural/ghaib), (2) situational fatalism (sikap apatis dan pasif terhadap kemungkinan perbaikan kehidupan karena kondisi atau situasi kehidupan tertentu, karena orang kecil, karena tanah pertaniannya sempit, dan sebagainya), (3)project negativism (sikap apatis dan pasif terhadap inovasi atau pembaruan yang disebabkan oleh kegagalan-kegagalan yang telah dialami dan dihayati di masa silamLimited aspiration (adanya keterbatasan dan ketidakmampuan menyatakan dan menyalurkan keinginan-keinginan)
  7. Lack of deferred gratification (ketidakmampuan menunda kesenangan dan kenikmatan hidup sekarang, misalnya hasrat menabung atau berinvestasi)
  8. Limited view of this world (pandangan yang terbatas terhadap dunia luar)Low emphatic (yakni rendahnya ketrampilan “menangkap” peranan orang lain, misalnya ketidakmampuan memahami keadaan orang lain).

Modernitas
Istilah modern berasal dari kata “modo” yang artinya “yang kini” (just now). Dengan demikian masyarakat dinyatakan modern apabila para warganya hidup dengan sistem nilai, cara berfikir, berperasaan dan bertindak, teknologi serta organisasi sosial yang baru, yang sesuai dengan konstelasi zaman sekarang. Contoh masyarakat modern adalah masyarakat kota.
Ciri-ciri modern masyarakat perkotaan

Memberikan definisi atau batasan tentang kota tidaklah mudah. Banyak aspek yang harus menjadi perhatian dan dapat menjadi dasar penyusunan batasan. Suatu masyarakat dinyatakan sebagai kota dapat karena kehidupan sosialnya, dapat karena keadaan budayanya, dapat karena kehidupan ekonominya, pemerintahannya, ataupun jumlah dan kepadatan penduduknya.
Prof. Bintarto memberikan batasan bahwa kota merupakan suatu jaringan kehidupan sosial dan ekonomi yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai oleh strata sosial dan ekonomi yang heterogen dan coraknya yang materialistik.
Kota merupakan fenomena yang unik dan kontradiktif. Di satu sisi kota merupakan identifikasi kemajuan, kegembiraan dan daya tarik: sebagai pusat pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan hiburan, kesehatan dan pengobatan, dan sebagainya.  Di sisi yang lain, kota ternyata identik pula dengan perilaku buruk, immoralitas dan bahkan kejahatan: hedonisme atau kemewahan hidup, pemuasan diri tanpa batas, kepura-puraan dan ketidakjujuran,
Beberapa ciri umum masyarakat kota dikemukakan sebagai berikut:
Anonimitas
Kebanyakan warga kota hidup dengan menghabiskan waktunya di tengah kumpulan manusia yang anonim. David Riesman menyebutnya sebagai “the lonely crowd”.  Heterogenitas kehidupan kota dengan keanekaragaman manusianya dari segi ras, etnisitas, kepercayaan, pekerjaan maupun kelas sosial mempertajam anonimitas. Perbedaan kepentingan membuat orang-orang kota lebih banyak berhubungan, berkomunikasi dan berinteraksi sosial dengan orang-orang yang memiliki kepentingan yang sama saja dengan membentuk special interested group (kelompok kepentingan khusus) dan tidak berkesempatan membentuk hubungan sosial yang bersifat akrab dan personal.
Jarak sosial yang jauh
Secara fisik orang-orang kota berada dalam jarak yang dekat dan keramaian, tetapi secara sosial, atau juga psikologikal, mereka saling berjauhan, sebagai akibat anonimitas, impersonalitas dan heterogenitas.
Regimentation (keteraturan hidup) kota
Irama dan keteraturan kehidupan kota berbeda dengan irama dan keteraturan hidup di perdesaan yang diwarnai oleh katidakformalan dan kesantaian, bersifat mekanik alamiah, sangat dipengarahui oleh keadaan alam dan cuaca serta jam biologis binatang atau ternak. Keteraturan hidup di perkotaan lebih bersifat organik, diatur oleh aturan-aturan legal rasional, seperti jam kerja, rambu-rambu dan lampu pengatur lalu-lintas, jadwal kereta api, jadwal penerbangan, dan sebagainya.
Keramaian (crowding)
Keramaian hidup di kota disebabkan oleh kepadatan, kecepatan dan tingginya aktivitas  kehidupan masyarakat kota.
Kepribadian kota
Sorokin, Zimmerman dan Louis Wirth dalam esainya “Urbanism as a Way of Life”  membuat kesimpulan bahwa kehidupan kota menciptakan kepribadian kota, yakni: anomies, materialistis, berorientasi kepentingan, berdikari (self sufficiency), impersonal, tergesa-gesa, interaksi sosial tingkat dangkal, manipulatif, rakayasa, insekuritas dan disorganisasi pribadi.
Proses modernisasi
Menurut Samuel Huntington proses modernisasi mengandung beberapa ciri pokok sebagai berikut:
  1. Merupakan proses bertahap, dari tatanan hidup yang primitif-sederhana menuju kepada tatanan yang lebih maju dan kompleks
  2. Merupakan proses homogenisasi. Modernisasi membentuk struktur dan kecenderungan yang serupa pada banyak masyarakat. Penyebab utama proses homogenisasi ini adalah perkembangan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi. Contoh: fenomena coca colonization, Mc world serta californiazation.
  3. Terwujud dalam bentuk lahirnya sebagai: Amerikanisasi dan Eropanisasi
  4. Merupakan proses yang tidak bergerak mundur, tidak dapat dihindrkan dan tidak dapat dihentikan
  5. Merupakan proses progresif (ke arah kemajuan), meskipun tidak dapat dihindari adanya dampak (samping).
  6. Merupakan proses evolusioner, bukan revolusioner dan radikal; hanya waktu dan sejarah yang dapat mencatat seluruh proses, hasil maupun akibat-akibat serta dampaknya
Alex Inkeles dan David Smith mengemukakan ciri-ciri individu modern, sebagai berikut:
  1. Memiliki alam pikiran (state of mind) yang terbuka terhadap pengalaman baru
  2. Memiliki kesanggupan membentuk dan menghargai opini
  3. Berorientasi ke depan
  4. Melakukan perencanaan
  5. Percaya terhadap ilmu pengetahuan
  6. Memiliki keyakinan bahwa segala sesuatu dapat diperhitungkan
  7. Menghargai orang lain karena prestasinya
  8. Memiliki perhatian terhadap persoalan politik masyarakat
  9. Mengejar fakta dan informasi
Modernisasi bukan westernisasi
Bahwa modernisasi itu identik dengan westernisasi memang pandangan yang tidak mudah dihindarkan. Hal ini karena sejarah modernisasi memang sejarah masyarakat Barat, dalam hal ini Eropa Barat dan Amerika Utara. Tema-tema yang menunjukkan ciri-ciri orang modern seperti yang diungkapkan oleh Inkeles dan Smith memang lebih banyak dimiliki oleh orang Barat, sehingga menjadi modern memang identik dengan menjadi seperti orang Barat. Namun demikian modernisasi dan westernisasi tetap dapat dibedakan karena memang berbeda. Seperti tersebut di depan bahwa tekanan proses modernisasi adalah pada teknologi dan organisasi sosial atau tata kerja. Dr. Nurcholish Madjid menyebutnya sebagai semacam proses rasionalisasi, yakni perubahan tata kerja lama yang tidak rasional diganti dengan tata kerja baru yang rasional. Sedangkan westernisasi adalah menjadi seperti orang Barat secara total, tanpa reserve, mulai dari pandangan hidup (ateisme, sekularisme, feminisme, humanisme, dan sebagainya) sampai dengan gaya hidupnya (seks bebas dan hidup bersama tanpa menikah (cohabitation), model pakaian yang tidak menutup atau bahkan menonjolkan aurat, NAPZA, gang, dan sebagainya).

Syarat berlangsungnya modernisasi
Modernisasi dalam masyarakat dapat berlangsung apabila memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:
  1. Terlembagakannya cara berfikir ilmiah di kalangan masyarakat, terutama di kalangan the rulling class
  2. Birokrasi pemerintahan yang rasional, efektif dan efiesien, bukan birokratisme
  3. Tersedianya sistem informasi yang baik: cepat dan akurat
  4. Iklim yang favorable terhadap modernisasi, hal ini terutama dengan hal-hal yang menyangkut  nilai atau sistem keyakinan
  5. Tingkat organisasi sosial yang tinggi
  6. Pelaksanaan social planning yang terbebas dari pengaruh atau kepentingan (vested interested) suatu golongan. Untuk hal ini diperlukan sentralisasi wewenang berkaitan dengan social planning.



Gejala Modernisasi Masyarakat Indonesia dalam Berbagai Bidang
Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Modernisasi di bidang kehidupan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) terutama menyangkut dua hal, yakni penemuan baru dan pembaruan.  Oleh karena itu, modernisasi di bidang IPTEK tidak dapat lepas dari perhatian yang besar terhadap dunia pendidikan, penelitian dan pengembangan. Kegiatan pendidikan, penelitian dan pengembangan akan mendorong ditemukannya ide-ide dan alat-alat baru yang dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat untuk melengkapi atau mengganti yang lama.
Bidang Kehidupan politik dan ideologi
Tema modernisasi di bidang politik dan ideologi adalah demokratisasi dan ideologi terbuka. Demokratisasi merupakan proses ke arah terbukanya kesempatan bagi seluruh warga masyarakat dari segala lapisan dan golongan untuk berperan serta dalam proses pengambilan keputusan, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.
Sedangkan ideologi terbuka merujuk kepada pandangan hidup yang tidak terbatasi atau terkotak-kotak oleh sektarianisme, primordialisme, aliran, ras, etnisitas atau kesukubangsaan, kedaerahan, agama ataupun aliran.
Menurut Huntington, proses demokratisasi dan keterbukaan memerlukan beberapa prakondisi, yaitu:
  1. kemakmuran ekonomi dan pemerataan kekayaan; ada hubungan yang positif antara pembangunan dan pemerataan ekonomi dengan demokratisasi, artinya semakin maju tingkat ekonomi suatu masyarakat semakin besar peluangnya untuk menumbuhkan dan menegakkan tatanan kehidupan politik yang demokratis dan terbuka. Kemakmuran ekonomi akan memungkinkan tumbuhnya tingkat melek-huruf, pendidikan dan media massa yang sangat mendorong tumbuhnya demokrasi.
  2. Terdapatnya kelas menengah yang otonom dalam struktur sosial masyarakat. Mereka terdiri atas para kaum intelektual, pengusaha, profesional, tokoh agama atau etnis) yang berfungsi dalam pengendalian (kontrol) terhadap kekuasaan dan membangun prasarana dasar untuk tumbuhnya pranata politik yang demokratik. Apabila tidak terdapat kelas menengah tang otonomi masyarakat cenderung didominasi oleh suatu model kekuasaan yang sentralistik, seperti monarkhi, absolutisme, korporatik ataupun birokratik otoritarian.
  3. Lingkungan internasional; secara ringkas Huntington menyatakan bahwa demokrasi lebih merupakan hasil dari difusi dari pada sebagai akibat pembangunan, sehingga suatu masyarakat menjadi lebih demokratis ketika memiliki lingkungan pergaulan internasional yang luas
  4. Konteks budaya masyarakat yang bersifat egaliter. Konteks budaya feodal dan patrimonial ternyata menghambat demokratisasi.
Bidang Kehidupan Ekonomi
Tema modernisasi di bidang kehidupan ekonomi adalah efisiensi dan produktivitas.
Masalah yang banyak melanda di berbagai masyarakat berkembang adalah inefisiensi dan rendahnya produktivitas. Inefisiensi disebabkan oleh  ekonomi biaya tinggi (high-cost economy) di hampir semua bidang kehidupan. Sumber-sumber ekonomi biaya tinggi itu antara lain:
  1. birokratisme pemerintah
  2. pungutan-pungutan yang tidak berhubungan dengan produktivitas
  3. proteksi dan subsidi
  4. berbagai praktek bussiness atau economic criminality (white collar crime), seperti: nepotisme, kolusi dan korupsi (NKK).
Sedangkan produktivitas yang rendah disebabkan oleh teknik dan organisasi produksi yang usang.  Oleh karenanya peningkatan produktivitas dilakukan dengan memperbarui teknologi, baik teknologi mekanik (mesin-mesin produksi), teknologi kimia (penggunaan obat-obatan dan zat kimia) dan teknologi sosial (tata kerja yang lebih teratur dan organik).
Bidang kehidupan agama dan kepercayaan
Suatu proses yang tidak terhindarkan dan meresahkan para tokoh dan kalangan agamawan dalam proses modernisasi di bidang kehidupan beragama dan kepercayaan adalah sekularisasi.
Kata sekularisasi berasal dari kata “saeculum” yang artinya “dunia dalam konteks waktu”, yaitu “sekarang”.  (Dunia dalam konteks ruang dalam kata Latin adalah  “mundus”). Lawannya “saeculum” adalah “eternum” yang artinya “keabadian”. Dari kata “saeculum” tersebut terbentuklah istilah “sekularisasi” dan “sekularisme”.
Di Indonesia idea tentang “sekularisasi” diperkenalkan oleh seorang tokoh pembaruan pemikirian Islam, yakni Nurcholish Madjid pada tahuan 1970-an. Bagi Nurcholish Madjid, sekularisasi tidak sama dengan sekularisme. Sekularisasi adalah proses dan sekularisme adalah faham. Sekularisasi merupakan proses menuju kepada kehidupan beragama yang rasional, yakni proses pembebasan diri dari belenggu takhayul (superstition) atau memberikan wewenang kepada ilmu pengetahuan dan teknologi dalam membina dan menyelesaikan urusan-urusan duniawi.  Di dalamnya tercakup sikap objektif dalam menelaah hukum-hukum yang menguasai dunia dan alam pada umumnya. Sedangkan sekularisme merupakan faham keduniawian, yakni suatu faham yang mengesampingkan agama.  Ada dua macam sekularisme, yakni: (1) sekularisme moderat dan (2) sekularisme mutlak. Sekularisme moderat merupakan pandangan yang mengakui keberadaan Tuhan untuk urusan-urusan yang berhubungan dengan kehidupan abadi (eternum) saja, sedangkan untuk urusan dunia adalah mutlak urusan manusia. Sedangkan sekularisme mutlak merupakan faham yang tidak mengakui adanya Tuhan, puncaknya adalah atheisme.
Namun demikian kenyataannya tidak dapat dihindarkan pengertian sekularisasi sebagai proses menuju atau penerapan faham sekularisme dalam kehidupan masyarakat. Di sinilah timbulnya perbedaan pendapat dan kontroversi tentang sekularisasi. Untuk menghindari kontrovesi demikian ini, Dr. Kuntowijoyo menggunakan istilah objektivikasi untuk fenomena kehidupan beragama yang lebih rasional.
Modernisasi Masyarakat sebagai Proses Industrialisasi dan Urbanisasi
Modernisasi sebagai proses industrialisasi
Apabila melihat sejarah Eropa, maka modernisasi tidak lepas dari proses industrialisasi. Kesejahteraan ekonomi dan kestabilan politik di Eropa tercapai setelah terjadinya revolusi industri yang diawali oleh masa pencerahan (renaisance) dan penemuan-penemuan baru. Berdasarkan ini dapat dinyatakan bahwa awal modernisasi adalah industrialisasi, yakni berubahnya kehidupan dari “agraris-tradisional” menjadi “industri-modern”.
Talcott Parson menjelaskan proses perubahan  itu dalam teori  variabel pola (pattern variables) sebagai berikut:
  1. Perubahan dari affectivity kepada affective neutrality
  2. Perubahan dari particulatism ke universalism
  3. Perubahan dari collective orientation kepada self-orientation
  4. Perubahan dari ascription kepada  achievement
  5. Perubahan dari functionally difussed kepada functionaly specivied
Modernisasi sebagai proses urbanisasi
Masyarakat modern juga identik dengan masyarakat kota, maka modernisasi identik dengan urbanisasi.
Dalam proses urbanisasi dikenal adanya tiga macam proses, yakni:
  1. Centripetal process; the flow of people from country sides to the urban area accompanied with the change in behavior. Dalam proses ini terjadi aliran penduduk dari wilayah desa atau kota satelit menuju ke wilayah pusat kota yang diikuti oleh perubahan pola perilaku desa-tradisional dengan perilaku kota-modern. Sebab-sebab aliran penduduk dari desa ke kota ini dapat digolongkan menjadi dua macam, yakni: (1) push factors (faktor pendorong), dan (2) pull factors (faktor penarik). Faktor-faktor pendorong meliputi kondisi desa yang menjadikan orang tidak mau lagi tinggal di desa, seperti: minimnya lapangan kerja, kekakangan adat, kurangnya variasi hidup, sempitnya kesempatan menambah pengetahuan, kurangnya sarana rekreasi ataupun sempitnya kesempatan mengembangkan keahlian dan ketrampilan. Sedangkan faktor penarik meliputi kondisi kota yang menjadikan orang-orang tertarik untuk tinggal menetap di kota, seperti: kesempatan kerja yang lebih luas, luasnya kesempatan mengembangkan ketrampilan dan keahlian, kesempatan dan fasilitas pendidikan yang lebih memadai, kelebihan modal, variasi hidup, banyaknya tempat hiburan, kebebasan hidup di kota dan anggapan bahwa kota memiliki tingkat kebudayaan yang lebih tinggi daripada desa.
  2. Centrifugal process; urban extention in terms of physical, economic, technology and culture. Dalam proses ini yang terjadi adalah meluasnya pengaruh kehidupan kota ke wilayah-wilayah pinggiran kota, dapat berupa perluasan fisik kota yang diikuti oleh perubahan kehidupan ekonomi, penggunaan teknologi maupun perubahan kebudayaan.
  3. Vertical process: social, economic, culture, and behavior.  Dalam proses ini yang terjadi adalah perubahan situasi atau iklim desa (rural sphere) menjadi kota (urban sphere), baik secara sosial, ekonomi, kebudayaan dan perilaku. Keadaan ini dapat terjadi antara lain oleh sebab-sebab: (1) daerah itu menjadi pusat pemerintahan, (2)letaknya strategis untuk perdagangan,  atau (3) tumbuhnya industri.

Masalah-masalah yang timbul akibat urbanisasi

Bertambahnya tingkat persaingan hidup di kota akibat urbanisasi, misalnya untuk  memperoleh sumber-sumber ekonomi dapat menimbulkan persoalan yang pelik, seperti berbagai macam konflik, tuna karya, kejahatan yang terorganisir (organized crime) maupun yang tidak terorganisir, perkampungan kumuh (slums), gelandangan, tuna susila, maupun rendahnya tingkat kesehatan, dan sebagainya.
Sedangkan bagi desa, urbanisasi menyebabkan terbatasnya jumlah penduduk usia produktif yang berakibat terhambatnya perkembangan desa. Di samping itu para urbanit yang pulang ke desa sering membawa pengaruh kehidupan kota (urbanisme) yang tidak selalu sesuai dengan kebudayaan orang desa. Sumber: Klik Disini

Metode Penelitian Sosial Sederhana

By : Muhammad Zamroni
Pendahuluan

Sepertihalnya dengan  ilmu pengetahuan yang lain, sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang lahir, tumbuh, dan berkembang.  Agar dapat tumbuh dan berkembang, sosiologi menuntut para ahlinya untuk melakukan kegiatan yang disebut penelitian sosial. Melalui penelitian sosial, para ahli sosiologi mengumpulkan data yang dapat menambah pengetahuan orang-orang yang mempelejari sosiologi, melalaui penelitian sosial para ahli sosiologi menemukan fakta baru yang memperluas cakrawala serta memperdalam pemahaman tentang masyarakat dan hubungan-hubungan sosial yang terjadi di dalamnya.
Apakah penelitian itu?
Penelitian merupakan upaya (1) menemukan, (2) mengembangkan, (3) menguji  kebenaran suatu pengetahuan melalui prosedur ilmiah,  bukan secara nonilmiah, seperti: (1) coba-coba, (2) kharisma, (3) akal sehat/common sense,  (4) spekulasi, (5) kebetulan, (6) takhayul,  (7) Intuisi,  (8) wahyu, dll.).
Apakah prosedur ilmiah?
Apakah anda ingat apa yang oleh Comte disebut tahap positif? Suatu tahap pemikiran masyarakat yang memandang pentingnya pepecahan masalah atau persoalan masyarakat dengan cara-cara yang rasional, empirik, dan objektif.  Demikian juga yang disebut prosedur ilmiah.
John Dewey (1933) memberikan garis-garis besar dari apa yang disebut metode ilmiah yang meliputi lima taraf, yakni: (1) the felt need, (2) the problem, (3) the hypothesis, (4) collection of data as evidence, dan (5) concluding bilief. Kelley melengkapinya dengan satu taraf lagi, yakni; (6) general value of conclusion. Berikut akan dijelaskan satu per satu.
The felt need. Dalam taraf ini orang merasakan kesulitan untuk menyesuaikan dirinya terhadap kebutuhan atau tujuan-tujuan masyarakat, atau untuk menemukan ciri-ciri dari suatu objek, atau untuk menerangkan sesuatu kejadian yang terjadi tiba-tiba dan tidak terduga.

The problem. Orang merumuskan kesulitan-kesulitan itu sebagai masalah atau problema, yakni sesuatu yang terjadi dalam kenyataan (das sein) namun tidak sesuai dengan harapan (das sollen), atau sebagai sesuatu yang tidak diketahui who, what, where, when, why dan how-nya.

The hypothesis. Langkah yang ketiga adalah mengajukan kemungkinan pemecahannya atau mencoba menerangkannya, berupa terkaan-terkaan, kesimpulan sementara, teori-teori, kesan-kesan umum, atau apapun yang masih belum dapat dipandang sebagai sebuah konklusi yang final.

Collection of data as evidence. Selanjutnya bahan-bahan, informasi-informasi, atau bukti-bukti dikumpulkan, dan melalui pengolahan-pengolahan yang logis dan sistematik dijadikan bukti atas hipotesis yang telah dirumuskan.

Concluding bilief. Berdasarkan  bukti-bukti yang sudah diolah  maka akan terbukti hipotesis, teori atau kesan-kesan yang telah dirumuskan apakah “benar” atau “salah”, “diterima” atau “ditolak”.

General value of the conclusion. Akhirnya, apabila suatu pemecahan masalah telah dipandang tepat, maka disimpulkan implikasi-implikasinya untuk masa depan.
Dari serangkaian prosedur ilmiah sebagaimana disebutkan oleh Dewey tersebut, dapat disarikan secara sederhana bahwa suatu kegiatan penelitian harus mengikuti prosedur ilmiah dengan mengikuti tahap-tahap sebagai berikut.
  1. Perumusan kesulitan sebagai MASALAH (kenyataan/das sein yang tidak sesuai dengan harapan/das sollen)
  2. Hipotesis (dugaan  sementara/asumsi berdasar pengalaman, akal sehat, prediksi, pengetahuan atau teori yang sudah-sudah)
  3. Pengumpulan Data (untuk bukti hipotesis:  observasi,  wawancara, angket, analisis isi media massa, test, dll)
  4. Simpulan (dirumuskan berdasarkan data yang telah terkumpul)
Berdasarkan simpulan-simpulan dari suatu gejala sosial, sosiolog dapat memberikan rekomendasi kepada pihak-pihak terkait untuk memecahkan suatu masalah.
Macam-macam penelitian

  1. Menurut Kegunaannya:  (a) Penelian Dasar, (b) Penelitian Terapan
  2. Menurut Metodenya: (a) Penelitian Eksperimental , (b) Ekspost Facto
  3. Menurut Tujuannya: (a) Penjajakan (eksploratif), (b) developmental (pengembangan ), dan (c) Verivikatif (menguji kebenaran)
  4. Menurut Taraf/tingakatan penjelasan: (a) Deskriptif  (menggambarkan fakta), dan (b) Inferensial (menjelaskan hubungan/keterkaitan antar gejala/variable)
  5. Menurut Populasinya: (a) Survey, (b) Sensus
  6. Menurut bidangnya:  (a) Sosial, (b) Kealaman, dan (c) Humaniora
  7. Menurut tempatnya: (a) lapangan/kancah, (2) laboratorium, (3) kepustakaan
  8. Menurut pendekatan/teknik analisis : (a) kualitatif, (b) kuantitatif.
Prosedur Penelitian
Terdapat empat tahap  pokok yang harus dilalui dalam melaksanakan penelitian, yaitu

  1. Penyusunan Rancangan Penelitian
  2. Pengumpulan Data
  3. Analisis Data
  4. Pelaporan
Penyusunan Rancangan Penelitian (istilah lain: design, proposal, dll)
Langkah-langkah:
  1. Menentukan topik/masalah
  2. Merumuskan masalah dan hipotesis
  3. Mengenali jenis-jenis data yang akan dikumpulkan (data primer dan data sekunder, data kategorik dan data statistic, data nominal, interval,  dan berjenjang)
  4. Menentukan pendekatan (kuantitatif-kualitatif), metode (eksperimen, ekspos fakto, laboratorium, lapangan, sensus, survey), dan teknik pengumpulan data (observasi, wawancara, angket, dokumen, bahan pustaka, analisis isi media massa)
  5. Merumuskan dan memilih pertanyaan-pertanyaan penting penelitian (menyusun instrument)
  6. Memilih subjek (populasi dan sampel)
Langkah-langkah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Menentukan Topik/Masalah Penelitian
  • Masalah merupakan hal yang terjadi  tidak sesuai dengan harapan. Gap/kesenjangan  antara das sein (kenyataan) dengan das sollen (harapan). Dapat berupa: kesenjangan, ketidaktahuan, kemunduruan, rendahnya prestasi, dst)
  • Masalah dapat ditemukan melalui berbagai sumber, seperti: (1) bahan bacaan, (2) pertemuan ilmiah/seminar, diskusi, (3) pernyataan dari para pemegang otoritas,  (4) pengamatan sepintas, (5) pengalaman pribadi, atau (6) perasaan/intuisi.
2. Merumuskan masalah.
Masalah dirumuskan dalalan kalimat pertanyaan  (askadimba = apa, siapa, kapan, di mana, dan bagaimana). Contoh: (1) Apakah ada hubungan antara tingkat pendidikan orangtua dengan prestasi belajar anak? (2) Apakah ada perbedaan kemampuan beradaptasi antara laki-laki dengan perempuan? (3) Apakah ada perbedaan motif berprestasi antara siswa asal luar kota dengan dalam kota? (4)Apakah ada pengaruh penilaian tentang iklim sekolah dengan prestasi belajar? (5)Apakah ada hubungan antara intensitas merokok dengan kecenderungan menggunakan narkonba?
3. Merumuskan hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara yang secara teoritik paling mungkin atas masalah yang diajukan.
Dirumuskan dalam kaliman pernyataan.
Macam:
1)      Hipotesis nol = menyatakan tidak ada hubungan, pengaruh , atau perbedaan
2)      Hipotesis alternative nondireksional
3)      Hipotesis alternative direksional positif (berbanding lurus)
4)      Hipotesis altarnative direksional negatif (berbanding balik)
Contoh:
  • Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi prestasi belajar anak
  • Laki-laki lebih mampu beradaptasi daripada perempuan
  • Siswa berasal dari kota memiliki motif berprestasi yang lebih tinggi daripada siswa yang berasal dari luar kota
4. Mengenali Variabel
Variabel merupakan gejala yang nilainya bervariasi. Variabel dapat juga disebut sebagai objek penelitian.
Macam variabel menurut hubungan antar-variabel:
  • Variabel dependen (variable terikat/dipengaruhi), yaitu variabel yang keadaannya dipengaruhi oleh variabel lain.
  • Variabel independen (variable bebas/pengaruh), yaitu variabel yang mempengaruhi keadaan variabel lain. Misalnya dalam kasus hubungan dua variabel, yaitu antara tingkat pendidikan dengan partisipasi kerja. Tingkat pendidikan merupakan variabel bebas, sedangkan partisipasi kerja merupakan variabel terikat.
  • Variabel antara (intervening-variable), variabel yang berada di antara variabel pengaruh dan variabel dipengaruhi, ketika variabel pengaruh tidak secara langsung mempengaruhi variabel dipengaruhi. Misalnya pengaruh dari tingkat pendapatan orangtua terhadap prestasi belajar anak. Tingkat pendapatan orang tua (variabel bebas) tidak secara langsung mempengaruhi prestasi belajar anak (variabel terikat), melainkan melalaui variabel antara, seperti fasilitas belajar dan lama waktu belajar.
Macam variabel menurut jenisnya
  • Variabel diskrit (tidak berjenjang/nominal/kategorik), misalnya jenis kelamin, agama yang dianut, jenis pekerjaan, dan sebagainya.
  • Variabel berjenjang (bertingkat/bersambungan/kontinus), misalnya umur, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan sebagainya.
Karakteristik hubungan di antara dua variabel atau lebih:
  • Hubungan/korelasi; hubungan jenis ini berlaku untuk hubungan  antara  variable kontinus (misalnya tingkat pendiidkan orangtua) dengan kontinus (misalnya prestasi belajar anak)
  • Pengaruh; hubungan jenis ini dapat berlaku untuk hubungan antara variable diskrit/kontinus dengan kontinus
  • Perbedaan; hubungan jenis ini dapat berlaku antara variable berjenis diskrit dengan kontinu
5. Menentukan subjek penelitian
Istilah-istilah yang harus dikenali sehubungan dengan subjek penelitian adalah populasi dan sampel. Populasi merupakan keseluruhan individu sejenis yang menjadi  subjek penelitian.  Apabila peneliti karena berbagai pertimbangan tidak memungkinkan untuk  meneliti seluruh populasi, maka diambil sebagian dari populasi sebagai representasi keseluruhan. Bagian dari populasi yang mewakili seluruh populasi ini disebut sampel. Pengambilan sampel tidak boleh dilakukan secara sembarang, melainkan harus dilakukan dengan cara-cara tertentu.
Teknik pengambilan sampel
a)      sample probabilita
  • acak sederhana (simple random sampling), dapat dilakukan dengan cara undian, mengikuti kelipatan bilangan tertentu, atau tabel bilangan random. Pengambilan sampel jenis ini dapat dilakukan kalau populasi keadaannya benar-benar homogen.
  • teknik acak berstratifikasi (stratified sampling), teknik pengambilan sampel dengan memperhatikan karakteristik dan keterwakilan dari setiap kelas atau jenjang populasi.
  • teknik acak berkelompok (cluster sampling), yaitu teknik pengambilan sampel dengan memperhatikan karakteristik dan keterwakilan dari setiap kelompok yang ada
b)      sample non-probabilita
  • aksidental sample (sering juga disebut insidental sampling, misalnya dalam meneliti kehidupan sosial para pengguna internet, maka setiap menemukan pengguna internet langsung dijadikan sebagai responden)
  • purposive sample (sampel bertujuan, misalnya dalam meneliti hubungan antara intensitas merokok dengan kecenderungan berbuat menyimpang, maka yang dijadikan responden hanya para perokok).
  • quota sample (sampel yang diambil dengan menetapkan jatah/quota dari setiap karakteristik populasi)
  • snow ball sample (peneliti hanya menentukan responden pertama, sedangkan responden selanjutnya ditentukan oleh responden sebelumnya)
Berapa jumlah sampel?
Besaran sampel, mempertimbangkan: (1) heterogenitas, semakin heterogen suatu populasi semakin menuntut jumlah sampel yang lebih banyak, (2)  jumlah variabel, semakin banyak variabel yang diteliti semakin menuntut jumlah sampel yang lebih banyak, dan (3)  akurasi hasil penelitian yang diharapkan, atau toleransi terhadap kesalahan prediksi. Semakin banyak jumlahsampel semakin akurat hasil penelitiannya.
6. Menyusun instrument pengumpulan data
Instrumen pengumpan data dapat berupa: (1) pedoman observasi, (2) pedoman wawancara, (3) test, atau (4) daftar pertanyaan atau angket.
Macam-macam pertanyaan:
  1. pertanyaan ttg. fakta:  umur, pendidikan, jk, agama, status perkawinan, dst.
  2. pertanyaan ttg. pendapat dan sikap: perasaan, pendapat atau sikap responden ttg. sesuatu
  3. pertanyaan ttg. informasi:       apa yang diketahui oleh responden, sejauh mana hal tersebut diketahui
  4. Pertanyaan ttg. persepsi diri: penilaian responden tentang perilakunya sendiri

Bentuk pertanyaan: terbuka, tertutup, kombinasi terbuka dan tertutup.

Pedoman singkat menyusun pertanyaan:
  1. Gunakan kata-kata yang dimengerti oleh semua responden
  2. Pertanyaan jelas dan khusus
  3. Hindarkan pertanyaan yang memiliki lebih dari satu pengertian
  4. Hindarkan pertanyaan yang mengandung sugesti
  5. Pertanyaan hendaknya berlaku bagi semua responden
  6. Pertanyaan sensitif tidak diletakkan pada AWAL atau AKHIR daftar pertanyaan
Mengumpulkan data
Data penelitian yang akan dipakai untuk membuktikan kebenaran suatu hipotesis dapat dilakukan dengan cara-cara, seperti:
1. Pengamatan atau observasi.
Dapat dilakukan dengan cara partisipatif –terlibat langsung dalam kehidupan sehari-hari masyarakat yang diobservasi—atau non partisipatif, tidak terlibat langsung dalam kehidupan sehari-hari/murni sebagai pengamat. Keunggulan dari teknik ini adalah tidak menganggu aktivitas responden. Data yang terkumpul lebih akurat pada observasi partisipatif, karena responden tidak sadar kalau sedang diamati.
2. Wawancara
Wawancara dapat dilakukan dengan pedoman wawancara maupun tidak. Keunggulan dari teknik wawancara adalah dapat menemukan data secara mendalam, karena responden berhadapan langsung dengan pengumpul data. Kelemahannya adalah mudah terpengaruhi oleh situasi, dan memakan waktu yang lama.
3. Angket
Dilakukan dengan cara responden diminta mengisi daftar pertanyaa. Keunggulan dari teknik ini adalah dapat dilakukan secara sistemetik dan dapat menjaring responden dalam jumlah banyak meskipun waktunya terbatas, responden dapat mengisi sesuai dengan waktu luangnya masing-masing.  Kelemahannya tidak dapat mengungkap situasi ketika responden menjawab suatu pertanyaan, kadang data tidak utuh atau tidak lengkap, dan  tidak dapat mengungkap peristiwa khusus.
4. Tes
Digunakan untuk mengetahui kemampuan responden dalam suatu bidang kompetensi tertentu. Soal-soal ulangan atau ujian pada dasarnya merupakan instrument penelitian yang berupa test. Yang lain misalnya test kecerdasan.
5. Dokumen
Data juga dapat diperoleh melalui dokumen, baik yang berupa tulisan, rekaman gambar, rekaman suara, foto, dan sebagainya.
Macam-macam data
1)      Menurut cara memperolehnya: data primer dan data sekunder
2)      Menurut jenisnya: data kualitatif dan data kuantitatif
3)      Menurut pengukurannya: diskrit/nominal, berjenjang/ordinal, interval.
Menganalisis data
a. Analisis kualitatif
Analisis data secara kualitatif dilakukan dengan mendeskripsikan dengan narasi hasil penelitian yang berupa data kualitatif, seperti keterangan-keterangan atau pernyataan-pernyataan responden. Deskripsi dilakukan dengan kata-kata.

b. Analisis kuantitatif
Analisis kuantitatif merupakan analisis menggunakan rumus-rumus statistic terhadap data hasil penelitian yang berupa angka-angka.
Rumus-rumus statistik sederhana dapat dipergunakan untuk penelitian-penelitian kuantitatif sederhana, seperti:
  • MEAN
  • MEDIAN
  • MODUS
  • PERSEN

LANGKAH-LANGKAH ANALISIS DATA

  1. Editing data (melihat kelengkapan data, kejelasan tulisan, pemahaman catatan, konsistensi data, uniformitas data, kesesuaian jawaban
  2. Koding (memberikan kode terhadap jawaban responden. Kode dapat berupa (a) atribut atau (b) indeks
  3. Tabulasi data (memasukkan data ke dalam tabel-tabel:  tally, lembaran kode, tabel distribusi frekuensi, tabel silang
  4. Menghitung dengan rumus statistic: mean, median, modus, persen, korelasi, dst.
MENULIS LAPORAN
Laporan penelitian diperlukan untuk mengkomunikasikan hasil penelitiankepada pihak lain. Secanggih apa pun metode penelitian, sepenting apa pun objek penelitian, tidak akan ada manfaatnya kalau hasilnya tidak dikomunikasikan kepada pihak lain.
Tubuh Laporan Penelitian
  1. Bagian Awal : halaman judul, daftar isi, daftar gambaar, daftar table, kata pengantar, motto, persembahan, ucapan terimakasih, abstrak,  dll.
  2. Bagian Isi/Inti: Bab I Pendahuluan, Bab II Tinjuan Pustaka, Bab III Metodologi, Bab IV Hasil Penelitian, Bab V Penutup: Kesimpulan dan Rekomendasi/saran-saran (tidak harus lima Bab).
  3. Bagian Akhir: Daftar Pustaka dan Lampiran-lampiran.
Catatan:
  1. Laporan penelitianmengggunakan bahasa dan teknik penulisan dengan ejaan yang  benar dan baku (ketentuan-ketentuan penulisan karya tulis)
  2. Menyebutkan sumber data (kutipan, kredit foto, pernyataan pemegang otoritas, dll).
Sumber: Klik Disini

Lembaga Sosial: Pengertian, Tipe, dan Fungsi

By : Muhammad Zamroni
Pendahuluan
Manusia pada dasarnya hidup di dalam suatu lingkungan yang serba berpranata. Artinya, segala tindakan dan perilakunya senantiasa akan diatur menurut cara-cara tertentu yang telah disepakati bersama. Dalam studi sosiologi dan antropologi, cara-cara tertentu yang telah disepakti bersama itu disebut sebagai pranata sosial, atau dalam istilah lain lembaga sosial, atau kadang juga disebut sebagai organisasi sosial atau lembaga kemasyarakatan.
Apabila seseorang masuk di dalam suatu lingkungan sosial tertentu –misalnya keluarga atau sekolah— ia akan dilayani sekaligus terikat oleh seperangkat aturan yang berlaku di lingkungan tersebut sesuai dengan kedudukan/status dan perannya. Seseorang yang berkedudukan sebagai ayah dalam suatu keluarga akan dilayani sekaligus terikat oleh seperangkat aturan, misalnya setiap pagi akan disedikan minum teh atau kopi beserta kudapannya oleh seseorang yang berkedudukan sebagai isteri, sekaligus ia akan terikat oleh seperangkat aturan tertentu, misalnya harus melindungi keluarga, bertanggung jawab atas nafkah keluarga, bertindak mewakili keluarga terhadap keluarga atau pihak lain, dan seterusnya. Demikian juga seorang murid di suatu lingkungan sekolah, ia akan mendapatkan pelayanan tertentu, misalnya dalam hal pembelajaran, menerima informasi, dan sebagainya, tetapi sekaligus akan terikat oleh seperangkat norma yang berlaku, misalnya tentang prasyarat mengikuti pendidikan pada jenjang tertentu, untuk dapat mengikuti pendidikan di jenjang SMP harus lulus SD terlebih dahulu, untuk mengikuti pendidikan di jenjang SMA harus lulus SMP dulu, harus mengenakan seragam tertentu, harus mengikuti prosedur tertentu, misalnya dapat mengikuti ujian setelah mengikuti pendidikan dalam kurun waktu tertentu, dan seterusnya.
Di dalam kehidupan masyarakat, jumlah pranata sosial yang ada relatif beragam dan jumlahnya terus berkembang sesuai dengan dinamika perkembangan masyarakat itu sendiri. Selain pranata keluarga dan pendidikan seperti tersebut pada contoh di atas, masih banyak pranata sosial lain, yang secara umum memiliki fungsi yang sama, yaitu mengatur cara-cara warga masyarakat dalam memenuhi berbagai kebutuhan yang penting.
Setidaknya di dalam masyarakat terdapat lima pranata atau lembaga sosial yang pokok, yaitu: (1) keluarga, (2) pendidikan, (3) ekonomi, (4) politik, dan (5) agama. Namun, menurut ahli antropologi –seperti S.F. Nadel (1953) dan Koentjaraningrat (1979), di luar lembaga pokok yang telah disebutkan tadi, terdapat pranata lain, seperti: pranata ilmiah, pranata keindahan, dan juga pranata rekreasi.
Pengertian Pranata/Lembaga Sosial
Dalam kehidupan sehari-hari, pengertian pranata sosial sering bias atau rancu dengan pengertian kelompok sosial atau asosiasi. Apalagi kalau menggunakan istilah lembaga sosial, organisasi sosial, atau lembaga kemasyarakatan. Pada uraian ini akan dijelaskan, bahkan ditegaskan, tentang pengertian pranata sosial, dan perbedaannya dengan kelompo sosial atau asosiasi.
Horton dan Hunt (1987) mendefinisikan pranata sosial sebagai lembaga sosial, yaitu sistem norma untuk mencapai tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting.
Di dalam sebuah pranata sosial akan ditemukan seperangkat nilai dan norma sosial yang berfungsi mengorganir (menata) aktivitas dan hubungan sosial di antara para warga masyarakat dengan suatu prosedur umum sehingga para warga masyarakat dapat melakukan kegiatan atau memenuhi kebutuhan hidupnya yang pokok.
Koentjarningrat (1979) menyatakan bahwa pranata sosial adalah sistem-sistem yang menjadi wahana yang memungkinkan warga masyarakat untuk berinteraksi menurut pola-pola atau sistem tatakelakuan dan hubungan yang berpusat pada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat.
Terdapat tiga kata kunci dalam setiap pembahasan tentang pranata sosial, yaitu: (1) nilai dan norma sosial, (2) pola perilaku yang dibakukan atau yang disebut dengan prosedur umum, dan (3) sistem hubungan, yaitu jaringan peran serta status yang menjadi wahana untuk melaksanakan perilaku sesuai dengan prosedur umum yang berlaku.
Pranata sosial pada dasarnya bukan merupakan sesuatu yang kongkrit, dalam arti tidak selalu hal-hal yang ada dalam suatu pranata sosial dapat diamati atau dapat dilihat secara empirik (kasat mata). Tidak semua unsur dalam suatu pranata sosial mempunyai perwujudan fisik. Bahkan, pranata sosial lebih bersifat konsepsional, artinya keberadaan atau eksistensinya hanya dapat ditangkap dan difahami melalui pemikiran, atau hanya dapat dibayangkan dalam imajinasi sebagai suatu konsep atau konstruksi yang ada di alam pikiran. Beberapa unsur pranata dapat diamati atau dilihat, misalnya perilaku-perilaku individu atau kelompok ketika melangsungkan hubungan atau interaksi sosial dengan sesamanya.
Hal penting yang perlu ditegaskan di sini adalah bahwa seorang individu atau sekelompok orang dapat saja datang dan pergi dalam suatu lembaga, tetapi fungsi individu atau kelompok dalam pranata hanyalah sebagai pelaksana fungsi atau pelaksana kerja dari suatu unsur lembaga sosial. Kedatangan atau kepergian individu atau sekelompok individu tidak akan menganggu eksistensi dari suatu lembaga sosial. Individu atau sekelompok individu di dalam pranata sosial, kedatangannya atau kepergiannya hanyalah berfungsi saling menggantikan.
Agar lebih jelas tentang pranata sosial, berikut disajikan tentang perbedaannya dengan kelompok sosial atau asosiasi.
Konteks per-bandingan Lembaga/Pranata Sosial Asosiasi/kelompok/badan sosial
Pengertian
  • Suatu sistem norma khusus yang menata serangkaian tindakan berpola untuk keperluan khusus manusia dalam kehidupan bermasyarakat (Koentjaraningrat)
  • Sistem pola sosial yang tersusun rapi dan secara relatif bersifat permanen, mengandung perilaku tertentu yang kokoh dan terpadu demi pemuasan kebutuhan pokok manusia (Bruce J. Cohen)

Orang-orang yang berkumpul membentuk  unit atau satuan sosial:
  • Saling berinteraksi
  • Memiliki kesadaran sebagai satuan sosial dan solidaritas
  • Membentuk sistem hidup bersama yang “melakukan suatu aktivitas” untuk mencapai tujuan tertentu
  • Menghasilkan kebudayaan
(disarikan dari beberapa pengertian)

Komponen utamanya
  • Komponen utamanya adalah aturan-aturan (sistem norma)

  • Memiliki pengikut, orang-orang dalam lembaga dapat datang dan pergi tanpa menganggu eksistensi lembaga sosial, karena hanya melaksanakan fungsi dari suatu status atau kedudukan
  • Komponen utamanya adalah orang-orang yang melakukan aktivitas dalam bidang tertentu
  • Memiliki anggota; suatu kelompok akan bubar apabila orang-orang yang menjadi anggotanya keluar dari kelompok

Contoh
  • Permainan olah raga sepak bola
  • Jurnalistik

  • Pendidikan Menengah Umum
  • Perkawinan /keluarga


  • Organisasi Kesiswaan


  • Tim sepakbola: PSS, PSIM,  PERSIJA, dst.
  • PT Abdi Bangsa, Penerbit HU Republika
  • SMA Negeri 3 Yogyakarta

  • Kantor Urusan Agama Kecamatan Pakem/Keluarga Pak Yekti
  • OSIS
Institusionalisasi (Pelembagaan)
Proses pelembagaan atau instiusionalisasi adalah suatu proses penggantian tindakan-tindakan spontan dan coba-coba (eksperimental) dengan perilaku yang diharapkan, dipolakan, diatur, serta dapat diramalkan,
Seperangkat hubungan sosial dinyatakan melembaga (institutionalized) apabila:
  1. Berkembang sistem yang teratur berkenaan dengan status dan peran yang harus dilaksanakan oleh seseorang dalam melakukan aktivitas atau memenuhi kebutuhan hidup tertentu
  2. berkembang sistem harapan, status dan peran telah berlaku umum dan diterima sebagian besar warga masyarakat.
Proses berlangsungnya dapat digambarkan sebagai berikut. Orang mencari-cari cara untuk memenuhi kebutuhannya. Ditemukan  cara yang terbukti mudah dilakukan dan berhasil baik. Selanjutnya cara tersebut diulang-ulang. Cara tersebut dibakukan sehingga mengikat para warga masyarakat untuk menggunakannya. Jika telah mengikat, artinya cara tersebut artinya telah melembaga. Ingat baik-baik tentang perkembangan norma mulai dari usage, folkways, mores, customs sampai dengan  Law.
Tujuan dan fungsi lembaga sosial
Diciptakannya pranata sosial pada dasarnya mempunyai maksud serta tujuan yang secara prinsipil tidak berbeda dengan norma-norma sosial, karena pada dasarnya pranata sosial merupakan seperangkat norma sosial.
Secara umum, tujuan utama pranata sosial, selain untuk mengatur agar kebutuhan hidup manusia dapat terpenuhi secara memadai, juga sekaligus untuk mengatur agar kehidupan sosial para warga masyarakat dapat berjalan dengan tertib dab lancar sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku. Contoh: pranata keluarga mengatur bagaimana keluarga harus merawat (memelihara) anak. Pranata pendidikan mengatur bagaimana sekolah harus mendidik anak-anak sehingga dapat menghasilkan lulusan yang handal.
Tanpa adanya pranata sosial, kehidupan manusia dapat dipastikan bakal porak poranda kaena jumlah prasarana atau sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia relatif terbatas, sementara jumlah orang yang membutuhkan justru semakin lama semakin banyak. Itulah mengapa semakin lama, seiring dengan meningkatkan jumlah penduduk suatu masyarakat, pranata sosial yang ada di dalamnya juga semakin banyak dan kompleks. Kompleksitas pranata sosial pada masyarakat desa akan lebih rendah daripada masyarakat kota.
Koentjaraningrat (1979) mengemukakan tentang fungsi pranata sosial dalam masyarakat, sebagai berikut:
  1. Memberi pedoman pada anggota masyarakat tentang bagaimana bertingkah laku atau bersikap di dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Adanya fungsi ini kaena pranata sosial telah siap dengan bebagai aturan atau kaidah-kaidah sosial yang dapat digunakan oleh anggota-anggota masyarakat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya.
  2. Menjaga keutuhan masyarakat (integrasi sosial) dari ancaman perpecahan (disintegrasi sosial). Hal ini mengingat bahwa jumlah prasarana atau sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia terbatas adanya, sedangkan orang-orang yang membutuhkannya semakin lama justru semakin meningkat kualitas maupun kuantitasnya, sehingga memungkinkan timbulnya persaingan (kompetisi) atau pertentangan/pertikaian (konflik) yang bersumber dari ketidakadilan atau perebutan prasarana atau sarana memenuhi kebutuhan hidup tersebut. Sistem norma yang ada dalam suatu pranata sosial akan berfungsi menata atau mengatur pemenuhan kebutuhan hidup dari para warga masyarakat secara adil dan memadai, sehingga keutuhan masyarakat akan terjaga.
  3. Berfungsi untuk memberikan pegangan dalam melakukan pengendalian sosial (social control). Sanksi-sanksi atas pelanggaran norma-norma sosial merupakan sarana agar setiap warga masyarakat konformis (menyesuaikan diri) terhadap norma-norma sosial itu, sehingga tertib sosial dapat terwujud. Dengan demikian, sanksi yang melakat pada setiap norma itu merupakan pegangan dari warga masyarakat untuk melakukan pengendalian sosial –meluruskan—warga masyarakat yang perilakunya menyimpang dari norma-norma sosial yang berlaku.
Karakteristik Lembaga Sosial
Dari uraian-uraian sebelumnya dapat ditemukan unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian atau konsep pranata sosial, seperti: (1) berkaitan dengan kebutuhan pokok manusia dalam hidup bermasyarakat, (2) merupakan organisasi yang relatif tetap dan tidak mudah berubah, (3) merupakan organisasi yang memiliki struktur, misalya adanya status dan peran, dan (4) merupakan cara bertindak yang mengikat.
Gillin dan Gillin mengemukakan ciri-ciri pranata sosial sebagaimana dikutip oleh Selo Soemadjan dan Soelaiman Soemardi (1964) dan Koentjaraningrat (1979) yang ringkasannya sebagai berikut:
  1. Pranata sosial merupakan suatu organisasi pola pemikiran dan perilakuan yang terwujud sebagai aktivitas warga masyarakat yang berpijak pada suatu “nilai tertentu” dan diatur oleh: kebiasaan, tata kelakuan, adat istiadat maupun hukum.
  2. Pranata sosial memiliki tingkat kekekalan relatif tertentu. Pranata sosial pada umumnya mempunyai daya tahan tertentu sehingga tidak cepat lenyap dari kehidupan bermasyarakat. Umur yang relatif lama itu karena seperangkat norma yang merupakan isi suatu pranata sosial terbentuk dalam waktu yang relatif lama dan tidak mudah, juga karena norma-norma tersebut berorientasi pada kebutuhan pokok, maka masyarakat berupaya menjaga dan memelihara pranata sosial tersebut sebaik-baiknya, apalagi kalau pranata tersebut berkaitan dengan nilai-nilai sosial yang dijunjung tinggi
  3. Pranata sosial mempunyai satu atau beberapa tujuan yang ingin dicapai atau diwujudkan.
  4. Memiliki alat-alat perlengkapan baik keras (hardware) maupun lunak (soft ware) untuk mencapai atau mewujudkan tujuan-tujuan dari pranata sosial. Karena masing-masing pranata memiliki tujuan yang berbeda-beda, maka perlengkapannyapun berbeda antara satu pranata dengan pranata lainnya. Perlengkapan dalam pranata keluarga berbeda dari perlengkapan pada lembaga pendidikan, ekonomi, politik, maupun agama
  5. Memiliki simbol atau lambang tersendiri. Lambang, di samping merupakan spesifikasi dari suatu pranata sosial, juga sering dimaksudkan secara simbolis menggambarkan tujuan atau fungsi dari suatu pranata. Lambang suatu pranata sosial daat berupa gambar, tulisan, atau slogan-slogan, yang dapat merupakan representasi ataupun sekedar menggambarkan spesifikasi dari pranata sosial yang besangkutan. Misalnya Burung Garuda atau Bendera Merah Putih dapat merepresentasikan Indonesia, sedangkan gambar buku dan pena merupakan gambaran dari spesifikasi suatu lembaga pendidikan.
  6. Memiliki dokumen atau tradisi baik lisan maupun tertulis yang berfungsi sebagai landasan atau pangkal tolak untuk mencapai tujuan serta melaksanakan fungsi.
Unsur-unsur Lembaga Sosial
Menurut Horton dan Hunt (1987), setiap pranata sosial mempunyai unsur-unsur sebagai berikut.
  1. Unsur budaya simbolik, misalnya cincin kawin dalam lembaga keluarga
  2. Unsur budaya manfaat, misalnya rumah atau kendaraan dalam lembaga keluarga
  3. Kode spesifikasi baik lisan maupun tertulis, misalnya akta atau ikrar nikah dalam lembaga keluarga
  4. Pola perilakuan, misalnya pemberian perlindungan dalam lembaga keluarga
  5. Ideologi, misalnya cinta dan kasih sayang dalam lembaga keluarga
Tipe Lembaga Sosial
Sebagaimana telah disampaikan pada uraian terdahulu, pranata sosial mempunyai tujuan-tujuan umum yang sama, yakni mengatur warga masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi apabila dirinci lebih lanjut, karena kebutuhan hidup itu juga bermacam-macam, di dalam masyarakat dijumpai pranata sosial yang bermacam-macam tipologinya.
Gillin dan Gillin (1954) mengemukakan tipe-tipe pranata sosial (dikutip oleh Koentjaraningrat, juga oleh Soerjono Soekanto) sebagai berikut.
1.      Menurut perkembangannya, dibedakan antara  crescive dan enacted institutions, yakni pranata sosial yang tumbuh dengan sendirinya dan lembaga yang sengaja dibentuk.
2.      Berdasarkan orientasi nilainya, dibedakan antara pranata sosial dasar (basic institutions) dan subsider (subsidiary institutions), yakni lembaga sosial yang berdasarkan nilai dasar dan vital, misalnya keluarga, agama, dst., dan lembaga sosial yang dibangun di atas dasar nilai yang tidak penting, misalnya rekreasi.
3.      Dari sudut penerimaan masyarakat, ditemukan lembaga sosial bersanksi dan tidak bersanksi, yakni lembaga sosial yang adanya diharapkan oleh masyarakat, misalnya perkawinan, dan lembaga sosial yang keberadaannya ditolak oleh masyarakat, misalnya kumpul kebo (cohabitation).
4.      Dari sudut komppleksitas penyebarannya, dibedakan antara pranata sosial umum (general institutions) dan lembaga sosial terbatas (restricted instutions), yakni lembaga sosial yang ditemukan dalam setiap masyarakat, misalnya keluarga, dan lembaga sosial yang hanya ditemukan pada masyarakat yang terbatas, misalnya keluarga patrilineal.
5.      Berdasarkan fungsinya, dibedakan antara pranata sosial operatif (operative institutions) dengan pranata sosial regulatif (regulative institutions), yakni lembaga sosial yang fungsinya memproduksi atau menghasilkan jasa atau barang kebutuhan masyarakat, dan lembaga yang fungsi utamanya menciptakan keteraturan (regulasi) dalam masyarakat. Bedakan antara lembaga pendidikan atau ekonomi/industri dengan lembaga kepolisian, kejaksaan, atau kehakiman.
Pranata Sosial yang Pokok
Sebagaimana telah disebut di bagian depan uraian ini, di dalam masyarakat dijumpai setidaknya lima pranata sosial pokok, yaitu: (1) keluarga, (2) agama, (3) ekonomi. (4) politik, dan (5) pendidikan, di samping adanya pranata-pranata yang berada di luar itu, seperti pranata ilmiah, pranata keindahan, dan pranata rekreasi. Berikut ini akan diuraikan tentang lima lembaga pokok.
Pranata Keluarga

Pranata keluarga adalah pranata yang berfungsi untuk menata atau mengatur aktivitas warga masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Keluarga merupakan pranata sosial dasar dan bersifat universal. Keluarga merupakan pusat terpenting dari pranata-pranata lainnya. Di masyarakat mana pun di dunia ini, akan selalu dijumpai pranata keluarga.
Horton dan Hunt (1987) mengemukakan bahwa, istilah keluarga umumnya digunakan untuk menyebut: (1) suatu kelompok yang memiliki nenek moyang yang sama, (2) suatu kelompok kekerabatan yang disatukan oleh hubungan darah atau perkawinan, (3) pasangan perkawinan, dengan atau tanpa anak-anak,  (4) pasangan perkawinan yang mempunyai anak, (5) satu orang –dua atau janda—dengan beberapa anak.

Aktivitas warga masyarakat yang diatur oleh lembaga keluarga antara lain: (1) masalah kelangsungan keturunan hidup, hal ini menyangkut kebutuhan akan relasi seksual antara pria dan wanita yang diatur oleh lembaga perkawinan, (2) masalah perawatan atau pemeliharaan anak-anak baik yang bersifat fisik, biologis, psikologis maupun sosial, dan (3) hubungan persaudaraan, darah, kekerabatan dan organisasi kekeluargaan.

Berdasarkan orientasi atau proses pembentukannya, Horton dan Hunt (1987) membedakan antara keluarga  konjugal (conjugal family) atau keluarga inti dengan keluarga konsanguinal (consanguine family) atau keluarga kerabat. Keluarga konjugal adalah keluarga yang dibentuk oleh perkawinan. Anggota keluarga ini adalah suami, isteri, dan anak-anak yang belum kawin. Kadang juga dinamakan sebagai the family of procreation. Dalam keluarga ini anggota keluarga lebih menekankan pada pentingnya hubungan perkawinan dari pada hubungan darah. Keluarga konsanguinal adalah keluarga yang didalamnya seseorang dilahirkan. Sering disebut sebagai the family of orientation. Dalam keluarga jenis ini hubungan darah lebih dipentingkan dari pada hubungan perkawinan.

Keluarga inti

Keluarga inti (atau biasanya disebut dengan istilah keluarga saja) adalah keluarga yang terdiri atas ayah atau suami, ibu atau isteri dengan atau tanpa anak-anak baik yang dilahirkan maupun yang diadopsi (anak angkat). Istilah lainnya adalah: keluarga batih, somah atau nuclear family.
Beberapa pranata sosial dasar yang berhubungan dengan keluarga inti adalah: (1) kencan (dating), (2) peminangan, (3) pertunangan, dan (4) perkawinan. Tidak semua pranata sosial dasar ini dijumpai pada suatu masyarakat atau sukubangsa. Pranata kencan atau dating mungkin banyak dijumpai pada masyarakat Eropa Barat dan Amerika Utara, tetapi tidak banyak dijumpai pada masyarakat Timur seperti Indonesia.
Pranata kencan (dating)

Kencan merupakan perjanjian sosial yang secara kebetulan dilakukan oleh dua individu yang berlainan jenis kelaminnya untuk mendapatkan kesenangan. Pada umumnya, kencan ini mengawali suatu perkawinan. Jadi fungsi kencan yang sebenarnya adalah memberi kesempatan bagi kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) untuk saling mengenal, atau bahkan saling menyelidiki kepribadian, sebelum mereka berdua mengikatkan diri dalam suatu perkawinan.
Tidak semua keluarga dari berbagai bagian dunia ini mengikuti pranata sosial kencan ini. Dalam suatu masayarakat di mana jodoh itu ditentukan oleh orangtua, maka pranata kencan tidak dijumpai, atau bahkan dilarang.
Dewasa ini, pada beberapa masyarakat, kencan tidak selalu diorientasikan kepada terbentuknya perkawinan atau keluarga, melainkan hanya untuk tujuan bersenang-senang, sehingga dapat dilakukan oleh orang-orang yang saling suka meskipun tidak bermaksud membentuk suatu keluarga.
Pranata Peminangan (courtship)

Apabila melalui pranata kencan hubungan antara dua individu berjenis kelamin berbeda itu telah mantap, maka dapat dilanjutkan dengan peminangan, yaitu permintaan untuk menjalin sebuah hubungan eksklusif (khusus dan tertutup) di antara dua orang berbeda jenis kelamin yang akan melangsungkan perkawinan. Peminangan dapat dilakukan oleh pihak laki-laki maupun pihak perempuan, sesuai dengan pranata sosial yang berlaku. Pada masyarakat Minangkabau, peminangan dilakukan oleh pihak perempuan. Pada banyak masyarakat dilakukan oleh pihak laki-laki.
Pranata Pertunangan (mate-selection)

Pertunangan dapat diartikan sebagai hubungan yang diumumkan secara resmi/formal di antara laki-laki dengan perempuan yang bermaksud untuk menikah. Pranata pertunangan ini lebih banyak dikenal di negara-negara Eropa Barat dan Amerika Utara. Sementara di masyarakat Asia, pertunangan hanya dilakukan di kalangan tertentu, biasanya di kalangan menengah atas atau orang kota.
Pranata Perkawinan (marriage)

Pranata terakhir yang berkaitan dengan pembentukan keluarga inti adalah perkawinan, yang secara sosiologis dapat diartikan sebagai ikatan antara seorang laki-laki atau lebih dengan seorang perempuan atau lebih yang terbentuk atau berlangsung melalui persetujuan masyarakat. Konsekuensi dari suatu perkawinan adalah adanya status baru (suami dan isteri) yang diikuti dengan sederet hak dan kewajiban atau tanggung jawab baru.
Horton dan Hunt (1987) memberikan batasan bahwa perkawinan merupakan pola sosial yang disetujui dengan cara mana dua orang atau lebih membentuk keluarga.
Menurut UU Perkawinan RI, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Mahaesa (Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974). Definisi menurut undang-undang ini agak berbeda dengan definisi sosiologi, karena landasan berfikir yang berbeda. Definisi menurut undang-undang berpijak pada bagaimana sebaiknya suatu peristiwa sosial itu berlangsung, sedangkan definisi sosiologi lebih berdasarkan pada bagaimana suatu peristiwa sosial itu apa adanya (taken from granted). Sehingga dalam definisi sosiologi, perkawinan dapat diartikan sebagai ikatan antara seorang laki-laki atau beberapa laki-laki dengan seorang wanita atau beberapa wanita dalam suatu hubungan suami isteri dan diberi sanksi sosial. Definisi ini didasarkan pada kenyataan, bahwa perkawinan tidak selalu merupakan ikatan antara seorang wanita dengan seorang laki-laki (monogami), melainkan dapat berlangsung dalam bentuk poligami, dapat antara seorang laki-laki dengan lebih dari satu perempuan (poligini), seorang perempuan dengan beberapa laki-laki (poliandri), atau bahkan beberapa laki-laki dengan beberapa perempuan (conogami atau group marriage).
Pijakan sahnya perkawinan dapat didasarkan pada ketentuan adat, agama, ataupun hukum negara, dan suatu perkawinan akan memiliki legalitas yang kuat apabila dilangsungkan sesuai dengan tiga ketentuan tersebut, jadi sah secara adat, sah secara agama, dan sah secara hukum negara. Perkawinan siri merupakan contoh perkawinan yang sah menurut ketentuan agama, tetapi tidak menurut hukum negara.
Keluarga Luas
Keluarga luas lebih didasarkan pada pertalian atau ikatan darah atau ketutunan daripada ikatan perkawinan, sehingga sifatnya lebih stabil, karena eksistensinya tidak terganggu oleh adanya perceraian.
Karena dasar utamanya adalah garis keturunan, maka dapat dibedakan antara keluarga luas parental (bilateral) yang menghitung garis keturunan melalui pihak laki-laki (ayah) maupun perempuan (ibu), dan keluarga luas unilineal, yang menghitung garis keturunan berdasarkan keturunan ayah saja (patrilineal), atau ibu saja (matrilineal).
Keluarga Luas Bilateral (Parental)
Keluarga luas bilateral menentukan garis keturunan berdasarkan garis keturunan dua pihak, laki-laki (ayah) dan perempuan (ibu). Sehingga, dapat dipastikan dalam keluarga luas bilateral, semua kerabat biologis akan sekaligusmenjadi kerabat kultural. Seseorang akan mempunyai dua orang kakek, yaitu ayahnya ayah dan ayahnya ibu, dan dua orang nenek, yaitu ibunya ayah dan ibunya ibu. Keluarga jenis ini dijumpai pada banyak masayarakat, antara lain Jawa dan Sunda.
Keluarga Luas Unilineal

Pada keluarga luas unilineal garis keturunan ditentukan berdasarkan satu pihak, yaitu ibu saja atau ayah saja, sehingga tidak semua kerabat biologis otomatis menjadi kerabat kultural.
Pada keluarga luas matrilineal, garis keturunan ditentukan berdasarkan garis ibu, sehingga ayahnya ibu, anak dari anak laki-laki, anaknya saudara laki-laki ibu, dan seterusnya, meskipun secara biologis adalah kerabat, tetapi secara kultural mereka bukanlah kerabat.
Sebaliknya, pada keluarga luas patrilineal, garis keturunan ditentukan berdasarkan garis ayah, sehingga ibunya ayah, anak dari anak perempuan, anaknya saudara perempuan ayah, dan seterusbya, meskipun secara biologis adalah kerabat, tetapi secara kultural mereka bukanlah kerabat.
Pola menetep setelah menikah

Lingkup pranata keluarga juga meliputi Di dalam masyarakat terdapat beberapa pola menetap (residence pattern), seperti:
  1. Patrilokal (menetap di keluarga pihak suami)
  2. Matrilokal (menetap di keluarga pihak isteri)
  3. Ambilokal atau utrolokal (memilih di pihak suami atau isteri)
  4. Natalokal (di tempat lahir masing-masing)
  5. Neolokal (menetap di tempat tinggal yang baru)
  6. Avunkolokal  (di keluarga saudara laki-laki ibu)
Fungsi Keluarga

Karena dalam banyak masyarakat, keluarga dianggap sangat penting dan menjadi pusat perhatian kehidupan individu, bahkan anggota keluarga yang satu memperlakukan anggota keluarga lain sebagai tujuan, maka fungsi keluarga dalam banyak masyarakat relatif sama. Secara rinci, beberapa fungsi dari keluarga adalah:
  • Fungsi Reproduksi atau pengaturan keturunan
Fungsi ini merupakan hakikat dari keluarga untuk menjaga kelangsungan hidup manusia dan sebagai dasar kehidupan sosial manusia dan bukan sekedar kebutuhan biologis saja. Fungsi ini didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan sosial, misalnya melanjutkan keturunan, mewariskan harta kekayaan, ataupun jaminan di hari tua.
  • Fungsi Afeksi atau kasih sayang

Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan akan kasih sayang atau rasa dicintai. Sejumlah studi telah menunjukkan bahwa kenakalan yang serius merupakan salah ciri khas anak-anak yang di keluarganya tidak merasakan kasih sayang.
  • Sosialisasi atau pendidikan

Fungsi ini adalah untuk mendidik anak mulai dari awal sampai pertumbuhan anak hingga terbentuk kepribadian atau personality-nya. Anak-anak itu lahir tanpa bekal keterampilan sosial, maka agar anak dapat berpartisipasi dalam kehidupan sosial, orangtua perlu mensosialisasikan tentang nilai-nilai dan norma-norma sosial yang berlaku di masyarakatnya. Anak-anak harus dibelajarkan tentang suatu hal, apa yang boleh dan tidak boleh, apa yang pantas dan tidak pantas, apa yang baik dan tidak baik, sehingga si anak dapat hidup wajar dan diterima oleh sesama anggota masyarakat/kelompoknya.
  • Fungsi Ekonomi atau produksi
Suatu keluarga diharapkan menjalankan fungsi ekonomi, dalam arti dapat menjamin pemenuhan kebutuhan material para anggota keluarga. Fungsi ini harus berjalan, karena para anggota keluarga memiliki kebutuhan-kebutuhan yang bersifat material yang untuk memenuhinya harus ada pengorbanan-pengorbanan yang bersifat ekonomi. Dalam banyak masyarakat, seorang suami atau ayah dituntut untuk menjalankan fungsi produksi untuk menjamin nafkah bagi keluarganya. Dalam masyarakat yang telah menganut kesetaraan laki-laki perempuan, fungsi produksi dalam arti mencari nafkah tidak hanya merupakan beban laki-laki, tetapi dapat menjadi tugas bersama antara seorang suami dan isteri.
Apabila fungsi ekonomi keluarga ini tidak terjamin, dapat menganggu pelaksanaan fungsi-fungsi lain dari keluarga, seperti afeksi dan sosialisasi.
  • Pelindung atau proteksi
Yang dimaksud adalah bahwa keluarga diharapkan menjalan fungsi sebagai pelindung bagi para anggota-anggotanya sehingga dapat menikmati keadaan yang dirasa aman dan tanpa ancaman dari pihak manapun

  • Penentuan status

Pada masyarakat feodal atau berkasta, di mana status seseorang lebih banyak diberikan berdasarkan keturunan, keluarga berfungsi mewariskan status sosial kepada para anggotanya. Misalnya status sebagai bangsawan atau kedudukan dalam kasta.
  • Pemeliharaan

Keluarga pada dasarnya memiliki fungsi memelihara anggota-anggotanya sehingga mereka dapat hidup dengan nyaman dan terbebaskan dari berbagai penderitaan, termasuk penyakit-penyakit. Fungsi pemeliharaan ini sangat dirasakan oleh para anggota keluarga yang masih di bawah usia lima tahun, juga bagi yang telah lanjut usia atau jompo.
Dalam perkembangannya, sesuai dengan semakin kompleksnya lembaga-lembaga yang ada dalam masyarakat, beberapa fungsi keluarga dialihkan kepada lembaga lain, misalnya sebagian fungsi edukasi dialihkan ke lembaga pendidikan atau sekolah, pada golongan menengah ke atas atau masyarakat kota, pengalihan fungsi ini telah dilakukan sejak dini, misalnya anak usia 3 atau 4 tahun sudah disertakan dalam pendidikan usia dini atau play group. Kemudian fungsi perawatan anak sebagian dialihkan ke lembaga pentitipan anak, fungsi proteksi banyak diambil alih oleh negara melalui aparat kepolisian atau para petugas keamanan masyarakat, dan sebagainya.
Tidak semua keluarga dapat menjalankan fungsi-fungsi di atas dengan baik. Kegagalan keluarga menjalankan fungsi dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain:
  • Faktor pribadi, misalnya suami-isteri kurang menyadari akan arti dan fungsi perkawinan yang sebenarnya. Misalnya egoisme, kurang mampu bertoleransi, kurang adanya saling-percaya, dan sebagainya
  • Faktor situasi khusus dalam keluarga, seperti: pengaruh atau intervensi orangtua dari suami dan/atau isteri, isteri bekerja dan mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari suaminya, tinggal bersama dengan keluarga inti lain dalam sebuah rumah tangga, suami dan atau isteri terlalu sibuk dengan pekerjaan dan kariernya.
Faktor-faktor tersebut dapat mengakibatkan disfungsi dalam keluarga, misalnya terganggunya fungsi biologis/reproduksi karena suami atau isteri jarang di rumah, orangtua kurang mampu memberikan perhatian dan kasih sayang kepada anak-anaknya, orangtua tidak mampu menanamkan sense of value kepada anak-anaknya, dan sebagainya.
Disfungsi dalam keluarga apabila dibiarkan dapat menyebabkan broken home atau disintegrasi keluarga.
Pranata Agama

Kajian tentang agama dapat dibedakan menjadi dua dimensi, yaitu teologis dan sosiologis. Kajian agama dalam dimensi teologis berangkat dari adanya klaim tentang kebenaran multlak ajaran suatu agama bagi para pengikut atau pemeluknya.  Doktrin-doktrin agama yang diyakini berasal dari Tuhan, kebenarannya melampui kemampuan akal atau pikiran manusia, sehingga hanya dapat diyakini dengan dimilikinya sesuatu dalam hati/diri manusia yang disebut iman.
Sedangkan dalam dimensi sosiologis, agama dipandang sebagai salah satu institusi atau pranata sosial. Karena posisinya sebagai sub dari sistem sosial, maka eksistensi dan peran agama dalam suatu masyarakat adalah sebagaimana eksistensi dan peran dari subsistem lainnya, misalnya politik, ekonomi, pendidikan, ataupun keluarga.
Sosiologi memandang suatu agama bukan pada masalah kebenaran dari doktrin, keyakinan, atau ajaran-ajarannya, melainkan bagaimana doktrin, keyakinan atau ajaran-ajaran itu mewujud dalam perilaku para pemeluknya dalam kehidupan sehari-hari. Studi tentang perilaku keberagamaan manusia sebagai suatu realitas kehidupan sosial itu kemudian dikenal sebagai sosiologi agama. Dalam sosiologi agama, agama dan keberagamaan seseorang semata-mata dianggap sebagai salah satu dari berbagai gejala sosial.
Definisi agama menurut pandangan sosiologi dapat dilihat antara lain pada definisi menurut Emmile Durkheim, bahwa agama adalah suatu sistem kepercayaan dan praktik-praktik (tingkah laku) yang berhubungan dengan hal-hal yang dianggap suci atau sakral (sacred), dan menyatukan semua penganutnya ke dalam satu komunitas moral yang disebut umat (church).
Sebagai suatu sistem keyakinan, agama berbeda dengan isme-isme yang lain. Agama diyakini oleh para penganutnya sebagai hal yang berpijak pada: (1) sesuatu yang dianggap sacred (suci),  (2) bersifat  supranatural, dan (3) ajaran bersumber dari Tuhan yang diturunkan melalui para Nabi atau Rasul, sedangkan isme-isme lainnya: (1) didasarkan pada hal-hal yang bersifat profane (biasa),  (2) bersifat natural, dan (3) bersumber dari gagasan/idea tokohnya.
Sesuatu yang dianggap suci dan sacral pada umumnya disebut Tuhan. Istilah lain: Allah, Illah, Elly, Ellyas, Dewa, Deva, Dewi, Devi, dan sebagainya. Menurut Rudolf Otto (antropolog) sesuatu yang dinyatakan sebagai Tuhan oleh berbagai masyarakat memiliki tiga ciri, yaitu: (1) mysterious (tidak terjawab oleh jangkauan pemikiran manusia), (2) tremendous (tidak terkalahkan), (3) fascination (mempesona).
Pranata agama mempunyai fungsi utama mengatur aktivitas warga masyarakat dalam memenuhi kebutuhan berhubungan dengan sesuatu yang dianggap suci atau sacral tersebut.
Pranata agama berhubungan dengan segenap komponen yang berkaitan dengan kehidupan beragama, yaitu: (1) sistem keyakinan, (2) emosi keagamaan, (3) sistem ritus atau upacara keagamaan, (4) alat-alat ritus, (5) umat, yakni satuan sosial yang terdiri atas orang-orang yang memiliki sistem keyakinan (agama) yang sama.
Fungsi nyata (manifest) lembaga agama:
  1. Menyangkut pola keyakinan (doktrin) yang menentukan sifat dan mekanisme hubungan antara manusia dengan Tuhannya
  2. Ritual yang melambangkan doktrin dan mengingatkan manusia pada doktrin tersebut serta seperangkat perilaku yang konsisten dengan doktrin tersebut
  3. Menyatukan pemeluknya ke dalam satu komunitas moral yang disebut umat
  4. Dalam beberapa negara lembaga agama melaksanakan fungsi pengendalian Negara
Fungsi laten lembaga agama:
  1. Menciptakan lingkungan kehidupan beragama, misalnya masjid, di samping yang utama sebagai tempat ibadah, tetapi juga menjadi medium pergaulan sosial dan komunikasi di antara para penganut agama Islam, termasuk penentuan dan pemilihan jodoh
  2. Menciptakan lingkungan kebudayaan (musik, seni baca, lagu-lagu, kitab, dan seterusnya)
  3. Tumbuhnya bangunan-bangunan sebagai tempat ibadah dengan arsitektur yang indah dan megah, misalnya masjid agung, gereja, dan seterusnya.
  4. Menjalankan fungsi pendidikan dan pewarisan pengetahuan
Pranata Ekonomi

Pranata ekonomi lahir ketika orang-orang mulai mengadakan pertukaran barang secara rutin, membagi-bagi tugas, dan mengakui adanya tuntutan dari seseorang terhadap orang lain (Horton dan Hunt, 1987). Ketika manusia masih hidup pada taraf yang sangat sederhana (primitive) dengan cara mengumpulkan biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan, kebutuhan akan adanya pranata ekonomi belum mendesak dan tidak penting. Tiap-tiap keluarga akan menjalankan fungsi ekonomi secara subsisten, keluarga-keluarga tersebut memproduksi sesuatu yang dikonsumsi sendiri, tidak ada pasar, sehingga tidak memerlukan penataan tentang perdagangan (pertukaran barang dan jasa).
Masalahnya berubah ketika orang-orang mulai memerlukan barang yang diproduksi oleh orang lain, para tetanga atau kerabatnya. Kebutuhan akan pranata yang mengatur mengenai distribusi atau pertukaran barang dan jasa mulai dirasakan. Proses pertukaran itu mukai ditata dengan kaidah-kaidah atau norma-norma tertentu yang disepakati bersama. Proses-proses itu kemudian distandardisasi sehingga membentuk pola dan keajegan tertentu yang mengikat dan dapat diramalkan. Lahirlah pranata ekonomi, yang menata aktivitas masyarakat berkaitan dengan kebutuhan akan barang-barang dan jasa-jasa yang diproduksi oleh pihak lain. Kegiatan yang diatur oleh lembaga ekonomi meliputi produksi, distribusi, dan konsumsi.
Elemen dasar pranata ekonomi

Struktur pranata ekonomi pada dasarnya bervariasi dalam berbagai masyarakat, ada yang sederhana ada yang rumit, tergantung pada: (1) elemen dasar proses ekonomi yang ada, apakah gathering, produksi, distributing, ataukah servicing, dan (2) faktor-faktor yang menentukan struktur ekonomi, misalnya tanah, tenaga kerja, modal, teknologi, dan kewiraswastaan.
Kompleksitas pranata ekonomi akan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan tipe pranata ekonomi yang berlaku. Masyarakat berburu dan meramu akan memiliki kompleksitas pranata yang berbeda dari masyarakat pertanian, apalagi kalau dibandingkan dengan masyarakat industri maju. Sistem ekonomi yang berlaku, apakah sosialis, kapitalis, atau lainnya, juga mempengaruhi pranata sosial yang berlaku.
Sistem Ekonomi Campuran
Terkait dengan sistem ekonomi masyarakat,  Horton dan Hunt (1987) menyatakan bahwa dewasa ini tidak ada masyarakat yang sepenuhya kapitalis. Masyarakat yang dikenal sebagai masyarakat kapitalis, sesungguhnya menerapkan sistem ekonomi campuran, di mana harta milik pribadi dan sistem keuntungan digabungkan dengan sejumlah campur tangan dan intervensi pemerintah.
Sistem ekonomi campuran memberikan peluang adanya inisiatif individu yang lebih besar daripada sistem komunis dan fasis. Pada sistem komunis dan fasis, kontrol negara terhadap aktivitsa ekonomi sangat dominan. Pada sistem komunis, segenap regulasi ekonomi, termasuk tingat harga, tingkat gaji serta jenis barang yang diproduksi ditentukan oleh badan pusat perencanaan. Di negara-negara fasis, meskipun pemilikan perusahaan secara pribadi diperkenankan, tetapi keuntungan yang diperoleh lebih diutamakan untuk kepentingan negara.
Dalam perkembangan terakhir, sejak era 1990-an telah ada tanda-tanda keruntuhan masyarakat ekonomi sosialis. Diterapkannya perestroika dan glasnost oleh Gorbachev di Uni Soviet serta runtuhnya tembok Berlin merupakan awal keruntuhan masyarakat sosialis dan pelan-pelan bergeser ke tipe masyaraat kapitalis.



Fungsi Pranata Ekonomi
Lepas dari masalah kompleksitas pranata, fungsi utama pranata ekonomi adalah mengatur kegiatan atau aktivitas warga masyarakat yang berkaitan dengan:
  1. Kegiatan produksi, meliputi berbagai aktivitas produksi baik yang tradisional  seperti berburu dan meramu, ladang berpindah (shifting cultivation), bercocok tanam menetap di ladang, di sawah, beternak, perikanan, maupun aktivitas produksi modern yakni industri yang menghasilkan barang, jasa-jasa,  maupun informasi.
  2. Kegiatan distribusi, meliputi berbagai pertukaran barang dan jasa (resiprositas), berbagai bentuk mekanisme pemerataan (leveling mechanism), berbagai macam redistribusi, berbagai bentuk pertukaran di pasar baik yang secara tunai maupun berdasarkan kepercayaan (berbagai macam kredit)
  3. Kegiatan konsumsi, meliputi aktivitas  mengkonsumsi barang dan jasa yang diproduksi sendiri (subsistence economic) maupun aktivitas memperoleh barang dan jasa di pasar.
Fungsi laten lembaga ekonomi:
  1. Mengubah dan kadang-kadang merusak lingkungan, misalnya sebagai dampak dari penggunaan teknologi untuk meningkatkan produktivitas
  2. Mengubah pola penggunaan waktu. Hal ini berkaitan dengan kecenderungan warga masyarakat untuk mengejar efisiensi dan produktivitas.
Pranata Politik

Sejak Adam dan Hawa mempunyai keturunan, dan keturunannya itu melipatganda, maka muka bumi ini mulai dipadati oleh manusia. Sebagai mahluk yang bersifat sosial, manusia hidup berkelompok pada daerah-daerah yang subur, berdasarkan keturunan, ras, etnisitas, agama, ataupun matapencaharian. Sepanjang masing-masing pihak yang hidup bersama tersebut dapat saling tenggangrasa (toleransi) dan sumber-sumber pemenuhan kebutuhan hidup dapat mencukupi, sebanyak apapun manusia yang hidup bersama tidaklah menjadi masalah, Masalah menjadi lain, kalau masing-masing yang hidup mendiami daerah-daerah tersebut mempunyai kepentingan dan kebutuhan yang sama, sementara hal yang menjadi pemenuh kebutuhan atau kepentingan tersebut terbatas adanya, mereka akan terlibat persaingan, pertikaian, bahkan harus berperang untuk memperebutkannya.
Thomas Hobbes memberikan ilustrasi sederhana mengenai hal ini, jika ada dua orang membutuhkan hal yang sama, akan tetapi hanya satu orang yang akan memperolehnya, maka mereka akan saling bermusuhan –masing-masing pihak akan menganggu dan menindas pihak lain untuk mencapai tujuannya, yaitu kelangsungan hidupnya. Sementara itu, pihak yang tertindas akan membalasnya sebab hal itu menyangkut hidup dan mati. Maka, perang tidak dapat dihindarkan.
Menyadari bahwa hidup bersama tanpa aturan akan bisa menjadi boomerang yang memusnahkan kelangsungan hidup manusia, maka lahirlah pranata politik.
Kornblum mendefinisikan pranata politik sebagai seperangkat norma dan status yang mengkhususkan diri pada pelaksanaan kekuasaan dan wewenang, termasuk kewenangan menggunakan paksaan fisik. Di masyarakat manapun, kalau tidak ada pranata politik yang diberi kewenangan untuk melaksanakan hukuman atau paksaan fisik, maka negara akan hilang dan yang terjadi adalah anarkhi.
Disamping mengatur siapa yang berwenang untuk menggunakan paksaan fisik, pranata politik juga berfungsi untuk mencapai kepentingan bersama dari anggota-anggota kelompok/masyarakat.
Sampai di sini, akhirnya bisa disimpulkan bahwa kebutuhan akan pranata politik, adalah karena kelompok-kelompok dalam masyarakat memerlukan adanya asosiasi atau kelompok tertentu yang dapat menguasai kelompok-kelompok lainnya, karena kepada kelompok atau asosiasi tersebut diberikan wewenang untuk menggunakan hukuman dan paksaan fisik karena didukung oleh adanya aparat (tentara, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan). Asosiasi dan nilai-nilai yang mendasarinya tersebut kemudian dilembagakan (institutionalized) dan secara riil diterima sebagai pola-pola perilaku dalam masyarakat, demi kelanggengan masyarakat. Asosiasi itu kemudian disebut negara, yang dilengkapi dengan aparat pemerintahan, nilai-nilai bersama yang dijunjung tinggi serta diwujudkan dalam konstitusi, berupa undang-undang dasar, undang-undang, peraturan pemerintah, dan seterusnya.
Pengertian dan ciri pranata politik
Dalam berbagai literature sosiologi, terdapat berbagai istilah yang digunakan untuk menyebut pranata politik. McIver menyebutnya sebagai “negara”,  Zanden menyebutnya sebagai “perilaku politik”, sedangkan Gillin dan Gillin menyebutnya institusi politik. Apapun istilahnya, pranata yang dimaksud mempunyai dua ciri utama, yaitu: (1) mempunyai kewenangan untuk menggunakan kekuatan fisik, dan (2) mampu memenuhi kebutuhan hidup sendiri (self sufficient).
Berdasarkan hal tersebut, pranata politik akan menyangkut masalah negara, pemerintahan, kekuasaan, partai politik, kebijakan, dan sebagainya. Hanya perlu ditekankan, istilah negara tidak sama dengan pemerintahan. Pemerintahan adalah aparatnya negara yang melaksanakan fungsi-fungsi dan kekuasaan negara. Jadi, pemerintahan hanyalah salah satu unsur negara.
Karakteristik pranata politik adalah: (1) adanya suatu komunitas manusia yang secara sosial bersatu atas dasar nilai-nilai yang disepakati bersama, (2) adanya asosiasi politik, yaitu pemerintahan yang aktif, (3) asosiasi tersebut melaksanakan fungsi-fungsi untuk kepentingan umum, dan (4) asosiasi tersebut diberi kewenangan dalam luas jangkauan dalam territorial tertentu.



Fungsi pranata politik

James W. Vender Zanden menyebutkan bahwa pranata politik di masyarakat manapun pada dasarnya memiliki empat fungsi, yaitu:
  1. Pemaksaan norma (enforcement norms)
  2. Merencanakan dan mengarahkan
  3. Menengahi pertentangan kepentingan (arbritasi)
  4. Melindungi masyarakat dari serangan musuh yang berasal dari luar masyarakatnya, baik dengan diplomasi maupun kekerasan (perang).
Dalam rumusan lain, pranata politik berfungsi:
  1. Memelihara ketertiban di dalam (internal order)
  2. Menjaga keamanan dari luar (external security)
  3. Melaksanakan kesejahteraan umum (general welfare)
Di samping itu, terdapat fungsi laten lembaga politik, yaitu:
  1. Menciptakan stratifikasi politik, yakni munculnya penguasa dan yang dikuasai. Bahkan dalam suatu masyarakat sering muncul jenjang atau rentang stratifikasi politik yang jauh, yakni penguasa absolut di satu pihak dan tuna kuasa (power less) di pihak lain.
  2. Partai politik sebagai social elevator (saluran mobilitas sosial vertikal), misalnya yang terjadi pada para pemimpin partai pemenang pemilihan umum (pemilu).
Pranata Pendidikan

Lembaga pendidikan mempunyai fungsi utama menata tentang proses sosialisasi ilmu pengetahuan, teknologi, seni (IPTEKS) maupun kebudayaan kepada para generasi penerus.
Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia merujuk pada UU Sistem Pendidikan Nasional (UU Nomor 20 Tahun 2003). Poin-poin penting mengenai sistem pendidikan di Indonesia antara lain
  1. Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
  2. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
  3. Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya.
Pendidikan formal
  1. Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
  2. Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus.
  3. Jalur, jenjang, dan jenis pendidikan dapat diwujudkan dalam bentuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
Pendidikan Nonformal
  1. Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat
  2. Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.
  3. Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.
  4. Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.
  5. Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
  6. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.
Pendidikan Informal
  1. Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.
  2. Hasil pendidikan informal diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan
Pendidikan Anak Usia Dini
  1. Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar
  2. Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal.
  3. Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk taman kanak-kanak (TK), raudatul athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.
  4. Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk kelompok bermain (KB), taman penitipan anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat.
  5. Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan
Pendidikan Kedinasan
  1. Pendidikan kedinasan merupakan pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen.
  2. Pendidikan kedinasan berfungsi meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam pelaksanaan tugas kedinasan bagi pegawai dan calon pegawai negeri suatu departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen.
  3. Pendidikan kedinasan diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal dan nonformal.
Pendidikan Keagamaan
  1. Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
  2. Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
  3. Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
  4. Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.
Pendidikan Jarak Jauh
  1. Pendidikan jarak jauh diselenggarakan pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan
  2. Pendidikan jarak jauh berfungsi memberikan layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler.
  3. Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan standar nasional pendidikan.
Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus.
  1. Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
  2. Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
Bahasa Pengantar
  1. Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara menjadi bahasa pengantar dalam pendidikan nasional.
  2. Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan apabila diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu.
  3. Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar pada satuan pendidikan tertentu untuk mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik.
Wajib Belajar
  1. Setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib belajar
  2. Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
  3. Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Pendidikan Multikulturalisme
Sesuai dengan realitas objektif masyarakat Indonesia sebagai sebuah masyarakat bangsa dan plural, dalam rangka mewujudkan etika berbangsa dan visi Indonesia masa depan menuntut dilaksanakannya pendidikan yang bersifat multikultural.

Fungsi nyata (manifes) lembaga pendidikan:

  1. Membantu orang untuk sanggup mencari nafkah bagi kehidupannya kelak
  2. Menolong orang untuk mengembangkan potensi diri untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya
  3. Melestarikan kebudayaan
  4. Mengembangkan kemampuan berfikir dan berbicara secara rasional
  5. Meningkatkan cita rasa keindahan
  6. Meningkatkan taraf kesehatan dengan cara melatih jasmani melalui olah raga dan pengetahuan tentang kesehatan
  7. Menciptakan warga negara yang cinta tanah air melalui pelajaran kewarganegaraan

Fungsi laten lembaga pendidikan:

  1. Menunda masa kedewasaan dan memperpanjang ketergantungan
  2. Menjadi saluran mobilitas sosial vertikal
  3. Memelihara integrasi sosial maupun politik dalam masyarakat, melalui penggunaan Bahasa Indonesia, pelajaran kewarganegaraan, sejarah perjuangan maupun kebudayaan.
Hubungan antar-lembaga sosial

Tidak ada satupun pranata sosial yang otonom, dalam arti dapat menghindari pengaruh dari pranata sosial lain. Terjadi hubungan yang saling mempengaruhi di antara lembaga-lembaga sosial yang ada dalam masyarakat.

Dalam konteks hubungan antar-pranata sosial, Erving Goffman mengemukakan konsep tentang pranata total (total institution), yakni pranata yang memisahkan pengikutnya dari masyarakat umumnya. Misalnya: pendidikan militer atau kedinasan tertentu, lembaga pemasyarakatan (penjara), rumah sakit jiwa, dst. Seluruh aktivitas pengikut lembaga sosial harus dilakukan di dalam lembaga yang dimaksud.  Sedikit berbeda dengan Goffman, Lewis Coser mengemukakan tentang pranata tamak (Greedy Institution), yakni pranata yang memonopoli loyalitas dan kesetiaan individu pengikutnya. Misalnya negara dan agama.
Daftar Pustaka

  1. Horton, Paul B. dan Hunt, Chester L. 1999. Sosiologi; Edisi Keenam Jilid I. Jakarta: PT Erlangga.
  2. J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto (ed.). 2006. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
  3. Kamanto Soenarto. 1993. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI.
  4. Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta
  5. Masri Singarimbum dan Sofian Effendi.1989. Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES.
  6. Mohammad Nazir. 1983. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
  7. Soerjono Soekanto. 1990. Sosiologi Suatu Pantantar; Edisi Baru Keempat, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
  8. Soerjono Soekanto. 1985. Kamus Sosiologi; Edisi Baru. Jakarta: Rajawali Pers.
  9. Soerjono Soekanto. 2002. Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi. Jakarta: PT RajaGrafiondo Persada
10.  Tim Sosiologi. 2004. Sosiologi Suatu Kajian Kehidupan Masyarakat Kelas 1 SMA. Jakarta: PT Yudhistiransert contents
11.  Nasikun. 1996. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT Rajawali Pers.
12.  Dyole Paul Johnson. 1981. Teori-teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: PT Gramedia.
13.  Margaret M. Poloma. 1998. Sosiologi Kontemporer. Terjemahan dari Contemporary Sociological Theory. Jakarta: PT Rajawali Pers.
14.  Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi. 1986. Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Yasbit FE UI.
Sumber: Klik Disini

- Copyright © Hidup Adalah Pilihan - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -